Tingkatkan Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan

Oleh: YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira

Makna Kesadaran

Dalam agama Buddha, manusia tersusun atas jasmani (rupa) dan batin (nama). Jasmani adalah wujud tubuh kita yang tampak, sedangkan batin terdiri dari kesadaran, pikiran, perasaan dan persepsi. Ketidak kekalan juga berlaku bagi kehidupan psikis manusia, sebagaimana juga berlaku bagi fisis (jasmani/ragawi) manusia. Baik psikis maupun fisis manusia tidak mengandung suatu esensi atau subtansi yang berdiri sendiri, melainkan unsur-unsur yang saling bergantungan satu sama lain, suatu jalinan perpaduan yang selalu berubah.

Kesadaran adalah kesadaran akan perbuatan. Sadar artinya merasa, tahu atau ingat (kepada keadaan yang terjadi/kejadian yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya, ingat kembali (bagaimana keadaan dirinya), siuman, bangun (dari tidur), ingat, tahu dan mengerti, misalnya , manusia sadar akan dirinya, mengetahui posisi dirinya, menyadari kondisi dirinya, bagaimana keadaan dirinya, menyadari kelebihan maupun kekurangan dirinya.

“Mengapa orang menyebut kesadaran ?, Ia menyadari maka disebut kesadaran. Menyadari apa? Ia menyadari, misalnya: Rasa asam, rasa pahit, pedas, manis, basa, bukan basa, asin dan tidak asin.”

( Samyutta Nikaya 22 : 70) ” Kesadaran itu menyadari apa? Ia mengenal, misalnya : ada kesenangan, ada kesedihan, bukan kesenangan atau bukan kesedihan “. ( Majjhima Nikaya 43 : 140 )

“Setiap kesadaran yang bagaimanapun, baik di waktu yang lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang, baik yang ada di dalam maupun di luar diri orang, kasar atau halus, di atas atau di bawah, jauh atau dekat, yang dipengaruhi oleh noda-noda dan dipancing oleh kemelekatan, disebut kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan.” ( Samyutta Nikaya 22 : 48 )

” Keinginan yang merupakan akar dari lima kelompok yang dipengaruhi kemelekatan… Empat unsur besar ( Tanah, air, api dan udara ) adalah sebab dan syarat untuk menjelaskan kelompok bentuk jasmani. Kontak adalah untuk menjelaskan kelompok perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran. Nama dan rupa adalah untuk menjelaskan kelompok kesadaran.” (Majjhima Nikaya 109 )

Kesadaran ini bersifat ‘diskriminatif’ atau bersifat ‘memilah-milah’. Ini melipuli “pengetahuan” dasar terhadap obyek sensori dan mental, dan pemilahan terhadap aspek dasarnya, yang sebenarnya dikenali oleh sanna (pencerapan). la terdiri dari enam jenis sesuai dengan pintu masuk kesadaran itu, yaitu: melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, atau pikiran. la juga dikenal dengan nama citta, titik fokus utama dari kepribadian yang bisa dilihat seperti semacam “pikiran”, “hati”, atau “pemikiran”. la pada hakekatnya adalah “rangkaian pemikiran” atau “mentalitas”; beberapa aspek darinya berubah-ubah dari waktu ke waktu, tetapi yang lainnya timbul kembali secara terus menerus dan dapat disetarakan dengan karakter, sifat, atau kepribadian seseorang.

Refleksi merupakan bentuk dari penggungkapan kesadaran, di mana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan. Setiap teori yang dihasilkan oleh seorang merupakan refleksi tentang realitas dan manusia.

Kesadaran Dalam Buddhisme

Lima skandhas yang dimiliki manusia terdiri: 1. Rupa (jasmani); 2. Vedana (Sensasi, perasaan); 3. Samjna (konsepsi, pencerapan); 4. Samskara (bentuk-bentuk mental, kualitas mental); 5. Vijnana (kesadaran);

Dua belas Ayatana: yang merupakan dasar dari mana kegiatan-kegiatan mental itu timbul, dua belas ayatana ini adalah enam indera dengan obyeknya, Yaitu: 1. Mata dengan obyek bentuk; 2. Pendengaran dengan obyek suara; 3. Penciumana dengan obyek bebauan; 4. Pengecapan dengan obyek rasa; 5. Kulit/tubuh dengan obyek sentuhan; 6. Pikiran dengan obyek idea-idea;

Delapan belas Dhatu: faktor-faktor kesadaran yang terdiri dari 12 ayatana dan enam Vijnana (enam aspek kesadaran, misalnya: 1, kesadaran mata, 2. kesadaran telinga, 3. kesadaran hidung, 4. kesadaran lidah, 5. kesadaran tubuh/kulit, 6. kesadaran pikiran)

Alaya Vijnana: adalah Gudang kesadaran, merupakan kekauatan atau energy yang berada dibelekang segala aktivitas manusia. Alaya Vijnana merupakan endapan dari berbagai benih karma lampau, yang muncul dan berkembang dalam tindakan manusia berupa kegiatan mentalnya, perasaan, persepsi, kehendak dan berhubungan dengan Lima Skandhas serta pikiran yang berkontak dengan dunia luar.

