Mengapa Saya Pindah ke Ajaran Buddha?
Mengapa saya pindah ke ajaran Buddha? Tadinya saya beragama X. Apa yang menyebabkan saya pindah ke ajaran Buddha?
Mengapa saya menulis blog ini? Hal ini terdorong oleh keinginan saya untuk mensharingkan pengalaman yang saya dapat selama ini.
- Karena saya melihat banyak pemeluk ajaran Buddha yang berpindah ke agama lain. Banyak dari mereka yang tidak memahami ajaran Buddha secara mendalam sehingga meninggalkan ajaran yang begitu indah.
- Karena saya melihat banyaknya aliran Buddha di dalam agama Buddha sendiri.Yang mana kadang kadang menyerap ajaran/tradisi setempat sehingga mengaburkan makna inti ajaran Buddha sesungguhnya.
- Karena saya juga melihat banyak juga pemeluk agama yang tidak puas dengan ajaran agamanya masing masing. Tapi tidak berani keluar dari agamanya yang dipeluknya, karena tidak melihat adanya suatu ajaran yang dapat menghilang kegamangan hati mereka.
- Karena saya juga melihat munculnya ektrimitas dari orang orang yang tidak puas dengan ajaran agamanya dalam menjawab permasalahan hidup dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga, untuk yang ektrem memilih menjadi Atheis sedangkan yang lebih moderat menjadi Agnostik. (Agnostik artinya: Orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahuidan mungkin tidak akan dapat diketahui)
Tidak ada niat saya untuk menjelekkan agama lain. Saya hanya mencoba memberi sudut pandang dari perspektif baru. Saya mohon maaf sebesar besarnya bila ada yang tersinggung dengan tulisannya ini. Saya akan mulai menceritakan pengalaman hidup saya mulai dari kecil. Saya lahir di sebuah kota kecil di pulau Sumatra. Orang tuaku seperti umumnya keturunan Tionghoa masa itu beraliran kepercayaan Konghucu. Dari kecil mulai TK, saya bersekolah di sekolah dengan basic agama X sampai SMP. Di rumah, orang tua ga (tidak) pernah mengajari atau menerangkan tentang aliran kepercayaan yang jadi tradisi waktu itu.
Sewaktu kelas 6 SD sampai SMP saya mulai ikut pendalaman agama X setiap minggu. Di situ saya mulai mengenal ajaran agama X ini lebih dalam. Setelah tamat SMP, saya melanjutkan pendidikan SMA di kota Medan. SMA ini merupakan sekolah umum tanpa basic agama tertentu. Di sini kita bebas memilih pelajaran agama yang mau kita ikuti. Namun saya tetap memilih pelajaran agama X ini, walaupun saya belum secara resmi masuk agama X ini.
Karena saya pada waktu itu berpandangan ajaran Buddha itu sepertinya menyembah banyak dewa dan banyak patungnya yang lebih berkonotasi seperti menyembah berhala. Bagi saya, hal itu tidak begitu srek (suka) dengan jalan pemikiran saya.Yang lebih yakin pada konsep adanya satu Tuhan/Allah yang menciptakan dan mengatur segalanya.
Demikianlah juga sewaktu saya masuk perguruan tinggi, sayapun tetap memilih agama X sebagai mata kuliahku, walaupun saya tetap belum secara resmi masuk ke agama X ini.
Sewaktu saya mau nikah, barulah saya ikut sekali lagi pendalaman agama X ini selama satu tahun dan kemudian secara resmi masuk agama X bersama dengan istriku. Dengan kata lain, pemahaman saya tentang agama X ini juga dalam. Kami rajin ke tempat ibadah. Apalagi sejak istri saya hamil, karena kami pingin anak kami nantinya rajin beribadah. Untuk itu, kami biasakan mulai dari dalam kandungan. Begitulah yang terjadi sampai anak kami ke 3 lahir.
Selama ini, saya punya kebiasaan suka membeli dan membaca buku. Berbagai jenis buku yang menarik perhatiaan saya, saya beli dan baca. Sampai saya sering diomelin istri saya oleh karena banyaknya buku yang saya beli. Sampai sekarang mungkin ada berapa ratus buku yang telah saya beli dan baca. Di rumah saya, ada satu ruangan dengan rak pada ke 3 sisi dinding sampai hampir mencapai langit langit hampir penuh terisi buku-buku.
Buku dari berbagai jenis displin ilmu saya beli dan baca. Saya berprinsip pada waktu itu, bahwa hidup itu cuma sekali. Satu buku yang bagus merupakan kristalisasi nilai atau pengetahuan dari seseorang selama hidupnya. Berarti dengan membaca 100 buku yang bagus maka saya punya pengetahuan 100 kehidupan dalam satu kehidupan. Itulah yang membuat saya suka membeli dan membaca buku.
Saya adalah orang yang kritis dan suka mempertanyakan segala sesuatu. Itu juga salah satu sebab kenapa saya suka membaca buku. Dengan banyaknya buku yang saya baca dan ditambah pengalaman hidup yang semakin banyak, membuat saya mulai mempertanyakan banyak hal di dalam agama yang saya anut waktu itu. Banyak pertanyaan yang sulit dijawab atau tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Di antara pertanyaan pertanyaan itu adalah;
- Kalau Tuhan itu Maha Adil, kenapa ada yang dilahirkan dalam keluarga kaya, tapi ada yang dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin? Malahan saya sering melihat banyak dilahirkan cacat dalam keluarga yang miskin daripada di keluarga yang kaya. Kenapa ada yang dilahirkan cantik, tampan, pintar dan ada yang dilahirkan jelek, bodoh, dan lain lain. Kalau Tuhan yang menciptakan kita, kenapa harus ada perbedaan seperti itu?
- Kalau Tuhan itu Maha Pengasih dan Murah Hati kenapa ada yang doanya dikabulkan dan ada yang tidak? Kenapa ada yang dibiarkan menderita begitu parah, ada yang tidak?.
- Kalau Tuhan itu yang menciptakan segala sesuatu, kenapa harus menciptakan ada yang baik dan ada yang jahat. Apakah penyakit, cacat lahir, bencana alam juga diciptakan Tuhan?
- Kalau Tuhan menciptakan segala sesuatu secara seketika, kenapa ilmu pengetahuan tidak sejalan dengan hal itu di mana segala sesuatu terjadi secara bertahap?
- Kalau hidup itu cuma sekali saja, habis itu akan di adilin Tuhan untuk masuk surga atau neraka? Apakah itu adil?. Berarti yang masuk neraka selamanya akan menderita dan yang masuk surga selamanya akan hidup bahagia. Terus bagaimana bagi mereka yang mati di dalam kandungan, yang meninggal dalam usia 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun yang masih belum tau apa apa. Akan masuk kemana setelah mereka meninggal?
- Kalau segala sesuatu terjadi setahu dan seijin Tuhan, kenapa Tuhan membiarkan bencana alam yang begitu dahsyat seperti tsunami, dan lain lain yang merenggut begitu banyak jiwa manusia baik yang jahat maupun yang baik.
- Malah dalam hati timbul pertanyaan yang lebih kritis lagi. Apakah Tuhan yang menciptakan manusia? Atau malah sebaliknya, manusialah yang menciptakan ‘Sosok Imaginer Tuhan’ sebagai bentuk untuk menutupi kelemahan manusia akan rasa takut manusia menghadapi masa depannya yang penuh ketidakpastian? kalau dipikirkan baik-baik, bukankah ada kemungkinan untuk terjadi seperti ini?
- Kalau agama itu diwahyukan dari Tuhan, kenapa harus begitu banyak agama? Kenapa malah agama menjadi salah satu sumber timbulnya kebencian, peperangan antar sesama manusia? Padahal agama itu diwahyukan langsung dari Tuhan.
Mungkin pertanyaan pertanyaan di atas menimbulkan rasa takut sebagian besar dari kita. Rasa takut akan dicap murtad/sesat. Rasa takut akan tertimpa malah petaka, takut akan masuk neraka, dan lain lain. Rasa takut yang malahan udah timbul sewaktu timbul hanya dalam pikiran kita, apalagi mempertanyakan hal-hal di atas. Rasa takut ini membuat kita kehilangan kreatifitas, melumpuhkan akal sehat kita. Membuat kita tetap mempertahankan status quo kita. Rasa takut itu membuat kita tetap dalam ketidaktahuan/kebodohan batin/pandangan yang salah.
Bukankah banyak mitos-mitos yang kita dengar dari waktu kecil sampai dewasa, yang kadang kadang disertai PEMALI (pantangan atau larangan berdasarkan adat dan kebiasaan). Artinya kalau kita melanggar akan berakibat buruk. Walupun mitos itu kedengarannya tidak logis, dan tidak bisa dijelaskan secara logis. Tetap kita tidak berani melanggarnya. Karena disertai ancaman yang menakutkan.
Bukankah di jaman sekarang ini kita sering mendapat kiriman doa atau kesaksian berantai lewat BB/WA atau lainnya dengan iming-iming akan mendapat sesuatu atau pahala kalau kita meneruskan pesan ini kepada sekian orang dan sebaliknya akan mendapat musibah bila kita tidak mau meneruskan pesan tersebut. Bagaimana perasaan anda menghadapi ini. Bukankah kita sering merasa goyah akhirnya meneruskan pesan tersebut walaupun hati kita tidak merasa srek (suka).
Begitu besarnya pengaruh hukum reward dan punishment dalam diri manusia, di saat manusia tidak mempunyai pemamhaman yang mendalam terhadap sesuatu itu.
Dan masih banyak berita yang ternyata hoax yang kadang menakutkan kita walaupun sebenarnya tidak masuk akal.
Apakah saya tidak punya rasa takut seperti itu?
Tentu saya sebagai manusia pada umumnya, pada awalnya saya punya rasa takut untuk mempertanyakan hal hal di atas. Namun seiring dengan pemahamam yang lebih mendalam dalam menjawab pertanyaan pertanyaan di atas. Rasa takut dan keragu-raguan dalam diri itu sirna perlahan lahan. Di ganti dengan keyakinan untuk membagi pemahaman saya dalam menjawab pertanyaan pertanyaan di atas.
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas yang selama ini sulit untuk dijawab dengan memakai dogma-dogma agama yang sudah ada. Yang mana dapat dijawab dengan logis dengan memakai ajaran Buddha sesuai dengan pemahaman saya.
Namun janganlah kalian langsung percaya 100% atas penjelasan saya. Tapi hendaknya kalian uji, renungkan, pertanyakan apakah apa yang saya jelaskan itu lebih dapat diterima atau tidak. Sekali lagi saya mohon maaf, apabila pendapat saya mungkin berseberangan dengan pendapat anda atau menyinggung perasaan anda.
Pada sebagian orang mungkin punya keraguan pada dogma agama nya masing-masing, tapi karena tidak punya pegangan ajaran lain yang dapat menghilangkan ketakutan atau keragu-raguan sehingga tetap berdiam dalam agamanya masing-masing.
Sebagian lagi lebih berani lagi, keluar dari agama yang dianutnya dan mengikrarkan dirinya, untuk yang ektrim menjadi atheis, yang lebih moderat menjadi agnostik.
Dan masih banyak pertanyaaan lain yang sulit dijawab. Kecuali dengan menjawab bahwa itu semua adalah misteri Tuhan. Kita cukup percaya aja. Untuk itu, kita perlu Imam yaitu percaya 100% tanpa mempertanyakan walaupun secara logika sulit dimengerti.
Bukankah dengan cara ini (hanya menerima 100% tanpa mempertanyakan walaupun tidak ngerti atau jelas) akan menyebabkan kita tetap dalam ketidaktahuan atau kebodohan batin?.
Selain suka membaca buku, saya pun suka ikut berbagai seminar dan workshop. Sampai suatu saat saya tertarik membaca tentang ajaran Buddha. Ternyata ajaran Sang Buddha yang benar dan murni bukan selama ini yang saya bayangkan. Walaupun saya banyak melihat aliran yang mengaku agama Buddha atau para pemeluk agama Buddha yang menyembah patung dewa sambil memohon sesuatu.
Semakin dalam saya mempelajari, semakin membuat saya semakin tertarik untuk menggali lebih dalam. Berbagai buku saya cari, saya baca dan pelajari. Saya merasa dalam banyak hal yang saya pelajari baik itu ilmu sains, psikologi, hipnoterapi, motivasi/pengembangan kepribadian, NLP, dan lain lain, adalah sesuai dengan apa yang saya pelajari dalam ajaran Buddha. Semua pertanyaan yang sulit di atas dapat terjawab secara logika dan menyakinkan sesuai dengan penalaran kita dengan memakai ajaran Buddha.
Ada beberapa point penting yang membuat saya mengambil keputusan untuk pindah ke ajaran Buddha.
Kalama Sutta
(Point pertama kenapa saya pindah ke ajaran Buddha)
Saat ini zamannya informasi. Segala macam informasi dapat dengan mudah diakses oleh setiap orang baik melalui internet, media sosial, buku, dan mobilitas yang tinggi dari manusia menyebabkan perpindahan informasi berlangsung begitu cepat dan dinamis. Demikian pula ajaran tiap agama dapat mudah diakses melalui hal-hal di atas. Tiap ajaran mengklaim masing-masing sebagai yang terbaik dan paling benar. Bahkan tiap agama pun terpecah dalam berbagai aliran yang mana tiap aliran juga menganggap masing-masing sebagai yang paling benar. Dengan berbagai informasi yang begitu banyak membuat kita bingung untuk menentukan mana yang akan kita anut dan praktekan dalam hidup kita. Hal seperti inipun telah terjadi di jaman Buddha masih hidup.
Semasa hidup Nya, Buddha Gotama pernah datang ke desa yang di huni oleh suku Kolama. Suku Kolama termasuk orang yang paling cerdas dan cendekia di India pada waktu itu. Di tempat mereka telah dikunjungin oleh berbagai guru spiritual dengan berbagai pandangan yang berbeda. Setiap mereka akan menjunjung ajarannya sendiri dan merendahkan ajaran-ajaran dari para guru spiritual sebelumnya yang telah datang. Hal ini membuat mereka bingung. Maka mereka pergi bertanya pada Buddha yang kebetulan singgah di desa mereka. Mereka bertanya “Di antara guru guru spiritual tersebut mana yang berbicara benar dan mana kah yang berbicara salah?
Menanggapi hal tersebut. Buddha tersenyum lembut dan menjawab:
- Janganlah percaya begitu saja pada apa yang kalian dengar hanya karena kalian telah mendengar itu sejak lama.
- Janganlah mengikuti tradisi secara membuta hanya karena hal itu telah dipraktekan sedemikian secara turun temurun.
- Janganlah cepat terpancing desas desus.
- Janganlah menyakini segala sesuatu secara membuta hanya karena hal itu tertera di dalam kitab suci.=
- Janganlah membuat asumsi-asumsi secara bodoh.
- Janganlah tergesa-gesa menarik kesimpulan berdasarkan apa yang kalian lihat dan dengar.
- Janganlah terkecoh oleh penampakan penampakan luar.
- Janganlah berpegang kuat pada pandangan atau gagasan apapun hanya karena kalian menyukainya.
- Janganlah menerima segala sesuatu yang kalian pandang masuk akal sebagai fakta.
