Transformasikan Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni

Oleh: YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira

Pengertian Transformasi

Dalam kamus bahasa Indonesia, pengertian Transformasikan adalah: Mengubah rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya); atau mengalihkan.

Pengertian Kesadaran

Pada dasarnya Kesadaran adalah reaksi atau respon dari salah satu indera kita terhadap obyek-obyek sasaran yang bersangkutan. Misalnya, kesadaran mata mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran adalah benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran pikiran (mano-vinnana) mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek. Dari kedua contoh tersebut diatas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indera-indera kita. Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaranpun terdiri banyak jenisnya dan berhubungan dengan keenam indera dan obyek sasarannya.

Kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dan seterusnya. Sesudah itu Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan. Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala, misalnya, api yang menyala, dari kayu diberi nama api kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul.
(Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta).

Kesadaran ini bersifat diskriminatif atau bersifat memilah-milah. Ini melipuli “pengetahuan” dasar terhadap obyek sensori dan mental, dan pemilahan terhadap aspek dasarnya, yang sebenarnya dikenali oleh sanna. la terdiri dari enam jenis sesuai dengan pintu masuk kesadaran itu, yakni melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, atau pikiran. la juga dikenal dengan nama citta, titik fokus utama dari kepribadian yang bisa dilihat seperti semacam “pikiran”, “hati”, atau “pemikiran”. la pada hakekatnya adalah “rangkaian pemikiran” atau “mentalitas”; beberapa aspek darinya berubah-ubah dari waktu ke waktu, tetapi yang lainnya timbul kembali secara terus menerus dan dapat disetarakan dengan karakter, sifat, atau kepribadian seseorang.

“Setiap kesadaran yang bagaimanapun, baik di waktu yang lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang, baik yang ada di dalam maupun di luar diri orang, kasar atau halus, di atas atau di bawah, jauh atau dekat, yang dipengaruhi oleh noda-noda dan dipancing oleh kemelekatan, disebut kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan”. (Samyutta Nikaya 22 : 48)

Di dalam Sutra Nirwana dikatakan: “Semua makhluk awam memiliki Hakikat Buddha. Namun hal tersebut tertutup oleh kegelapan di mana mereka tak bisa meloloskan diri darinya. Hakikat Buddha kita adalah kesadaran (kesadaran murni/kesadaran tunggal); Untuk menjadi sadar dan membuat makhluk-makhluk lainnya tersadarkan juga. Demikianlah maka merealisasikan kesadaran merupakan pembebasan,

Sutra Hati disabdakan: kesadaran adalah sunya (kosong), sunya kosong adalah kesadaran. Kosong adalah intinya, kesadaran adalah khayalannya. Kesadaran adalah digunakan para makhluk saat bertemu kondisi, muncul kondisi hati yang tergerak merupakan bentuk kepalsuan. Bagaikan air adalah intinya, sedang ombak adalah gelombangnya yang tidak bisa diperolehnya. Kesadaran adalah kepalsuan karena itu jangan melekat.

Sutra Sepuluh Tingkat mengatakan: “Di dalam tubuh orang-orang awam ada Hakikat Buddha yang tak dapat dimusnahkan. Bagaikan matahari, sinarnya memenuhi seluruh angkasa dan konsep ruang, Namun begitu diselubungi awan-awan gelap lima bayangan (merajarela pencaskandha), Ia bagaikan sebuah sinar di dalam guci, yang tersembuyi dari pandangan.”

Guru Besar Han Shan Ta She di dalam penjelasan Sutra Kuan Leng Chia Cing dijelaskan: Hati sunyi dan senyap dinamakan “Satukan Hati (一心, hati manunggal, hati non-dualitas”;  Satukan hati)  disebut Tathagatagarbha, Bodoh terhadap ‘satu hati’ menjadikan delapan kesadaran. Pengertian hati sunyi dan senyap adalah  jati diri yang murni atau disebut ‘Satu Kebenaran Hati’, semua Buddha menembusi hati ini. Sejak dulu para Buddha hanya mengajarkan dan mentransmisikan inti jati diri; Para Guru Besar hanya menunjukkan inti hati secara esoteric (rahasia).

Dalam Ajaran Mahayana Buddhis, Ada Sembilan Kesadaran Manusia

Ada 8 rangkaian kesadaran yang belum suci dan 1 kesadaran yang telah bebas noda

Lima kesadaran yang berhubungan dengan panca indera:

  1. Kesadaran visual, kegiatan mental yang tergantung mata
  2. Kesadaran pendengaran tergantung telinga
  3. Kesadaran penciuman tergantung pada hidung
  4. Kesadaran pengecapan tergantung lidah.
  5. Kesadaran sentuhan tergantung pada kulit/tubuh. Lima tingkat kesadaran: adalah indra tubuh, ini adalah penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan sentuhan. Tergantung pada kekuatan masukan dari indera-indera ini, yang akan memiliki kesadaran kesadaran yang berbeda pada waktu yang berbeda.
  6. Kesadaran pusat indera yaitu Mano vijnana atau kesadaran pikiran, pembentuk gagasan, pemikiran. Tingkat ke-6 kesadaran pikiran: adalah lapisan yang mengintegrasikan dan memproses informasi dari berbagai indra menjadi satu kesatuan yang koheren – tingkat ini sesuai erat dengan konsep barat ‘pikiran’. Bagi kebanyakan orang, 6 tingkat kesadaran pertama ini adalah tempat kita menghabiskan sebagian besar waktu kita dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
  7. Kesadaran pusat pikiran, yakni Manas vijnana, seperti: berpikir berkehendak, berego ber-aku. Tingkat ke-7- kehidupan batin: Ini adalah tingkat kesadaran pertama yang tampak di dalam daripada terfokus ke arah luar. Tingkat 7 atau ‘manas’ ini berkaitan dengan rasa diri, dan kemampuan untuk membedakan antara yang subjek-objek, baik jahat bernuansa dualitas.
  8. Kesadaran gudang ideasi yakni Citta vijnana atau Alaya vijanana gudang kesadaran yang merupakan sumber dari segenap perwujudan. Kesadaran ‘alaya’. Ini berkorelasi dengan apa yang disebut psikologi modern sebagai akal bawah sadar. Di level ini tersimpan semua kebaikan dan perbuatan jahat, serta semua pengalaman masa lampau dan masa kini – karma. Tidak seperti 7 tingkat kesadaran yang pertama, yang dihancurkan setelah kematian tubuh fisik, alaya bertahan melewati kematian. Ini juga disebut ‘gudang kesadaran’ yang tidak pernah hilang. Pada tingkat inilah fenomena spiritual terjadi. Di dalam Sutra Ta Sheng Mi Yen Cing disabdakan: Kesadaran Alaya, sejak tiada awal dicengkeram oleh tabiat emosi bagaikan air terjun yang mengalir terus, senantiasa mengapung dan bergerak mengikuti angin kondisi, ditambah lagi senantiasa memunculkan ombak kesadaran yang tidak berakhir.
  9. Kesadaran bebas noda/ Kesadaran Murni, yakni: Amala vijnana, kesadaran yang mampu melihat sebagaimana adanya, kedemikianan, tidak lagi bersifat dualitis, tidak lagi membedakan/diskriminasi. Kesadaran murni: Lebih dalam bahkan daripada kesadaran alaya, ada lapisan kesadaran yang disebut kesadaran murni disebut ‘Amala’. Tingkat ini bebas dari ketidakmurnian karma dan oleh karena itu disebut kesadaran murni yang mendasar. Ini adalah dasar fundamental dari semua kehidupan. Dalam kesadaran amala ini, diri abadi yang sejati bisa ada selaras dengan kehidupan kosmos itu sendiri. Tingkat ini sangat kuat dan dicapai dengan mencapai pencerahan.

