Salah Paham / Delusi

Oleh Reza A.A Wattimena; Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widy
Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Begitu banyak penderitaan hidup manusia yang lahir dari kesalahpahaman. Begitu banyak orang yang sudah tercukupi secara materi, namun batinnya menderita begitu parah. Akibatnya, ia lalu mencari pelarian  untuk mengobati derita batinnya tersebut, misalnya dengan obat-obatan, sex tanpa batas, melarikan diri ke agama, atau akhirnya bunuh diri. Sisanya hidup dengan cara pandang berikut: hidup segan, mati tak mau.

Dengan penderitaan batin di dalam hatinya, orang lalu berkonflik dengan orang lain. Keluarga pecah. Anak-anak terlantar. Perang antar negara pun tak kunjung lenyap dari muka bumi. Batin yang menderita mendorong orang untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang maupun benda-benda di sekitarnya. Akar dari semua penderitaan dan kekerasan itu hanya satu:kesalahpahaman.

Delusi

Di dalam salah satu karya dialognya, Plato, filsuf Yunani Kuno, menegaskan dengan jelas, bahwa ketidaktahuan (bisa juga dibaca sebagai kesalahpahaman) adalah akar dari semua kejahatan di atas bumi ini. Filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, juga menegaskan, bahwa kesalahpahaman mendorong orang bertindak salah, walaupun niat hatinya baik. Buddhisme sejak 2500 tahun yang lalu juga sudah menegaskan, bahwa kesalahpahaman tentang seluruh kenyataan, termasuk tentang diri kita, adalah akar dari semua penderitaan hidup manusia. Sokrates, salah satu tokoh terpenting di dalam Filsafat Yunani Kuno, juga terkenal dengan ungkapannya: orang yang paling bijak adalah orang yang sadar, bahwa dirinya tak tahu apa-apa.

Kesalahpahaman ini pun lalu diungkapkan dengan berbagai cara. Di dalam Buddhisme, ia disebut sebagai delusi. Di dalam filsafat, ia dikenal sebagai kesalahan berpikir. Bagi Francis Bacon, filsuf modern, kesalahpahaman adalahIdol-idol yang menutupi mata kita dari kebenaran. Anthony de Mello menyebutnya sebagai programming atau pengkondisian yang begitu kuat mempengaruhi cara berpikir dan cara merasa kita.

Secara pribadi, saya lebih suka menyebut kesalahpahaman ini sebagai delusi. Ungkapan ini begitu kuat menyatakan ketidakmampuan kita untukmembedakan antara kenyataan dan ilusi. Orang yang hidup dalam delusi akan selalu menderita, walaupun ia kaya raya, tampan atau cantik. Pertanyaan yang penting adalah, darimana delusi ini muncul?

Delusi muncul dari cara kita diasuh dari kecil. Nilai-nilai yang kita terima dari keluarga dan masyarakat kita juga menciptakan banyak delusi di dalam kepala kita. Teladan yang kita terima dari orang tua dan guru kita sejak kecil juga menciptakan delusi di dalam kepala kita. Makanya, banyak orang begitu sulit untuk lepas dari delusi yang mengotori kepalanya. Ia pun akhirnya hidup dalam penderitaan terus menerus.

Bentuk-bentuk Delusi

Ada begitu banyak delusi di dalam masyarakat kita. Semuanya mengotori kepala kita, dan membuat kita menderita.

Delusi pertama adalah kecenderungan kita untuk mengisi hidup dengan ambisi-ambisi. Kata orang, hidup harus punya ambisi. Akibatnya, kita semua lalu merumuskan ambisi di kepala kita masing-masing.

Ironisnya, orang yang gagal mewujudkan ambisinya akan merasa menderita, bahkan berniat bunuh diri. Orang yang berhasil mencapai ambisinya akan merasa hampa. Tujuan dan ambisi bukanlah kehidupan. Inilah delusi terbesar dalam hidup kita yang perlu kita berantas.

Delusi kedua, adalah menyamakan kesuksesan hidup dengan kebahagiaan. Sukses berarti kita mengikuti pola hidup sebagaimana diidealkan oleh masyarakat kita. Di Indonesia, ini berarti kita memiliki pekerjaan dengan gaji besar, serta keluarga yang harmonis serta religius. Ironisnya, orang yang punya pekerjaan baik dan keluarga harmonis juga kerap hidup dalam penderitaan. Ia masih terjebak dalam delusi.

Delusi ketiga,  banyak kita lihat di bidang politik. Orang menyamakan politik dengan kekuasaan. Akibatnya, ia menipu dan korupsi, supaya bisa meningkatkan karir politiknya. Pun ketika ia mendapatkan kekuasaan politik tertinggi, ia akan tetap hidup dalam penderitaan, karena delusi yang bercokol di dalam kepalanya.

Delusi keempat,  ada di dalam bidang ekonomi. Kita kerap menyamakan aktivitas ekonomi dengan aktivitas meraup keuntungan setinggi mungkin, jika mungkin dengan menipu. Perusahaan yang menipu, guna mendapat keuntungan besar, kerap akan hancur di tengah jalan. Pun jika tidak, pemiliknya, dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, akan hidup dalam penderitaan, karena delusi yang ada di dalam kepala mereka, yang tidak mereka sadari.