- Janganlah menyakini segala sesuatu hanya karena rasa hormat dan segan kepada guru spiritual kalian.
Kalama Sutta memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pencari kebenaran dan berisikan standar yang digunakan untuk menilai apakah suatu ajaran itu bisa diterima atau tidak. Dan buka main percaya saja pada suatu ajaran hanya berdasarkan iman tanpa merenungkannya, menyelidiki dan membuktikan terlebih dahulu.
Lalu bagaimana membuktikannya?
Buddha mengatakan ”Apabila suatu ajaran setelah kalian terima dan praktekan menyebabkan timbulnya atau bertambahnya, keserakahan (nafsu keinginan), kebencian(kemarahan) dan kegelapan batin ( pandangan salah) pada diri kalian. Maka ajaran tersebut semestinya dihindari.
Sebaliknya apabila suatu ajaran setelah kalian terima dan praktekan akan menyebabkan berkurangnya/hilangnya kemarahan (kebencian), keserakahan (nafsu keinginan) dan kegelapan batin (pandangan salah) dan membawa pada tumbuhnya cinta kasih tanpa syarat, welas kasih, simpati dan keseimbangan batin. Maka ajaran tersebut semestinya kalian terima.
Kemudian Buddha mengatakan bila kita bisa membuat pikiran kita telah bebas dari rasa permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor. Maka ga (tidak) perlu dibingungkan apakah ada surga atau neraka, apakah ada kehidupan setelah mati atau tidak. Yang jelas kalian telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini juga, yaitu:
- Jaminan pertama: Seandainya ada alam lain, dan seandainya perilaku yang baik dan buruk memang memberikan buah dan menghasilkan akibat, maka ada kemungkinan ketika tubuh hancur, setelah kematiaan, kita akan muncul di tempat yang baik, di suatu alam surgawi.
- Jaminan kedua: Seandainya tidak ada alam lain, dan seandainya tindakan baik dan buruk memang tidak memberikan buah dan menghasilkan akibat, tetap saja di sini, di dalam kehidupan ini juga, kita hidup dengan bahagia, bebas dari rasa permusuhan dan niat jahat.
- Jaminan ketiga: Seandainya kejahatan menimpa pelaku kejahatan, maka karena aku tidak berniat jahat pada siapapun, bagaimana mungkin penderitaan menyerangku, orang yang tidak melakukan kejahatan?
- Seandainya kejahatan tidak menimpa pelaku kejahatan, maka di sini juga aku melihat diriku sendiri termurnikan di dalam dua hal.
Semangat yang terkandung dalam sutta ini menunjukan bahwa ajaran Buddha adalah ajaran yang BEBAS FANATISME, KEYAKINAN MEMBUTA, DOGMATISME dan KETIDAKTOLERAN. Bukan ajaran yang menekankan pada keyakinan yang membuta atas dasar iman dengan dibaringin menakuti apabila tidak percaya maka akan terjadi hal yang buruk.
Cara pendekatan ajaran Buddha yang demikian adalah sangat realistik dan ilmiah.
Berikut saya kutip komentar Albert Einstein tentang ajaran Buddha.
Tulis Einstein, ”Jika ada agama yang dapat berhadapan dengan kebutuhan kebutuhan saintifik modern, agama ini adalah Buddhisme”.
Lebih lanjut Albert Einstein berkomentar:
“Agama masa depan adalah suatu agama semesta, yaitu agama yang melampaui konsep/doktrin tentang Tuhan sebagai pribadi, serta menghindari dogma dan teologi. Agama haruslah berdasarkan pengertian keagamaan yang muncul dari pengalaman akan segala hal, baik yang bersifat alami atau batiniah, yang merupakan satu kesatuan yang sangat berarti. Buddhisme menjawab gambaran tersebut. Seandainya ada agama yang dapat memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, maka hal itu adalah agama Buddha”.
Kemudian Albert Einstein juga berkomentar:
“Aku tidak dapat membayangkan suatu Allah/Tuhan personal yang langsung mempengaruhi tindakan tindakan orang per orang, atau secara langsung duduk mengadili semua ciptaan yang telah dibuatnya sendiri”.
Berdasarkan prinsip inilah, Buddha juga mengajarkan kita untuk DATANG DAN MEMBUKTIKAN AJARANNYA SENDIRI dan bukan asal datang dan percaya 100% semua yang diajarkanNya. Inilah yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lain.
Inilah titik awal yang membuat saya tertarik semakin dalam untuk mempelajari ajaran Buddha dan untuk membuktikan kebenaran ajaranNya.
Asal usul semua ajaran Buddha.
(point ke 2 yang menyebabkan saya pindah ke ajaran Buddha)
Asal usul semua inti ajaran Buddha berbeda dengan asal usul inti ajaran dari agama lain. Umumnya asal usul inti ajaran agama lain yang ada adalah berasal atau diturunkan oleh Tuhannya masing masing. Yang mana sudah merupakan dogma atau doktrin yang udah ga bisa diganggu gugat.
Kenapa setiap agama harus mempunyai dogma dan doktrin?
Karena hampir semua agama diklaim berasal langsung sosok Tuhannya yang abstrak, yang tidak terjangkau oleh penerangan secara akal sehat manusia, yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, yang bisa mengundang perdebatan yang tidak ada habisnya, yang berada diluar pemahaman manusia. Maka dogma atau doktrin sangat dibutuhkan suatu agama.
Dogma/doktrin berusaha memaksakan suatu kebenaran relatif atau kebenaran sebagian sebagai suatu kebenaran absolut/mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Contoh kebenaran relatif/sebagian itu adalah:
1. Klaim agama yang menyatakan kalau tidak ada satu sosok Maha Kuasa yaitu Tuhannya tiap agama masing masing yang menciptakan alam semesta ini. Lalu bagaimana bisa timbul semua keteraturan yang begitu luar biasa dalam semua fenomena di alam semesta ini. Pertanyaannya adalah kalau tiap agama menyatakan secara mutlak bahwa Tuhannya lah yang menciptakan seluruh alam semesta ini, dan bukan Tuhannya agama lain. Dan antara Tuhan agama saya berbeda dengan Tuhannya agama lain. Lalu Tuhan mana yang benar, yang betul-betul menciptakan seluruh alam semesta ini.
2. Klaim agama, tentang mukjizat (kejadian gaib) yang terjadi dalam agamanya masing-masing melalui perubahan hidupnya (dari hidup susah menjadi sukses, dari banyak masalah menjadi terselesaikan) kesembuhan dari penyakit yang udah tidak ada harapan melalui doa, ritual agamanya masing masing, dan lain lain. Pertanyaannya adalah apakah mukjizat itu terjadi pada satu agama saja dan tidak terjadi pada agama yang lain? Kenyataannya semua agama mengklaim punya mukjizat seperti itu. Bahkan banyak seminar atau workshop yang notabene tidak ada hubungan agama pun kita liat punya kesaksian adanya mukjizat seperti itu. Dukun pun punya banyak mukjizat yang dapat diceritakan. Lalu bagaimana dengan sebagian orang yang hidup tidak berubah, tidak mengalami mukjizat seperti itu, di tiap penganut agama masing-masing.
3. Lalu bagaimana agama menjelaskan pertanyaan pertanyaaan di atas melalui sosok Tuhannya masing masing.
Kebenaran relatif/sebagian ini persis seperti cerita yang tidak asing lagi bagi kita tentang bentuk gajah menurut orang buta yang ternyata berasal dari ajaran Buddha. Kebenaran relatif ini terjadi karena ketidaktahuan/kebodohan batin/pandangan yang sempit dari kita manusia.
“Perumpamaan Orang Buta dan Gajah”
Demikian telah kudengar. Satu ketika Sang Bhagava (Buddha) tengah bersemayam dekat Savatthi, di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Adapun pada ketika itu terdapat banyak pendeta, pertapa, dan pengelana dari beraneka aliran yang hidup di sekitar Savatthi dengan pandangan yang berbeda-beda, pendapat yang berbeda-beda, kepercayaan yang berbeda-beda, bergantung untuk dukungan atas pandangan mereka yang berbeda-beda. Beberapa dari para pendeta dan pertapa memegang pandangan ini, doktrin ini: “Alam semesta adalah kekal. Hanya ini yang benar; apapun lainnya keliru”.
Beberapa dari para pendeta dan pertapa memegang pandangan ini, doktrin ini: “Alam semesta adalah tak-kekal”. “Alam semesta adalah terbatas”. “Alam semesta adalah tanpa batas”. “Jiwa dan tubuh adalah sama”. “Jiwa adalah satu hal dan tubuh hal lainnya”. “Setelah kematian Sang Tathagata ada”. “Setelah kematian Sang Tathagata tiada”. “Setelah kematian Sang Tathagata ada dan tiada”. “Setelah kematian Sang Tathagata tidak ada tidak pula tiada. Hanya ini yang benar; apapun lainnya keliru”.
Dan mereka hidup bercekcok, bertengkar, dan berselisih; melukai satu sama lain dengan senjata mulut, berkata, “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu. Dhamma bukan seperti itu, Dhamma adalah seperti ini”.
Kemudian di pagi hari, sejumlah besar Bhikkhu, setelah mengenakan jubah mereka dan membawa mangkuk serta jubah-luar mereka, pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan sedekah. Setelah pergi mengumpulkan makanan sedekah di Savatthi, sehabis bersantap, kembali dari pengumpulan makanan sedekah mereka, mereka pergi kepada Sang Bhagava dan, ketika tiba, setelah menyalami Beliau, duduk di satu sisi. Sementara mereka tengah duduk di sana, mereka berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, terdapat banyak pendeta, pertapa, dan pengelana dari beraneka aliran yang hidup di sekitar Savatthi dengan pandangan yang berbeda-beda, pendapat yang berbeda-beda, kepercayaan yang berbeda-beda, bergantung untuk dukungan atas pandangan mereka yang berbeda-beda dan mereka hidup bercekcok, bertengkar, dan berselisih, melukai satu sama lain dengan senjata mulut, berkata, ‘Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu. Dhamma bukan seperti itu, Dhamma adalah seperti ini”.
“Para Bhikkhu, para pengelana dari aliran-aliran lain adalah buta dan tak bermata. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang adalah Dhamma dan apa yang bukan-Dhamma. Tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, tidak mengetahui apa yang adalah Dhamma dan apa yang bukan-Dhamma, mereka hidup bercekcok, bertengkar, dan berselisih, melukai satu sama lain dengan senjata mulut, berkata, ‘Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu. Dhamma bukan seperti itu, Dhamma adalah seperti ini”.
“Dahulu, di Savatthi ini juga, terdapat seorang raja tertentu yang berkata pada seorang lelaki, ‘Kumpulkan bersama-sama semua orang di Savatthi yang telah buta sejak lahir”.
“‘Baiklah, paduka,’ lelaki tersebut menyahut dan, setelah mengumpulkan semua orang di Savatthi yang telah buta sejak lahir, ia pergi kepada sang raja dan ketika tiba berkata, ‘Paduka, semua orang di Savatthi yang telah buta sejak lahir telah dikumpulkan bersama-sama’”.
“‘Bagus sekali, kalau begitu, perlihatkan orang-orang buta itu seekor gajah’”.
“‘Baiklah, paduka,’ lelaki tersebut menyahut dan ia memperlihatkan orang-orang buta itu seekor gajah. Pada beberapa orang buta ia memperlihatkan kepala gajah, berkata, ‘Inilah, orang buta, seperti apa seekor gajah itu.’ Pada beberapa dari mereka ia memperlihatkan telinga gajah, berkata, ‘Inilah, orang buta, seperti apa seekor gajah itu.’ Pada beberapa dari mereka ia memperlihatkan gadingnya, belalainya, badannya, kakinya, bagian belakangnya, ekornya, rambut di ujung ekornya, berkata, ‘Inilah, orang buta, seperti apa seekor gajah itu’”.
“Kemudian, setelah memperlihatkan orang-orang buta itu gajah tersebut, lelaki itu pergi kepada sang raja dan ketika tiba berkata, ‘Paduka, orang-orang buta itu telah melihat gajah tersebut. Sudilah paduka lakukan apa yang paduka pikir sekarang waktunya untuk dilakukan’”.
“Kemudian sang raja pergi kepada orang-orang buta itu dan ketika tiba menanyakan mereka, ‘Orang-orang buta, sudahkah kalian melihat gajah tersebut?’”
“‘Ya, paduka. Kami telah melihat gajah tersebut’”.
“Sekarang beritahu aku, orang-orang buta, seperti apa gajah itu’”.
“Orang-orang buta yang telah dipertunjukkan kepala gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah tempayan air’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan telinga gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah keranjang penampi’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan gading gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah pentung besi’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan belalai gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah tiang bajak’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan badan gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah lumbung’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan kaki gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah tonggak’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan bagian belakang gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah lumpang’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan ekor gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah alu’”.
“Mereka yang telah dipertunjukkan rambut di ujung ekor gajah menjawab, ‘Gajah, paduka, adalah persis seperti sebuah sapu’”.
“Berkata, ‘Gajah adalah seperti ini, gajah bukan seperti itu. Gajah bukan seperti itu, gajah adalah seperti ini’, mereka saling bertengkar dan memukul satu sama lain dengan tinju mereka untuk mempertahankan pendapat mereka. Dan hal itu sangat memuaskan dan menghibur sang raja melihat tingkah pola orang orang buta tersebut’”.
Siapakah yang salah dan siapakah yang benar? Adakah seorang dari mereka memiliki kebenaran? Yang pasti sang rajalah yang salah karena telah mempermainkan orang buta. Bagi orang-orang buta sejak lahir, sangatlah sulit mendeskripsikan gajah tanpa merabanya secara utuh. Masing-masing dari mereka telah menggambarkan dengan tepat apa yang mereka rasakan. Mereka telah melakukannya dengan benar. Masing-masing mengatakan kebenaran. Tak seorang pun berbohong karena mereka hanya diperbolehkan meraba bagian-bagian tertentu saja.
Kesalahan dari masing-masing orang buta tersebut bukan soal kualitas dari penjelasannya, melainkan keyakinan dan pernyataan tentang gajah secara keseluruhan dan menganggap penjelasannyalah yang paling benar. Tak seorang pun memiliki gagasan bahwa masing-masing hanya menjelaskan satu bagian saja. cara keseluruhan.
Kita manusia memang seperti cerita orang-orang buta ini. Kita tetap buta, terbelenggu dalam ketidaktahuaan (kebodohan batin). Pengetahuaan kita yang sangat terbatas tentang apa yang menciptakan dunia ini, tentang sosok ‘Maha Kuasa’. Siapa yang berjumpa langsung denganNya, selain yang tertulis di kitab suci. Ya, kita mirip mereka denga orang orang buta tersebut.
1) Kita hanya mengambil sebagian (secuil) dari keseluruhan sebuah kenyataan.
2) Kita hanya memahami sebagian (secuil) dari kekompleksan sebuah kenyataan.
3) Kita hanya memegang sebuah pengertian yang terbatas dari seluruh kenyataan.
4) Kita hanya ingin selalu melawan dan menentang apa yang berbeda dari kita.
5) Kita berjuang mati-matian mempertahankan pernyataan kita sebagai satu-satunya kebenaran.