Hati di bagi dua jenis: 1. Inti Hati /Orisinal Hati (本心) 2. Kesadaran Hati (识心); 1. Inti Hati atau disebut orisinal hati adalah tiada pemikiran, adalah Buddha; 2. Kesadaran Hati dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a.Pemikiran benar, menjurus ke Jalan Buddha; b. Khayalan hati, menjauhi Buddha (1. Pemikiran bajik mengarah/menjurus ke tiga alam kebajikan: alam dewa, alam manusia dan alam asura; 2. Pemikiran jahat mengarah/menjurus ke tiga alam celaka: alam binatang, alam setan kelaparan, dan alam neraka.

Di dalam Sutra Ta Sheng Ju Leng Chia Cing, disabdakan: Pikiran muncul berasal dari Alaya; Kesadaran terbangkit mengandalkan Mona; Alaya membangkitkan semua hati, bagaikan samudra memunculkan ombak. Maitreya Bodhisattva bersabda: Membedakan adalah kesadaran, tiada membedakan adalah kebijaksanaan; Mengandalkan kesadaran, adalah noda, mengandalkan kebijaksanaan adalah kemurnian; Noda adanya kelahiran dan kematian, kemurnian tiada para Buddha.

Pengertian Delusi:

Pikiran atau pandangan yang tidak berdasar (tidak rasional), biasanya berwujud sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; Pendapat yang tidak berdasarkan kenyataan; khayal; Sedangkan pengertian Khayalan: yang dikhayalkan; hasil angan-angan; fantasi; rekaan; angan-angan. “Khayalan merujuk kepada kepercayaan dalam sesuatu yang bertentangan dengan realita (kenyataan).   Sedangkan Ilusi: sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan; pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; tidak dapat dipercaya; dan palsu.

Delusi (dikategorikan ke dalam Moha), Moha adalah sinonim untuk Avidya, bhs Sansekerta (Avijja, bhs Pali), yaitu: ketidak tahuan. Karakteristiknya adalah kebutaan batin atau tidak tahu (attana); fungsinya adalah tanpa penembusan atau ketersembunyian sifat sejati dari objek; bermanifestasi sebagai tiada pemahaman tepat, dan sebab terdekatnya adalah perhatian yang tidak bijaksana. Delusi bisa dilihat sebagai akar dari segala yang tidak berguna.

Khayalan atau ilusi merupakan wujud dari kepalsuan. Ilusi merupakan persepsi yang salah dan palsu. Secara terminologis, ilusi berarti ide, keyakinan, atau kesan tentang sesuatu yang jelas-jelas keliru. Pada dasarnya berkhayal bukan hal yang baik karena dapat membuat orang menjadi bingung dan memiliki tekanan batin atau bahkan dapat menyebabkan orang menjadi kehilangan jati dirinya dan cenderung bodoh khayal tidak bijak.

Di dalam Kamus Pendidikan Buddhis mengenai KHAYALAN disabdakan: Tidak sesuai realita disebut khayalan; Khayalan memunculkan diskriminasi juga menginginkan bermacam-macam wujud, maka disebut khayalan. Di dalam Sastra Kebenaran Mahayana, disabdakan: orang awam tidak paham realita kebenaran hati, sehingga memunculkan beragam jenis dharma, melekat kepada wujud memberi nama, terpaku nama menginginkan wujud, apa yang diinginkan tidak realita, maka disebut khayal.

Kenapa disebut Kesadaran Delusi?, karena ada kesadaran yang keliru dan salah, kesadaran yang tidak sesuai dengan kebenaran, fakta dan realita disebut kesadaran delusi/ilusi.

Kenapa di sebut hati khayal (hati terdiri dari rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran) , karena adanya kebodohan sehingga membelakangi kesadaran benar/murni mengarah tertuju ke sensasi/fantasi, melekat kepada enam sensasi, sehingga muncullah kesadaran khayal berupa wujud, suara, bau, sentuhan, dan dharma!

Ada pun jenis-jenis khayalan: sebagai berikut: Khayalan hati: hati yang timbul bergejolak dualitas; Khayalan diskriminasi: semua makhluk berbeda karena pengaruh kesadaran dan karmanya tapi pada hakikatnya memiliki sumber yang sama yaitu Hakikat Buddha, karena adanya kebodohan sehingga melakukan khayalan pembedaan. Khayalan pikiran: Pikiran timbul lenyap berkelana pasang surut terjerat beragam sensasi dan kenikmatan inderawi; Khayalan ingatan; ingatan masa lalu, sekarang dan akan datang yang realitanya tidak diperoleh. Khayalan kemauan: karena adanya kebodohan sehingga kemauannya juga khayal condong ciptakan jeratan dan ikatan; Khayalan kemelekatan : karena adanya khayalan, sang aku dan milikku, sehingga terjadi kemelekatan terhadap segala hal; Khayalan kesadaran: karena batin masih gelap dan kotor, tidak memahami realita kekosongan sehingga kesadarannyapun jadi gelap cenderung khayal; Khayalan perbuatan: karena pandangannya khayal, pemikirannya ikut khayal akibatnya perbuatannya pun juga khayal.

Contoh-contoh Sederhana Mengenai Delusi:

Delusi muncul dari cara kita diasuh dari sejak kecil. Nilai-nilai yang kita terima dari keluarga dan masyarakat juga banyak menciptakan delusi di dalam benak kita. Tradisi yang kita terima dari orang tua atau guru kita sejak kecil juga menciptakan delusi di dalam batin kita. Banyak orang begitu sulit untuk lepas dari delusi yang mengotori batinnya akibatnya mereka hidup dalam penderitaan terus menerus.

Delusi pertama, adalah tentang Sang “Aku dan Milikku”; Manusia awam cenderung memiliki khayalan Sang Aku, Diriku, Keusiaan, dan Bentuk Kehidupan; Manusia adalah paduan Pancaskandha, yaitu rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran. Rupa yang berbentuk tubuh manusia terdiri empat unsure, yaitu: 1. Padat; 2. Cair; 3. Panas; 4. Udara. Ke empat unsur ini adalah gabungan yang rapuh, sumber kelapukan, menjadi sarang penyakit dan tidak berlangsung lama. Tubuh manusia memiliki ‘Sembilan Lobang’ yang mengeluarkan kotoran setiap saat. Usia kehidupan manusia Buddha katakana hanya sepanjang nafas; sedangkan bentuk kehidupan manusia semua berasal dari sebab akibat (karma dan kesadarannya) bersifat semu, maya, fatamorgana hanya kesementaraan saja. Selain itu khayalan hati yang terdiri perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran, nyatanya tiga hati (masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang) tidak diperoleh. Hati masa lalu sudah berlalu tidak diperoleh; Hati sekarang terus berubah tidak diperoleh; Hati yang akan datang belumlah tiba sehingga tidak diperoleh. Begitupula hati tidak berada di luar, tidak di dalam dan tidak di antaranya. Hati muncul karena ada kondisi, hati lenyap pun karena kondisi pula. Hati khayalan manusia memiliki empat corak yaitu: 1. Timbul; 2. Melekat; 3. Berubah; 4. Lenyap. Hati khayal manusia selalu timbul lenyap, pasang surut silih berganti, semua dipermainkan dan terjerat khyalan dan kondisi, sehingga menciptakan penderitaan yang tidak berkesudahan. Manusia awam yang masih dicengkeram oleh delusi umumnya memiliki pandangan terbalik yaitu: 1. Memandang tubuhnya indah, menarik dan bersih; 2. Perasaanya selalu menyenangkan; 3. Aktivitas hati adalah kekal; 4. Semua dharma bisa dimiliki; Realita pandangan benar adalah 1. Tubuh adalah menjijikan; 2. Semua bentuk perasaan adalah derita; 3. Semua kondisi hati tidaklah kekal; 4. Semua dharma tanpa aku/ tiada kepemilikan.

