Zen, Substansi Manusia Dan Alam Semesta
Oleh: Reza A.A Wattimena; Peneliti PhD di Munich, Jerman, Dosen di Unika Widya Mandala, Surabaya
Fokus utama dari Zen (Chan/禅) adalah memahami jati diri sejati kita. Siapa aku? Atau, apa ini yang sedang membaca? Di dalam filsafat modern, kita mengenal argumen dari Rene Descartes, yakni aku berpikir, maka aku ada. Akan tetapi, siapa ini “aku”? Apa ini “aku”? Apa yang membuatnya ada? Dan jika kita meninggal suatu hari nanti, kemana ia akan pergi? Ini adalah salah satu pertanyaan terpenting dalam hidup setiap orang. Jika kita paham arti sesungguhnya dari “aku” ini, kita akan memahami jantung hati Zen. Kita akan memahami segalanya. Paham disini bukan cuma sekedar pemahaman intelektual, tetapi sungguh memahami dengan keseluruhan eksistensi. Di dalam Zen, “aku” ini bukanlah sesuatu yang terpisah dari alam semesta. Sebaliknya, “aku” ini adalah bagian dari substansi alam semesta, termasuk substansi matahari, bulan, bintang dan semua hal lainnya. Sesungguhnya, ia tidak memiliki nama. Pikiran kita yang menamainya. Akan tetapi, kita tidak boleh melekat pada penamaan semacam ini.
Di dalam filsafat Jerman, substansi semesta ini kerap disebut sebagai “yang absolut”. Di tingkat ini, tidak ada perbedaan. Sayangnya, pikiran kita selalu membuat pembedaan. Bahasa yang kita pakai pun berpijak pada pembedaan. Misalnya, ini meja dalam perbedaan dengan kursi, ini pria dalam perbedaan dengan perempuan, dan sebagainya. Bahkan, kata “yang absolut” juga selalu memuat perbedaan dengan “yang tidak absolut”. Ketika kita menyebut “yang absolut”, maka ia sudah bukan “yang absolut” lagi, karena ia sudah selalu memuat perbedaan. Itulah bahaya dari bahasa yang kita rumuskan di pikiran kita, dan kita ucapkan dengan mulut kita. Dengan demikian, substansi yang sejati, atau “yang absolut” ini, sudah selalu berada melampaui bahasa dan kata-kata manusia. Ketika kita mengira, bahwa bahasa dan pikiran kita sebagai kenyataan, maka kita sudah tersesat. Substansi kita, dan substansi alam semesta, adalah satu dan sama, serta selalu sudah melampaui segala bentuk konsep dan bahasa. Pepatah kuno mengatakan, kesunyian lebih penting dari kesucian.
Zen mengajak orang menyadari, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terus berubah dan bergerak. Bumi terus bergerak. Setiap detiknya, segala hal berubah. Sel berubah. Ada yang hancur. Ada yang tumbuh. Namun, ada sesuatu yang tak pernah berubah. Ia juga tak pernah bergerak. Ia tak pernah datang, dan tak pernah pergi. Ia tak pernah diciptakan, dan juga tak akan pernah hancur. Inilah substansi dari diri kita, sekaligus substansi dari alam semesta. Ketika orang menyadari substansi dirinya, maka ia juga menyadari substansi seluruh alam semesta. Kesadaran semacam ini jauh melampaui sekedar pemahaman intelektual teoritis. Belajar di universitas, atau menghafal beragam informasi, tidak akan banyak membantu. Sebaliknya, semua itu justru kerap kali mengaburkan pikiran kita, dan kita kehilangan kesadaran akan substansi diri kita sendiri, atau jati diri sejati kita. Semua usaha intelektual tidak dapat dibandingkan dengan pengalaman langsung, ketika kita menyadari substansi diri kita sendiri, yakni jati diri sejati kita. Dapat juga dikatakan, bahwa jati diri sejati kita selalu bersama kita. Ia berada sebelum segala bentuk bahasa dan konsep di dalam pikiran kita. Filsafat Eropa menekankan pikiran manusia. Namun, filsafat Asia menekankan apa yang ada sebelum pikiran, yakni substansi diri kita, dan substansi semesta itu sendiri.
Zen sebenarnya sangat sederhana. Ia ingin mengajak kita menyadari substansi diri kita yang melampaui segala bentuk konsep maupun kata. Sejatinya, setiap agama dan aliran filsafat mengajak kita untuk melakukan ini. Semuanya mengajak kita memahami segala bentuk perbedaan di alam ini sebagai semu belaka. Yang sesungguhnya ada adalah kesatuan segala sesuatu, yakni substansi absolut yang sesungguhnya melampaui semua bentuk konsep dan pikiran manusia. Namun, ajaran tersebut lalu terhubung dengan kekuasaan, dan menjadi korup. Ia sering menjadi pembenaran untuk perang atau penindasan tertentu. Perbedaan ditekankan. Kesatuan dilupakan. Akhirnya, banyak orang terlibat dalam perang, akibat perbedaan ini. Penderitaan pun semakin besar dan banyak. Jika semua perbedaan ini bisa disadari sebagai semu, maka perdamaian dan harmoni pun akan tercipta. Orang yang telah menyadari ini disebut sebagai orang yang telah mengalami pencerahan batin. Di dalam keadaan pikiran semacam ini, tidak ada kesedihan dan tidak ada kebahagiaan. Tidak ada hidup, dan tidak ada mati. Semuanya berada dalam keseimbangan dan harmoni. Zen menegaskan, bahwa setiap orang bisa mencapai keadaan ini dengan usaha mereka.
Zen mengajak orang kembali ke keadaan alamiah mereka. Di dalam keadaan alamiah ini, tidak ada penderitaan, dan tidak ada juga kebahagiaan. Tidak ada pencerahan batin, dan tidak ada juga Nirvana. Jika pikiran kita, karena kebiasaan yang terbentuk sejak lama, membuat penderitaan, maka penderitaan lalu muncul. Namun, sejatinya, di dalam keadaan alamiah, penderitaan itu kosong. Ia tidak punya substansi pada dirinya sendiri. Konsep diri yang kita pegang erat pun sesungguhnya kosong dan tidak memiliki substansi. Ketika kita sungguh menyadari, bahwa sejatinya, di alam ini, yang ada hanyalah kekosongan besar, kita akan bebas dari ruang dan waktu, karena ruang dan waktu juga semata hasil dari pikiran kita. Ketika bebas dari ruang dan waktu, kita akan menyadari, bahwa kenyataan itu sesungguhnya sederhana, yakni “seperti ini”. Ketika mendengar, kita mendengar. Ketika melihat, kita melihat. Semua sudah selalu jelas dan sempurna “seperti ini”.