6) Kita hanya ingin tampak pandai dengan perselisihan, bukan belajar.
7) Kita harus bertindak ini (menerima, mendengarkan, dan memahami apa yang dikatakan orang lain), jika kita ingin mengetahui lebih banyak
“Dalam cara yang sama, para Bhikkhu, para pengelana dari aliran-aliran lain adalah buta dan tak bermata. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang adalah Dhamma dan apa yang bukan-Dhamma. Tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya, tidak mengetahui apa yang adalah Dhamma dan apa yang bukan-Dhamma, mereka hidup bercekcok, bertengkar, dan berselisih; melukai satu sama lain dengan senjata mulut, berkata, ‘Dhamma adalah seperti ini, Dhamma bukan seperti itu. Dhamma bukan seperti itu, Dhamma adalah seperti ini’”.
Kemudian, menginsyafi pentingnya hal tersebut, Sang Bhagava ketika itu mengutarakan sabda ini:
Beberapa dari mereka yang disebut para pendeta dan pertapa ini melekat.
Mereka bertengkar dan berkelahi. Itu adalah orang-orang yang hanya melihat satu sisi.
Setiap sudut pandang dari suatu masalah secara garis besar mempunyai dua sisi, sisi yang baik dan sisi yang jelek, dengan kata lain kekuatan dan kelemahannya. Pengikut-pengikut tertentu dari setiap agama senantiasa berusaha untuk menonjolkan argumentasi dan bukti yang mendukung keyakinannya, dan berusaha menyembunyikan yang tidak mendukungnya. Sebaliknya, juga senantiasa berusaha menggaris-bawahi ketaktaatasasan dan fakta-fakta yang saling bertentangan, seraya berusaha mengabaikan segi-segi yang kuat dari keyakinan yang tak dianutnya. Semestinya, demi untuk mendapatkan pengertian yang seimbang dan tidak memihak dari setiap sudut pandang, kita hendaknya mempertimbangkan argumentasi kedua pihak.
Sang Buddha bersabda:
Walaupun kita telah berhasil membentuk keyakinan kita, namun adalah sangat penting, bahwa kita meyakininya dengan luwes, dengan cara membiarkan batin dan pikiran kita tetap terbuka. Ada orang-orang berpendapat bahwa mereka baru dapat membuktikan keyakinan pada agama sendiri, dengan cara mempertahankan keyakinan sendiri secara dogmatis dan menolak untuk mendengarkan pandangan yang lain.
Dari pandangan Buddhis, pendapat ini salah. Sebab setelah menerima suatu ajaran agama tertentu, mereka tidak dapat lagi mempelajari sesuatu yang baru, mereka hanya melihat kepercayaannya dari sudut pandangan mereka sendiri, atau memperoleh nilai-nilai wawasan yang rendah melalui tafsiran-tafsiran belaka. Alhasil, dalam usaha mencari kebenaran, mereka sering terlibat pertengkaran kecil-kecil dengan yang lainnya.
Apa itu dogma atau doktrin?
Dogma adalah pokok ajaran (terutama tentang kepercayaan) yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan oleh adanya akal rasio atau pendapat/ide-ide manusia. Sedangkan doktrin adalah suatu bentuk tindakan mengharuskan/memaksakan bahwa suatu hal harus diyakini dan dibenarkan seperti apa yang disampaikan. Penolakan terhadap dogma dianggap sebagai sesat, akan masuk neraka dan dapat menyebabkan seseorang dikeluarkan dan dikucilkan dari kelompok agamanya.
Dogma atau doktrin dipakai oleh suatu agama untuk memberikan 3 hal:
a. Kepastian
Karena dogma dipakai sebagai putusan akhir untuk mengakhiri suatu perdebatan, untuk mencegah timbulnya perdebatan terhadap ajaran suatu agama. Kepastian bukan berarti bahwa dogma adalah mutlak benar. Tetapi orang orang yang percaya terhadap dogma agama tersebut menganggap bahwa ajarannya pasti benar dan ajaran yang lain salah walaupun sebenarnya ajarannya yang diakui itu mungkin tidak lebih benar dari ajaran-ajaran yang dianut oleh orang lain. Tetapi dengan adanya kepastian maka orang orang yang percaya terhadap dogma akan lebih cenderung mempraktekkan ajaran tersebut dibandingkan orang yang masih ragu terhadap dogma tersebut akan mencari ajaran lain yang ia rasa lebih benar.
b. Kejelasan
Kejelasan di sini dimaksudkan bahwa apabila orang orang percaya terhadap dogma maka orang tersebut akan mendapat kejelasan ajaran. Dengan percaya terhadap dogma maka orang akan tahu mana yang benar dan mana yang salah.Walaupun sebenarnya ajaran yang diyakini belum tentu benar tetapi sebaliknya ajaran yang sering orang anggap salah belum tentu mutlak salah, karena semua itu perlu penyelidikan lebih lanjut dengan praktek yang nyata. Misalnya dogma jaman dulu bahwa bumi itu datar (karena keliatannya datar), bumi itu pusat dari alam semesta di mana matahari mengelilingi bumi (karena keliatannya begitu) sehingga orang yang punya pendapat yang berlawanan dengan itu diancam hukuman mati. Tetapi setelah diselidiki lebih lanjut ternyata bumi itu bulat dan bumilah yang mengelilingi matahari. Bukan sebaliknya. Ini membuktikan bahwa dogma bisa aja salah, jadi perlu diuji dan diselidiki lebih lanjut.
c. Menumbuhkan keyakinan
Orang orang yang percaya terhadap dogma akan timbul dalam dirinya suatu keyakinan yang kuat karena menganggap sesuatu yang ia percayainya adalah benar maka perlu dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan adanya keyakinan maka keimanan tidak akan goyah dangan hal-hal yang baru atau ajaran lain.
Apa sisi negatif dari dogma atau doktrin?
Selain sisi positif dari suatu dogma seperti menumbuhkan kepastian, kejelasan dan keyakinan apabila dogma itu benar. Tapi dogma atau doktrin juga punya sisi negatif yang harus diwaspadai.
Suatu ajaran dikatakan sebagai dogma manakala kita menyakini ajaran itu tanpa mempertanyakan terlebih dahulu kebenarannya. Kita serta merta meyakini ajaran tersebut sebagai ajaran yang benar secara universal dan absolut dan merpersalahkan ajaran lain tanpa mempertanyakan dan mengujinya terlebih dahulu.
Tiap agama dan aliran punya tingkat doktrinasi yang berbeda beda, mulai dari tingkat ringan, moderat sampai yang ekstrem (paling keras). Semakin tinggi tingkat ekstrem doktrinasi terhadap penganutnya bertujuan:
1. Untuk meningkatkan jumlah penganutnya
2. Untuk meningkatkan royalitas dan mencegah penganutnya pindah ke agama lain.
3. Royalitas yang tinggi penganutnya akan membuat penganutnya mau berjuang mati matian untuk merekrut anggota baru secara gigih, member sumbangan tenaga dan financial yang semakin tinggi.
Pada intinya kalau kita menelah lebih dalam, semakin ekstrem doktrinasi suatu agama menunjukkan adanya benih “Keserakahan” di dalamnya. Karena di dalam keserakahan ada unsur takut umatnya berkurang, takut pengaruh atau kekuasaan berkurang, atau financialnya berkurang. Jadi semakin ekstrem dogmatisasi suatu agama pada dasarnya bukan ditujukan untuk kebaikkan penganut tapi lebih pada untuk kepentingan pimpinan di dalam aliran agama tersebut.
Doktrinasi yang semakin ekstrem biasanya dibarengin dengan memainkan 2 sisi kelemahan manusia yang paling fundamental yaitu reward (dalamnya ada unsur keserakahan) dan pusnishment (dalam ada rasa unsur takut). Bila kamu menuruti ajaran ini maka kamu akan kaya, masuk surge dan lain lain. Bila kamu membelot, keluar dari ajaran ini maka kamu akan hidupnya susah, masuk neraka dan lain lain.
Bagi sebagian agama, melarang pengikutnya untuk belajar atau mengikuti pengobatan lewat cara hipnoterapi. Karena di anggap bertentangan dengan dogma agama.
Selain berprofesi sebagai dokter, penulis sendiri adalah seorang hipnoterapis yang juga menyandang gelar Cht dengan mengikuti pendidikan hipnoterapi yang cukup intensif.
Menurut pendapat saya, larangan itu keliatannya cukup lucu atau menggelikan. Sebab apakah dengan disadarin atau tidak, di dalam melakukan doktrinasisi supaya berhasil maka adalah lewat proses yang dinamakan wake hipnosis. Jadi semua agama di dalam melakukan doktrinasi umumnya menggunakan tekhnik tehnik hipnosis baik disadari ataupun tidak.
Apa itu proses ‘wake hipnosis’ itu?
Wake hipnosis adalah cara menghipnosis seseorang atau sekelompok orang agar dapat mengikuti keinginan atau menerima pesan yang ingin disampaikan oleh si penghipnotis ke alam bawah sadar tanpa disadari oleh orang yang dihipnosis yang dalam keadaan sadar.
Wake hipnosis merupakan cara yang sangat powerfull di dalam doktrinasi.
Caranya adalah:
1. Lewat menggunakan otoritas. Otoritas yang tertinggi adalah Tuhan yang tidak terbantahkan. Misalnya kitab suci ini merupakan wahyu langsung dari Tuhan. Juga lewat otoritas pimpinan agama yang berkharisma. Lewat atribut-atribut di mana pimpinan agama memakai seragam atau sesuatu. Seperti juga seorang ahli hipnoterapi atau dukun memakai baju hitam dan atribut lain untuk meningkatkan otoritasnya. Semakin tinggi otoritas semakin mudah mempengaruhi umatnya. Itu juga sebabnya semakin beda level pimpinan dengan umatnya akan semakin mudah dipengaruhi. Misalnya umat yang pendidikan lebih rendah, status social lebih rendah, dan lain lain akan lebih mudah dipengaruhi.
2. Lewat repetisi (pengulangan terus menerus)
Pesan atau dogma yang disampaikan berulang ulang itu persis seperti afirmasi (penetapan/peneguhan) yang akan memudahkan untuk masuk sampai ke bawah sadar.Apalagi di mulai dari masih kecil di mana masih belum berfungsinya ‘filter critical thinking’.
3. Lewat membangun suasana atau lingkungan yang mempengaruhi emosi
Suasana tempat ibadah, nyanyian penuh perasaan yang diulang ulang, orang banyak dengan tindakan yang sama (identitas kelompok) sehingga menimbulkan emosi yang intens (hebat/kuat), akan memudahkan pesan masuk ke dalam bawah sadar.
4. Lewat kesaksian orang, apalagi orangnya terkenal
5. Lewat iming-iming reward berupa menjadi kaya, sukses, masuk surga dan juga lewat rasa takut kalau tidak menerima ajaran ini hidupnya akan susah, masuk neraka
6. Lewat ritual keagamaan. Yang juga memudakan pesan untuk masuk ke dalam bawah sadar.
Saya tidak berpendapat, bahwa proses wake hipnosis yang sangat perfect atau powerfull ini. Yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh seorang ahli hipnosis sekalipun untuk menghadirkan ke 6 unsur di atas secara serentak itu, merupakan hal yang jelek. Cuma yang perlu diwaspadai adalah penyalagunaan proses hipnosis untuk menyampaikan pesan-pesan untuk kepentingan tertentu tanpa memperhatikan untuk kebaikkan umatnya. Karena pesan-pesan yang ditanamkan yang masuk ke bawah sadar tanpa didahului perenungan dan pengujian, biasanya akan diterima begitu saja tanpa menggunakan akal sehat. Sehingga bisa terjadi orang rela mati dengan membunuh orang lain demi agamanya. Kita juga melihat akhir-akhir ini, ada istri, bapak ataupun anak meninggalkan keluarganya demi untuk membela suatu ajaran agama secara membabi buta akibat pengaruh doktrinasi ini.
Doktrinasi yang berlebihan apalagi dengan diimbangin dengan menebarkan rasa takut, tidak akan mengarahkan kepada hal-hal baik, justru malah sebaliknya, akan berkembang kepada sikap pemujaaan, penghambaan di satu sisi; tetapi kemarahan dan kebencian di sisi lain (bagi yang ajarannya berbeda dengan agamanya). Banyak orang yang mengaku beragama memperlakukan Tuhan seperti berhala yang akan mendatangkan keberuntungan kalau dipuja-puji, disenangkan hatiNya dan menurunkan siksa/bencana kalau tidak disenangkan hatiNya. Lalu apa beda Tuhan dengan kita manusia selain kekuatan super powerNya. Di mana Maha AdilNya, Maha KasihNya, Maha PengampunanNya, dan sifat-sifat luhur lainnya. Di sini berarti kita mempersonifikasikan Tuhan sebagai sesuatu yang Maha Agung dan kita mereduksi ke AgungNya menjadi seperti manusia yang punya sifat marah, cemburu, dan lain lain.
Doktrinasi yang berlebihan akan melahirkan fanatisme, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan benih arogan, penghakiman, kebencian terhadap ajaran yang tidak sejalan dengannya. Disamping itu dogmatisasi yang berlebihan akan menghilangkan kreatifitas, melumpuhkan akal sehat, membuat kita tidak bisa berkembang lebih jauh lagi di dalam spiritualitas (tetap terperangkap dalam kebodohan batin/ketidaktahuan)
Lalu bagaimana asal usul inti ajaran Buddha?
Apakah inti ajaran Buddha diturunkan dari sesosok Maha Adi Kuasa seperti Tuhan? Jawabannya jelas tidak.
Apakah Buddha itu seperti Tuhan? Jawabannya adalah tidak. Lalu siapa Buddha itu? Buddha adalah manusia biasanya seperti kita yang lewat perjuangannya menjadi tercerahkan/menjadi yang Sadar. Karena Buddha adalah seperti kita manusia biasa yang telah mencapai Pencerahan maka kitapun bisa mencapai kesadaran seperti Beliau.
Jadi inti ajaran Buddha bukanlah diwahyukan dari Tuhan, bukan pula suatu teori, bukan pula suatu falsafah, bukan pula dogma dan bukan pula suatu konsep tetapi merupakan hasil dari pengalaman Buddha di dalam mencapai pencerahan.Yang Buddha ajarkan adalah hukum-hukum seperti hukum gratifikasi, hukum alam, hukum kimia, yang semua orang dapat mengalami dan merasakannya. Tapi dalam hal ini Buddha mengajarkan kita tentang hukum-hukum di dalam spritualitas di mana kalau Buddha bisa mengalaminya maka kalau kita mengikuti caranya maka kita akan dapat mengalami atau merealisasikan seperti apa yang Buddha alami.
Itulah kenapa Buddha menyuruh kita jangan langsung percaya 100% apa yang diajarkannya, tapi hendaknya kita merenungkannya, mengujinya dan mempraktekkannya apa bermanfaat bagi kita atau tidak. Apakah kita dapat melihat kebenaran ajarannya melalui pengalaman langsung kita?
Buddha menyuruh kita bahwa kepercayaan kepada suatu hal hendaknya dilandasi oleh pemahaman yang mendalam terhadap hal tersebut (kebijaksanaan). Itulah namanya keyakinan atau saddha. Antara percaya dan kebijaksanaan (pemahaman yang mendalam) harus sejalan dan seimbang. Persis seperti seekor burung yang harus punya dua sayap baru bisa terbang.