Dari proses itu timbul kesadaran. Untuk menjadi suci, Alaya Vijnana perlu dibebaskan dari kesadaran yang dualitas, subyek-obyek, paham-paham palsu, pandangan salah, keterikatan terhadap obyek hingga mencapai kedemikianan (Tathata), ‘Kesadaran Kebuddhaan’ yang non dualitis, tidak membedakan atau mencapai Amala Vijnana, yakni Kesadaran Murni, kesadaran yang bebas noda.

Terdapat delapan rangkaian kesadaran yang belum suci dan satu kesadaran yang telah bebas noda, total ada Sembilan Kesadaran, yaitu:

Lima kesadaran yang berhubungan dengan panca-indera:

  1. Kesadaran visual, kegitan mental yang tergantung pada mata,
  2. Kesadaran pendengaran, tergantung pada telinga.
  3. Kesadaran penciuman, tergantung pada hidung.
  4. Kesadaran pengecapan, tergantung pada lidah.
  5. Kesadaran sentuhan, tergantung pada kulit/tubuh.
  6. Kesadaran pusat indera, Mano Vijnana (Kesadaran pikiran, pembentuk gagasan, pemikiran)
  7. Kesadaran pusat pikiran, Manas Vijnana (Berpikir, berkehendak, ber’ego’, ber’aku’)
  8. Kesadaran gudang ideasi, Citta Vijnana/Alaya Vijnana (Gudang kesadaran yang merupakan sumber dari segenap perwujudan)
  9. Kesadaran bebas noda, yaitu: Amala Vijnana (Kesadaran yang mampu melihat sebagaimana adanya, kedemikinan, tidak lagi bersifat dualitis, tidak lagi membedakan).

Kesadaran itu sifatnya berkembang atau berevolusi, evolusi kesadaran. Setiap tindakan manusia menghasilkan akibat, dan akibat ini dikenal sebagai Vasana (endapan), yang terus akan menyimpan seturut dengan adanya tindakan yang menjadi Alaya-vijnana (gudang kesadaran).

Dalam Alaya-vijnana terendap jejak-jejak pikiran, perbuatan berbagai benih karma masa lampau. Endapan tersebut secara potensial berkembang menjadi sentuhan, kegiatan mental, persepsi dan kehendak yang berhubungan dengan lima skandhas. Kemudian ideasi, kesadaran pikiran berkembang menghadapi batin terhadap dunia luar. Timbullah kesadaran akibat panca-skandhas dengan obyek-obyeknya.

Bentuk-bentuk kesadaran banyak beragam, kesadaran yang mengarah ke hal positif ada pula mengarah ke negatif; Kesadaran yang mengarah ke jahatan, ada pula yang mengarah ke baikan; Kesadaran yang mengarah kepada ketamakan, kebencian, ketidaktahuan (gelap batin), kesombongan/kemalasan, keraguan, dan pandangan salah. Ada pula kesadaran murni yang tidak ternoda subyek dan obyek; dan lain sebagainya.

Jenis-jenis kesadaran

Dalam Ajaran Buddha, ada beberapa istilah yang diterjemahkan sebagai kesadaran atau dihubungkan dengan konsep kesadaran, dan setiap satunya mempunyai aroma berbeda. Adalah bermanfaat untuk mengetahui perbedaan aspek-aspek kesadaran itu.

  1. Sati berarti ‘mengingat kembali’, baik dalam arti memori. Sati adalah aspek kesadaran yang mengetahui apa yang terjadi pada waktu tertentu. Contohnya, saat kita menyadari postur kita, kita berada dalam mood tertentu, pikiran kita sedang awas atau jemu, maka itulah sati. Sati adalah suatu kondisi kewaspadaan dimana kita memberi perhatian pada apa yang sedang terjadi disini dan sekarang. Saat kita sedang penuh perhatian apakah kita sedang sadar akan sensasi tubuh, perasaan dan pikiran kita.
  2. Sampajanna adalah aspek kesadaran yang berkembang setelah suatu jangka waktu tertentu. Sampajanna melibatkan kesadaran akan tujuan (ke mana kita akan pergi), dan suatu kesadaran akan di mana kita sudah berada. Jadi Anda mungkin duduk bermeditasi dan menyadari Anda perlu melatih cinta kasih. Ketika Anda melakukan itu Anda mengembangkan suatu pengertian di mana Anda ingin pergi. Ini agak berbeda dari apa yang orang pikirkan ketika mereka berpikir kesadaran sebagai ‘berada di saat ini’ dan ‘melepaskan masa lalu dan masa depan’. Sampajanna mengijinkan kita memikirkan masa depan secara penuh kesadaran. Setelah memutuskan ke mana kita akan pergi, kemudian kita memeriksa diri kita dari waktu ke waktu selama meditasi. Ini menerapkan sati untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sampajanna membandingkan di mana kita dengan ke mana kita akan pergi — dalam hal ini mengevaluasi ‘apakah saya membuat kemajuan dalam melatih cinta kasih?’
  3. Dhamma-vicaya adalah aspek kesadaran yang mengelompokkan pengalaman kita dalam beberapa model atau yang lain. Suatu aspek penting meditasi adalah belajar cara-cara mengkategorikan baik gangguan (rintangan) maupun kualitas positif yang dapat kita kembangkan dalam meditasi (faktor-faktor dhyana). Dhamma-vicaya adalah tindakan memperbandingkan pengalaman batin kita dengan sebuah peta mental, agar kita dapat menavigasi lebih tepat ke arah tujuan kita.
  4. Appamada adalah kesadaran dalam arti kewaspadaan. Kesadaran yang timbul dalam rasa pentingnya tugas yang sedang dijalani. Beberapa kitab berkata jika Anda kehilangan kesadaran Anda, Anda harus mengambilnya kembali seperti prajurit yang telah membuang pedangnya di tengah pertempuran. Analogi menarik lainnya adalah kita harus bertindak secepat seseorang yang telah mengetahui topinya terbakar. Appamada adalah aspek dinamis dari kesadaran.