Begitupul khayalan cinta yang didambakan setiap manusia. Kita kerap menyamakan tindakan mencintai dengan tindakan menguasai, mendikte dan melayani. Kita ingin pasangan kita seperti harapan dan melayani kita. Jika tidak, kita lalu marah dan berlaku kasar, kadang menyakiti, bila tidak berubah sesuai harapan maka akhirnya kita ceraikan/tinggalkan. Pola pikir yang penuh delusi ini mengakibatkan derita dalam urusan cinta atau berumah tangga.

Delusi kedua, Suatu agama digunakan untuk mendiskriminasi agama lain dan mengembangkan sifat iri hati atau permusuhan. Tampaknya orang tidak menggunakan agama untuk memelihara kedamaian, tetapi untuk mengecam dan membenci golongan lain. Keangkuhan keagamaan yang tidak sehat ini bahkan telah menciptakan tindak kekerasan dan pertumpahan darah di banyak tempat di dunia. Pada saat yang sama, sementara menghargai khayalan atau konsep mereka sendiri yang mereka anggap sebagai bagian dari budaya dan tradisi mereka, sebagian umat beragama mencemooh budaya dan tradisi agama lain. Dalam kepercayaan dan praktik mereka yang diperkenalkan sebagai satu-satunya agama yang benar, mereka memicu gagasan-gagasan egois yang sedemikian demi mendapatkan keuntungan materi, kekuasaan politis dan pemuliaan diri.

Selain itu, kita menyamakan agama dengan mental pengemis. Kita cenderung suka berdoa, memohon, sering melakukan penyembahan dan meminta, tetapi lupa mengembangkan kebijaksanaan dan potensi diri kita sendiri. Beragama tanpa pengertian adalah ketahayulan. Beragama tanpa mengembangkan kesadaran adalah kemunafikan, beragama tanpa mengembangkan kebijaksanaan adalah kefanatikan. Ketahuilah, bahwa kehidupan manusia bukan dari hasil dari doa dan permohonan, melainkan dari hasil perjuangan, berbuat baik, menebarkan kebaikan dan menanam kebaikan. Umumnya kita cuma tahu agama untuk menolong orang, bukan mengajarkan orang. Sehingga banyak orang cuma bisa hormat kepada yang patut dihormati tapi tidak tertarik belajar and praktik agamanya yang diyakini, akibatnya kita cuma bisa meminta pertolongan dengan doa dan pujian. Kita lupa semua kondisi tercipta karena sebab akibat, bukan karena pertolongan siapapun juga. Kebanyakan orang rajin berdoa tapi watak dan temperamennya masih tetap buruk dan kasar terhadap orang lain, cuma dengan berdoa, sujud memohon saja ia mau dapatkan semuanya yang diinginkan, inilah delusi ke dua.

Delusi ketiga, fenomena dunia bagaikan gabungan kepalsuan dan rangkaian ilusi. Semua kondisi yang dipamrihkan/diinginkan, Sutra Intan mengatakan bagaikan mimpi, ilusi, ombak, bayangan, embun dan kilat”, bersifat seperti fatamorgana, maya dan kesementaraan saja. Di dalam Sutra Avatamsaka, bab ke 5, bagian Ru Lai Kuang Ming Cie Phing, disabdakan: “Semua kondisi dunia, asalnya dari khayalan yang timbul, adalah semua dharma khayalan, hakikatnya belum pernah ada.” Kebanyakan orang-orang di dunia mau hidup sukses dan bahagia, umumnya sejak kecil sudah menggantungkan cita-cita setinggi langit. Mereka belajar segala sesuatu yang nyatanya tidak bisa dikuasai atau digenggam untuk waktu yang lama. Mereka berjuang keras untuk mencapai segala sesuatunya yang diinginkan tapi realitanya tidak bisa dimiliki untuk selamanya. Mereka menjalin ikatan jodoh yang bersifat khayal, kesementaraan dan tidak bisa diikut sertakan setelah mati. Mereka membangun cita-cita maya dan merealisasikan khayalan untuk kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan khayal. Begitupula mengejar kebahagiaan, banyak orang ingin hidup bahagia, selama khayalan belum dilenyapkan, kebenaran realita belum disadari dan belum diaplikasikan dalam hidupnya bagaimana ia bisa benar-benar bahagia? Bila kebijaksanaannya belum tumbuh berkembang bagaimana ia dapat menjalani kehidupan dengan baik dan benar?, bila kebijaksanaan belum tumbuh berkembang, realita belum dipahami sehingga hidup tidak sesuai Dharma kebenaran, bagaimana ia bisa hidup damai dan bahagia? Selama orang belum mencapai pembebasan mutlak, apa yang mereka inginkan, rencanakan dan membangun segala sesuatunya, semua bersifat khayalan. Inilah delusi ketiga.

Delusi ke empat, Identitas Itu ilusi, begitu banyak konflik terjadi dengan latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama, golongan dan pemikiran dijadikan pembenaran untuk mengejek, menyerang dan menaklukkan kelompok lain. Banyak terjadi tumpah darah akibat konflik identitas semacam ini. Lingkaran kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun terus berputar dan membara tanpa henti. Nyatanya identitas yang dilabeli itu adalah delusi dan bersifat sementara, karena bukan realita kebenaran, sehingga tidak permanen, akan terus berubah dan tidak bisa dibawa mati. Konsep-konsep identitas adalah ciptaan dari pikiran manusia khayal. Kemelekatan pada identitas membuat orang jadi gampang sombong atau merasa terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah belah, sehingga saling berkonflik satu sama lain. Identitas juga menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia. Delusi indentitas mengakibatnya manusia jadi terpecah-pecah sulit rukun dan hidup tidak harmonis. Inilah contoh sedikit delusi yang terjadi di kalangan kita atau masyarakat luas.

Di dalam Sutra Yuen CIe Cing, disabdakan: “Semua makhluk sejak tiada awal cenderung khayal dan melekat kepada Sang Aku, kepribadian, kehidupan makhluk dan keusiaan”. inilah empat jenis kesadaran khayal.

Di dalam Abhidharma Ta Chen Chi Sin Lun, (Maha Tripatka 32.576 a), disabdakan: Semua Dharma mengandalkan khayalan pikiran sehingga ada perbedaan. Bila melepaskan khayalan pikiran, maka tidak ada semua kondisi dan wujud. Sutra Intan disabdakan: bila seseorang masih terjebak dengan ciri keakuan, ciri kepribadian, ciri keusiaan, ciri kehidupan makhluk bukanlah seorang Bodhisattva.

Buddha berkata: Hati semua orang (awam) dipenuhi delusi. Mereka menganggap ilusi sebagai kenyataan. Karena menganggap yang tidak nyata sebagai nyata. Karena menganggap yang tidak nyata sebagai nyata, hati mereka penuh delusi. Karena itulah, banyak noda batin terbangkitkan sehingga mendatangkan penderitaan.

 Sutra Avatamsaka, bab ke-5, bagian Ru Lai Kuang Ming Cie Phing (Maha Tripitaka 0.424C), disabdakan: Semua yang berada di dunia, semua berasal dari khayalan yang muncul. Semua dharma/khayalan pikiran, intinya/ hakikatnya belum pernah ada.