Tidak ada penderitaan untuk dilampaui, dan tidak ada Nirvana ataupun pencerahan batin untuk diraih. “Seperti ini” sudah selalu mencerminkan kebenaran apa adanya. Langit biru. Pohon hijau, dan tembok berwarna putih. Semua “seperti ini”. Mobil melewati rumah. Burung bernyanyi di atas pohon. Ketika kita menyadari kebenaran “seperti ini”, maka kita akan sungguh sadar, bahwa segala sesuatu itu sudah benar seperti apa adanya. Kita lalu bisa hidup dengan kejernihan pikiran dari saat ke saat, serta lalu bisa membantu orang lain, bahkan semua makhluk hidup, yang membutuhkan bantuan kita. Hidup kita lalu dibaktikan untuk kebaikan seluruh alam semesta, karena kita sungguh sadar, bahwa kita dan seluruh alam semesta ini memiliki substansi yang sama, dan saling terhubung satu sama lain. Inilah puncak dari Zen, yang sebenarnya bukan puncak sama sekali, karena orang kembali ke dunia sehari-hari, dan berkarya di sana untuk kebaikan semua makhluk.
Jati diri sejati kita tidak bisa dirumuskan dengan kata dan bahasa. Ia bisa dirasakan dan ditunjukkan kepada orang lain. Namun, konsep tidak akan bisa menjelaskannya. Jati diri sejati manusia berada sebelum segala bentuk pikiran konseptual, yakni sebelum bahasa muncul. Ketukan meja, teriakan, atau gerak bisa menggambarkan jati diri sejati ini. Namun, ini hanya dapat dimengerti oleh orang yang juga sedang mencoba menyadari jati diri sejatinya. Orang yang masih terjebak dengan segala bentuk konsep dan bahasa tidak akan pernah bisa memahaminya. Berbeda dengan ajaran filsafat maupun agama lainnya, Zen tidak memiliki jalan ataupun peta yang jelas. Orang yang menjalani jalan Zen bagaikan naik pesawat, dan langsung menuju tempat tujuan, yakni kesadaran akan jati diri sejatinya, atau mengalami langsung pencerahan batin. Zen tidak bergantung pada tradisi. Ia juga tidak bergantung pada segala bentuk rumusan ataupun ajaran yang terdapat di dalam buku-buku. Ia tidak tergantung pada sosok pribadi tertentu. Ia tidak tergantung pada ruang dan waktu. Ia juga tidak melekat pada beragam bentuk forma, konsep, ataupun teori. Bahkan, kata Zen sendiri sebenarnya sudah suatu bentuk salah paham. Zen tidak bergantung pada Zen. Yang perlu dilakukan sebenarnya amat sederhana, yakni hidup dengan pikiran jernih dari saat ke saat.
Salah satu prinsip utama Zen adalah tidak melekat pada segala bentuk pikiran yang muncul. Zen mengajak kita untuk kembali ke keadaan sebelum pikiran muncul, yakni keadaan alamiah, atau jati diri sejati kita. Titik ini adalah substansi diri kita, sekaligus substansi seluruh alam semesta. Manusia berusaha menamainya dengan banyak nama, seperti Buddha, Tuhan, energi, pikiran, kesadaran, kesucian, yang absolut dan sebagainya. Namun, sejatinya, titik ini berada sebelum nama. Ia tidak punya nama dan tidak punya bentuk. Segala bentuk konsep dan bahasa tidak akan bisa membantu. Mereka justru kerap menjadi penghalang. Jadi, titik ini, jati diri sejati manusia, tidak tergantung pada konsep. Ia juga tidak tergantung pada “bukan konsep”. Konsep adalah ilusi. Sementara, “bukan konsep” adalah kehampaan. Hubungan kita dengan dunia sejatinya tidak berpijak pada konsep apapun. Hubungan asali kita dengan dunia tidak datang dari pikiran ataupun teori apapun. Jika orang ingin masuk dan hidup dari titik asali ini, segala bentuk kelekatan, atau kecanduan, pada pikiran harus dilepas. Dengan cara ini, orang lalu bisa kembali ke keadaan alamiah, atau jati diri sejatinya, sebelum segala bentuk konsep dan bahasa muncul. Kita bisa menyebut titik ini sebagai “tidak tahu”. Pikiran “tidak tahu” ini adalah jati diri alamiah kita.
Zen juga tidak berpijak pada kata dan bahasa yang terdapat di dalam beragam tulisan. Zen mencoba menunjuk langsung ke pikiran manusia, dan mendorongnya untuk menyadari jati diri sejatinya. Tidak ada penjelasan apapun yang dibutuhkan. Semua ajaran yang ada hanyalah alat untuk mencapai jati diri sejati ini. Kata “jati diri sejati” pun harus dilepas, supaya orang bisa sungguh menyadarinya. Jati diri sejati ini adalah substansi alam semesta. Ia melampaui segala bentuk forma yang ada di alam semesta. Ia tidak pernah lahir, dan juga tidak pernah mati. Ia melampaui segala pemahaman intelektual. Filsafat dan ilmu pengetahuan mencoba merumuskan dan memahaminya di dalam ranah teori dan konsep. Ini seperti orang yang lapar, tetapi ia hanya menatap menu makanan yang ada di restoran. Zen, sebaliknya, mengajak orang melepaskan menu tersebut, dan mulai makan.
Di dalam Zen, kita diajak untuk sungguh memahami pikiran kita sebagaimana adanya. Dalam arti ini, Zen sampai pada kesimpulan, bahwa memahami pikiran berarti menyadari, bahwa pikiran kita kosong. Ia tidak punya substansi. Ketika kita mengira, bahwa pikiran itu nyata dan benar, maka kita akan masuk ke dalam penderitaan. Sebaliknya, ketika kita sungguh sadar, tidak hanya dengan teori konseptual semata, bahwa pikiran kita sejatinya tanpa substansi, melainkan sekedar impresi sekejap belaka, maka kita tidak akan punya masalah di dalam hidup kita. Akar dari segala penderitaan adalah pikiran kita. Jika kita ingin melepas penderitaan di dalam hidup kita, maka kita perlu melepaskan semua kelekatan dan kecanduan dengan pikiran kita. Di dalam jati diri sejati, atau keadaan alamiah, kita sebagai manusia, tidak ada pikiran yang datang. Yang ada hanyalah pikiran “tidak tahu”. Jika kita bisa sungguh sampai pada keadaan pikiran semacam ini, maka kita tidak perlu penjelasan apapun dari buku atau dari siapapun. Kita tidak lagi memerlukan apapun, guna melepaskan kita dari penderitaan hidup. Namun, sayangnya, banyak orang hidup dalam kebohongan dan delusi. Mereka mengira, bahwa pikiran mereka nyata dan benar. Mereka lalu melekat pada pikiran mereka, dan melawan semua orang yang mereka anggap salah. Hidup mereka dipenuhi dengan beragam bentuk penderitaan.