Kesadaran yang diliputi kebodohan

Perlu diakui bahwa kita memiliki kekotoran batin. Sebagian besar tindakan kita digerakkan olehnya. Seolah-olah kita tak berdaya dalam mengendalikannya. Ada tiga (3) tingkatan kilesa, yaitu:

1. Vitikamma kilesa, yaitu: kekotoran batin yang telah terwujud dalam perbuatan jasmani dan ucapan.

2. Pariyutthana kilesa, yaitu: kekotoran batin yang muncul dalam pikiran.

3. Anusaya kilesa, yaitu: kilesa yang terpendam dalam kesadaran dan ketika ada kondisi yang memadai, maka menyebabkan kemunculan pariyutthana kilesa dan vitikamma kilesa.

Sebagai contoh, ketika seseorang melihat makanan lezat tersajikan (objek yang menyenangkan), maka timbul perasaan menyenangkan. Kemudian, kekotoran batin yang terpendam (anusaya kilesa) muncul ke permukaan ‘kesadaran’. Disini kilesa sudah termasuk dalam tingkat pariyutthana kilesa. Kekotoran batin berupa nafsu telah muncul dalam pikiran sadar seseorang. Lalu, karena dorongan kekuatan nafsu keinginan, maka kita menggerakkan tangan untuk mengambil dan memakannya. Ketika landasan indera pengecap kontak dengan objeknya, yaitu rasa makanan itu, timbullah kesadaran mengecap, timbullah perasaan menyenangkan yang mengalami nikmatnya makanan lezat tersebut. Dari perasaan inilah, muncul nafsu keinginan. Menginginkannya lagi dan lagi. Faktor mental keserakahan muncul ke permukaan kesadaran (termasuk dalam tingkat pariyutthana kilesa) dan kemudian terwujud lagi dalam tindakannya dengan memakan lebih banyak (termasuk dalam vitikamma kilesa).

Di samping itu, ketika kontak terjadi, ada faktor batin yang turut bekerja, yaitu: pencerapan (sanna). Tugas pencerapan adalah menandai hal baru dan mengenali hal yang telah disimpan dalam gudang kesadaran. Dalam kasus di atas, ketika seseorang telah mencicipi makanan tersebut, dia mencerap bahwa makanan itu ‘enak’, dan mengalami perasaan nikmat, sehingga menyebabkan ia melekat akan perasaan menyenangkan dan persepsi ‘enak’ tersebut. Ketika dia melihat makanan itu lagi di lain waktu dan tempat, dia menginginkannya lagi dan berusaha mendapatkannya, karena kemelekatannya itu. Ketika ia berusaha memperolehnya, ada kehendak (cetana). Dalam hal ini, perbuatan (kamma) telah dilakukan.

Lihatlah bagaimana kekuatan kilesa telah mengendalikan kita dalam bertindak. Perbuatan (karma) dilakukan, melalui tiga pintu yaitu pintu pikiran, ucapan, maupun perbuatan jasmani, yang kemudian akan tertanam kembali dalam kesadaran dan berpotensi untuk menghasilkan akibat ketika kondisinya mendukung, ibarat benih yang berpotensi menghasilkan buah. Begitulah sifat karma.