“ Roda tumimbal lahir (samsara) tak mempunyai akhir yang dapat dilihat, Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran kesana dan kemari, diselubungi oleh ketidaktahuan (avijja/avidya/delusi), diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya (tanha), tidak dapat diketahui dengan jelas.” (Samyutta Nikaya 11, hal178/9; III hal.149,151).

 Enam faktor yang mengarah pada pertumbuhan Kesadaran Delusi:

(1) Jejak karma, (2) Objek, (3) Pengaruh teman sesat, (4) Mengikuti ajaran palsu, (5) Kebiasaan, (6) Salah konseptualisasi.

  1. Jejak Karma: Penyebab mendasar dari pikiran yang terdelusi adalah jejak karma yang ditinggalkan pada kesadaran oleh tindakan-tindakan tidak bajik sebelumnya. Karena tindakan masa lalu yang dilakukan dalam ketidaktahuan dan termotivasi oleh hasrat, kebencian atau delusi lainnya, berbagai jejak atau benih naluri karma, telah tertanam di pikiran. Ketika kondisinya tepat, benih-benih ini matang dan pikiran yang terdelusi naik lagi.
  2. Terpengaruh Objek: Objek itu sendiri adalah faktor kedua yang mendorong pematangan ini. Sebagian besar waktu ketika objek itu hadir dan terbangkitnya jejak karma yang ada di benak, sehingga deliver muncul. Jadi ketika subjek yang terdelusi (pikiran) datang ke dalam hubungan dengan objek yang sesuai, takhayul muncul, kontak dan kemelekatan pun terjalin. “ Timbulnya kesadaran tergantung pada dua hal : yaitu apa yang ada di dalam diri orang itu dan landasan luar untuk kontak.” (Samyutta Nikaya 35 : 93 ).
  3. Pengaruh teman sesat: Bergaul dengan teman sesat cepat atau lambat bisa terpengaruh, terjerat, terikat dan terjungkal. Teman-teman yang mempunya pikiran sesat atau khayal cenderung beraktivitas khayal dan tujuan khayal sehingga kita terbawa arus dan membeo juga, mengikuti kebiasaan teman sesat ikut jadi khayal dan sesat, akibatnya kelak juga pahit getir dalam khayal. Bila satu hari sudah sadar, ia akan menyesal yang berkepanjangan, akibat kebodohannya dan bergaul dengan teman-teman khayal dan sesat.
  4. Mengikuti ajaran palsu: Di era kemerosotan Dharma, banyak ajaran-ajaran khayal, sempalan dan menyimpang marak dan tumbuh subur di muka bumi ini. Bagi praktisi yang belum melek dan sadar akan kebenaran Dharma tentu sulit membedakan yang benar, khayal, sempalan dan menyimpang. Bila praktisi itu batinnya masih khayal, punya karma berjodoh dengan ajaran khayal, pastinya ia tertarik dan senang bercokol di dalam ajaran palsu/khayalan tersebut.
  5. Kebiasaan: Manusia sejak kecil sudah dibiasakan dan dijejali dengan tradisi dan doktrin khayal, misalnya tradisi, kepercayaan, dan identitas yang diperkenalkan, sehingga ia menerima, dan merasuk ke dalam sanubarinya. Akibatnya pandangan dan tingkah lakunya menjadi diskriminasi dan terjerat dengan identitas khayal tersebut.
  6. Salah Konseptualisasi: Banyak hal-hal yang tampak menarik. Ketika ingatan akan sesuatu datang, membuat jenis penilaian tertentu tentang hal itu: “Hal ini sangat baik. Hal ini luar biasa, dan fantastis. Hal/benda tersebut memiliki berbagai kualitas dan kelebihan lainnya. kecenderungan melebih-lebihkan nilai sesuatu sampai tidak menyerupai aslinya sama sekali. Itu telah menjadi sekadar hasil dari konseptualisasi yang keliru. Bisa juga mempelajari agama tanpa bimbingan guru, salah salah penafsiran sehingga salah konseptualisasi agama dalam kehidupan nyata. Banyak agama hanya mengajarkan datang percaya. Kecenderungan agama modern umatnya hnya di hibur dan dilayani saja, sehingga umatnya terbuai dan terlena, tidak tertarik untuk mempelajari dulu agama yang diyakini, sungkan dan pemali (pantangan berdasarkan adat/kebiasaan) untuk menganalisa dan menguji kebenaran yang telah diajarkan di kitab sucinya. Sehingga banyak orang mempunyai keyakinan dan mengerti konsep agama nya cenderung salah, khayal dan kacau. Umat awam hanya mendengar kesaksian dan yakin tetapi tidak mau membuktikan dengan kepalanya sendiri. Begitupula banyak orang awam praktik agamanya, yakin beragama tapi tidak mengerti, praktik agama tidak mengembangkan kesadaran, Melekat kepada agamanya tidak mengembangkan kebijaksanaan, sehingga banyak orang cenderung mempunyai konseptualisasi yang salah, akibatnya menjadi takhayul, khayal, munafik dan fanatik dalam beragama.

Kesadaran delusi bisa terbentuk karena berkaitan peran jejak karma, objek, pengaruh teman sesat, kebiasaan, salah konseptualisasi. “Segalanya adalah konstruksi mental/kesadaran belaka”. Terjadinya kesadaran belaka karena belum bijak dan cerah. Semua kesadaran delusi ini bersumber dari kobodohan manusia, dari ketidaktahuan manusia sehingga penderitaan menyertai dan berkepanjangan di arus tumimbal lahir.

Kesadaran Delusi Berasal Dari Mana?

Di dalam Sutra Shurangama: “Inti (hakikat) kesadaran itu tidak ada sumbernya, karena disebabkan enam jenis indera memunculkan sensasi sehingga khayalan muncul.” Artinya organ indera memunculkan sensasi sehingga adanya kesadaran, kesadaran muncul karena adanya sebab kondisi, akibatnya muncul khayalan ilusi, sehingga dinamakan tidak ada sumbernya.

Di dalam Sutra Mo Ho Pan Juo Po Lo Mi Cing, bagian Huan Sie Phing yang kesebelas, disabdakan: “Buddha berkata kepada Subhuti, bagaimana pikiran kamu? Apakah di dalam ilusi ada kekotoran, ada kemurnian? Tidak ada, Lokanatha (gelar lain untuk Buddha). Subhuti! Bagaimana pikiran mu, apakah di dalam ilusi ada timbul ada lenyap tidak? Tidak ada Lokanatha.” Ilusi itu tidak real, tidak nyata dan tidak ada. Begitupula kesadaran delusi terhadap apapun pastinya tidak real, tidak nyata dan tidak ada.

Di dalam Sutra Cui Shen Wang Cing, disabdakan: Tiada timbul itu adalah realita, bila timbul itulah khayalan. Orang bodoh, terhanyut dalam siklus kelahiran dan kematian; Tathagata menjelaskan, tiada khayalan dinamakan Nirvana.

Di dalam Sutra Avatamsaka (Hua Yen Cing), disabdakan Semua makhluk memiliki Hakikat Tathagata yang memiliki potensi kebijaksanaan dan pahala unggul; disebabkan pikiran khayal, kemelekatan dan pikiran jungkir-balik sehingga tidak menyadari dan perolehnya. Bila makhluk tersebut dapat melepaskan pikiran khayal, kemelekatan dan pikiran Jungkir-balik maka semua kebijaksanaan, kebijaksanaan natural, kebijaksanaan tanpa guru, dan kebijaksanaan tanpa ringtangan akan muncul dengan sendirinya.