Zen juga memiliki landasan teoritis. Yang pertama adalah argumen, bahwa bentuk adalah kosong. Kita melihat segala sesuatu di muka bumi sesuai dengan bentuknya. Manusia memiliki bentuk tertentu, begitu pula hewan, tumbuhan, dan segalanya. Namun, bentuk ini bukanlah sesuatu yang sejati. Bentuk ini berubah. Ia rapuh. Ketika terjadi sesuatu, ia berubah. Misalnya, orang yang terbakar kulitnya, maka kulitnya akan berubah. Jadi, bentuk, atau forma, ini sebenarnya kosong. Walaupun segala sesuatu memiliki perbedaan bentuk, namun semuanya adalah sama, yakni kosong. Namun, kosong sendiri adalah kata. Ia juga adalah bentuk. Maka, kosong juga sebenarnya “kosong”. Ia tidak memiliki substansi. Ketika orang melepaskan kekosongan, ia memasuki ranah sebelum kata dan konsep. Ini adalah ranah sebelum pikiran, atau ranah jati diri sejati manusia. Kita lalu sadar, bahwa orang lain adalah kita. Tidak ada perbedaan. Namun, ini semua tidak hanya bisa dipahami secara teoritis intelektual, tetapi juga perlu disadari sepenuhnya. Jika hanya dipahami secara intelektual, maka orang seringkali jatuh ke dalam kelekatan pada kekosongan. Inilah yang disebut nihilisme, yakni ketika orang hidup tanpa pegangan apapun, lalu bertindak seeenaknya, demi kepuasan dirinya sendiri, atau demi ego semu yang ia anggap ada.
Bentuk dari segala sesuatu adalah sementara. Ia dibentuk melalui proses tertentu, dan akan berubah menjadi sesuatu yang lain. Inilah pola muncul dan menghilang yang menjadi ciri dari segala bentuk. Namun, jati diri sejati kita sebagai manusia tak pernah berubah. Ketika orang menyadari ini, ia menemukan kedamaian yang sesungguhnya di tengah beragam perubahan yang terjadi. Inilah pikiran manusia yang sama sekali terbebas dari konsep dan bahasa. Di titik ini, kita tidak lagi berbeda dengan alam semesta. Namun, kita juga tidak sama dengan alam semesta, karena berbeda dan sama adalah konsep yang diciptakan oleh pikiran kita. Keduanya kosong. Ketika kita mencoba untuk merumuskan keadaan pikiran semacam ini, kita sudah jatuh ke dalam kesalahan. Di titik ini, tidak ada lagi konsep. Tidak ada baik. Tidak ada buruk. Tidak ada terang. Tidak ada gelap. Tidak ada kekosongan. Tidak ada perbedaan. Tidak ada kesamaan. Tidak ada bentuk. Tidak ada apapun. Ini adalah keadaan sebelum pikiran. Zen berarti menyadari keadaan batin semacam ini, dan mempertahankannya di dalam kegiatan sehari-hari.
Ketika kita sudah sampai pada titik sebelum pikiran ini, lalu apa yang harus dilakukan? Apakah kita berbuat seenaknya di dalam hidup kita? Atau, apakah kita bermalas-malasan di rumah saja? Jika kita sudah menyadari jati diri sejati kita, yakni kembali ke keadaan batin sebelum segala pikiran muncul, maka kita akan bisa memahami fungsi yang tepat dari segala sesuatu. Secara alami akan muncul di dalam diri kita untuk menggunakan fungsi dari segala sesuatu, guna menolong segala sesuatu yang membutuhkan pertolongan kita. Inilah dasar sesungguhnya dari moralitas. Tidak ada yang mutlak baik dan buruk di alam semesta ini. Segala sesuatu, jika digunakan seturut fungsinya yang tepat, akan bisa menolong. Pistol bisa menjadi jahat ataupun baik, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Jika kita paham fungsinya yang tepat, kita bisa menggunakannya untuk menolong orang lain, atau menolong makhluk hidup lainnya. Jika digunakan secara jahat, ia bisa membunuh orang. Maka, semuanya tergantung kemampuan kita untuk mencerap fungsi dari segala sesuatu, dan mengikuti gerakan batin kita, sebelum segala pikiran muncul, yakni menolong segala hal yang memerlukan bantuan kita.
Segala hal di dunia ini sejatinya adalah kosong. Ia tidak baik dan tidak buruk. Ia memiliki fungsi yang tepat. Maka itu, di dalam Zen, segala sesuatu disebut sebagai “apa adanya”. Ia ada. Titik. Label berikutnya, misalnya baik atau buruk, amat tergantung dari cara kita menggunakannya. Konsep kebenaran di dalam Zen tidak rumit. Ia melihat kenyataan apa adanya. Tidak lebih dan tidak kurang. Langit berwarna biru. Pohon berwarna hijau. Gula terasa manis. Garam terasa asin. Semua apa adanya, yakni kebenaran apa adanya. Ketika kita sadar akan kebenaran sebagaimana adanya, kita lalu bisa memahami fungsi dan yang tepat dari segala sesuatu. Dan berkat kesadaran kita yang muncul sebelum segala bentuk pikiran dan konsep, kita lalu memiliki dorongan yang besar untuk menolong orang lain, ataupun makhluk hidup, yang membutuhkan bantuan kita. Dua hal ini, jika digabungkan, menggambarkan semangat Boddhisatva yang menjadi ideal hidup di dalam Zen. Boddhisatva adalah orang yang dengan kejernihan batin saat demi saat mencerap fungsi yang tepat dari segala sesuatu, termasuk hal-hal yang dianggap oleh moralitas tradisional sebagai jahat, dan menggunakan fungsi tersebut untuk menolong siapapun dan apapun.
Dengan demikian, Zen tidak hanya soal memahami inti dari segala sesuatu, yakni kekosongan. Zen juga membangunkan orang kepada fungsi sebenarnya dari segala hal di alam semesta. Dengan kesadaran ini, orang bisa menjalani hidupnya dengan kejernihan dan ketepatan, terutama menghadapi berbagai keadaan yang kerap kali rumit. Kenyataan ini memiliki kebenaran, yakni kebenaran apa adanya. Namun, kebenaran ini bukan sesuatu yang abstrak, yang berakhir pada kekosongan. Kebenaran apa adanya dari segala sesuatu juga memiliki aspek fungsional yang bisa digunakan saat ke saat untuk membantu orang lain, atau makhluk lain. Fokus Zen bukan hanya kehidupan manusia, tetapi kehidupan seluruh makhluk, termasuk makhluk dari planet lain, jika memang ada. Kesadaran dari fungsi yang tepat atas segala sesuatu mendorong tindakan yang tepat pula. Pemahaman akan fungsi dan tindakan ini kemudian dilatih di dalam wawancara Koan, yakni wawancara dengan Zen master. Misalnya, sang Zen master akan membawa gelas berisi air. Ia akan bertanya, apa esensi dari benda ini? Jika kita menjawab air, maka kita terjebak pada bentuk, kata dan konsep. Jika kita diam saja, maka kita terjebak pada kekosongan. Jawaban yang paling tepat adalah dengan menunjukkan langsung fungsi dari air tersebut. Kita langsung meminum dari gelas tersebut.