Ketika kita mengalami objek yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, itu merupakan buah kamma (vipaka) dari masa lampau. Namun jika kita bereaksi dan berbuat berlandaskan kegelapan batin (avidya) dan nafsu (tanha), kita telah menanam benih kamma yang baru (kamma baik ataupun buruk). Dalam kasus di atas, saat menemukan makanan lezat, merupakan buah kamma baik masa lampau, namun jika reaksinya adalah keserakahan, maka kita menciptakan kamma baru, sehingga ketika menemukan makanan lezat, kita menginginkannya lagi. Beginilah kita terus menerus berputar dalam lingkaran. Dalam kasus yang lebih jauh, kita banyak melakukan berbagai macam perbuatan baik ataupun buruk karena kemelekatan kita terhadap objek dan perbuatan (karma) tersebut yang berakarkan avijdya dan tanha akan menyebabkan lingkaran tumimbal lahir.

Ketika seseorang tidak mampu menjadi ‘tuan’ atas pikirannya, maka kekuatan kekotoran batin yang akan menggerakkannya. Ketika muncul kekotoran batin, hanya mengamati dan jangan memberi dia makan! Ibarat kucing datang mengeong, jika kita berhenti memberinya makan, dia perlahan-lahan akan meninggalkan kita.

Dalam hal kekotoran batin, kita tidak memberinya makan dengan tidak langsung menurutinya. Namun, hanya memperhatikan sifat alamiahnya yang muncul dan lenyap. Dengan kekuatan kesabaran, perhatian penuh dan pandangan kebijaksanaan, maka kekotoran batin akan meleleh bagaikan salju mencair ketika terbitnya matahari yang bersinar terang dan hangat. Namun, jika kita terus menurutinya, hal ini diibaratkan dengan gulungan bola salju yang terus membesar yang akan menghantam apapun. Begitupula jika kita menuruti kekotoran batin akan menyebabkan kekotoran batin menumpuk dan menjadi suatu kebiasaan/watak yang tidak bermanfaat yang kelak akan merugikan diri sendiri dan makhluk lain.

Sesungguhnya kehidupan kita adalah serangkaian dari proses kesadaran, yaitu: kesadaran melihat, mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, dan berpikir. Tugas kita hanyalah mengawasi , memperhatikan, menyaksikan fenomena yang terjadi sebagaimana apa adanya, dengan sifat alamiahnya muncul, berkembang, lenyap, ibarat gelombang laut, tanpa kemelekatan, hanya mengamati tanpa terhanyut dalam permainan pikiran dan perasaan. Pada akhirnya, tibalah kita pada samudera keheningan yang mendalam nan jernih yang memantulkan cahaya rembulan. Pandangan kebijaksanaan yang menguak kebenaran sesungguhnya.

Dalam memperoleh kenikmatan itu, kita melakukan banyak tindakan. Ini kita sebut sebagai perbuatan (karma) melalui 3 pintu, yaitu: pintu pikiran, ucapan, dan tubuh jasmani. Sebelum kita bertindak melalui ucapan ataupun jasmani, pikiran adalah pelopornya. Beginilah kita terus berputar-putar dalam lingkaran.

” Kesadaran timbul sesudah keadaan yang mengakibatkannya. Bila kesadaran timbul karena mata dan bentuk-bentuk, ia disebut kesadaran mata…, karena telinga dan bunyi-bunyian, ia disebut kesadaran telinga,… karena hidung dan bau-bauan, ia disebut kesadaran hidung,… karena lidah dan sedap-sedapan, ia disebut kesadaran lidah,… karena badan dan sentuhan-sentuhan, ia disebut kesadaran badan,.. karena pikiran dan obyek-obyek pikiran, ia disebut kesadaran pikiran.” (Majjhima Nikaya 38)

Perasaan, pencerapan dan kesadaran saling berhubungan, tidak terpisah dan adalah tak mungkin memisahkan antara satu sama lain agar dapat menjelaskan kemampuan-kemampuan mereka yang berbeda; karena apa yang orang rasakan, itulah yang diserap, dan apa yang orang serap, itulah dia kenal (sadari). Dengan kesadaran pikiran semata-mata, yang terlepas dari lima kemampuan indera, maka landasan luar yang terdiri dari ruang tidak terbatas dapat dikenal sebagai “ruang yang tidak terbatas “, Landasan luar yang terdiri atas kesadaran yang tak terbatas dapat dikenali sebagai ‘kesadaran yang tak terbatas’ dan landasan luar yang terdiri atas kekosongan dapat dikenal sebagai ‘ketiadaan apa-apa sama sekali‘; Ide yang dapat dipahami oleh mata pengertian.” (Majjhima Nikaya 43).

” Timbulnya kesadaran tergantung pada dua hal : yaitu apa yang ada di dalam diri orang itu dan landasan luar untuk kontak.” (Samyutta Nikaya 35 : 93).

Kesadaran dalam Buddhisme masih dianggap mentah, bersifat bocor, tidak permanen, cenderung keliru, dan tidak bisa diandalkan. Kesadaran pada umumnya belum diolah menjadi kenyataan (realita/kedemikianan) oleh kebijaksanaan (Prajna), kecuali kesadaran bebas noda (Amala Vijnana).