Juga di dalam Sutra Avatamsaka disabdakan bahwa ‘Hati, Buddha dan semua makhluk tidaklah berbeda’. Tentu ditilik tidak berbeda adalah dari ‘Hakikat Kebuddhaannya’ karena para makhluk awam masih tergerus dengan khayalan, kemelekatan dan pikiran jungkir-balik sehingga kecenderungan hatinya masih sesat penuh khayal, sehingga tidak menyadari Hakikat Kebuddhaannya, tidak mengembangkan Benih Kebuddhaannya, tidak bersedia menapak Jalan Kebuddhaannya, larut dalam fenomena khayal, cenderung bodoh dan mengalami derita, sehingga terlihat hati, Buddha dan semua makhluk satu sama lainnya berbeda.

Sebab Akibat Tumbuh Berkembangnya Kesadaran Delusi/ Moha

Roda Kehidupan yang menunjukkan 12 Mata Rantai Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (PRATITYASAMUTPADA)

Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi?: ” Para bhikkhu, aku akan mengajarkan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungan kepada kalian.”…..

” Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu?

Dari ketidaktahuan (avijja/ Avidya) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara), ‘keterangan tambahan: aktivitas mental yaitu memilah, memilih dan merekam yang cenderung dualitas diskriminasi’ 

Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana/ vijnana), ‘keterangan tambahan: vijnana ini terdiri: kesadaran khayal alaya vijnana, kesadaran diskriminasi mona vijnana, dan kesadaran kemelekatan manas vijnana’ .

Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa),

Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana),

Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa),

Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana),

Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha),

Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana),

Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava),

Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati),

Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).

Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.”

(Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})

 Avijja/Avidya ( ketidaktahuan ) artinya ; tidak mengetahui kebenaran dan hakekat sesungguhnya segala sesuatu. Kenapa bisa ada Kebodohan? Di dalam abhidhamma itu ada yang disebut dengan:

– Kamasava: yaitu kekotoran bathin yang menyangkut nafsu indera. Ketika indera kita mengadakan kontak, hal ini menyangkut/berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dari panca indera.

Bhavasava: yaitu kekotoran bathin yang menyangkut eksistensi (keberadaan) atau ingin terlepas dari sesuatu yang tidak menyenangkan.

Ditthasava: yaitu kekotoran bathin karena pandangan yang keliru.

Avijjasava: yaitu kekotoran dari kegelapan batin.

Dari keempat asava (kekotoran batin) ini muncullah tindakan-tindakan; Sebab utama terjadi Avijja (Avidya/ Kegelapan batin) adalah tidak memahami lima agregat kehidupan (panca skandha) atau batin dan jasmani. Ketidaktahuan atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kekotoran batin, seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai Paticcasamuppada.

Pengertian Kesadaran Murni (Amala Vijnana)

Di dalam Shurangama Sutra, bab ke-4 disabdakan buah Kebuddhaan: Bodhi, Nirvana, Tathata, Hakikat Buddha, Amala Vijnana (Kesadaran murni), Sunyata Tathagatagarbha, Kebijaksanaan Cermin Besar adalah tujuh jenis, nama berbeda, tapi kebenarannya sama. “Sempurnanya kemurnian, hakikat tubuh kesadaran tunggal. Seperti Vajra Raja, senantiasa menetap tidak rusak”.

Di dalam Sutra Ru Lai Chu Sien Kung Te Cuang Yen Cing, disabdakan: Tathagata memiliki kesadaran tidak kotor, adalah murni tidak bocor, terbebas ada semua rintangan, dan cermin besar kebijaksanaan bersamanya. Di dalam Sutra Ta Chen Li Chi Liu Po Luo Mi Tuo Cing, bab ke-10 bagian Po Luo Mi Tuo Phing, disabdakan: Kesadaran Tathagata tidak kotor, selamanya sudah lenyapkan tabiat, murni kebijaksanaannya sempurna terang, makhluk mulia dan suci mencari perlindungan dan tempat sandarannya.

Di dalam Sutra Ru Leng Chia Cing, bab ke tujuh, disabdakan: gudang kesadaran Tathagata tidak berada di Kesadaran Alaya, karena tujuh jenis kesadaran tersebut masih ada timbul dan lenyap. Gudang Kesadaran Tathagata adalah tidak timbul dan lenyap.

Amala-vijñāna (Skt.). ‘Kesadaran yang tidak tercemar’, sebuah istilah yang digunakan dalam sistem Paramārtha dari Yogācāra dan setara dalam banyak pemujaan terhadap Buddha-Natural. Di dalam Abhidharma Wu Xing Lun bagian pertama, di sabdakan: Hanya Kesadaran Amala (Amala Vijnana) tiada terbalik, tidak berubah dan bermutasi, karenanya disebut ‘Kedemikianan’

Abhidharma Shi Pa Khung Lun, disabdakan: Kesadaran Amala Vijnana, adalah jatidiri yang murni, tetapi karena dihinggapi ‘tamu abu’/kekotoran sehingga kotor tidak murni, bila tamu abu sudah dibersihkan maka kembali murni. Kesadaran Amala vijnana disebut tidak kotor sehingga dinamakan ‘Kemurnian Dasar’.

Yang Arya Wu Cuo membuat Abhdharma Ta Chen Cuang Yen Jing Lun, bab ke-6, dikatakan: berbicara hati Tathata, dinamakan hati, tapi hati ini adalah jatidiri yang murni, hati ini dinamakan Amala Vijnana (Kesadaran murni)

Dunia Tumbuh Berkembang Dari Manifestasi Pikiran Manusia

Menurut salah satu aliran pemikiran Buddhisme, yaitu: aliran Yogacara (Cittamatra), menyebutkan bahwa dunia ini adalah manifestasi dari pikiran kita. Dunia dan alam semesta yang kita amati ini sesungguhnya merupakan proyeksi tiga dimensi dari pikiran kita sendiri. Fenomena yang kita persepsikan sebagai realita bukanlah realita absolut karena masing-masing individu memproyeksikan dimensi pikirannya sehingga tidak ada realitas tunggal yang berlaku untuk semua orang. Masing masing individu telah mendistorsi tersebut dengan kacamata berwarna yang di ciptakan dari benih energi karma individu pada kehidupan-kehidupan sebelumnya. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tubuh, ucapan dan pikiran “tercetak” dalam dasar/akar kesadaran. Dengan kata lain, apa yang dilakukan manusia akan menimbulkan jejak yang permanen. Jejak yang permanen itu antara lain dapat menimbulkan akibat pada watak/karakter sekarang maupun ciri kepribadian seseorang pada kehidupan berikutnya. Bila kondisi-kondisi karmanya telah matang. bahkan jejak permanen tersebut dapat menimbulkan suatu akibat tertentu pada kondisi fisik manusia, membentuk kondisi jodoh, kehidupan dan lingkungannya.

“Segala sesuatu diciptakan dari pikiran”. Perbedaan apapun antara subyek dan obyek adalah khayal dan di pilah-pilah oleh kesadaran yang diskriminatif.

Dalam ajaran Yogacara, realitas adalah kesadaran, dan hal itu akan berujung pada kesadaran murni. Menjelaskan masalah ini, Yogacara mengemukan tentang Alayavijnana sebagai gudang kesadaran, dan Pravrtti-vijnana yakni bahwa kesadaran itu sifatnya berkembang atau berevolusi, evolusi kesadaran.

Setiap tindakan manusia menghasilkan akibat, akibat ini dikenal sebagai vasana (endapan) yang terus akan menyimpan seturut dengan adanya tindakan yang menjadikan alaya-vijnana atau gudang kesadaran. Dalam alaya-vijnana terendap jejek-jejek pikiran, perbuatan berbagai benih karma masa lampau. Selanjutnya benih benih atau endapan tersebut yang secara potensial berkembang menjadi sentuhan, kegiatan mental, persepsi dan kehendak yang berhubungan dengan lima skandhas.