Metafisika Zen, yakni pandangan Zen tentang hakekat dari seluruh kenyataan yang ada, adalah kebenaran apa adanya, tanpa konsep maupun bahasa. Metafisika ini terhubung dengan fungsi konkret dari segala yang ada. Ini lalu terhubung dengan etika di dalam Zen, yakni panggilan untuk menolong semua makhluk, tanpa kecuali. Kebenaran apa adanya bisa sungguh dihayati, ketika kita melampaui ego di dalam diri kita. Artinya, kita lalu mencerminkan segala sesuatu apa adanya, tanpa tambahan dari pikiran kita sendiri. Ketika ada orang sakit, kita tolong. Ketika ada orang lapar, kita beri makan. Semua dilakukan secara spontan dan alamiah, apa adanya. Keberadaan kita lalu bagaikan cermin yang secara alami dan spontan memantulkan apa yang ada di depan kita. Di titik ini, kita sadar akan kebenaran apa adanya. Pohon hijau. Langit biru. Tembok putih. Mobil lewat. Anjing menggonggong. Kita memantulkan segalanya apa adanya.
Namun, kesadaran yang jernih seperti cermin ini tidak cukup, terutama untuk dunia yang semakin rumit sekarang ini. Kesadaran ini juga perlu untuk dibarengi dengan pemahaman akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu. Singkat kata, bagaimana kebenaran apa adanya yang kita hayati sebagai kesadaran ala cermin ini bisa berfungsi untuk membantu orang lain, dan makhluk lain? Maka, yang penting bukan hanya kesadaran yang jernih, tetapi juga tindakan yang tepat yang berpijak pada fungsi yang tepat dari segala sesuatu. Inilah jalan hidup Zen, yakni mendapat pencerahan (kesadaran metafisik) lalu bergerak menolong segala sesuatu dengan kesadaran tersebut (tindakan yang tepat). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan disini. Yang pertama adalah menyadari keadaan yang ada di depan mata dengan kesadaran yang jernih, yang memantul seperti cermin. Artinya, kita melihat keadaan tidak dengan kaca mata ego dan kepentingan pribadi kita, tetapi dengan kejernihan pikiran, sehingga keadaan itu bisa tampak sebagaimana adanya. Yang kedua adalah menyadari dengan sepenuhnya hubungan diri saya dengan keadaan tersebut. Dengan kata lain, kita sadar akan posisi kita, dan apa yang bisa kita lakukan, supaya keadaan menjadi lebih baik untuk semua pihak. Yang ketiga adalah menjalankan fungsi yang tepat di dalam keadaan tertentu. Artinya, kita lalu bertindak secara tepat dengan berpijak pada pemahaman yang tepat pula atas keadaan yang ada.
Pemahaman ini bisa dijelaskan dengan kalimat berikut: sadari selalu pikiran yang jernih seperti ruang hampa besar di dalam hidupmu, dan berfungsilah menolong orang lain dengan ketajaman sebuah jarum. Ini adalah praksis utama di dalam Zen. Setiap saat dalam hidup, dengan pikiran yang bersih dan jernih dari segala kepentingan diri dan beban masa lalu maupu masa depan, kita berusaha untuk memahami keadaan yang ada, memahami peran dan hubungan dengan diri kita serta kemudian bertindak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan kemampuan kita. Bagaimana cara menjaga, supaya pikiran tetap jernih? Ketika kita mendengar, kita mendengar. Ketika kita melihat, kita melihat. Semuanya adalah apa adanya, tanpa tambahan apapun. Bila kita melakukan sesuatu, lakukan dengan fokus dan sepenuh hati. Jika cara ini dilakukan terus menerus, kita akan memiliki pikiran yang jernih setiap saat. Kita akan memiliki pandangan yang luas, dan bisa menanggapi segala keadaan dari saat ke saat secara tepat. Tanggapan kita akan segala keadaan akan setajam jarum, yakni akurat dan langsung ke inti masalah, sehingga jalan keluar dari segala masalah maupun tantangan yang ada akan secara alami terlihat.
Dengan demikian, pencerahan batin yang tertinggi di dalam Zen adalah kembali ke dunia sehari-hari, yakni dunia apa adanya. Tidak ada yang sungguh istimewa. Tidak ada yang ditambahkan. Yang justru lenyap adalah ego dengan segala turunannya, seperti analisis berlebihan, emosi tak terkendali dan sebagainya. Ketika ego pribadi lenyap, kita lalu memiliki kesadaran seluas semesta itu sendiri. Tidak ada lagi perbedaan esensial antara aku dan seluruh alam ini. Inilah pengalaman kesatuan yang sesungguhnya. Segalanya lalu tampak jernih. Kita pun lalu hidup dengan pikiran jernih dari saat ke saat, dan dengan ringan membantu semua makhluk yang membutuhkan. Tidak ada lagi hubungan subyek dan obyek yang terpisah antara manusia dan alam. Semua sepenuhnya menjadi satu. Jika kita bisa menjalani hidup setiap saatnya dari titik kesatuan ini, kita akan mengalami kebebasan yang sesungguhnya. Kita akan hidup, berpikir dan bertindak tanpa hambatan apapun. Kita pun juga akan memiliki arah hidup yang jelas, yakni membantu semua makhluk yang membutuhkan.
Untuk mencapai titik ini, kita harus melatih pikiran kita, terutama dengan menyadari, bahwa pikiran kita itu sejatinya kosong. Ada banyak cara yang tersebar di beragam tradisi filsafat maupun agama di dunia. Ini seperti cara makan. Orang Eropa makan dengan garpu dan pisau. Orang Indonesia makan dengan sendok dan garpu. Orang Jepang makan dengan sumpit. Orang Korea makan dengan sumpit dan sendok. Ada banyak cara makan. Akan tetapi, tujuan semuanya hanya satu, yakni kenyang. Ada banyak cara makan. Namun, semuanya mengarah pada satu titik, yakni mengisi perut. Percuma makan dengan beragam cara, namun perut tak terisi. Percuma pula berlatih berbagai cara, tetapi kita tak menyadari jati diri sejati kita, atau mengalami pencerahan batin. Semua cara bisa membantu, asal kita sampai pada kesadaran akan jati diri sejati kita yang sejatinya tanpa nama, dan berada di tingkat sebelum segala bentuk konsep dan bahasa.