Makanya kenapa saya memakai judul Ajaran Buddha bukan agama Buddha. Karena dalam ajaran Buddha yang benar tidaklah mengandung dogma yang tidak dapat dipertanyakan tapi berisi ajaran Buddha yang harus kita pertanyakan, kita uji, kita selidiki untuk dapat memahami dan merealisasikannya.
Saya akan mencoba mengambil cuplikan saat saat penting Petapa Gotama mencapai pencerahan. Kenapa saya menceritakan hal ini? Karena dengan tahu saat-saat Petapa Gotama mencapai kesadaran Buddha. Kita akan tahu darimana ajaran Buddha itu muncul. Ia bukan dogma tapi merupakan pengalaman riil (nyata) sang Buddha.
Ajaran Buddha, saya umpamakan seperti Buddha menceritakan pengalaman Beliau tentang cara mendapatkan dan memakan sebuah jeruk. Ini bukanlah teori tentang cara mendapatkan dan memakan jeruk. Buddha hanya bisa menuntun kita caranya mendapatkan dan memakan sebuah jeruk. Tapi walaupun Buddha menceritakan bagaimana rasanya jeruk itu, kalau seumur hidup kita belum pernah makan jeruk. Maka tentu kita pasti tetap tidak dapat menangkap secara tepat rasanya jeruk itu. Kecuali kita memakannya dan merasakannya. Itulah Buddha menyuruh kita datang untuk membuktikannya sendiri melalui pengalaman langsung atas ajarannya.
Saat saat penting petapa Gotama mencapai pencerahan:
Kemudian Petapa Gotama melaksanakan meditasi anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan objek keluar-masuknya nafas. Tidak lama kemudian, semua pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Muncullah semua pikiran akan keinginan pada benda-benda dan hal-hal duniawi yang dapat memuaskan nafsu, tidak menyukai penghidupan yang suci dan bersih, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, rasa malas dan ketidakinginan berbuat apa-apa, rasa kantuk yang berat, takut terhadap makhluk-makhluk halus dan gangguan dari hewan-hewan di hutan, gelisah, goyah saat merasakan perubahan kondisi dan cuaca di lingkungan hutan, keragu-raguan terhadap Dhamma, kebodohan (ketidaktahuan), keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan kesombongan serta memandang rendah orang lain.
Semua pikiran tidak baik itu mucul bersama dan datang silih-berganti. Dengan ketenangan dan kesabaran yang luar biasa, Petapa Gotama berusaha agar tidak terhanyut dalam pikiran tersebut. Namun ia berusaha tetap memandangnya dengan kesadaran penuh sebagai sesuatu yang muncul dan lenyap karena ada sebab dan akibat di dalamnya. Petapa Gotama terus menyelami semua gejolak ini. Petapa Gotama pun memberantas sikap-sikap tidak baik yang merintangi Pembebasan, yaitu:
o Kerinduan terhadap duniawi (Kamachanda-Nivarana)
o Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
o Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca-Nivarana)
o Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)
Ketika Petapa Gotama berhasil menyingkirkan kelima rintangan ini, maka timbullah kegembiraan. Karena gembira maka timbullah kegiuran (piti). Karena batin tergiur, maka seluruh tubuh terasa nyaman, kemudian Petapa Gotama merasa bahagia. Karena bahagia maka pikirannya menjadi terpusat.
Lalu setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka Petapa Gotama masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai vitakka (pengarah pikiran pada objek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada objek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “kebebasan”.
Setelah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, Petapa Gotama memasuki dan berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “konsentrasi”. Petapa Gotama telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, lalu berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan kewaspadaan yang jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh Para Arya sebagai “kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni”.
Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana keempat; yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi). Demikian Petapa Gotama bermeditasi di sana, memenuhi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana).
Maka Petapa Gotama pun mengerti: “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian; tidak memuaskan; dan karena sifatnya tidak kekal dan tidak memuaskan; maka tidak layak disebut sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang berkaitan dengannya. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh ciptaan-batin” (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (kesaktiaan – yang dilandasi oleh kemampuan batin).
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussatinana (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Petapa Gotama melihat dengan terang tentang semua kelahiran-kelahirannya terdahulu, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. Kejadian ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara pukul 18.00-22.00.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana) sesuai dengan tumpukan kamma mereka masing-masing. Dan dengan kemampuan dibbacakkhunana (Mata Dewa) yang jernih, melebihi mata manusia, Petapa Gotama melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul dan terlahir sesuai dengan perbuatan-perbuatannya. Kejadian ini terjadi pada waktu jaga kedua pada pukul 22.00-02.00.
Pada waktu jaga ketiga yaitu antara pukul 02.00-04.00, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asavakkhayanana)… Petapa Gotama mengetahui sebagaimana adanya “Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya penderitaan”. Dengan mengetahui dan melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia pun mengetahui: “Berakhirlah kelahiran kembali, terjalanilah kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan setelah ini”.
Tidak ada unsur yang melekat lagi di batinnya. Petapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana. Dan dengan disaksikan oleh Bumi, Petapa Gotama pun akhirnya sukses menjadi Buddha (Yang Tercerahkan). Dengan usaha sendiri hingga akhirnya sukses mencapai Pencerahan Sempurna, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain guna mencapai Pencerahan, maka Petapa Gotama pun disebut sebagai Sammasambuddha Gotama. Dengan wajah berseri dan batin yang sangat damai, Petapa Gotama kemudian mengeluarkan pekik kemenangan:
“Anekajati samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! Dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam vismakhitam
Vismakharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga”.
Yang artinya:
“Dengan letih Aku mencari “pembuat rumah” ini
Berlari-berputar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada akhir
Pembuat rumah! Sekarang telah Ku-ketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Ku-robohkan
Semua fondasimu telah Ku-bongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan terbebas
Dan berakhirlah semua nafsu keinginan”.
Kemudian secara tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi. Sebuah gempa bumi dashyat yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Para Dewa dari berbagai alam datang dan bersuka-ria atas keberhasilan Petapa Gotama menjadi Buddha. Demikianlah Pengeran Siddhattha akhirnya berhasil menjadi Buddha pada usia 35 tahun di Bulan Vaisak pada tahun 588 SM.
Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Sammasambuddha.
Kemudian Sang Buddha merenungkan apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebelum mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau memang berkehendak untuk membagikan “obat suci” itu kepada semua makhluk di dunia. Namun Sang Buddha masih menimbang-nimbang perihal ini. sebab Dhamma itu sangat dalam dan sulit dimengerti, sehingga bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keliru ataupun menjadi satu pembabaran yang tidak dapat diterima oleh dunia.
Kemudian Sang Buddha melihat ke kolam bunga teratai yang berada di dekat-Nya. Bunga teratai itu tumbuh di kolam yang kotor, namun ia sama sekali tidak terjerat ke dalam kolam itu. Memang ada bunga teratai yang masih berada di dasar kolam, ada juga yang masih berada di permukaan air kolam, namun ada juga yang menjulang tinggi di atas permukaan air kolam. Begitu juga pada batin semua makhluk di dunia ini. Ada yang masih tenggelam di kekotoran duniawi, ada juga yang dapat melihat cahaya terang di atas permukaan kolam keduniawian, namun ada yang mampu lepas sama sekali dari semua kekotoran duniawi.
Atas dasar inilah maka Sang Buddha memutuskan untuk membabarkan Ajaran-Nya kepada khalayak ramai, dan dengan bertekad bahwa Beliau baru akan Parinibbana (mangkat) setelah Ajaran-Nya diterima dan disukai khalayak ramai. Sang Buddha juga tidak ingin melakukan hal ekstrem dalam rencana pembabaran Ajaran-Nya. Beliau tidak ingin memaksa semua orang mendengarkan Dhamma. Beliau hanya akan mencari orang-orang yang memang mampu untuk mendengar, melihat dan mempraktikkan Dhamma. Hanya orang yang memiliki sedikit debu di matanya yang bisa melihat Dhamma.
Ada enam belas langkah pengetahuan kebijaksanaan dalam mencapai pencerahan. Apakah enam belas pengetahuan kebijaksanaan ini?
Mereka adalah:
1. Pengetahuan Menganalisa Batin dan Materi
2. Pengetahuan Mengetahui Sebab dan Akibat
3. Pengetahuan tentang Pemahamam
4. Pengetahuan tentang Timbul dan Padam
5. Pengetahuan tentang Disolusi
6. Pengetahuan tentang Ketakutan
7. Pengetahuan tentang Ketidaksempurnaan
8. Pengetahuan tentang Kekecewaan
9. Pengetahuan tentang Keinginan untuk Pembebasan
10. Pengetahuan tentang Perenungan
11. Pengetahuan tentang Keseimbangan terhadap Bentuk Bentuk Batin
12. Pengetahuan tentang Kesesuaian
13. Pengetahuan tentang Perubahan ke Kesucian
14. Pengetahuan tentang Jalan
15. Pengetahuan tentang Buah
16. Pengethuan tentang Peninjauan
Mari kita liat, bagaimana petapa Gotama setelah mencapai pencerahan dan kemudian dipanggil Buddha. Ini mau menunjukkan Buddha bukanlah Tuhan. Tapi seperti kita manusia biasa lewat perjuangannya mencapai pencerahan.
Ketika Sujata datang untuk mempersembahkan Siddharta makanan pada siang itu, ia melihat Beliau sedang duduk di bawah pohon pippala, seindah pagi hari yang cerah. Wajah dan tubuhNya memancarkan kedamaian, kegembiraan, dan kesetaraan batin. Dia telah melihatNya duduk dengan penuh khidmat dan keagungan di bawah pohon pippala itu untuk ratusan kalinya, namun hari ini, tampak ada sesuatu yang berbeda denganNya. Memandangi Siddharta, Sujata merasa seluruh kesedihan dan kecemasannya sirna. Rasa bahagia bak semilir angin musim semi memenuhi hatinya. Dia merasa tak ada lagi yang diinginkan dan dibutuhkan Bumi ini, merasa bahwa segala sesuatu dialam semesta ini sudah baik dan bermanfaat, dan merasa tak seorang pun yang perlu merasa cemas atau putus asa lagi. Sujata maju beberapa langkah lagi ke depan dan menaruh persembahan makanan di hadapan Siddharta. Dia membungkuk hormat di hadapan Beliau. Dia merasakan kedamaian dan kegembiraan yang berada didalam diri Siddaharta masuk kedalam dirinya.
Siddharta tersenyum kepadanya dan berkata, “kemarilah, dududklah bersamaku. Aku menghaturkan rasa terima kasihku kepadamu yang telah membawakanku makanan dan air selama beberapa bulan terakhir ini. Hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupku karena semalam aku telah menemukan Jalan Agung. Nikmatilah kebahagiaan ini juga. Dalam waktu dekat, aku akan mengajarkan jalan ini kepada orang-orang lainnya”.
Dengan terkejut Sujata menengadah ke atas. “Guru akan pergi? Maksud Guru, Guru akan pergi meninggalkan kami?”
Sujata tak merasa begitu yakin. Dia ingin menanyakan Beliau lebih lanjut lagi, tapi Beliau telah mendahului berkata, “Aku akan tingggal dengan kalian anak-anak untuk beberapa hari lagi agar dapat berbagi apa yang telah kupelajari dengan kalian. Hanya setelah itu aku akan kembali melanjutkan perjalanan. Tapi ini tidak berarti aku akan selamanya berpisah dengan kalian. Dari waktu ke waktu, aku akan kembali untuk mengunjungi kalian.
Sujata merasa terhibur. Dia lalu duduk dan membuka daun pisang untuk menampakkan nasi persembahan. Dengan hening dia duduk di sisi Siddharta sambil makan. Dia melihat Beliau mengambil sejumput nasi dan mencelupkannya kedalam kacang wijen yang ditaburi garam. Hatinya dipenuhi rasa gembira yang tak dapat diungkapkan.
Ketika selesai makan, Siddharta meminta Sujata untuk kembali ke rumah. Beliau ingin bertemu dengan anak-anak desa nanti siang di hutan. Banyak anak yang hadir, termasuk semua adik Svasti. Semua anak laki-laki telah mandi dan mengenakan Sari Sujata berwarna gading, Nandabala memakai sari berwarna tunas pohon pisang, dan warna sarinya Bhima adalah merah muda. Anak-anak yang terlihat begitu segar dan beraneka warna itu duduk mengelilingi Siddharta di bawah pohon pippala.
Sujata membawa sekeranjang kelapa dan potongan-potongan kecil gula aren sebagai makanan kecil special. Anak-anak mengerok isi kelapa yang lezat dan memakannya dengan gula yang enak itu. Nandabala dan Subashi membawa sekeranjang jeruk kepruk. Siddharta duduk bersama anak-anak, lengkap sudah kebahagianNya. Rupak mempersembahkan Beliau sepotong daging kelapa dengan sepotong gula aren yng ditaruh di atas daun pippala. Nandabala mempersembahkanNya sebutir jeruk kepruk. Siddharta menerima persembahan mereka dan memakannya bersama anak-anak.
Mereka masih menikmati makan siang mereka tatkala Sujata membuat pengumuman. “Sahabat-sahabatku yang terkasih, hari ini adalah hari paling bahagia yang pernah diketahui Guru kita. Beliau telah menemukan Jalan Agung. Aku juga merasakan bahwa hari ini penting bagiku. Saudara-saudara sekalian, mari kita merayakan Pencerahan Guru kita. Bhante (Guru yang mulia), Jalan Agung telah ditemukan. Kita tahu bahwa Bhante tak dapat tinggal bersama kita untuk selamanya. Mohon ajarkanlah kami hal-hal yang Bhante rasa bisa kami pahami”.
Sujata beranjali dan membungkuk hormat kepada Gotama untuk mengekspresikan rasa hormat dan baktinya. Nandabala dan anak-anak lainnya juga beranjali dan membungkuk hormat dengan ketulusan yang paling mendalam.
Siddharta dengan hening mengisyaratkan anak-anak untuk duduk kembali dan Beliau pun berkata, “Kalian semua anak-anak yang cerdas dan aku yakin kalian akan mampu memahami dan melatih hal-hal yang akan ku bagikan dengan kalian. Walaupun Jalan Agung yang telah kutemukan adalah sedemikian dalam dan halusnya, namun, siapa saja yang mau mencurahkan hati dan pikirannya akan mampu memahami dan mengikutinya.