Kemudian ideasi, kesadaran pikiran berkembang menghadapi batin terhadap dunia luar. Timbullah kesadaran akibat sentuhan panca skandhas dengan obyek-obyeknya.

Alaya-vijnana perlu disucikan dari dualitas subyek-obyek dan paham-paham khayalan yang palsu ke dalam keadaannya yang murni, yakni kedemikianan (Tathata), Kebuddhaan yang tidak membedakan.

Proses pemurnian terjadi melalui perkembangan evolusi (Pravrtti-vijnana) hingga menjadi kesadaran murni, hening bening (Amala Vijnana).

Untuk berkembang menjadi kesadaran murni, Yogacara mengemukankan tentang tiga pengetahuan di dalam pengenalan terhadap Svabhava, Yakni:

  1. Parinispanna : Svabhava dikenal sebagai realitas absolut, pengetahuan absolut. Dalam Parinispanna pengetahuan sempurna yang telah mengenal sesungguhnya keadaan fenomena, cerdas dalam menempatkan mana yang relative dan absolut, yang telah terbeas dari kekeliruan dan dapat memandang realitas sebagaimana adanya.
  2. Paratantra: Realitas yang relatif, pengetahuan relatif. Paratantra pengetahuan terhadap fenomena yang sifatnya relatif. Pengetahuan ini akan keliru bila dipandang secara mutlak. Pengetahuan relatif mempunyai kegunaanya sendiri seperti bersifat pragmatis, tapi hendaknya jangan dipandang sebagai absolut
  3. Parikalpita: Svabhava dikenal semata-mata sebagai ilusi, pengetahuan ilusif. Parikalpita adalah pengetahuan yang keliru bisa diumpamkan dengan seutas tali yang dipandang seperti seekor ular. Pengetahuan keliru yang merupakan ilusi ini terjadi dalam segala kehidupan manusia karena masih di sadari oleh adanya keakuan dan diliputi kebodohan.

阿摩羅識的梵文 Amala-vijnana,漢譯的「心真如」相當於梵文的dharmatā-citta(法性心),而漢譯中的「阿摩羅識」則相當於citta-tathatā(「心真如」或「心如性」

Seperti sudah diterangkan di atas, bahwa Tathata atau Amala Vijnana berbeda nama tapi kebenarannya sama. Selanjutnya penjelasan Amala Vijana bisa disebut ‘Dharmata Citta’ atau “Citta Tathata”, untuk mempermudah penjelasan di gunakan Tathata.

Dalam filsafat Madhyamika, Tathata (Kedemikianan) dinyatakan sebagai Yang Absolut. Esensi dari setiap unsur-unsur kehidupan adalah kenyataan Yang Absolut. Tathata adalah kebenaran impersonal. Dalam mewujudkan dirinya, Tathata memerlukan medium, yaitu Tathagata. Tathagata merupakan bayangan dari Tathata dan merupakan suatu kenyataan absolut yang personal.

Dalam Mahaprajnaparamita Sastra dibedakan tiga jenis Tathata atau kenyataan yang esensial atau kedemikianan. Pertama, kodrat setiap eksistensi mengandung kekhususan , kekhasan. Kedua, ketiadaan kekalan dari semua eksisitensi, sebagai yang berkondisi atau relative dan bersifat terbatas. Ketiga, adalah kenyataan Absolut yang terdapat dalam setiap eksisitensi.

Jika kita memahami realitas (Tathata; suchness), kita akan terbebas dari semua jaring cara pandang keliru, seperti hilangnya kegelapan begitu cahaya muncul. Ketika bermeditasi secara tepat mengenai realitas (Tathata; suchness) dengan prajna, maka kesadaran murni akan terpurifikasi. Hanya dengan prajna, dapat merealisasi realitas (Tathata; suchness). Hanya dengan prajna, dapat menghilangkan halangan-halangan mental secara efektif. Seperti apa realitas (Tathata; suchness) itu? Yaitu sifat keberadaan dari semua fenomena bahwa tidak ada yang bersifat hakiki baik dari diri orangnya (pudgalanairatmya) maupun fenomenanya (dharma-nairatmya). Ini terealisasi melalui prajna paramita dan bukan lainnya. Sutra Sandhinirmocahana (The Unraveling of the Thought Sutra) menyatakan, “O Tathagata, dengan paramita apa, para Bodhisattva memahami sifat ketidak-hakikian (nissvabhavata) dari fenomena?’ ‘Avalokiteshvara, hal ini dipahami dengan prajna paramita.’ “Oleh karena itu, bermeditasilah tentang prajna.

Tathata atau kenyataan, kedemikian adalah Nirvana atau Dharmata, Dharmadhatu. Kata Dhatu dalam konteks ini berarti kodrat yang terdalam, esensi yang absolut. Tathata atau Dharmadhatu keduanya bersifat transenden dan imanen. Ia transenden sebagai kenyataan absolut, dan ia imanen karena sealu hadir di dalam setiap makhluk sebagai kenyataan yang mendasarinya.

Bhutakoti adalah kecakapan menyelami Dharmadhatu. Kata Bhuta berarti tak terkondisi atau Dharmadhatu. Sedangkan kata Koti berarti kecakapan untuk mencapai batas atau akhir; yang bearti realisasi. Bhutakoti disebut juga Anupadakoti, yang berarti akhir dari kelahiran dan kematian. Butakoti adalah sama dengan Prajnaparamita, yakni yang telah mengatasi dualism.

Tathagata merupakan kenyataan Absolut yang personal. Tathagata bersifat absolut maupun mewujudkan diri.. sebagai yang absolut meruapakan Tathata, namun juga dapat mewujudkan dirinya dalam rupa manusia. Oleh karena itu, Tathata juga disebut sebagai Tathagatagarbha atau Rahim Tathagata.

Hyang Buddha disebut juga Tathagata yang merupakan penampakkan secara manusia yang Absolut atau manifestasi dari Dharmakaya.

Tathagata berada di luar dari segenap pluralitas dan kategori-kategori pikiran, bukan yang kekal dan juga bukan yang tidak kekal. Yang Kekal dan Tidak kekal hanya berlaku dimana terdapat dualism. Dan bukan teruntuk yang telah mengatasi dualism seperti Tathagata.

Tathata merupakan yang hakiki, yang terdapat di seluruh eksistensi dan oleh karenanya segenap makhluk berkemungkinan untuk menjadi Tathagata. Adalah karena Tathata yang terdapat di dalam diri kita, yang menjadikan kita mencari Nirvana yang membebaskan kita secara mutlak.

Sunyata (kekosongan) dan Karuna (welas asih) merupakan ciri-ciri yang esensial dari Tathagata. Sunyata dalam konteks ini adalah Prajna (Pandangan transenden). Sebagai Sunyata atau Prajna, Tathagata indentik dengan Tathata atau Sunya. Sebagai Karuna, Tathagata adalah penyelamat segenap makhluk.

Dharma atau unsur-unsur kehidupan adalah tak terbatas, meskipun mereka terkondisi dan bersifat relatif. Tathagata pun adalah tak terbatas, tak dapat ditentukan namun dalam makna yang berbeda. Tathagata yang tak terbatas, karena di dalam kodrat yang sesungguhnya, ia bukanlah kelahiran yang berkondisi. Ketidak terbatasan dari kenyataan yang sesungguhnya tersebut tidak dapat dirumuskan melalui konsep-konsep.