Zen juga memiliki tradisi transmisi antar pikiran. Zen tidak terjebak pada konsep dan bahasa. Ia menggunakan intuisi yang bisa dipahami melalui persentuhan pikiran antara seorang Zen master dan murindya. Ini disebut sebagai transmisi antar pikiran. Ini juga sebenarnya bukan hal yang istimewa. Kita mengalaminya dalam hidup sehari-hari. Misalnya, kita tertawa bersama teman kita, karena bersama melihat sesuatu yang lucu, atau memikirkan sesuatu yang lucu. Tidak ada kata ataupun konsep. Yang ada hanya persentuhan pikiran secara langsung. Atau ketika kita menebak pikiran teman kita, walaupun tidak ada kata ataupun konsep yang terucap. Ketika dua pikiran terhubung satu sama lain, maka terjadilah apa yang di dalam Zen disebut sebagai transmisi antar pikiran. Ini terjadi pada satu titik, dan pengertian lalu otomatis tercipta. Segala bentuk penjelasan rasional dengan menggunakan kata dan konsep tidak dapat menjelaskan hal ini. Yang diperlukan adalah sebuah tindakan yang langsung menciptakan rasa pengertian satu sama lain.
Sejatinya, zen sangatlah sederhana. Zen menunjuk langsung ke jati diri sejati kita yang terletak sebelum pikiran, konsep dan bahasa. Ketika kita menyadari jati diri sejati kita, kita akan terbangun, dan bisa menolong dunia ini. Inilah jantung hati ajaran Zen. Jati diri sejati kita berbeda dengan ego kita. Ego terbentuk melalui pola hidup kita di masa lalu. Ini menghasilkan cara berpikir dan cara merasa. Jati diri sejati kita berada sebelum ego kita ada. Ia bersifat abadi dan universal. Artinya, ia memiliki substansi yang sama dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, termasuk alam semesta itu sendiri. Ketika kita sungguh menyadari jati diri sejati kita, maka ego kita pun runtuh. Ia menjadi relatif. Artinya, ia hanya muncul, ketika kita membutuhkannya. Ketika ego runtuh, maka kebenaran akan tampil di depan kita. Semuanya akan menjadi jelas secara alami dan langsung. Ketika kita mendengar, melihat, mencium, merasakan atau berpikir, semuanya tampil apa adanya. Segalanya adalah kebenaran itu sendiri.
Segalanya juga memiliki substansi yang sama dengan kita.
Sejatinya, kita tidak pernah berpisah dengan segala sesuatu. Substansi kita dengan alam semesta ini adalah satu dan sama. Kita dan alam semesta itu sebenarnya sudah merupakan kebenaran itu sendiri, asalkan kita tidak melekat pada segala bentuk pikiran, konsep dan bahasa yang muncul di kepala kita. Pohon berwarna hijau. Tembok berwarna putih. Baju berwarna merah. Semua sudah merupakan kebenaran apa adanya. Ketika malam, langit gelap. Ketika cerah, langit biru. Ketika tidak ada pikiran, konsep dan bahasa, semua sudah jelas dengan sendirinya, apa adanya. Pada titik ini, seluruh alam semesta adalah kita, dan kita adalah alam semesta. Pikiran kita bersih dan jernih bagaikan cermin yang memantulkan semuanya apa adanya, tanpa tambahan apapun. Ketika sendok ada, sendok yang dipantulkan. Ketika garpu ada, garpu yang dipantulkan. Anjing menggonggong. Kucing mengeong. Ketika kita melihat sesuatu, kita menyatu dengan itu, karena itu juga sudah merupakan jati diri sejati kita. Zen tidaklah unik atau khusus. Ia biasa-biasa saja. Puisi berikut kiranya membantu:
Datang dengan tangan kosong, pergi dengan tangan kosong, itulah manusia
Ketika kamu lahir, darimana kamu datang?
Ketika kamu mati, kemana kamu pergi?
Hidup itu seperti awan yang muncul
Kematian itu seperti awan yang menghilang
Sejatinya, awan itu tidak ada
Hidup dan mati, datang dan pergi, itu juga seperti itu
Namun, ada satu yang selalu tetap dan jelas
Ia bersifat murni dan bersih, tidak tergantung pada hidup dan mati
Apa ini yang bersifat murni dan bersih?
Puisi ini melukiskan maksud utama Zen dan seluruh ajaran filsafat di dunia ini. Tubuh kita bertumbuh, dan suatu saat akan rusak, serta hancur. Banyak orang mengira, bahwa diri mereka semata hanya tubuhnya. Pendek kata, mereka melekat pada tubuhnya. Pandangan semacam ini menimbulkan penderitaan berat bagi hidup manusia. Ketika tubuhnya sakit, mereka mengira, bahwa diri mereka juga sakit. Sesungguhnya, pandangan ini tidak sesuai dengan kenyataan apa adanya. Kita bukanlah tubuh kita. Tubuh kita bisa sakit, rusak dan hancur. Namun, ada sesuatu di dalam diri kita yang abadi, murni dan bersih. Ia tidak dapat dijelaskan dengan konsep ataupun kata. Namun, ia dapat dirasakan. Zen adalah jalan untuk menyadari sesuatu yang bersifat abadi, murni dan bersih di dalam diri kita ini. Ia adalah jati diri sejati kita sebagai manusia. Ia adalah keadaan alamiah kita sebagai manusia. Namun, ia juga sekaligus adalah jati diri atau substansi dari seluruh alam semesta yang ada.
Ada beragam air. Ada air minum. Ada air kotor. Ada air sungai. Ada air hujan. Ada air keran. Ada minuman soda. Ada minuman beralkohol, dan beragam jenis lainnya. Semuanya memiliki bentuk yang berbeda. Semua tampak tak berkaitan satu sama lain. Namun, sejatinya, mereka memiliki substansi yang sama, yakni H2O. Nama dan bentuk berbeda. Rasa dan kegunannya pun berbeda. Akan tetapi, substansinya adalah sama, yakni H2O. Ini sama halnya dengan cokelat. Ada banyak ragam coklat. Ada coklat putih. Ada coklat keju. Ada coklat strawberry. Ada kue coklat. Ada roti coklat. Ada biskuit coklat. Semunya berbeda nama, bentuk dan kegunaan. Akan tetapi, semuanya memiliki substansi yang sama, yakni cokelat. Analogi air dan cokelat ini berguna untuk menjelaskan substansi manusia yang sudah selalu sama dengan substansi segala yang ada di alam semesta, termasuk alam semesta itu sendiri. Walaupun, bentuk, nama dan fungsinya berbeda-beda.
Zen juga melihat segala yang ada di alam ini sebagaimana adanya, yakni bahwa segalanya selalu berada dalam keadaan perubahan yang tak pernah berhenti. Analogi bunga bisa digunakan untuk menjelaskan poin ini. Di negara-negara dengan empat musim, kita bisa melihat bunga bertumbuh pada musim semi. Ketika musim panas tiba, bunga-bunga indah bertumbuhan mewarnai kebun dan taman. Namun, ketika musim gugur tiba, banyak bunga berguguran. Pohon juga melepaskan daunnya. Waktu berlalu. Musim dingin pun tiba. Semua pohon tampak mati. Yang ada hanya batang, tanpa daun, bunga ataupun buah. Lalu, musim semi pun tiba, dan bunga serta daun juga mulai bertumbuhan. Lingkaran yang sama pun berputar kembali. Sebelum bunga ada, yang ada hanya batang kosong. Lalu, dengan adanya perubahan cuaca, bunga dan daun bertumbuh. Awalnya, mereka tak punya warna. Warna pun kemudian muncul. Jadi, batang kosong, lalu tumbuh bunga, bermekaran indah, layu, mati dan dibuang. Itulah bunga. Pola ini akan terus berulang. Ini adalah perubahan.