“Ketika kalian mengupas jeruk kepruk ini, kalian dapat memakannya secara penuh kesadaran atau tanpa berkesadaran. Apa yang dimaksudkan dengan memakan jeruk kepruk secara penuh perhatian? Ketika kalian sedang memakan jeruk kepruk. Kalian sepenuhnya mengalami rasa wanginya yang menyegarkan serta rasanya yang manis. Ketika kalian mengupas jeruk kepruk ini; kalian tahu bahwa kalian sedang mengupas jeruk kepruk ini; ketika kalian mengambil sepotong dan memasukkannya ke dalam mulut kalian; kalian tahu bahwa kalian sedang mengambil sepotong dan memasukkannya kedalam mulut kalian; ketika kalian mengalami rasa wangi yang menyegarkan dan rasa manisnya jeruk kepruk ini, kalian sadar bahwa kalian sedang mengalami rasa wangi menyegarkan dan rasa manisnya jeruk keruk ini. jeruk kepruk yang dipersembahkan oleh Nandabala untukku ini terdiri dari sembilan bagian. Aku memakan setiap bagiannya dengan penuh perhatian dan melihat betapa berharga dan menakjubkannya proses ini. Aku tidak melupakan jeruk kepruk ini, sehingga jeruk kepruk ini menjadi sesuatu yang nyata bagiku. Jika jeruk kepruk ini adalah nyata, maka, orang yang memakannya pun juga nyata. Itulah yang dimaksudkan dengan memakan secara penuh perhatian”.
“Anak-anak, apa yang dimaksudkan dengan memakan jeruk kepruk tanpa berkesadaran? Ketika kalian memakan jeruk kepruk ini, Kalian tidak tahu bahwa kalian sedang memakannya. Kalian tidak mengalami rasa wanginya yang menyegarkan; ketika kalian mengambil sepotong dan memasukkannya ke dalam mulut, kalian tidak tahu bahwa kalian sedang mengambil sepotong dan memasukkaannya ke dalam mulut kalian; ketika kalian mencium wangi jeruk atau mengecap rasa jeruk kepruk ini, kalian tidak tahu bahwa kalian sedang mencium dan mengecap jeruk kepruk ini. Memakan jeruk kepruk dengan cara seperti ini, kalian tak akan dapat menghargai keberhargaan dan sifat dasarnya yang menakjubkan. Jika kalian tidak menyadari bahwa kalian sedang makan jeruk kepruk, jeruk kepruk itu tidaklah nyata, orang yang sedang memakannya juga tidak nyata. Anak-anak, inilah yang dimaksudkan dengan memakan jeruk kepruk tanpa perhatian”.
“Anak-anak, memakan jeruk kepruk dengan penuh kesadaran mengartikan bahwa ketika sedang makan, kalian benar-benar bersentuhan dengannya. Pikiran kalian tidak sedang mengejar pemikiran-pemikiran tentang masa lampau atau masa yang akan datang, melainkan sepenuhnya berada di momen sekarang ini juga. Jeruk Kepruk ini benar-benar hadir disini. Hidup di dalam kesadaran yang dipenuhi dengan kewaspadaan maknanya adalah hidup di momen sekarang juga, tubuh dan pikiran kalian berada disini dan sekarang ini juga”.
“Seseorang yang melatih kesadaran dapat melihat hal-hal yang selalu ada di dalam jeruk kepruk ini namun tak mampu dilihat oleh orang-orang lainnya. Seseorang yang penuh kesadaran dapat melihat adanya pohon jeruk kepruk, jeruk kepruk yang sedang berkembang di musim semi, sinar mentari dan hujan yang menumbuhkan jeruk kepruk ini. Melihat secara lebih mendalam lagi, seseorang dapat melihat adanya puluhan ribu faktor yang telah memungkinkan adanya jeruk kepruk ini, seseorang yang melatih kesadarannya dapat melihat segenap keajaiban alam semesta dan bagaimana segala sesuatu saling berinteraksi satu dengan lainnya. Anak-anak, kehidupan kita sehari-hari juga sama seperti sebuah jeruk kepruk. Seperti sebuah jeruk kepruk yang terdiri dari beberapa bagian, setiap hari terdiri dari dua puluh empat jam. satu jam adalah seperti satu bagian dari jeruk kepruk. Menghidupi dua puluh empat jam dalam sehari seperti memakan semua bagian jeruk kepruk. Jalan yang telah kutemukan adalah jalan menghidupi setiap jam dalam sehari secara penuh pengertian, pikiran dan tubuh selalu berada di momen sekarang ini juga”.
Yang menjadi kebalikkannya adalah hidup dalam ke alpaan (lalai dalam kewajiban). Jika kita hidup dalam kealpaan, kita tak tahu bahwa kita sedang hidup. Kita tidak sepenuhnya menjalani kehidupan karena pikiran dan tubuh kita tidak berada disini dan sekarang ini juga.
Petapa Gotama menatap Sujata dan memanggil namanya.
“Ya Bhante? Sujata tanya sambil beranjali”.
“Menurutmu seseorang yang hidup di dalam kewaspadaan akan membuat sedikit atau banyak kesalahan?”
“Bhante, seseorang yang hidup dalam kewaspadaan akan membuat sedikit kesalahan. Ibu selalu menasehati saya bahwa seorang anak perempuan seharusnya memperhatikan bagaimana ia berjalan, berdiri, berbicara, tertawa, dan bekerja untuk menghindari pemikiran, ucapan, dan perbuatan yang dapat menimbulkan kesedihan baik kepada dirinya sendiri ataupun orang-orang lainnya”.
“Anak-anak, hidup dalam kewaspadaan berarti hidup di momen yang sekarang ini juga. Kita menyadari apa yang sedang terjadi didalam diri dan sekitarnya. Kita berkontak langsung dengan kehidupan. Jika kita terus hidup dengan cara yang demikian, kita akan mampu memahami diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita secara mendalam. Pengertian membawa pada toleransi cinta kasih. Ketika semua makhluk memahami satu sama lainnya, Mereka akan menerima dan saling mencintai satu dengan lainnya. Lalu tak akan ada banyak penderitaan di dunia ini. Bagaimana pendapatmu, Svasti Dapatkah orang-orang mencintai jika mereka tidak mampu memahami?”
“Bhante, tanpa adanya pengertian, mencintai adalah satu hal yang paling sulit untuk dilakukan. Ini mengingatkan saya tentang sesuatu yang pernah terjadi kepada adik saya, Bhima. Suatu malam, dia terus-menerus menangis hingga adik perempuan saya yang lainnya, Bala hilang kesabarannya dan memukuli pantat Bhima. Pemukulan itu hanya membuat Bhima makin menangis saja. Saya mengangkat Bhima dan merasakan bahwa ia sedang demam. Saya yakin ia sakit kepala karena demam tersebut. Lalu saya memanggil Bala dan meminta meletakkan pungung tangannya ke dahi Bhima. Ketika melakukannya, dia menjadi paham seketika mengapa Bhima menangis. Sorotan matanya melembut, lalu dia menggendong Bhima dan dengan penuh kasih bersenandung untuknya. Bhima berhenti menangis meskipun ia sedang demam. Bhante, saya pikir itu terjadi karena Bala mengerti mengapa Bhima menangis. jadi, saya pikir, tanpa pengertian, tak mungkin akan ada cinta”.
“Demikianlah, Svasti! Cinta hadir ketika ada pengertian, dan hanya dengan adanya cinta, baru ada penerimaan. Berlatihlah hidup dalam kewaspadaan, anak-anak dan kalian akan memperoleh pengertian semakin dalam. Kalian mampu memahami diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu, dan kalian akan memiliki hati yang dipenuhi dengan cinta kasih. Itulah jalan menakjubkan yang telah kutemukan”.
Svasti beranjali. “Bhante, bolehkah kita menamakan jalan ini sebagai jalan kewaspadaan?”
Siddharta tersenyum,”Boleh. Kita dapat menamakannya sebagai Jalan Kewaspadaan. Aku sangat menyukainya. Jalan Kewaspadaan membawa pada Pencerahan Sempurna.
Sujata beranjali untuk memohon izin berbicara. “Bhante adalah seseorang yang telah sadar sepenuhnya, seseorang yang menunjukkan cara untuk hidup secara penuh kesadaran. Dapatkah kami memanggil Bhante sebagai ” Yang telah sadar sepenuhnya?”
Siddharta mengganguk. ” Itu sangat menyenangkanku”.
Mata Sujata berbinar-binar. kemudian dia melanjutkan, ‘telah sadar sepenuhnya’ dalam bahasa Magadhi dilafalkan ‘Bud’. Seorang yang telah bangkit disebut ‘Buddha’ dalam bahasa Magadhi. kami dapat memanggil Bhante sebagai ‘Buddha’.
Buddha Gotama mengangguk. Semua anak-anak itu merasa sangat gembira. Nakala yang berusia empat belas tahun, anak laki-laki yang tertua dalam kelompok itu, berkata. “Buddha yang mulia, kami bahagia sekali dapat menerima ajaran Bhante tentang Jalan Kewaspadaan. Sujata telah memberitahu saya bahwa Bhante telah bersemedi di bawah pohon pippala ini selama enam bulan terakhir ini dan bahwa Bhante baru saja mencapai Pencerahan Agung. Buddha yang mulia, pohon pippala ini adalah pohon terindah di seluruh penjuru hutan. Dapatkah kami menamakannya sebagai ‘Pohon Pencerahan,’ ‘pohon Bodhi’? kata ‘Bodhi’ memiliki akar kata yang sama dengan kata ‘Buddha’ dan juga bermakna sadar sepenuhnya”.
Buddha Gotama menganggukkan kepalaNya. Beliau sangatlah senang. Beliau tak mengira bahwa selama pertemuan kali ini dengan anak-anak, sang Jalan, Dirinya, bahkan pohon agung itu, masing-masing mendapatkan nama khususnya. Nandabala beranjali. “Sekarang semakin sore, kami harus segera pulang ke rumah masing-masing, tapi kami akan datang kembali untuk menerima lebih banyak lagi ajaran dari Bhante secepatnya”. Anak-anak itu pun bangkit berdiri semua dan menyatukan kedua telapak tangan membentuk kuncup bunga teratai untuk menghanturkan rasa terimakasih kepada Buddha. Mereka berjalan pulang sambil bercanda ria bagaikan sekawanan burung bahagia. Buddha juga merasa bahagia. Beliau memutuskan untuk berdiam di hutan itu lebih lama lagi agar dapat menjelajahi cara-cara terbaik untuk untuk menaburkan benih kesadaran sepenuhnya dan mengiznkan dirinya sendiri suatu waktu yang khusus untuk menikmati kedamaian dan kegembiraan besar yang telah dihasilkan dari pencapaian jalan itu.
Mari kita liat juga dialog atau percakapan antara Buddha dengan petapa Dighanakha tentang ajaran Buddha:
Suatu siang Sariputra dan Moggallana membawa seorang sahabat. Petapa Dighanakha, datang menemui Budha. Dighanakha sama termasyurnya dengan Sanjaya. dia juga merupakan paman Sariputra. Ketika dia mengetahui keponakannya telah menjadi murid Buddha, ia menjadi ingin tahu ajaran Buddha. Sewaktu dia meminta Sariputra dan Monggallana untuk menjelaskan ajaran kepadanya, mereka menyarankannya untuk langsung bertemu dengan Buddha saja.
Dighanakha bertanya kepada Buddha, “Gotama, apakah ajaranmu? Apa saja dokrinmu? Kalau aku sendiri, aku tidak menyukai semua dokrin dan teori. Aku tidak memercayai semuanya itu”.
Buddha tersenyum dan bertanya balik, ‘apakah engkau menganut dokrinmu sendiri yaitu doktrin yang tidak mengikuti dokrin apa pun? Apakah engkau meyakini dokrinmu sendiri yaitu doktrin tidak mempercayai?’
Agak terperanjat, Dighanakha menjawab, “Gotama, apakah aku meyakini atau tidak menyakini itu tidaklah penting?”
Dengan lemah lembut Buddha berkata, “Sewaktu seorang terjerat kepercayaan terhadap suatu dokrin, ia telah kehilangan kebebasannya. Manakala seseorang menjadi dogmatik, ia menyakini dokrin miliknya merupakan satu satunya kebenaran sedangkan semua dokrin lainnya adalah kesesatan. Berbagai sengketa dan konflik, semuanya itu timbul dari pandangan-pandangan yang sempit. Berbagai sengketa dan konflik akan berkembang tanpa akhir, menyia-nyiakan waktu yang berharga dan kadang bahkan mengakibatkan peperangan. Kemelekatan pada berbagai pandangan merupakan hambatan terbesar di jalur spiritual. terikat pada pandangan-pandangan sempit, seseorang menjadi sedemikian kusutnya sehingga tak mungkin lagi mengizinkan terbukanya pintu kebenaran”.
“Marilah ku ceritakan sebuah kisah mengenai seorang duda muda yang hidup bersama putranya yang berusia lima tahun. Dia menyayangi putranya melebihi jiwanya sendiri. Suatu hari dia pergi berniaga, takala dia pergi, datanglah segerombolan perampok yang merampas dan membumihanguskan seluruh desa. Mereka menyandra putranya. Tatkala pria itu kembali kerumah, ia menemukan jenasah anak kecil hangus terbakar terbujur disamping rumahnya. Dia mengira jenasah itu adalah putranya sendiri. Dia menjerit tangis dalam duka lalu mengkremasi sisa jenasah itu. Karena teramat sangat mengasihi putranya, maka ia pun menyimpan abu jenasahnya ke dalam sebuah kantong yang selalu dibawanya serta kemana pun dia pergi. Beberapa bulan kemudian, putranya berhasil melarikan diri dari tawanan para perampok dan kembali ke rumah. Dia tiba ditengah malam lalu mengetuk-ngetuk pintu rumah. Pada momen itu, sang ayah sedang memeluk erat kantong abu sambil menagis tersedu-sedu. Dia menolak membukakan pintu rumah meskipun anak itu telah meneriakkan bahwa dirinya adalah putranya. Dia menyakini putranya telah mati dan anak yang sedang menggedor-gedor pintu itu adalah anak tetangga sekitar yang sedang mengejek kesedihannya. Akhirnya putranya tak ada pilihan lain kecuali pergi sendiri. Dengan demikian ayah dan anak itu tidak pernah bertemu lagi”.
“Lihatlah sahabatku, jika kita melekat pada sesuatu kepercayaan dan mengaggapnya sebagai kebenaran yang mutlak, suatu hari kita akan jatuh ke dalam situasi yang serupa dengan duda muda tersebut. Berpikir bahwa kita telah memiliki kebenaran, kita tak mampu lagi membuka pikiran kita untuk menerima kebenaran, bahkan di kala kebenaran sedang menggedor gedor pintu kita”.
Dighanakha bertanya, “Tapi, bagaimana dengan ajaranmu sendiri? jika seseorang mengikuti ajaranmu akankah ia terjerat ke dalam pandangan-pandangan sempit?”
“Ajaranku bukanlah suatu dokrin atau filsofi. Ajaranku bukanlah hasil pemikiran diskrursif ataupun rekayasa mental seperti berbagai filosofi yang telah merasa puas bahwa esensi fundamental alam semesta adalah api, air, tanah ataupun roh, atau bahwa alam semesta tidaklah terbatas atau tanpa batas, bersifat sementara ataupun kekal. Rekayasa mental dan pemikiran diskursif mengenai kebenaran bagaikan semut semut yang berjalan mengelilingi bibir mangkuk-mereka tak akan pernah sampai kemana-mana. Ajaranku bukanlah suatu filosofi. Ajaranku merupakan hasil pengalaman langsung. Hal-hal yang kukemukakan berasal dari pengalamanku sendiri. Engkau dapat menginformasikan semuanya melalui pengalaman langsungmu sendiri. Aku mengajarkan bahwa segala sesuatu tidaklah kekal dan tanpa diri yang terpisah. Ini telah kupelajari dari pengalaman langsungku sendiri. Engkau juga bisa. Aku mengajarkan bahwa segala sesuatu tergantung pada sesuatu lainnya untuk muncul, berkembang, lalu menghilang. Tak ada sesuatu lainnya untuk muncul, berkembang, lalu menghilang. Tak ada sesuatu pun yang diciptakan dari satu sumber tunggal dan orisinil. Secara pribadi aku telah mengalami kebenaran ini dan engkau pun juga bisa. Tujuanku bukanlah untuk menjelaskan alam semesta melainkan memandu orang-orang lain untuk mendapatkan pengalaman langsung akan realita. Kata-kata tak mampu melukiskan realita. Hanya pengalaman langsung yang memungkinkan kita untuk melihat wajah sejati realita”.