Delusi kelima,  adalah kecenderungan menyamakan kultur sebagai pariwisata. Ketika kita di Indonesia berbicara soal kultur atau budaya, kita lalu ingat tari-tarian daerah, makanan daerah, dan hal-hal lainnya. Semuanya dilihat sebagaibarang yang bisa dijual untuk kepentingan pariwisata. Ketika kultur hanya dilihat sebagai barang dagangan, kultur itu pun perlahan akan kehilangan rohnya, dan hancur. Ia hancur, akibat delusi dari orang-orang yang ada di dalamnya.

Delusi keenam,  berakar di bidang pendidikan. Kita menyamakan pendidikan dengan indoktrinasi. Anak diminta menghafal banyak hal, lalu mereka diminta untuk memuntahkan itu semua kembali di dalam ujian. Justru, cara-cara semacam ini yang menghancurkan pendidikan. Akibatnya, pendidikan bisa lama dan mahal, tetapi anak justru menderita, karena mereka hidup dalam delusi-delusi yang diajarkan oleh masyarakatnya.

Delusi ketujuh,  terkait dengan paham tentang bekerja. Kita menyamakan bekerja sebagai kegiatan mencari uang. Hampir semua orang di Indonesia berpikir semacam ini, bahwa bekerja berarti mengumpulkan uang. Ironisnya, orang yang bekerja hanya untuk mengumpulkan uang justru akan merasa hampa dan menderita pada akhirnya, ketika uangnya sudah terkumpul banyak. Ia pun hidup terus dalam penderitaan, akibat delusi ini.

Delusi ke delapan,  adalah tentang cinta. Kita kerap menyamakan tindak mencintai dengan tindak menguasai. Kita ingin pasangan kita seperti harapan kita. Jika tidak, kita lalu marah, dan berlaku kasar, atau justru melepaskan semuanya. Dengan pola semacam ini, kita akan terus hidup dalam penderitaan, akibat dari delusi di dalam kepala kita.

Delusi kesembilan, berakar begitu dalam di masyarakat kita. Kita menyamakan agama dengan mental pengemis. Kita menyembah dan meminta, tetapi lupa mengembangkan diri kita sendiri. Kita berdoa dan berdoa, tetapi melakukan kekerasan terhadap orang lain. Kita beragama dan bertuhan, tetapi tetap menderita dan bermental kasar. Agama menjadi sumber delusi kita bersama.

Delusi kesepuluh,  terkait dengan pandangan kita soal kebahagiaan. Kita menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan sesaat. Akibatnya, kita belanja banyak barang, kita jalan-jalan ke luar negeri, dan kita mengumpulkan barang-barang material, supaya bisa merasa bahagia. Yang terjadi adalah, kita melakukan semua itu, namun tetap menderita. Kita hidup dalam delusi tentang kebahagiaan, dan kita tetap menderita.

Delusi yang Terdalam

Sepuluh delusi di atas berakar pada satu delusi yang terdalam, yakni delusi tentang kenyataan di depan mata kita. Kita menyamakan apa yang tampak di depan mata kita dengan kebenaran. Di dalam kenyataan, kita melihat orang yang hidup dan orang yang mati. Kita lalu mengira, itu semua adalah kebenaran yang sejati. Kita lalu hidup dengan berpijak pada apa yang tampak di depan mata. Inilah hidup yang terjebak dalam delusi. Buahnya hanyat satu: penderitaan.

Kita mengira, segala sesuatu di sekitar kita, dan bahkan diri kita sendiri, adalah sesuatu yang utuh, benar dan nyata. Kita marah dan sedih, ketidak mendengar kata-kata tertentu. Kita merasa senang, ketika dipuji. Kita diombang-ambingkan seperti perahu layar kecil di tengah lautan ombak emosi. Ketika kita merasa diri kita dan segala yang kita lihat di dalam kenyataan sebagai kebenaran, kita pun hidup dalam delusi, dan kita akan terus menderita, apapun yang kita lakukan.

Melampaui Delusi

Delusi dapat dengan mudah dilepaskan, asalkan kita mau. Kita cukup melihat diri kita dan segala perasaan maupun pikiran kita sebagai ilusi yang datang dan pergi. Kita juga cukup melihat segala kenyataan yang ada di depan mata kita sebagai ilusi yang sementara. Ia bukanlah kebenaran dan kenyataan itu sendiri. Ia justru mengaburkan kita dari kebenaran dan kenyataan.

Ketika semua delusi kita sadari, dan semua hal, termasuk diri kita, kita lihat sebagai ilusi, maka kita akan sampai pada ketenangan jiwa. Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini, kita akan siap untuk mencintai siapapun, termasuk orang-orang yang membenci dan menyakiti kita. Kita akan sampai pada kebahagiaan yang sejati.

Orang bertindak jahat pada orang lain, bukan karena ia mau, tetapi karena ia juga menderita. Ia juga hidup dalam delusi-delusi yang menyiksa dirinya. Kita justru harus mengasihi dan merasa iba dengan orang-orang yang membenci dan menyakiti kita. Cintailah musuhmu, inilah kebijaksaan terdalam dan tertinggi dari semua ajaran agama dan filsafat yang ada di dunia ini!