Jika kita melihat dan memahami dunia sebagaimana adanya, dan bukan sesuai dengan keinginan ataupun pandangan konseptual kita, maka kita akan sadar, bahwa segala sesuatu sama seperti bunga ini. Segala sesuatu datang dari kekosongan, sementara ada dan kemudian kembali ke kekosongan. Segala sesuatu memiliki ciri seperti ini, termasuk air, udara, bunga, gunung, sungai, hewan, manusia, tumbuhan dan juga pikiran kita. Semuanya memiliki ciri yang sama sekaligus substansi yang sama. Di balik segala bentuk dan nama, ada substansi yang abadi dan tak berubah. Substansi ini sama di balik segala sesuatu di alam semesta ini. Di bagian luar, di tingkat bentuk dan nama, segala sesuatu berubah, bagaikan bunga yang berubah, seturut musim. Namun, di balik segala bentuk itu, ada substansi yang sama, tetap dan abadi. Sejatinya, ia tidak punya nama, karena nama masih merupakan konsep dan bahasa. Kata “substansi” sebenarnya tidak banyak menjelaskan. Semua hal memilikinya. Semua orang mempunyainya. Ketika kita menyadarinya, kita akan hidup dalam aliran kenyataan, sebagaimana adanya, tanpa ada halangan. Kematian dan bahkan kiamat dunia pun tak akan menciptakan ketakutan di dalam diri kita.
Pencerahan batin adalah kebebasan yang seutuhnya. Orang menemukan cinta yang besar dan alami di dalam dirinya untuk seluruh alam semesta. Orang lalu sadar akan fungsi utamanya di dalam hidup saat demi saat, yakni menolong segala hal yang membutuhkan pertolongan kita. Pemahaman ini bukanlah semata pemahaman intelektual, tetapi juga pemahaman yang berakar pada keseluruhan eksistensi diri manusia. Ia lahir dari kesadaran penuh atas jati diri sejati dari manusia yang juga merupakan jati diri atau substansi dari segala yang ada di alam semesta.
Banyak orang tidak memahami ini, atau sekedar memahami secara intelektual, karena mereka mengalami kelekatan pada pikiran. Kelekatan pada pikiran, atau kecanduan berpikir, menciptakan penderitaan yang begitu besar bagi banyak orang. Orang-orang yang menderita juga akhirnya tidak hanya menyakiti orang lain, teman dekat ataupun keluarganya, tetapi juga seluruh alam ini, termasuk hewan dan tumbuhan. Kelekatan pada pikiran juga menciptakan kelekatan-kelekatan lainnya, seperti kelekatan pada pendapat pribadi, kelekatan pada emosi pribadi (marah, sedih, cemas, takut), kelekatan pada keadaan dan kelekatan pada benda-benda eksternal lainnya, seperti uang, harta, kuasa, posisi, jabatan, karir, narkoba, alkohol, seks, belanja dan sebagainya. Karena begitu banyak orang melekat pada pikiranya sendiri, yakni mengira, bahwa pikirannya adalah kenyataan yang benar secara absolut, padahal pikiran terus berubah, seturut beragam bentuk keadaan, maka banyak sekali orang yang mengalami penderitaan batin dalam hidupnya.
Zen mencoba menarik orang dari kesalahan berpikir semacam ini, supaya ia lalu bisa melihat kenyataan sebagaimana adanya yang selalu sudah tampak jelas di depan matanya sendiri. Sejatinya, kebenaran itu sudah selalu ada di kenyataan sebagaimana adanya. Ia tidak berubah, dan abadi. Jika orang ingin menyadari kebenaran semacam ini, orang harus melepaskan semua bentuk pendapat, pikiran dan kelekatannya. Jika itu sudah terjadi, maka ia bisa melihat dengan jernih, mendengar dengan jernih, mencium dengan jernih, merasakan dengan jernih, dan berpikir dengan jernih. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Dengan kejernihan semacam ini, kita lalu bisa berfungsi saat demi saat untuk membantu segala hal yang membutuhkan bantuan kita. Kita bisa memahami keadaan dengan jernih. Kita juga bisa melihat dengan jernih hubungan kita dengan keadaan tersebut. Lalu, kita bisa bertindak dengan tepat, seturut dengan keadaan yang ada.
Langit adalah bumi, bumi adalah langit
Langit dan bumi berputar
Air adalah gunung, gunung adalah air
Air dan gunung adalah kosong
Langit adalah bumi, bumi adalah langit, kapan mereka berputar?
Gunung adalah gunung, air adalah air
Semua sudah lengkap
Ini adalah puisi tua tentang pencerahan batin. Isinya adalah tentang kebenaran apa adanya. Kita bisa hidup dengan berpijak pada kebenaran semacam ini. Awalnya, mungkin kita terjebak oleh berbagai konsep, pikiran dan bahasa yang kita sering gunakan. Ini terjadi, akibat kebiasaan yang kita bangun sedari kecil, seturut dengan pola asuh dan pola didik yang kita terima. Namun, jika dilihat lebih dalam, kita tidak dapat melekatkan diri pada apapun di dalam hidup ini. Semua berubah. Semua datang, dan semua pergi. Namun, pandangan ini masih menggunakan konsep, yakni “tetap” dan “berubah”. Keduanya dilihat sebagai oposisi. Padahal, keduanya hanyalah ciptaan dari pikiran manusia. Keduanya hanya alat bantu untuk memahami kenyataan, dan bukan kenyataan itu sendiri. Ketika kita mengira konsep dan oposisi sebagai kenyataan, maka kita hidup dalam delusi. Kelekatan dan penderitaan pun muncul mengikuti. Pandangan semacam ini tidak tepat. Ia harus dilampaui.