Dighanakha berseru, “Menakjubkan, sungguh menakjubkan, Gotama! Tapi, bagaimana jika seorang menangkap ajaranmu sebagai suatu dogma?”
Buddha terdiam sejenak lalu menganguk-angguk kepala. “Dighanakha, ini sungguh suatu pertanyaan yang sangat baik. Ajaranku bukanlah suatu dogma ataupun dokrin, namun, tak diragukan lagi akan ada orang yang menangkapnya demikian. Aku harus menegaskan secara jelas bahwa ajaranku adalah suatu metode untuk menyelami realita bukan realita itu sendiri, seperti jari yang sedang menunjuk ke rembulan, jari bukanlah rembulan. Seseorang yang cerdas menggunakan jari telunjuknya untuk melihat rembulan. Seseorang yang hanya melihat jari telunjuk dan mengiranya sebagai rembulan tak akan pernah melihat rembulan yang sebenarnya. Ajaranku adalah cara-cara untuk berlatih, bukan sesuatu untuk dipegangi erat-erat atau disembah-sembah. Ajaranku bagaikan sebuah rakit untuk menyebrangi sungai. Hanya orang bodoh yang akan memanggul rakit setelah ia berhasil tiba di tepi sebrang, pantai pembebasan.
Dighanakha beranjali. “Mohon Buddha yang mulia, tunjukkanlah aku cara untuk membebaskan diri dari perasaan-perasaan yang menyakitkan”.
Buddha berkata,”Ada tiga jenis perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Ketiganya ini berakar pada persepsi-persepsi pikiran dan tubuh. Berbagai perasaan muncul dan tenggelam seperti fenomenamental atau material lainnya. Aku mengajarkan metode untuk melihat secara mendalam agar dapat menerangi sifat dasar dan sumber dari perasaan-perasaan, apakah perasaan-perasaan itu menyenangkan, tidak menyenangkan, ataupun netral. Tatkala engkau dapat melihat sumber perasaan-perasaan tidaklah kekal dan secara bertahap engkau tak akan terganggu lagi oleh kemunculan dan kepergiannya. Hampir semua perasaan yang menyakitkan bersumber pada cara keliru dalam menatap realita. Ketika engkau mencabut akar-akar pandangan-pandangan keliru, penderitaan pun terhenti. Pandangan-pandangan keliru menyebabkan manusia menggangap yang tidak kekal sebagai kekal. Ketidaktahuan batin adalah sumber dari semua penderitaan. Kami melatih jalan menumbuh kembangkan kesadaran untuk dapat mengatasi ketidaktahuan batin. seseorang harus melihat segala sesuatu secara mendalam agar dapat menembus sifat dasar sejati mereka. Seseorang tak akan dapat mengatasi ketidaktahuan batin melalui berbagai jenis doa dan persembahan.
Sariputra, Moggallana, Kaludayi, Nagasamala, dan Channa semuanya mendengarkan Buddha menjelaskan hal-hal itu kepada Dighanakha. Sariputra adalah yang menangkap paling dalam makna kata-kata Buddha. Dia merasa pikirannya bersinar bagaikan sinar mentari yang terang benderang. Tak mampu menyembunyikan rasa girangnya, dia beranjali dan bernamaskara di hadapan Buddha. Moggallana juga bernamaskara. Lalu Dighanakha yang tersentuh dan terkesan secara sangat mendalam oleh semua uraian Beliau juga bernamaskara di hadapan Buddha. Kaludayi dan Channa tersentuh secara sangat mendalam oleh pemandangan itu. Mereka merasa syukur karena memiliki hubungan erat dengan Buddha dan keyakinan serta rasa percaya mereka terhadap Jalan Beliau semakin diteguhkan.
Dapat Menjawab Hampir Semua Permasalahan Hidup
(Point ke 3 yang menyebabkan saya pindah ke ajaran Buddha)
Hampir semua pertanyaan sulit yang saya sebutkan di atas, yang gagal dijawab secara memuaskan dengan memakai pemikiran secara analitis dan akal sehat, dapat dijawab dengan ajaran Buddha. Sehingga ajaran Buddha tidaklah perlu dogma untuk mempertahankan ajarannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
1. Kalau Tuhan itu Maha Adil, kenapa ada yang dilahirkan dalam keluarga kaya, tapi ada yang dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin? Malahan saya sering melihat banyak dilahirkan cacat dalam keluarga yang miskin daripada di keluarga yang kaya. Kenapa ada yang dilahirkan cantik, tampan, pintar dan ada yang dilahirkan jelek, bodoh, dan lain lain.
2. Kalau Tuhan itu Maha Pengasih dan Murah Hati kenapa ada yang doanya dikabulkan dan ada yang tidak? Kenapa ada yang dibiarkan menderita, ada yang tidak?
3. Kalau Tuhan itu yang menciptakn segala sesuatu, kenapa harus menciptakan ada yang baik dan ada yang jahat, kenapa harus ada bencana alam, dan lain lain.
4. Kalau Tuhan menciptakan segala sesuatu secara seketika, kenapa ilmu pengetahuan tidak sejalan dengan hal itu di mana segala sesuatu terjadi secara bertahap.
5. Kalau hidup itu cuma sekali saja, habis itu akan di adilin Tuhan untuk masuk surga atau neraka? Apakah itu adil?. Berarti yang masuk neraka selamanya akan menderita dan yang masuk surga selamanya akan hidup bahagia. Terus bagaimana bagi mereka yang mati di dalam kandungan, yang meninggal dalam usia 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun yang masih belum tau apa apa. Akan masuk kemana setelah mereka meninggal?
6. Kalau segala sesuatu terjadi setahu dan seijin Tuhan, kenapa Tuhan membiarkan bencana alam yang begitu dahsyat seperti tsunami, dan lain lain yang merenggut begitu banyak jiwa manusia baik yang jahat maupun yang baik.
7. Malah dalam hati timbul pertanyaan yang lebih kritis lagi. Apakah Tuhan yang menciptakan manusia? Atau malah sebaliknya, manusialah yang menciptakan sosok imaginer Tuhan sebagai bentuk untuk menutupi kelemahan manusia akan rasa takut manusia menghadapi masa depannya yang penuh ketidakpastiaan? Kalau agama itu diwahyukan dari Tuhan, kenapa harus begitu banyak agama? Kenapa malah agama menjadi salah satu sumber timbulnya kebenciaan, peperangan antar sesama manusia? Dan masih banyak pertanyaaan lain yang sulit dijawab. Kecuali dengan menjawab bahwa itu semua adalah misteri Tuhan. Kita cukup percaya aja. Untuk itu kita perlu Imam yaitu percaya 100% tanpa mempertanyakan walaupun secara logika sulit dimengerti.
Kenapa pertanyaan pertanyaan tersebut sulit dijawab oleh ajaran agama lain?
Karena semua agama lain menganut konsep adanya Sesosok Adi Kuasa yaitu Tuhan yang menciptakan semua ini. Karena menurut saya, sosok Tuhan itu adalah imaginer ciptaan manusia. Maka Ia menjadi tidak sempurna di dalam menerangkan semua pertanyaan di atas. Yang mana Tuhan di konsepkan sebagai yang Maha Sempurna tetapi ternyata tidak dapat secara sempurna untuk menuntaskan semua jawaban pertanyaan di atas. Sehingga menjadi kontradiktif. Untuk menjembatani masalah ini maka dibuatlah dogma agar tidak perlu dipertanyakan lagi.
Kalau begitu apakah ajaran Buddha mengenal adanya Tuhan? Apakah ajaran Buddha menyembah berhala dengan adanya patung patung buatan manusia?
Apakah Buddha itu seperti Tuhan?
Jelas Buddha itu bukanlah Tuhan, seperti udah saya terangkan di atas.
Kalau ajaran Buddha tidak mengenal adanya Sesosok Adi Kuasa seperti Tuhan seperti agama lain. Lalu bagaimana ajaran Buddha menjelaskan tentang terjadinya alam semesta beserta isi dan semua permasalahan yang ada?
Dalam ajaran Buddha tidak mengenal Tuhan sebagai sesosok Maha Kuasa yang menciptakan segala sesuatu, yang mengatur segala sesuatu, yang menjawab doa setiap orang, yang menghukum orang yang jahat dan memberikan reward pada orang yang baik. Kalau begitu betapa sibuknya Tuhan.
Dikatakan Tuhan itu Maha Adil. Kenapa ada yang dilahirkan kaya, ada yang dilahirkan miskin, cacat, dan lain lain. Ada yang doanya dijawab Tuhan, ada yang tidak?
Dengan memakai konsep Tuhan seperti itu di atas, akan sangat sulit untuk menjelaskan pertanyaan di atas.
Jadi apakah ajaran Buddha mengenal adanya Tuhan?
Jelas ada. Tapi konsep Tuhan menurut ajaran Buddha berbeda dengan konsep Tuhan agama lain.
Lalu bagaimana konsep Tuhan menurut ajaran Buddha?
Pertama kita mulai dengan definisi apa yang dimaksud dengan kata “Tuhan”
Kita sepakat dulu bahwa Tuhan itu adalah Yang menciptakan segala sesuatu, Yang mengatur segala sesuatu, Yang Maha Adil, Yang menghukum orang yang jahat, Yang memberi reward kepada orang yang berbuat baik, yang menjawab doa kita dan seterusnya……..
Ajaran Buddha juga setuju dengan semua definisi di atas. Tidak berbeda. Cuma ia bukanlah Sesososk Maha Kuasa.
Kalau gitu apa itu?
Tuhan sesuai dengan definisi di atas menurut ajaran Buddha adalah “HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN”
Melalui HUKUM ini, kita dapat menjelaskan kenapa alam semesta terjadi secara pelahan-lahan, teori evolusi, teori terbentuknya manusia dan lain lain. Semua sesuai dengan yang dibuktikan ilmuwan sekarang. HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN juga dapat menjelaskan kenapa ada lahir cacat, ada yang lahir di keluarga kaya, ada yang lahir di keluarga miskin, ada yang ganteng/cantik, ada yang jelek, dan lain lain. Semuanya adil sesuai dengan HUKUM INI.
Ia yang Maha Mengetahui, Ia ada di mana mana. Itu juga sesuai dengan HUKUM SEBAB AKIBAT SALING BERTERGANTUNGAN. Sebab HUKUM ini juga ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat yang tanpa kehadiranNya. Ia ada di dalam setiap sel kita, di dalam setiap atom segala sesuatu, ia juga ada di dalam pikiran kita, dalam perasaan kita. Tak satupun tempat yang luput dari keterlibatan HUKUM ini.
Ia Maha Kuasa, Ia mengatur segalanya, sampai sehelai daunpun jatuh tak luput diatur olehNya. Itu juga sesuai dengan HUKUM ini yang mengatur semuanya.
Kalau tidak ada Tuhan sebagai Sesosok yang menciptakan segala sesuatu. Bagaimana menerangkan tentang awal alam semesta ini? Apakah ada Awal?
Menurut agama lain, tidak ada awal. SebabTuhan itu adalah Awalnya. Ia tidak diciptakan. Ia sudah ada dengan sendirinya.
Sama juga dengan ajaran Buddha. Tidak ada Awal. Sebab HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN itu adalah Awalnya.
HUKUM ini tidak diciptakan.Ia sudah ada dengan sendirinya.
Dari HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN inilah kemudian diturunkan hukum karma, hukum fisika, hukum kimia, hukum alam dan hukum-hukum lainnya sesuai dengan yang telah dibuktikan ilmuwan.
Itulah ajaran Buddha. Buddha menjelaskan bahwa ajaran Buddha itu bukanlah dogma atau teori. Ajaran Buddha menjelaskan sebenarnya sesuai dengan kenyataan.
Lalu mungkin ada yang berspekulasi. Kalau begitu ada Sesosok Maha Kuasa yaitu Tuhan lah yang menciptakan HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTEGANTUNGAN ini. Jadi intinya tetap ada Tuhan seperti konsep agama lain. Apakah benar?.
Menurut ajaran Buddha ada sesuatu yang melampaui HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN. Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Bersyarat, Yang Tidak Berkondisi, Yang Melampaui Dualitas, Yang Mutlak. Yang kita kenal dengan NIBBANA. Itulah Tuhan menurut ajaran Buddha. Ia merupakan sesuatu ” Tanpa Aku (anatta/anatman), yang tidak dapat dipersonifikasikan (disamakan dengan suatu sosok yang berkepribadian), bukan pula suatu tempat dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Tetapi justru dengan adanya Yang Mutlak, Yang Tidak Berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) yaitu NIBBANA melalui ajaran Buddha. Itulah tujuan akhir ajaran Buddha yaitu NIBBANA( Tuhan menurut ajaran Buddha)
Ini seperti diunggapkan Buddha:
“Ketahuilah para Bhikkhu, bahwa ada sesuatu Yang tidak dilahirkan, Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak. Apabila tidak ada Yang tidak dilahirkan, Yang tidak menjelma,Yang tidak diciptakan, Yang mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi, karena ada Yang tidak dilahirkan, Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.
Bagaimana Buddha mengajarkan kita untuk dapat merealisasikan NIBBANA?
Yaitu dengan cara mengikis habis 3 hal buruk dalam diri kita, yang menjadi sumber penderitaan kita yaitu Keserakahan, Kebencian dan Kebodohan Batin (Ketidaktahuan). Dengan terkikis habis 3 hal tersebut maka berkembanglah 4 kondisi batin yang luhur tanpa batas dalam diri kita yaitu:
1. Simpati yaitu ikut bergembira atas kebahagiaan atau kesuksesan semua makhluk lain tanpa perbedaan atau diskriminatif.Tidak ada iri hati, cemburu, sedikitpun yang muncul dalam dirinya. Bisa memahami dan turut bersimpati atas perilaku tidak baik dari makhluk.
2. Cinta kasih tanpa batas yaitu mencintai semua makhluk tanpa syarat dan tanpa kecualian.
3. Welas kasih tanpa batas yaitu bisa merasakan penderitaan dan berusaha mencabut sumber penderitaan semua makhluk tanpa syarat dan tanpa kecualian.
4. Keseimbangan batin yaitu batin yang selalu tetap tenang seimbangan walaupun dalam kondisi dipuji atau dihina, untung atau rugi, termasyhur (terkenal) atau tidak termasyhur, senang atau susah.