 Peran dan Fungsi Kesadaran Alaya dan Kesadaran Murni

Di dalam Abhidharma Cie Ting Cang Lun, bagian awal, disabdakan:

  1. Semua aktivitas bermacam kegalauan direkam dan terkumpul di dalam Kesadaran Alaya (Alaya Vijnana). Bila peroleh Cermin Tathata (Cermin Kedemikianan), ditambah berkembangnya kebijaksanaan membina dengan tekun, menghapus Kesadaran Alaya (Alaya Vijnana) sehingga merubah karakternya orang awam, melepaskan dharma orang awam, sehingga Kesadarannya Alayanya lenyap. Kesadaran ini bila lenyap maka semua kerisauanpun jadi lenyap. terkendalinya Kesadaran Alaya, mencapai Kesadaran Murni (Amala Vijnana)
  2. Kesadaran Alaya (Alaya Vijnana) adalah tidak kekal, ada dharma bocor; Kesadaran Murni (Amala Vijnana) adalah kekal, dharma tiada bocor, dan peroleh tingkatan kebijaksanaan dan kesucian Tathata (kedemikianan).
  3. Kesadaran Alaya (Alaya Vijnana cenderung kasar, buruk, dan akibat buruk selalu menyertainya; Kesadaran Murni (Amala Vijnana) tiada semua kekasaran, keburukan dan tiada akibat buruk.
  4. Kesadaran Alaya (Alaya Vijnana) adalah sumber dari semua kegalauan. Tidak menjadikan dasar dan perbuatan yang mengarah kepada kesucian.; Kesadaran Murni (Amala Vijnana) juga merehabilitasi tidak menjadi dasar dari kegalauan, tetapi menyebabkan dan menjadikan jalan kesucian, dengan tidak memunculkan sebab.
  5. Kesadaran Alaya, (Alaya Vijnana) terhadap kebajikan yang tidak diingat tidak peroleh keluasaan. Saat kesadaran alaya lenyap, ada perbedaan perwujudan, kehidupan selanjutnya kerisauan sebab tidak kebajikan ikut lenyap, karena disebabkan lenyap, maka kehidupan selanjutnya tidak lagi muncul merajarelanya pancaskandha. Saat sekarang dalam kehidupan ini sebab kerisauan dan keburukan lenyap.   Karakteristik hati orang awamnya lenyap. Usia kehidupan sebab dan jodoh juga lenyap terhadap tubuh, serta mampu mengakhiri hidup, lenyap tidak bersisa lagi, semua perasaannya/hatinya peroleh kemurnian.

Kesadaran Amala 阿摩羅 識 (Skt Amala-vijnana; Jpn Amara-shiki)  adalah kesadaran bebas dari kekotoran atau kesadaran murni. Amala berarti murni atau tidak tercemar, dan vijnana berarti kesadaran/ketajaman. Delapan kesadaran yang ditetapkan dalam doktrin Kesadaran-Hanya terdiri dari enam kesadaran (kebijaksanaan oleh mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran), kesadaran mano, dan kesadaran-alaya. Untuk ini Ringkasan sekolah Mahayana (Chin Shelun; Jpn Shoron) didirikan oleh Paramartha (499-569), sekolah Flower Garland (Hua-yen; Kegon) yang didirikan oleh Tu-shun (557-640), dan T’ient’ai (Jpn Tendai) sekolah menambahkan kesadaran kesembilan, yang didefinisikan sebagai dasar dari semua fungsi kehidupan. Sementara kedelapan, atau alaya-kesadaran mengandung kotoran karma, kesadaran amala murni, bebas dari semua kekotoran, dan sesuai dengan sifat Buddha. ‘Kesadaran yang tidak tercemar’, sebuah istilah yang digunakan dalam sistem Paramārtha Yogācāra dan setara dalam banyak hal dengan Sifat Buddha atau Tathāgata-garbha.

Di dalam Sutra Ru Leng Yen Cing, bab ke 6, dijelaskan: karena adanya khayalan dan diskriminasi sehingga adanya kesadaran yang muncul; sedangkan bab ke 9, disabdakan: mengandalkan semua dharma pikiran sesat , maka kesadaran muncul, bermacam-macam kesadaran bagaikan di air memunculkan berbagai ombak.

Di dalam Abhidharma Bodhicitta disabdakan: khayalan hati muncul, ketahuilah tapi janganlah diikuti, bila saat khayalan sudah reda, sumber hati adalah sunya (kosong) sunyi. Di dalam Abhidharma Chi Sin Lun, disabdakan: jika ada khayalan hati, pikiran-pikirannya menjadi diskriminasi. Di dalam Sutra Shurangama disabdakan, dengan hati khayal yang dimiliki semua makhluk sehingga mereka berhitungan dalam segala hal. Di dalam Sutra Yen Cie Cing, disabdakan, adanya khayalan perbuatan, makanya adanya siklus tumimbal lahir.

Bagaimanakah Mentransformasikan Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni?

Ada beragam cara untuk mengembalikan kesadaran khayal menjadi kesadaran murni:

  1. Sutra Jing Kang San Mei Jing: Saat itu, Wu Cu Bodhisattva bertanya kepada Buddha, Yang Mulia, bagaimana mengubah untuk manfaat merubah para makhluk semua perasaan kesadaran memasuki Amala Vijnana? Buddha bersabda: para Buddha Tathagata senatiasa gunakan “Satu Kesadaran Manunggal (kesadaran menyatu)” merubah semua kesadaran memasuki Amala vijnana. Kenapa demikian? Semua makhluk memiliki Kesadaran Orisinal (本觉), senantiasa dengan kesadaran manunggal menyadarkan semua makhluk, sampai para makhluk peroleh kesadaran original, kesadaran ini membuat semua kesadaran yang berperasaan menjadi sunya dan sunyi tidak muncul.
  2. Melatih Kejijikan Peroleh Pembebasan
    “Melihat demikian, Susīma, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap bentuk (rupa), kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Bebas.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’” (Susima Sutta, Nidāna Saṃyutta) “Segala jenis perasaan apa pun…. Segala jenis persepsi apa pun…. Segala jenis bentukan kehendak apa pun…. Segala jenis kesadaran apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”
  3. Di dalam Sutra Shurangama, disabdakan : “Mengetahui dari melihat menjadi pengetahuan adalah dasar kebodohan; Mengetahui dari melihat tidak diketahui adalah Nirvana, adalah kebenaran murni tidak bocor”. Kenapa mengetahui dari melihat menjadi pengetahuan adalah dasar kebodohan? Karena mengetahui dari melihat menjadi pengetahuan itu sudah gunakan, kesadaran ke-6 mano vijnana kesadaran pusat indera yaitu bersifat diskriminasi, lalu gunakan kesadaran ke-7 manas vijnana kesadaran pusat pikiran yang bersifat berego dan melekat, berlanjut gunakan kesadaran ke-8 alaya vijnana, gudang kesadaran yang bersifat khayal. Inilah bentukan dan proses kesadaran khayal yang menjadi dasar kebodohan. Bila mengetahui dari melihat tapi tidak diketahui itulah hati Nirvana (nirvana yang masih bersisa). Artinya kita hanya gunakan hakikat mata (眼性, jati diri yang dimata bisa melihat)untuk melihat jangan gunakan kesadaran pikiran yang diskriminasi, kesadaran ideasi/ kesadaran berego dan gudang kesadaran. Tentu dalam kehidupan bersama dan nyata harus ada pergaulan dan interaksi, sehingga dibutuhkan peran dan fungsi hati. Walau beragam kesadaran dilakukan pada setiap momen ke momen, kesadaran dari setiap saat ke saat, hindari kesadaran yang menganalisa, menilai, intervensi, diskriminasi, melekat dan khayalan. Bila bisa menghindari semua ini maka dinamakan kesadaran murni. Sebagai umat awam yang kehidupannya begitu sibuk dan rumit, kiranya membutuhkan berbagai kesadaran, untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan atau masalah tapi kesadaran itu tidak boleh melekat dan kembalikan lagi ke kesadaran murni.