Ketika kita mulai menekuni jalan Zen, kita akan menemukan jalan yang lebih membebaskan. Kita menyadari keadaan batin sebelum segala pikiran, konsep dan bahasa muncul. Artinya, kita menyadari substansi sejati kita sebagai manusia yang juga merupakan substansi dari seluruh alam semesta. Kita juga sadar, bahwa segala hal yang ada di alam semesta memiliki inti yang satu dan sama. Inti, atau substansi, ini sejatinya tidak mempunyai nama apapun. Ketika kita menyadarinya, kita lalu terbebas dari kelekatan pada konsep, bentuk dan bahasa. Di tingkat permukaan, segala sesuatu terus bergerak dan berubah. Namun, di tingkat substansi, segala sesuatu satu, tetap dan abadi. Sebelum menekuni jalan Zen, hidup kita dipenuhi kelekatan pada konsep, pikiran, ide, bahasa dan bentuk. Artinya, kita melekat pada segala bentuk permukaan kehidupan yang terus berubah. Kelekatan pada sesuatu yang terus berubah menghasilkan kekecewaan, kesedihan dan penderitaan. Kelekatan pada pikiran, misalnya, menghasilkan penderitaan yang dalam, karena pikiran tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Konsep, hasil dari pikiran, bukanlah realitas. Ketika kita masuk ke level inti, yakni level substansi, kita melepaskan segala kelekatan pada hal-hal yang berubah. Kita hidup dari pusat diri kita, yakni jati diri kita yang sejati, yang bersifat abadi, tetap dan sama dengan seluruh alam semesta. Langit adalah langit. Bumi adalah bumi. Pikiran kita tidak lagi bergerak oleh perubahan keadaan di luar diri kita.
Ketika kita menyadari jati diri sejati di dalam diri kita, kita akan hidup seperti cermin, yakni menanggapi dunia ini apa adanya, tanpa tambahan apapun. Langit adalah langit. Bumi adalah bumi. Kita membiarkan segala sesuatu dan datang dan pergi, karena itulah ciri utama dari kenyataan. Di balik segala perubahan yang datang dan pergi itu, kita menemukan sesuatu yang abadi, yakni substansi. Jalan Zen mengajak kita untuk menyadari substansi tersebut yang selalu sudah ada di dalam diri kita, dan di seluruh alam semesta. Sejatinya, tidak ada perubahan. Perubahan itu hanya tampak bagi panca indera dan pikiran kita. Seperti disinggung sebelumya, perubahan dan keabadian adalah dua konsep yang diciptakan oleh pikiran manusia. Keduanya adalah konsep yang beroposisi. Sementara, pikiran itu sejatinya rapuh dan tidak bisa mencerminkan kenyataan apa adanya. Maka, perubahan dan keabadian juga merupakan sebuah konsep yang rapuh, yang tidak bisa mencerminkan kenyataan apa adanya.
Di dalam tradisi Zen, peran seorang guru, dalam hal ini dikenal sebagai Zen master, amatlah penting. Jika kita bertemu guru yang salah, maka kemungkinan besar, kita akan tersesat. Ini seperti orang buta menuntun orang buta. Lalu, mereka berdua masuk ke dalam selokan. Kecenderungan lainnya adalah, orang belajar pada seorang guru, dan menjadi melekat padanya. Ia mengira, gurunya adalah semacam Tuhan atau dewa yang tak dapat salah. Pola semacam ini juga tidak membantu orang menekuni jalan Zen.
Di dalam tradisi Zen yang berkembang di China, Jepang dan Korea, orang diminta untuk pergi berkeliling mengunjungi beberapa Zen master. Ini dilakukan persis untuk mencegah kelekatan pada satu sosok Zen master. Namun, yang terpenting adalah, bahwa semua proses ini harus dijalani sendiri. Guru hanya membantu. Jalan Zen adalah jalan untuk menemukan jati diri sejati sebelum segala bentuk konsep, pikiran dan bahasa lahir. Kita harus menemukan orang yang telah menyadari jati diri sejatinya. Ia adalah seorang Zen master yang sesungguhnya. Setelah kita sendiri sungguh menyadari jati diri sejati kita, kita lalu bisa membantu orang lain untuk menemukan jati diri sejatinya.
Kesadaran akan jati diri sejati ini disebut juga sebagai pencerahan batin. Namun, dua kata ini, yakni jati diri sejati dan pencerahan batin, sejatinya tidak berarti apa-apa. Keduanya hanyalah kata dan konsep yang lahir dari pikiran. Ketika orang melekat padanya, maka ia juga akan tersesat, dan jatuh kembali ke dalam penderitaan. Maka, orang tidak boleh melekat pada kata dan konsep, semacam jati diri sejati atau pencerahan batin. Satu prinsip yang terus harus diingat adalah, bahwa jati diri sejati itu sudah selalu ada di dalam diri kita. Kita hanya perlu melihat ke dalam. Kita hanya perlu melepas semua pikiran di kepala kita, dan kembali ke keadaan sebelum pikiran. Jadi, pencerahan batin bukanlah pengetahuan baru untuk ditambahkan ke dalam diri kita, melainkan sebaliknya, kita mengurangi segala bentuk pengetahuan, lalu masuk ke dalam kebijaksanaan. Keadaan ini bisa juga disebut sebagai pikiran yang jernih. Dengan pikiran jernih semacam ini, kita bisa menjalani hidup kita sehari-hari. Pikiran jernih ini juga bisa disebut sebagai pikiran sehari-hari. Pikiran sehari-hari adalah pencerahan batin.
Zen Master Seung Sahn dari Korea mengembangkan alat mengajar yang disebutnya sebagai lingkaran Zen. Lingkaran Zen ini sejatinya tidak ada. Ia adalah konsep dan kata yang berasal dari pikiran. Namun, ia berguna sebagai alat untuk mengajar di dalam tradisi Zen. Lingkaran ini memiliki lima titik, yakni 0 derajat, 90 derajat, 180 derajat, 270 derajat dan 360 derajat. Titik terakhir, yakni 360 derajat, memiliki titik yang sama dengan dengan 0 derajat. Lingkaran Zen ini dapat dilihat sebagai tahap-tahap perkembangan orang di dalam menekuni jalan Zen. Bagian pertama adalah titik 0 sampai 90. Di titik ini, orang mengalami kelekatan pada pikiran, konsep dan bahasa. Ia yakin, bahwa pikirannya adalah kenyataan dan kebenaran. Maka, ia lalu memaksakan pikiran dan konsepnya ke dalam kenyataan, dan kepada orang lain. Tentu saja, cara hidup semacam ini menghasilkan banyak penderitaan, tidak hanya bagi dirinya, tetapi bagi orang lain. Di titik ini, orang juga mengira, bahwa konsep dan bentuk adalah kenyataan dan kebenaran. Yang tercipta kemudian adalah penilaian baik dan buruk. Cara berpikir oposisi dan dikotomis pun muncul. Ia benci sesuatu. Ia suka sesuatu. Ia menilai segalanya. Cara hidup 0 sampai 90 derajat ini penuh dengan kemarahan, ambisi, nafsu dan ketidaksadaran. Orang terobsesi untuk mencapai kebahagiaan dengan beragam cara yang ada. Namun, tentu saja, upaya itu gagal, dan justru melahirkan penderitaan.