Ini salah satu unggapan di mana dalam ajaran Buddha tidak mengenal Tuhan sebagai sesosok yang punya sifat seperti manusia:
“Apabila, O para bhikkhu, makhluk-makhluk mengalami penderitaan dan kebahagiaan sebagai hasil atau sebab dari ciptaan Tuhan (Issaranimmanahetu), maka para petapa telanjang ini tentu juga diciptakan oleh satu Tuhan yang jahat/nakal (Papakena Issara), karena mereka kini mengalami penderitaan yang sangat mengerikan”.(Devadaha Sutta, Majjhima Nikaya 101)
Di sini kita dapat melihat betapa Agungnya ajaran Buddha melukiskan tentang Tuhan (NIBBANA). Bukan seperti Tuhan dalam agama lain yang melukiskan Tuhan seperti sesosok mirip manusia, cuma dengan kelebihan SUPER/MAHA. Di sini Tuhan dikenal dalam kitab suci dengan ”Tuhan melihat umatNya,Tuhan mendengar doa umatNya, Tuhan marah, Tuhan cemburu, Tuhan mengasihi, Tuhan adil, Tuhan menghukum, Tuhan memaafkan, dan masih banyak istilah sejenis lainnya.
Kesimpulan:
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konsep Buddhis, Tuhan itu berbeda dengan konsep umum. Untuk gampangnya, misalkan kita bicara tentang “ADA”. Itu ada tiga tahapan.
Pertama, “ADA” karena ada yang membuat atau menciptakan.
Kedua, “ADA” yang tidak ada yang membuat atau menciptakan, tapi disebabkan. Yang Ketiga, “ADA”, yang tidak dibuat, tidak diciptakan juga tidak disebabkan.
Pertama. “ADA” karena dibuat, atau diciptakan. Itu hal-hal duniawi. Contohnya meja, ada karena dibuat dan diciptakan manusia. Inilah taraf manusia membuat dan menciptakan sesuatu dari tiada menjadi ada.
Kedua, “ADA” yang tidak dibuat, dan tidak diciptakan tapi disebabkan. Itu berupa HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN (yang agama lainnya menyebutnya TUHAN). Kalau meja ini dibuat, maka muncullah kolong meja. Jelas kolong meja tidak ada yang membuat. Tapi kolong meja itu ada.
Apakah kita katakan meja yang menciptakan kolong meja? “Tidak tepat dikatakan meja sebagai pencipta kolong meja. Tapi meja sebagai pencipta penyebab adanya kolong meja”.
Ketiga, “ADA” karena tidak ada yang menciptakan, tidak ada yang membuat, dan tidak ada yang menyebabkan. Itulah NIBBANA. Itulah konsep Tuhan sebenarnya dalam agama Buddha”.
Apakah ajaran Buddha menyembah berhala ?
( Point ke empat yang menyebabkan saya pindah ke ajaran Buddha )
Kalau begitu, dengan adanya patung patung buatan manusia. Apakah ajaran Buddha menyembah berhala atau malah sebaliknya? Sebab selama ini ajaran Buddha sering dipersepsikan atau dikonotasikan dengan penyembahan berhala.
Untuk menjawab hal ini, maka kita perlu sepakat dulu definisi tentang apa itu menyembah berhala. Menyembah Berhala adalah menyembah atau memuja pada suatu:
1. Objek: bisa berupa patung, benda, makhluk, gambar dari sesuatu atau simbol yang dijadikan objek pengabdian yang penuh gairah, entah berwujud atau hanya ada dalam pikiran.
2. Dipercayai: punya kuasa di atas manusia, menentukan nasib manusia yang kita cintai/inginkan /harapkan lebih dari apapun.
3. Bertujuan : untuk meminta perlindungan, membantu mengabulkan keinginan kita dan lain-lain.
4. Yang pada kenyataannya kekuatan yang dipercayai itu sebenarnya tidak ada atau inferior (bermutu rendah/rendah diri).
Jadi untuk mengatakan seseorang atau suatu aliran dianggap menyembah berhala maka harus memenuhi kesemua 4 unsur pokok di atas.
Sekarang mari kita telaah apakah ajaran Buddha yang benar memenuhi ke 4 unsur itu untuk dianggap menyembah berhala.
1. Objek; adanya patung atau rupang Buddha (unsur ini memenuhi)
2. Dipercaya: tapi ajaran Buddha tidak menganggap Buddha sebagai atau punya kuasa seperti Tuhan. Melainkan menganggap Buddha sebagai manusia biasa yang mencapai Pencerahan dan merupakan Guru Dharma Sejati. Tidak dipercaya punya kekuatan untuk mempengaruhi seluruh hidup manusia (unsur ini tidak memenuhi).
3. Bertujuan: tidak ada tujuan untuk meminta minta tapi hanya untuk memberi penghormatan dan menjadi pengingat untuk meneladani perilaku dan apa yang telah dicapai Beliau. (unsur ini tidak memenuhi).
4. Kenyataannya: tidak ada unsur memohon, meminta, dan tidak dipercayai bisa menentukan nasib manusia yang memujanya (dengan sendirinya unsur ini juga tidak memenuhi).
Jadi dari ke 4 unsur ini hanya memenuhi satu unsur saja, sedangkan 3 unsur lainnya tidak memenuhi maka tentu dapat kita katakan secara tegas tanpa keraguan lagi bahwa ajaran Buddha yang benar tidak menyembah berhala.
Kalau begitu apa yang dipercayai ajaran Buddha dalam hal ini. Ajaran Buddha hanya mempercayai HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN lah yang menetukan nasib manusia, apakah senang atau susah, tinggi atau rendah. Bukan karena mempercayai sesosok Adi Kuasa yang dapat menentukan nasib manusia. Bukan pula karena kita memujanya maka Hukum ini mengabulkan permohonan kita. Hukum ini adil tanpa kecuali. Hukum ini berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, berlaku bagi semua makhluk bahkan berlaku untuk segala sesuatu di alam semesta ini tanpa kecuali. Bagian dari HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN yang mengatur nasib manusia itu kita kenal dengan Hukum Karma. Sehingga dalam ajaran Buddha yang benar tidak pernah memohon mengabulkan sesuatu atau memohon mengampuni kesalahan kita.
Berikut ini contoh ajaran Buddha tentang hukum Karma ini:
“Aku katakan, kehendak adalah Kamma,
karena didahului oleh kehendak,
seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran”.
(Angutara Nikaya III : 415)
“Tidak ada tempat sembunyi untuk melarikan diri dari hasil Kamma”. (Dhammapada 127)
“Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikkan, pembuatan kejahatan akan memetik kejahatan pula.
Taburlah biji biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya”.
(Samuddaka Sutta Samyutta Nikaya 11.10 (S 1.227)
Semua makhluk adalah pemilik kammanya sendiri, pewaris kammanya
Kamma adalah kandungan yang melahirkannya, dengan kammanya dia berhubungan,
kammanya adalah pelindungnya. Apapun kammanya , baik atau buruk, mereka akan mewarisinya”.
(Majjhima Nikaya III : 135)
Ajaran Buddha berpendapat bahwa pelindung sejati kita adalah perbuatan kita (fisik, ucapan dan pikiran) yang bekerja melalui Hukum Sebab Akibat. Karena seorang dewa bahkan Buddha pun tidak dapat melindungi kita dari akibat perbuatan kita. Apa yang kita dapat, apakah itu hidup kaya, sukses, bahagia, pintar maupun hidup susah, miskin, banyak penyakit, cacat, dan lain lain semuanya muncul akibat perbuatan kita. Bukan karena belas kasih atau pemberiaan sesosok yang Maha Kuasa. Jadi untuk apa menyembah berhala?
Ini adalah cuplikan pembicaraan antara Buddha dengan salah satu siswanya tentang karma:
“Begitulah Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah umur pendek karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab: “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab umur pendek itu?”, Engkau harus menjawab: “Membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul dan membunuh, tanpa mempunyai rasa kasihan kepada makhluk hidup adalah sebab umur pendek. Orang yang melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, maka umurnya akan pendek”.
“Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah menderita banyak penyakit karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab : “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab menderita banyak penyakit itu?”, Engkau harus menjawab: ”Menyakiti makhluk lain dengan menggunakan tinju, batu, tongkat atau senjata, gembira melihat makhluk lain menderita adalah sebab menderita banyak penyakit. Orang yang melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, ia akan menderita banyak penyakit”.
“Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah rupa buruk karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab: “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab rupa buruk itu?”, Engkau harus menjawab: ”Cepat marah, lekas naik darah; untuk hal kecil saja yang diceritakan padanya ia sudah menjadi murka, marah, berkeras kepala, memperlihatkan kegusarannya, kebenciannya dan kecurigaannya adalah sebab rupa buruk. Orang yang melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, ia akan mempunyai rupa yang buruk”.
“Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah mempunyai wibawa/pengaruh sedikit sekali karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab: “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab mempunyai pengaruh sedikit sekali itu?”, Engkau harus menjawab: ”Iri hati, penuh rasa dengki dan benci, mengiri kalau orang menerima hadiah, diberi tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuliakan, dan diberi persembahan dengan sopan santun adalah sebab mempunyai pengaruh sedikit sekali. Orang yang melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, ia akan mempunyai pengaruh sedikit”.
“Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah miskin karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab: “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab miskin itu?”, Engkau harus menjawab: “Tak pernah memberikan makanan, minuman, jubah, pengangkutan, bunga, wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat tinggal, lampu dan sebagainya kepada bhikkhu dan pandita adalah sebab menjadi miskin. Orang yang tidak melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, ia akan menjadi orang miskin”.
“Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah orang menjadi rendah karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab: “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab orang rendah itu?”, Engkau harus menjawab: ”tinggi hati dan penuh kesombongan, tak mau menghormat kepada orang yang patut dihormati, tak mau berdiri untuk siapa ia patut berdiri, tak mau memberi tempat duduk kepada yang patut diberi tempat duduk, tak memberi kamar kepada yang patut diberi kamar, tidak menjamu yang patut dijamu, tak memberi hormat dan penghargaan kepada yang patut diberi hormat dan penghargaan. Dan juga tak memberikan persembahan kepada yang patut diberi persembahan adalah sebab menjadi orang rendah. Orang yang tidak melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, ia akan dilahirkan sebagai orang rendah”.
“Ananda, bila engkau ditanya: “Apakah orang dungu karena suatu sebab tertentu?”, Engkau harus menjawab: “Ya”. Dan tentang pertanyaan: “Apakah sebab orang dungu itu?”, Engkau harus menjawab: ”Tak mengunjungi para bhikkhu dan menanyakan kepada mereka: apakah yang dimaksud dengan karma baik, Bhante? Apakah yang dimaksud dengan karma tidak baik? Apa yang tercela? Apa yang terpuji? apa yang harus dilakukan? apa yang tidak harus dilakukan? Perbuatan apakah yang dapat mengakibatkan celaka dan penderitaan untuk waktu yang lama? Perbuatan mana yang dapat membawa berkah dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?” adalah sebab menjadi orang dungu. Orang yang tidak melakukan dan melaksanakan perbuatan ini, ketika badan jasmaninya hancur setelah mati, akan terjatuh ke alam-alam rendah penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau, apabila ia dilahirkan kembali sebagai manusia, dimana saja ia akan bertumimbal lahir, ia akan dilahirkan sebagai orang dungu”.
“Ananda, Pemilik dari perbuatan adalah makhluk, ia adalah ahli waris dari perbuatannya, perbuatannya adalah rahim dari mana ia lahir, kepada perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya. Perbuatan apapun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga kelak yang menjadi ahli warisnya. Terdapat orang yang gemar membunuh makhluk hidup, mengambil milik orang lain, melakukan perbuatan asusila dengan wanita; berbicara yang tidak benar, sering menggossip orang lain, menggunakan kata-kata kasar, suka ngobrol kosong, tamak, berhati kejam dan mengikuti pandangan yang keliru.
Dan ia terikat erat-erat kepada perbuatannya yang dilakukan dengan jasmani, ucapan atau pikiran. Dengan sembunyi-sembunyi ia melakukan perbuatan-perbuatan, mengucapkan kata-kata dan memikirkan sesuatu; dan sembunyi-sembunyi pula cara dan tujuannya.
Tetapi Aku katakan kepadamu: “Bagaimana tersembunyinyapun cara dan tujuannya, orang itu pasti akan menerima salah satu dari kedua akibat ini, yaitu siksaan dari neraka atau terlahir sebagai binatang yang merangkak”. Demikianlah tumimbal lahir dari makhluk-makhluk: “Sesuai dengan Karmanya mereka akan bertumimbal lahir. Dan dalam tumimbal lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri.” Karena itu Aku menyatakan: “Pemilik dan ahli waris perbuatan adalah makhluk, perbuatannya adalah rahim dari mana ia lahir, kepada perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya. perbuatan apapun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga kelak yang menjadi ahli warisnya”.
Perbuatanlah yang membuat manusia menjadi mulia dan rendah, kaya dan miskin, bahagia dan menderita”.
Setelah membabarkan ajaran Karma kepada Ananda dan para Arahat, lalu Sang Bhagava menambahkan: “Contoh yang telah saya berikan hanya sebanyak setetes air dibandingkan contoh yang belum diberikan sebanyak air yang ada di Sungai Gangga”.
Jangan meremehkan kejahatan dengan mengatakan bahwa kejahatan yang kulakukan kecil sekali, tidak akan berakibat apa-apa kepadaku, tetapi sebenarnya ibarat air yang jatuh setetes demi setetes akhirnya dapat memenuhi sebuah gentong. Demikianlah orang yang dungu sedikit demi sedikit mengisi dirinya dengan kejahatan.
Tidak di langit, tidak di tengah samudera, juga tidak di dalam gua atau di puncak gunung; tidak ada suatu tempatpun di dunia ini yang dapat dipakai orang untuk menghindarkan diri dari akibat perbuatannya yang jahat.
Di alam ini ia menderita, juga di alam sana
Di kedua alam ini orang jahat menderita
Ia menderita karena diganggu oleh pikirannya
Ia akan lahir di neraka dicengkeram oleh derita
Jangan meremehkan kebajikan dengan mengatakan bahwa kebajikan yang kulakukan hanya sedikit, tak akan membawa pahala bagiku. Tetapi sebenarnya, ibarat air yang jatuh setetes demi setetes akhirnya orang yang bijaksana mengisi dirinya sedikit demi sedikit dengan kebajikan.
Di alam ini ia berbahagia, juga di alam sana
Di kedua alam ini orang yang baik hidup bahagia
Ia berbahagia dalam menikmati kebahagiaan
Ia menerima pahala dari perbuatannya yang baik
Hukum sebab akibat ini bekerja melalui 3 masa yaitu dari kehidupan yang lalu, kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang secara terus menerus sampai kita tercerahkan. Tidak seperti bagian agama lain yang mungkin mempercayai hukum sebab akibat ini, tapi hanya berlaku untuk kehidupan sekarang ini. Tidak ada kehidupan yang lalu, dan tidak berlaku untuk kehidupan yang akan datang.
Untuk menganalisa sesuatu, paling tidak kita harus melihat dari dua sisi. Sekarang kita akan menganalisa dari sisi lainnya.
Apakah agama lain terkandung unsur dalam kategori menyembah berhala?