    Jati diri bila bersemayam di dalam tubuh maka tubuh akan berfungsi sesuai organ indera yang digunakan. Bila jati diri berada di mata ia bisa melihat dan menyadari fenomena yang dilihat. Umumnya umat awam setelah melihat memunculkan sensasi penglihatan, sehingga berkelanjut memunculkan diskriminasi  kesan-kesan, perasaan, kecintaan, kemelekatan sehingga menciptakan jeratan dan menodai diri. Akibatnya jati diri yang awalnya murni terbungkus oleh kebodohan dan nafsu khayalannya. “Lepaskan kesadaran khayal (berkondisi timbul-lenyap dualitas) cukup gunakan hakikat indera”. (Gunakan kesadaran murni; Jauhkan kesadaran diskriminasi, jauhkan kesadaran melekat, dan jauhkan kesadaran merekam; Sutra Jing Kuang Ming Jing, bagian awal, disabdakan: “Amala Vijnana adalah kesadaran yang tidak tergerak”).

    Jati-Dirimu itu tidak pernah sekejap pun berpisah darimu. Jati-Dirimu juga ada di mana-mana, segala yang kau lihat adalah Jati-Dirimu. Tetapi ketika yang merasa melihat dan mengetahui itu mulai muncul, maka kebijaksanaan dihalangi. Ketika si peragu dalam pemikiran muncul, maka kenyataan menghilang. Oleh karena itulah kamu selalu dilahirkan kembali berulang-ulang di dalam ketiga dunia dan mengalami bermacam kesengsaraan.

  4. Buddha mengajarkan kepada petapa Bahiya: “Bahiya, lakukan ini: Di dalam melihat, hanya melihat [jangan berpikir]; Di dalam mendengar, hanya mendengar [jangan berpikir]; Di dalam mencerap dengan indera lain, hanya mencerap [jangan berpikir]; Di dalam mengenal, hanya mengenal [jangan berpikir]. Kalau kamu bisa berada dalam keadaan itu, maka KAMU TIDAK ADA LAGI. Itulah, hanya itulah, akhir dukkha [Nibbana].” [Bahiya-sutta. Udana1.10].
  5. Bodhisattva Ma Ming di dalam Abhidharma Chi Sin Lun, memberikan pengarahan yang baik dan jelas, ditujukan kepada para pendengar, bagaimana cara menjadi pendengar yang baik? ‘Jauhkan kata-kata menyebut wujud’; ‘Jauhkan nama dan tulisan yang berwujud’; ‘Jauhkan kondisi hati menampakkan wujud’. Artinya: jauhkan kata-kata menyebut wujud adalah jauhkan kesadaran ke enam; Jauhkan nama dan tulisan adalah jauhkan kesadaran ke tujuh; Jauhkan kondisi hati menampakkan wujud adalah jauhkan kesadaran ke delapan. Tujuannya untuk melihat realita sebagaimana adanya.

Fungsi Dan Peran Kesadaran Murni

Kesadaran-Murni dapat memasuki yang biasa, yang suci, yang bersih, yang kotor, yang riil, hingga yang konvensional; tetapi Kesadaran-Murni bukanlah pikiran-pikiranmu tentang “yang riil” atau “yang konvensional,” “yang biasa” atau “yang suci.” Kesadaran-Murni dapat menaruh label pada semua hal yang konvensional dan yang riil, yang biasa dan yang suci. Tetapi yang konvensional dan yang riil, yang biasa dan yang suci, tidak bisa memberi label pada Kesadaran Murni di dalam diri seseorang. Jika kamu dapat meraih Kesadaran-Murni, maka gunakanlah Kesadaran-Murni itu, tanpa meletakkan label apa pun pada Kesadaran-Murni itu. (Pesan Zen Dari Rinzai, Master Lin-Chi)

Setiap orang yang ingin menempuh Jalan, harus bertekad untuk menemukan Kesadaran-Murni. Ketika Kesadaran-Murni ini ditemukan, maka kamu tidak akan dipengaruhi lagi oleh siklus kelahiran dan kematian. Apakah berjalan atau diam, kamu akan tetap menjadi guru bagi dirimu sendiri. Bahkan ketika kamu tidak berusaha untuk mencapai sesuatu yang luar biasa, hal yang luar biasa itu justru akan datang kepada kamu dengan sendirinya. (Rinzai, Master Lin-Chi)

Khayalan dan Kebenaran

Di dalam Sutra Shurangama (Sow Leng Yen Cing), disabdakan: Buddha bersabda sebab rahasia Tathagata mengajarkan mengembangkan pencerahan memasuki hati dan hakikat sejati di bagi tiga tahapan:

  1. Menghancurkan khayalan menampakkan kebenaran, menghancurkan khayal hati menampakkan hakikat kebenaran sejati;
  2. Khayalan juga kebenaran, semua khayalan tiada bukan juga kebenaran; kegalauan adalah kebodhian, lahir mati adalah Nirvana.
  3. Khayalan dan kebenaran sama-sama khayal, kebenaran pun dikategorikan khayalan, tiada benar tiada bukan benar, harusnya kebenaran dan khayalan dua-duanya di lelapkan (tidak diingat).

Di dalam Sutra Maha Prajna Paramita, bagian ke 296, Buddha bersabda: Demikian Prajna Paramita terkandung Maha Mustika, tidak bicarakan ada dharma yang timbul lenyap, ada kotor ada murni, ada keinginan ada pelepasan, kenapa demikian?, karena tiada ada dharma bisa timbul bisa lenyap, bisa kotor bisa murni, bisa diingini bisa dilepaskan.

Di dalam Sutra Kesadaran Sempurna (Yen Cie Cing), Buddha bersabda: “Semua Tathagata yang memiliki keajaiban pencerahan hati yang sempurna, pada dasarnya tiada Bodhi, tiada Nirvana, juga tiada yang mencapai Buddha atau tidak mencapai Buddha, tiada khayalan tumimbal lahir atau bukan tumimbal lahir”. (maksudnya karena adanya berbagai penyakit makhluk maka segala obat dibutuhkan; Karena adanya bahaya dibutuhkan keselamatan;  adanya khayal dibutuhkan kebenaran, adanya ‘diri’ sehingga dijabarkan  tanpa diri. Karena manusia masih butuh sensasi, mudah terpesona dan melekat kepada ‘dualitas’ maka dibutuhkan Upaya Kausalya, berbagai Dharma dualitas dijabarkan. Realitanya tidak melihat satu dharma adalah pandangan benar, tidak ada satu dharma yang dapat dimiliki itulah pikiran benar. Di dalam mimpi jeles-jelas ada enam alam, setelah cerah kosong juga kosong tiada maha chilicosmos.; Pencerahan Huineng Patricah ke enam pernah menulis : Bodhi hakikatnya tiada pohon; Cermin terang tidak berbingkai, pada dasarnya tiada apapun, dimanakah  ada debu rintangan?)

Demikianlah Artikel yang berjudul “Transformasikan Kesadaran Delusi Menjadi Kesadaran Murni”, yang menjadi Tema Waisak Nasional 2562 BE/2018, di jabarkan melalui tulisan ini, harapannya semoga semua makhluk yang melihat tulisan ini dapat memahami dan mengikis kesadaran delusi dan berkembangnya kebijaksanan untuk melakoni kehidupan dengan kesadaran Murni. Semoga tulisan ini mencerahkan kita semua dan bermanfaat. Akhir kata, semoga semua makhluk berbahagia, svaha.

Amituofo.