Pola-pola kebijaksanaan; Kebijaksanaan tumbuh lewat tiga cara: mendengar, meditasi dan praktik berlatih. Mendengar adalah mencintai ajaran yang telah dipelajari dan tidak pernah bosan terhadapnya. Meditasi adalah merenungkan segala sesuatu sebagaimana apa adanya mereka, melihat mereka sebagai sesuatu yang tidak kekal, yang menyebabkan penderitaan , kosong dan tidak memiliki inti/diri, dengan ini tidak melekat padanya dan berjalan menuju kebijaksnaan Buddha. Praktik berlatih adalah untuk menyekat diri dari nafsu keinginan dan pikiran jahat, dan sedikit demi sedikit memasuki jalan menuju pencerahan. (Anuttara Samyaksambodhi Cittopada Sutra)

Terdapat lima jenis pengembangan Prajna, yang terdiri dari:

a. Kebijaksanaan huruf dan kata (pemahaman dari banyak membaca dan mendengar).

b. Kebijaksanaan intropeksi/meneliti (pemahaman yang berasal dari mengkaji dan menguji).

c. Kebijaksanaan penembusan (pemahaman dari pengalaman dan penembusan).

d. Kebijakanaan kondisi (pemahaman sebab-akibat, dan subyek-obyek).

e. Kebijaksanaan beragam (pemahaman upaya, dan metode).

Empat kebijaksanaan

  1. Kebijaksanaan cermin itu murni secara alamiah.(The mirrorlike wisdom is pure by nature).
  2. Kebijaksanaan kesetaraan membebaskan pikiran dari semua rintangan (The equality wisdom frees the mind from all impediments.)
  3. Kebijaksanaan yang cerdas membedakan hal-hal secara intuitif tanpa melalui proses penalaran. (The all-discerning wisdom sees things intuitively without going through the process of reasoning)
  4. Kebijaksanaan yang berkinerja baik memiliki karakteristik yang sama dengan kearifan seperti cermin. (The all-performing wisdom has the same characteristics as the mirrorlike wisdom.)
  1. Lima kesadaran pertama juga disebut lima kemampuan indra. Dalam hal ini, lima kemampuan indera adalah gerbang kebijaksanaan yang dengannya kebijaksanaan mengetahui objek yang ada, namun tanpa kepalsuan atau kekotoran batin. Dengan demikian, kita mengambil kelima kesadaran ini dan membuat mereka menjadi kebijaksanaan yang cermat.
  2. Kesadaran keenam juga disebut konsep fakultas konseptual. Di sini, di gerbang kebijaksanaan kita harus bekerja dengan penuh semangat untuk membangunkan. Kebangkitan berarti kemurnian, dan sesuai dengan Dharma. Dengan kenyataan dan pandangan konvensional yang sama, kita memiliki kebijaksanaan yang sempurna, mengubah pikiran konseptual menjadi kebijaksanaan. Kesadaran akan kebijaksanaan bisa diketahui dengan jelas tanpa membedakan, dan mengubah pengetahuan menjadi hikmat. Ini disebut pemenuhan kebijaksanaan tindakan.
  3. Kesadaran ketujuh (manas), ketika tidak menggenggam, tentu saja tidak ada kebencian atau cinta. Karena tidak ada kebencian atau cinta, semua hal disamakan. Dengan demikian disebut kebijaksanaan persamaan yang melekat.
  4. Kesadaran kedelapan (alaya): bila kosong di gudang, murni. Ini seperti cermin bening yang tergantung di luar angkasa. Semua segudang gambar muncul di dalamnya, tapi cermin terang ini tidak pernah berpikir, “Saya dapat membuat gambar muncul,” atau gambar-gambar itu mengatakan, “Kita dilahirkan dari cermin.” Karena tidak ada subjek atau objek, kita menyebut kebijaksanaan ini Kebijaksanaan cermin besar.

Kebijaksanaan cermin besar diambil sebagai Dharmakaya, tubuh kenyataan.

Kebijaksanaan persamaan inheren diambil sebagai Sambhogakaya, tubuh pahala.

Kebijaksanaan yang cermat diambil sebagai Nirmanakaya, manifestasi fisik, tubuh transformasi.

Kebijaksanaan cermin besar diambil sebagai tubuh kenyataan karena dilengkapi dengan semua kebajikan tanpa noda, bulat dan penuh dengan kebenaran lengkap: ini seperti cermin duniawi yang dapat menunjukkan gambar yang beragam tanpa membedakan.

Kebijaksanaan kesetaraan yang inheren diambil sebagai tubuh penghargaan karena ketika pikiran palsu benar-benar lenyap, dimanapun – realitas yang sama dapat dicapai dan berbagai praktik telah disempurnakan.

Pencapaian kebijaksanaan tindakan dan kebijaksanaan pengamatan yang halus diambil sebagai tubuh transformasi, karena ketika enam kemampuan indra itu bersifat tanpa noda, menolong para makhluk hidup dalam skala luas, terlepas dari diri sendiri dan orang lain, membiarkan mereka berbagi dalam pemahaman dan menumbuhkan dasar (untuk pencerahan).