Lalu coba kita analisa ajaran agama lain dalam konteks memuja berhala. Kita coba analisa ada berapa unsur yang memenuhi;
Objek: ada yaitu ada yang patung, ada yang simbol, dan lain lain (unsur ini juga memenuhi walaupun ada yang kasat mata, ada yang tidak.
Dipercaya: ada yang dipercayai sebagai kuasa paling tinggi yang menentukan nasib manusia (unsur ini memenuhi juga).
Bertujuan: untuk memohon perlindungan, mengabulkan keinginan, pengampunan dosa, dan lain lain (unsur ini memenuhi)
Kenyataaan: apakah Sosok yang Maha Kuasa ini ada atau tidak. Bila tidak ada dan ternyata sosok Maha kuasa ini (Tuhan) hanya ciptaan imaginer manusia aja. Bukankah berarti telah memenuhi ke 4 unsur pokok untuk dianggap menyembah berhala. Karena Tuhan yang dipakai pada semua ajaran agama lain tidak dapat dibuktikan secara nyata tapi tapi hanya bisa diimani (dogma).
Tapi apakah HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTEGANTUNGAN (setara atau sama dengan arti Tuhan agama lain) dapat dibuktikan secara nyata, Ternyata bisa. Para ilmuwan telah membuktikan hukum ini lewat teori evolusi, proses terjadi alam semesta yang secara bertahap, hukum fisika, hukum kimia, dan lain lain, yang kita pakai dalam kehidupan sehari hari.
Buddha dan banyak orang orang yang mencapai taraf tertentu telah dapat menembus pengetahuan untuk melihat beberapa kehidupan sebelumnya dan bisa melihat bekerjanya Hukum Sebab Akibat ini, kenapa orang ini hidupnya susah dan orang yang itu hidupnya senang.
Walaupun begitu, ajaran Buddha juga tidak menganggap orang yang menyembah berhala (memenuhi ke 4 unsur di atas) pasti akan masuk neraka. Karena masuk surga atau neraka bukan ditentukan ritual agama tertentu tapi ditentukan oleh perbuatan, ucapan dan pikiran kita baik atau buruk.
Penulis juga tidak memungkiri banyak juga aliran di dalam agama Buddha atau yang dianggap agama Buddha ataupun para pemeluknya yang salah menafsirkan, sehingga ada sebagian aliran agama Buddha tersebut ada juga doktrin/dogma seperti agama lainnya. Ada juga yang mencampurnya dengan tradisi setempat yang menyembah dewa-dewa, dan lain lain.
Penulis sendiri pada waktu awal mempelajari ajaran Buddha, juga pernah masuk atau ikut satu aliran agama Buddha yang ternyata sangat kuat di dalam doktrinasi atau dogma dalam ajaran mereka. Sehingga mempunyai pengikut yang sangat banyak dan royal. Salah satu dogma mereka, kalau ikut ajaran mereka pasti kaya.
Akhirnya penulis keluar dari aliran agama Buddha tersebut. Karena doktrinasi yang semakin lama semakin kencang. Ke 4 point di atas lah yang penulis jadi patokan dalam menfilter berbagai ajaran bahkan termasuk ajaran di dalam agama Buddha itu sendiri. Mana ajaran yang bisa saya terima dan mana yang harus saya hindarin.
Kenapa hal ini penting?
Untuk itu kita harus mencari sebab kenapa manusia itu beragama?
Umumnya manusia itu beragama dengan 2 tujuan utama (semua agama), yaitu:
1. Agar dapat hidupnya lebih baik, baik secara ekonomi, kebahagian, ketenangan, dan lain lain
2. Agar setelah meninggal dapat terlahir di alam yang lebih baik yaitu surga
Ke 2 tujuan itu merupakan tujuan semua agama, baik itu agama-agama lainnya atau aliran kepercayaan, termasuk ajaran Buddha juga.
Menurut penulis, ke 2 tujuan ini yaitu hidup yang lebih baik dan masuk surga dapat dicapai oleh semua agama dan aliran kepercayaan tersebut tanpa kecuali. Bukan monopoli agama atau aliran kepercayaan tertentu yang bisa membuat umatnya hidupnya menjadi lebih baik atau bisa masuk surga; sedangkan yang lain tidak bisa masuk surga.
Sebab menurut penulis, bukan seberapa banyak kita percaya dan menyembah Tuhannya agama masing-masing yang menyebabkan hidup kita menjadi lebih baik dan bisa masuk surga. (Apalagi tiap agama mengklaim Tuhannya beda beda).
Tapi yang dapat menyebabkan hidup kita menjadi lebih baik dan bisa masuk surga adalah HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN, bukan Sesosok Maha Kuasa menurut agama masing-masing. Hukum ini bekerja pada semua makhluk secara adil tanpa kecuali. Mau kita agama apapun, suku apapun, mau menyembah Hukum ini atau tidak. Semuanya adalah sama. Hukum ini tidak dapat disogok dengan puji pujian atau tidak. Satu hal yang pasti kalau kita berbuat baik, banyak memberi, membantu, punya sifat cinta kasih, welas kasih, maka hidup kita pasti akan lebih baik, dan ada kemungkinan masuk surga.
Tapi kalau kita berbuat hal yang tidak baik, mencuri, membunuh, menfitnah, kikir, tidak pernah mau menolong orang, egois, selalu menyakiti orang, berzinah, dan lain lain. Maka walaupun kita menyembah atau memberi puji pujian terhadap Hukum ini, tetap aja hidup kita akan susah, banyak masalah dan mungkin setelah meninggal akan masuk neraka.
Ini hanya gambaran secara permukaan aja tentang HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN. Mungkin di waktu lain penulis akan coba menulis secara lebih mendalam tentang HUKUM SEBAB AKIBAT YANG SALING BERTERGANTUNGAN.
Karena Hukum ini merupakan salah satu inti ajaran Buddha yang sangat penting.
Selain ke 2 tujuan di atas yang menyebabkan orang memeluk suatu agama. Dalam ajaran Buddha ada tujuan ke 3 yang tidak dipunyai agama-agama lainnya.
Tujuan ke 3 itu adalan mencapai Pencerahan/NIBBANA.
Surga bukanlah tujuan akhir di dalam ajaran Buddha. Malahan di dalam usaha mencapai Pencerahan/NIBBANA, tujuan untuk masuk surga itu hendaknya dihindari. Sebab dengan masuk surga akan menghambat atau memperlama seseorang dalam usaha mencapai Pencerahan. Sehingga lahirlah Bodhisatwa yaitu orang orang yang bertekad untuk terus tetap lahir di dunia ini terus untuk menyelamatkan makhluk-makhluk lain dari keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan ( kebodohan batin) walaupun perbuatan nya sudah bisa membuat ia masuk surga. Begitu terus sampai ia mencapai Pencerahan/NIBBANA.
Kenapa surga harus dihindari dalam usaha mencapai Pencerahan?
Karena surga walaupun secara garis besar tidak jauh berbeda definisinya dengan konsep surga menurut agama lain. Tapi ada hal yang sangat essensial tentang surga yang berbeda menurut ajaran Buddha dengan agama lain. Ini akan penulis terangkan di lain kesempatan.
Untuk masuk surga kita hanya perlu berbuat kebaikan aja.
Tapi untuk mencapai Pencerahan/NIBBANA perbuatan baik bertapa pun banyaknya, mau kita sumbangin seluruh harta kita yang jumlahnya berates miliard dolar, menyumbangkan tenaga dan pikiran full untuk membantu orang lain atau sesama. Tetaplah tidak dapat membuat kita mencapai Pencerahan/ NIBBANA.
Untuk mencapai Pencerahan/NIBBANA selain berbuat Kebaikkan maka harus disertai bertumbuhnya atau berkembangannya kebijaksanaan dalam diri kita. Kebaikkan disertai kebijaksanaan dalam ajaran buddha kita namakan Kebajikan.
Kebijaksanaan (pemahaman yang mendalam) hanya bisa muncul dan berkembang bila kita tidak terikat pada dogma/doktrin atau ajaran. Karena dogma atau doktrin akan mematikan kreatifitas, akal sehat kita dan membuat kita tidak dapat merenung, menyelidiki, menguji, membuktikan lebih dalam untuk mencari kebenaran yang lebih hakiki.
Inilah kenapa dalam ajaran Buddha yang benar, kita harus menghindarin dogma atau doktrin. Tapi ini bukan berarti kita bebas berpikir sesuka hati kita. Tapi hendaknya kita dalam rangka mencari kebijaksanaan haruslah mematuhi rambu-rambu atau filter yang di berikan Buddha dalam Kalama Sutta.
Yaitu apabila suatu ajaran apabia kita terima akan menyebabkan bertambahnya atau meningkatnya keserakahan, kebencian (kemarahan) dan ketidaktahuaan (kebodohan batin) maka ajaran itu hendaknya dihindarin.
Tapi apabila suatu ajaran, apabila kita terima akan menyebabkan hilangnya atau berkurangnya keserakahan, kebencian (kemarahan) dan ketidaktahuaan (kebodohan batin) sehingga menyebabkan tumbuhnya cinta kasih tanpa batas, welas kasih tanpa batas, simpati tanpa batas dan kesimbangan batin maka hendaknya ajaran itu diterima.
Dalam hal ini ajaran-ajaran dengan doktrinasi atau dogma yang kuat dalam suatu agama akan menyebabkan paling tidak ketidaktahuaan (kebodohan batin) bertambah, dan kalau menjadi terlalu fanatik akan menyebabkan berkembangnya kebencian (kemarahan) bagi yang tidak sejalan pandangannya.
Perlu diketahui menurut Buddha, semua fenomena, semua kejadian itu semuanya adalah Dhamma (ajaran). Jadi tidak terbatas dengan apa yang diajarkan Buddha. Buddha hanya memberi penuntun pada kita untuk melihat, merenungkan, memahami semua fenomena, semua kejadian maupun ajaran lain agar kita dapat memahaminya secara mendalam sehingga timbul dan berkembang kebijaksanaan dalam diri kita sampai suatu saat kita mencapai Pencerahan, seperti Archimedes dengan teriakannya “Eureka”
Satu hal lagi yang paling penting, setelah mencapai Pencerahan/NIBBANA maka semua ajaran itupun dilepas (artinya tidak melekat, tidak lagi membandingkan ajaran ini yang paling bagus atau lebih bagus dari yang lain.
Persis seperti kata Buddha sewaktu kita memakai rakit (kita umpama sebagai ajaran) untuk membawa kita ke sisi sebelah sungai/pantai seberang (Nibbana) maka begitu sampai sisi seberang rakit (ajaran) itupun kita tinggalkan. Tak mungkin rakit itu masih kita bawa bawa atau kita pikul pikul lagi.
Sebelum saya menutup sharing saya ini, saya mau mengutip sebuah tulisan yang menyentuh hati dari seorang penganut ajaran Buddha;
BUDDHA TIDAK PERNAH MENJANJIKAN HAL-HAL INDAH PADAKU……
ADA APA DENGAN BUDDHA SESUNGGUHNYA???
(Sebuah renungan yang Wajib dibaca…..khususnya umat Buddha !!!)
Buddha tidak pernah menjanjikan hal-hal indah kepadaku
Dia tidak pernah menjanjikan aku pasti akan ke surga atau nirvana bila percaya kepadaNya.
Buddha juga tidak pernah berkata” kalau tidak percaya Dia pasti masuk neraka.
Dia juga tidak memberikan sebuah dongeng yang mengerikan ataupun yang menyenangkan supaya aku percaya dan takut terhadapNya.
Atau Buddha begitu lugu kah? di semua agama berkata. Akulah yg menciptakan langit dan bumi ini.
Kenapa Dia tidak pernah mengatakan, “Akulah yang menciptakan langit dan bumi ini”, oh..putra yang berbudi.
Dia juga tidak pernah menjanjikan hal-hal yg indah untuk ke depan, bahkan Dia juga tidak bisa mensucikan org lain bahkan untuk mensucikan diri sendiri pun mengandalkan kita sendiri, tapi kenapa aku masih mau mengikuti ajaranya? karena Dia, aku tahu kenapa aku menderita. Karena Dia, aku tahu kenapa aku cacat. Karena Dia, aku tahu kenapa aku bermuka buruk karena Dia, aku tahu kenapa aku pendek umur dan berpenyakit karena Dia, aku mengerti hukum karma dan tidak menyalahkan siapa pun atas penderitaanku serta bijaksana dan berusaha utk mengerti 4 kesunyataan mulia. Oleh Buddhalah aku diajarkan cinta kasih terhadap semua makhluk hidup apapun juga, yang tidak pernah aku temukan dalam ajaran yang lain yang hanya bisa mengasihi sesama manusia. Aku datang tanpa paksaan, bukan keindahan ataupun kengerianceritamu hingga aku percaya, tapi aku percaya karena Engkau yg menyuruh aku untuk buktikan kebenaran itu. bukan hanya sekedar mendengar dan membaca. Begitu banyak beban yg harus dipikul untuk menjalani suatu kehidupan ini terkadang…. tersenyum dalam tangisan untuk menjalani suatu karma dimasa lalu tidak mengenal Dharma sama sekali tidak tahu mana yg boleh diperbuat dan tidak menyebabkan kelahiran ini yang begitu sengsara… hidup dalam dunia ini… memandang segalanya tidak berarti yang ada dalam dalam pikiran hanyalah kematian… sanggupkan manusia menahan balasan karma itu? Kemana harus sembunyi untuk menghindar dari beban penderitaan..? atau dimanakah aku bisa menemukan seorang Buddha dalam hidup ini? jika suatu saat berhasil dalam menjalani roda samsara ini sampai akhir hidup Surga dipersembahan sampai jutaan kalpa pun saya tidak mau yang diinginkan hanyalah bebas dari kelahiran tidak ada kelahiran maka tidak ada penderitaan dan kematian
TOPIK BERIKUTNYA:
1. Kalau hukum karma itu ada, kenapa ada yang udah banyak berbuat baik tapi hidupnya tetap menderita? Sedangkan di satu sisi ada yang banyak berbuat kejahatan tapi hidupnya kelihatanya penuh kesenangan?
2. Apa beda konsep surga dan neraka dari ajaran Buddha dengan agama lain? Bagaimana proses seseorang bisa masuk neraka atau surga menurut ajaran Buddha? Apakah ada sesosok Maha Kuasa yang mengadili atau tidak? Kalau tidak lalu bagaimana caranya?
3. Kenapa sebagai manusia justru adalah kesempatan yang paling baik untuk kita harus berbuat baik?
4. Hukum Sebab Akibat Yang Saling Bertergantungan
5. Orang sering pergi ke tukang ramal. Kenyataan ada sebagian tukang ramal dapat meramal masa depan kita secara garis besar cukup mendekati. Apakah nasib kita udah ditentukan sewaktu kita lahir? Kalau ada, apakah bisa kita ubah? Apa itu takdir? Apa itu nasib? Siapakah atau apa yang menentukan semuanya ini?
6. Kalau ajaran Buddha tidak mengenal adanya sesosok yang Maha Kuasa, kenapa banyak orang di agama lain berdoa pada Tuhannya bisa memperoleh kesembuhan, berkat rejeki, dan lain lain?.