Pada 90 derajat, orang masih melihat dunia dengan pikirannya. Ini seperti argumen Descartes yang memulai filsafat modern, yakni aku berpikir, maka aku ada. Artinya, keberadaanku sebagai manusia ditentukan sepenuhnya oleh pikiranku. Aku lalu melihat diriku sebagai profesiku, asal negaraku, agamaku, etnisku, hobiku dan sebagainya. Pada 0 derajat, orang melekat pada bentuk dan nama. Pada 90 derajat, orang melekat pada pikiran. Ketika orang terus menekuni jalan Zen, maka ia akan memasuki 180 derajat. Pada titik ini, pikiran tidak ada. Orang menyadari sepenuhnya kekosongan dari segala sesuatu. Kesadaran diri akan “aku” menjadi sepenuhnya hilang. Tidak ada bentuk. Bahkan, tidak ada kekosongan, karena kekosongan pun hanya sekedar konsep hasil pikiran. Tidak ada kata ataupun konsep yang bisa menjelaskan keadaan batin dari orang yang telah sampai pada 180 derajat. Orang telah sampai pada keadaan sebelum pikiran, dimana tidak ada kata dan konsep. Pemahaman yang muncul di titik ini hanya dapat dijelaskan melalui tindakan, seperti berteriak, memukul meja atau yang lainnya. Semua tindakan itu mengekspresikan substansi universal, atau jati diri sejati kita sebagai manusia.
Jika kita melatih terus keadaan batin sebelum pikiran ini, kita akan menemukan kejernihan sempurna, yakni pikiran yang sepenuhnya tak bergerak, apapun yang terjadi. Kejernihan semacam ini tanpa nama dan tanpa konsep. Ketika kita menyadarinya, tanpa melekat padanya, kita menjadi satu dengan seluruh alam semesta. Pada titik ini, kita bisa melakukan apapun. Inilah titik 270 derajat. Pada titik ini, kita bisa melakukan apapun, karena kita telah menjadi satu dengan alam semesta. Pada beberapa tradisi, orang mengembangkan sihir dan kemampuan gaib pada titik ini. Ruang dan waktu lenyap. Semuanya bisa digunakan tanpa halangan apapun. Namun, titik ini juga belum lengkap, karena orang masih menggunakan kemampuan dan kebebasannya demi kepentingannya sendiri, misalnya untuk kekayaan atau kesehatannya sendiri. Pada titik 270 derajat ini, kepentingan diri kerap kali muncul, dan orang kembali melekat pada bentuk, konsep dan bahasa. Oleh karena itu, titik 270 derajat ini pun harus dilampaui. Para yogi biasanya berhenti pada titik 270 derajat ini. Mereka bisa terbang, atau menggerakan sesuatu dengan pikiran mereka. Mereka menggunakan kesatuan dengan alam semesta untuk melakukan itu.
Ketika pikiran kita sepenuhnya kosong, kita bisa menggunakan energi semesta untuk melakukan apapun yang kita kehendaki. Tidak ada sihir ataupun kekuatan gaib disini. Namun, Zen bukanlah soal menggunakan alam dengan pikiran kita. Zen berarti mencoba menjalani hidup sehari-hari, tanpa kelekatan pada konsep, pikiran ataupun bahasa. Ada beberapa Zen master yang menggunakan titik 270 derajatnya sebagai alat bantu ajar, justru supaya muridnya tidak melekat pada titik itu. Kelekatan pada titik ini sangat berbahaya, karena justru mengembalikan orang ke titik 0 sampai 90 derajat. Ia menjadi terfokus pada egonya. Padahal, ajaran yang sejati melepaskan orang dari egonya, dan mendorongnya untuk membantu semua makhluk. Inilah inti Zen. Kemungkinan lainnya adalah orang melekat pada kebebasan, atau lebih tepatnya ide tentang kebebasan. Ketika orang melekat pada ide kebebasan, ia tidak bisa berbuat apapun, karena ia juga diperbudak oleh pikirannya. Inilah konsep kebebasan yang banyak dibicarakan di media, yakni ide tentang kebebasan yang berakar pada konsep dan pikiran. Yang tercipta kemudian adalah penderitaan batin yang berat, yang lalu bermuara pada kekerasan politik dan anarki ekstrem di dalam masyarakat.
Kelekatan pada ide tentang kebebasan berarti kelekatan pada titik 270 derajat ini. Ketika orang bergerak melepas titik 270 derajat, dan memasuki titik 360 derajat, orang sadar sepenuhnya, bahwa segala sesuatu sudah memiliki kebenaran apa adanya. Artinya, titik ini sebenarnya sudah selalu sama dengan 0 derajat. Namun, titik 360 derajat adalah titik tanpa kelekatan. Sementara, titik 0 derajat adalah titik kelekatan manusia. Kita kembali ke titik awal, dimana kita mulai. Namun, di titik 360 derajat ini, tidak ada perbedaan antara aku dan dunia. Tidak ada subyek dan tidak ada obyek. Segalanya adalah satu. Ketika kita melihat langit, kita dan langit adalah satu. Ketika kita melihat laut, kita dan laut adalah satu. Semua tindakan kita menjadi jernih apa adanya. Tidak ada ruang dan tidak ada waktu. Keduanya adalah konsep yang berguna, tetapi sebenarnya tidak memiliki jangkar yang kuat pada kenyataan. Hidup kita menjadi jernih dari saat ke saat. Kita lalu bisa tergerak secara alami untuk membantu semua mahluk yang membutuhkan. Tidak ada kelekatan dan tidak ada ambisi apapun. Inilah puncak tertinggi dari Zen, yang sebenarnya tanpa puncak sama sekali.
Pikiran Zen adalah pikiran yang selalu jernih. Ketika mengendarai motor, dan melihat lampu merah, kita berhenti. Ketika lampu hijau, kita jalan. Semua jelas dan sederhana. Ketika kita mengendarai motor, yang ada di pikiran kita hanya satu, yakni mengendarai motor. Kita tidak berpikir soal apa yang telah terjadi. Kita tidak berpikir soal pekerjaan. Kita tidak mengkhawatirkan masa depan, dan sebagainya. Kita bergerak dan bertindak dari kesadaran penuh akan saat ini. Kita hidup dengan intuisi, yakni persentuhan langsung dengan kenyataan sebelum konsep, bahasa dan pikiran. Di titik ini, tidak ada kelekatan apapun. Kita mencerminkan keadaan apa adanya, karena hidup kita seperti cermin. Ketika warna merah muncul, kita menjadi merah. Ketika warna putih muncul, kita menjadi putih. Tidak ada keinginan untuk diri sendiri. Tidak ada kepentingan diri. Semua pilihan dan tindakanku hanya memiliki satu tujuan, yakni membantu semua makhluk. Tidak ada ketakutan akan kematian, karena hidup dan mati adalah konsep-konsep ciptaan pikiran yang tidak nyata pada dirinya sendiri. Tidak ada ketakutan dan kecemasan apapun. Yang ada hanya satu hal, yakni “tidak tahu” yang berarti juga tanpa pikiran, tanpa ide, tanpa konsep dan tanpa bahasa.
sumber : https://rumahfilsafat.com/2015/08/27/zen-substansi-manusia-dan-alam-semesta/