Dalam Sekte Mahayana Aliran Thien Tai, kebijaksanaan dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Semua kebijaksanaan sunyata: Sunya berarti kosong. Kosong disini bukan berarti nihilime, melainkan sebaliknya suatu kepenuhan. Manusia dan fenomena lainnya adalah sunya, kosong dari inti, kosong dari subtansi. Dalam dialektika Madhyamika Nagarjuna, sunyata bukanlah suatu penolakan terhadap realitas. Sunyata justru menolak pandangan yang menolak realitas, dan pandangan tentang kemutlakan realitas. Realitas bukanlah eksistensi atau non eksistensi (ada atau tidak ada). Kedua-duanya atau bukan kedua-duanya.Dalam sunya bahwa yang absolut tak terungkapkan dengan kemampuan wujud, bahasa dan kondisi hati. Yang absolut hanya dapat direalisir sebagai yang bukan dualisme melalui kebijaksanaan transenden (prajna). Di dalam Maha Prajna Sutra, disabdakan: bila semua Dharma tidak kosong (sunya), maka tiada jalan kesucian, juga tidak ada buah kesucian. Praktek kesunyataan ini saja hanya menghasilkan tingkatan Sravaka, dan Prayetka Buddha.
  2. Kebijaksanaan metode dan praktik: Bodhisattva sudah menembusi realitas segala kekosongan. Melampaui dulitas kosong dan eksisitensi. Bodhisttva berikrar dan berupaya menolong semua makhluk, maka ia harus memiliki kemampuan dan menguasai segala pintu metode dan praktik, mengerti kepalsuan perenungan, mengusai Samadhi ilusi, menembusi semua Dharma berasal dari sebab, mengetahui sebab akibat yang harmonis yang menghasilkan buah karma, senantiasa gunakan kebijaksanaan ini untuk memiliki aneka cara, menguasai berbagai metode Dharma untuk menolong semua makhluk. Kebijaksanan ini disebut Bodhisattva menampilkan kebijaksanaan menggugah dan membimbing. Bodhisattva memiliki hati maha welas asih dan penuh cinta kasih. Mereka tidak meninggalkan dunia saha, tidak meninggalkan semua makhluk, dari dunia sunyata kembali ke dunia palsu, tentu Bodhisattva tidak melekat kepada sunyata dan kepalsuan.tidak ternoda oleh kosong dan kepalsuan, kadang pula pergunakan sunyata dan kepalsuan bila diperlukan. Karena itu, “Duduk dengan tenang dalam mandala bulan di atas air, membuat mimpi besar dalam urusan Buddha” oleh sebab itu, Bodhisattva dapat menolong semua makhluk tanpa rintangan, dan mampu mencapai semua pahala.
  3. 3. Kebijaksanaan sempurna: Buddha bukan hanya melampaui kebijaksanaan sunyata para Sravaka, Pratyeka Buddha, juga melampaui kebijaksanan Bodhisattva yang mengusai berbagai metode dan praktik. Lebih-lebih mengusai perwujudan sepuluh Dharma-dhatu, yang memiliki “Sepuluh Hal kedemikianan”: 1. Bentuk/aspek demikian; 2. Karakteristik demikian,2.Inti Diri demikian;Kekuatan demikian; 5 Perilaku demikian; 6. Sebab demikian; 7. Syarat/kondisi demikian; 8. Hasil/akibat demikian; 9. Pembalasan demikian; 10. Konsistensi awal sampai akhir demikian. Semua Dharma karena olahan pikiran, semua karena peran hati yang muncul, ini disebut para Buddha menembusi pencerahan besar sempurnanya kebijaksanaan prajna.

Seseorang yang memiliki kebijaksanaan dapat membedakan baik-buruk, benar-salah, mana yang berguna dan mana yang tidak berguna; Seseorang mau menyucikan diri harus dengan kebijaksanaan; Hidup dengan bijaksana adalah kehidupan yang paling mulia (Anguttara Nikaya IV, 286; Sutta Nipata 184; Sutta Nipata 181-182)

Sifat pikiran adalah murni, tetapi kejahatan adalah debu di pikiran. Bersihkan debu pikiran dengan air kebijaksanaan. (Manjusri Pariprikkha Sutra)

Bila pikiran kita senang, maka kita akan senang kemana pun kita pergi. Ketika kebijaksanaan muncul dalam diri kita, kita akan menemukan kebenaran kemanapun kita melihat. Kebenaran itu ada dimana-mana. Sama halnya bila kita telah belajar membaca. Kita dapat membaca dimana saja.

Di dalam Sangiti Sutta, Patikavagga, Dighanikaya terdapat dua jenis kebijaksanaa (dua macam Prajna), yaitu:

a. Lokiya Panna (Laukya-Prajna): Kebijaksanaan duniawi, yaitu: kebijaksanaan yang dimiliki oleh orang biasa/praktisi awam.

b. Lokuttara Panna (Lokuttara-Prajna): Kebijaksanaan di atas duniawi, yaitu: kebijaksanaan yang dimiliki oleh orang-orang suci Jadi kebijaksanaan itu tidak hanya dapat dicapai di dunia tetapi juga di atas dunia.

Di dalam Sangiti Sutta Patikavagga, Diganikaya juga terdapat tiga macam kebijaksanaan (tiga macam Prajna):

a. Sekkha Panna (Saiksa-Prajna), yaitu: Kebijaksanaan dari Sekkha Puggala (Sottapana, Sakadagami, Anagami)

b. Asekkha Panna (Asaiksa-Prajna), yaitu: Kebijaksanaan dari Asekha Pugala (Arahatta)

c. Nevasekhanasekha-Panna (Naivasaikhanasaikha-Prajna) kebijaksanaan dari bukan Sekha-Pugala (praktisi yang memasuki arus kesucian), pun bukan dari Asekha-Pugala (umat awam).

4. Dalam Digghanikaya III .219. Vibanga 324 juga terdapat tiga macam kebijaksanaan (tiga macam Prajna):

a. Cintamaya-Panna, yaitu: kebijaksanaan timbul dari pemikiran, perenungan tentang sebab dan akibat.

b. Suttamaya-Panna, yaitu: kebijaksanaan timbul pendengaran, mendengar pelajaran dan berkhotbah.

c. Bhavanamaya-Panna, yaitu: kebijaksanaan timbul melalui Meditasi.

Ketiga hal di atas merupakan tiga macam kebijaksanaan yang terdapat di dalam Diggha Nikaya yang menjelaskan tentang darimana kebijaksanaan itu dapat muncul.

Syarat-syarat Munculnya Kebijaksanaan

Terdapat syarat-syarat kebijaksanaan yang terdapat dalam Anguttara Nikaya. Terdapat delapan penyebab dan syarat untuk memperoleh kebijaksanaan yang sangat penting bagi kehidupan spiritual, delapan hal tersebut adalah:

  1. Mempunyai rasa malu serta rasa takut moral yang mendalam terhadap orang serta memandangnya dengan rasa kasih dan hormat.
  2. Menjernihkan apa yang kabur dan menghalau kebingungan terhadap banyak hal yang membingungkan.
  3. Setelah mempelajari Dhamma (Dharma), berdiam menyendiri (penyendirian tubuh dan penyendirian pikiran).
  4. Ia bajik, sempurna dalam perilaku dan tindak-tanduknya, menyadari bahaya akan kesalahan-kesalahan yang terkecil.
  5. Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah dipelajari serta memperkokoh apa yang telah dipelajari. Hal ini dapat meneguhkan kehidupan spiritual yang sempurna serta murni sepenuhnya.
  6. Ia bersemangat, ia hidup dengan semangat yang diarahkan untuk meninggalkan segala hal yang buruk dan untuk mendapatkan segala hal yang baik, ia gigih dan kuat dalam upayanya.
  7. Ia tidak mengucapkan ucapan yang lantur dan tidak berarti.
  8. Ia berdiam mengamati pasang surutnya kelima gugus (Panca Skandha) yang dapat menyebabkan kemelekatan, seperti ini: “seperti inilah rupa, seperti inilah munculnya, seperti inilah lenyapnya; seperti inilah perasaan, seperti inilah pencerapan, seperti inilah bentukan kehendak, seperti inilah kesadaran”.

Inilah delapan penyebab dan syarat untuk memperoleh kebijaksanaan yang sangat penting bagi kehidupan spiritual, bila kebijaksanaan belum diperoleh dan untuk manghasilkan penambahan, kematangan, dan penyempurnaan melalui kebijaksanaan yang telah diperoleh.

Contoh Kebijaksanaan (Prajna Paramita)

Di dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya banyak hal-hal yang berkaitan dengan kebijaksanaan, seperti hal di bawah ini, sebagai berikut:

  1. Mampu melihat segala sesuatunya sebagaimana adanya, dan bertindak harus sebagaimana mestinya.
  2. Dalam mengambil sebuah keputusan tidak merugikan pihak manapun.
  3. Berlaku adil, tidak memihak, membela kebenaran, menjauhi pembelaan berdasarkan hubungan.
  4. Sebelum berbuat selalu mengingat, memperhatikan, mempertimbangkanm memutuskan, dan bertindak dengan keseimbangan batin.

Manfaat dari Kebijaksanaan (Prajna Paramita)

“Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya seperti orang yang mnunjukkan harta karun, hendaklah ia bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana” (Pandita Vagga 76).

“Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk dan melarang apa yang tidak baik. Orang bijaksana akan dicintai oleh orang baik dan dijauhi oleh orang jahat” (Pandita Vagga 77).

“Pembuat saluran air akan mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu, orang bijaksana mengendalikan dirinya” (Pandita Vagga 80).

“Bagaikan batu karang tak tergoncang oleh badai, pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian” (Pandita Vagga 81).

“Orang bijaksana membuang kemelekatan terhadap segala sesuatu, orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan nafsu keinginan. Dalam menghadapi kebahagiaan ataupun kemalangan, orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa” (Pandita Vagga 83).

“Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela” (Atta Vagga 158).

Realitas bukanlah eksistensi atau non-eksistensi (ada atau tak ada), kedua-duanya bukan kedua-duanya. Sunyata menyatakan bahwa Yang Absolut tak terungkapkan dengan kemampuan bahasa. Yang Absolut hanya dapat direalisir sebagai yang bukan dualisme melalui kebijaksanaan transenden (prajna).

Tujuh Cara Mengembangkan Kebijaksanaan,

Komentar Abhidhamma (Sammohavino-dani, Hlm.276) menunjukkan tujuh cara untuk mengembangkan kebijaksanaan pada Bab Satipatthana (landasan kesadaran penuh), yaitu:

(1) Paripucchakata, banyak bertanya mengenai gabungan, unsur-unsur, lingkungan, indria, kekuatan batin, faktor-faktor penerangan sempurna, tahap-tahap jalan (beruas delapan), jhana, ketenangan dan pandangan terang (vipassana).

(2) Vatthu-Visadakiriya, pemurnian dasar-dasar (luar- dalam), yaitu dengan kesadaran penuh mengubah segala sesuatu di dalam dan di luar menjadi murni, Artinya rambut, kuku, dan janggut tidak terlampau panjang, tubuh tidak dipenuhi keringat dan kotoran, pakaian tidak rusak atau kotor, tempat tinggal terjaga bersih, jika tubuh kita kotor luar dalam, kebijaksanaan yang timbul akan seperti nyala api di dalam pelita yang kotor. Agar memiliki kebijaksanaan yang terang dan jernih, kita harus menjaga tubuh dan lingkungan tetap bersih

(3) Indriya-Samatta-patipadana, menjadikan indria sempurna yang berarti mengubah indria (keyakinan, energy, kesadaran penuh, konsentrasi dan kebijaksanaan) menjadi sangat seimbang.

(4) Duppanna-puggala-paripajjanam, menghindari orang-orang yang tidak memiliki kebijaksanaan dalam arti tidak bergaul dengan orang-orang bodoh yang tidak memiliki kebijaksanaan yang menembus hakikat segala sesuatu.

(5) Pannavanita-puggala-sevana, bergaul dengan orang yang memiliki kebijaksanaan mengenai timbul dan tenggelamnya pikiran.

(6) Gambhira-nnana-cariya-paccavekkhana, merenungkan kualitas kebijaksanaan yang mendalam, yaitu yang berhubungan dengan subjek-subjek yang mendalam seperti gabungan, unsur, dan sebagainya.

(7)Tadadhi-muttata, mendekatkan diri ke pembebasan, artinya mendekatkan batin kemanfaat yang timbul dari faktor-faktor pencerahan dengan cara menyelidiki ajaran. Dalam hal ini harus dipahami bahwa perkembangan batin itu mencapai puncaknya saat timbulnya jalan kesucian.

Empat Macam Orang Bijaksana

Dalam Anguttara Nikaya II, Hlm. 237, empat macam orang diuraikan sebagai berikut:

  1. Cinta-kavi, orang menjadi bijaksana melalui pikiran yang orisinil yang mampu memahami suatu masalah dengan pikirannya sendiri, serta mampu menyeleksi dan mengambil keputusan yang tepat.
  2. Sutta -kavi, orang yang bijaksana yang mengambil keputusan dalam suatu masalah yang dihadapi berdasarkan pendapat orang lain (orang bijaksana).
  3. Attha-kavi, orang bijaksana yang menyelesaikan suatu masalah dengan terbatas pada bagian tertentu saja berdasarkan perbandingan dengan hal serupa yang telah lebih dulu diketahui.

4.Patibhana-kavi, orang bijaksana yang pandai bicara, berdiplomatis,serta mampu memahami inti suatu masalah tanpa bantuan perbandingan dan pendapat orang lain. Di dalam pengelompokkan empat jenis orang yang bijaksana ini mengacu pada kebijaksanaan yang diperoleh dari berpikir, mendengar,dan pengembangan batin.

Orang Bijaksan memahami segala sesuatunya dari tiga sudut pandangan, yaitu: 1. Kepalsuan, 2. Kesunyataan, 3. Jalan Tengah, seperti Bunga (kepalsuan), Bukan Bunga (kesunyataan/kekosongan), sekedar disebut Bunga (jalan tengah).

Guru Besar Atisha berkata: Kebijaksanaan tertinggi adalah tidak melekat pada apapun yang muncul.”

Demikianlah artikel “Tingkatkan Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan” dibuat, semoga dapat diambil hikmahnya dan bermanfaat. Semoga semua makhluk berbahagia, Amituofo.