Konsep Cinta dalam Agama Buddha
(Oleh: Samanera Dhammasugiri)
Kata “cinta” adalah satu kata yang dapat membuat orang (terutama muda-mudi) yang yang mengucapkan, mendengar dan mengalaminya, akan merasakan berbagai macam perasaan. Persoalan cinta selalu menarik untuk dibahas dan mungkin “cinta” adalah satu hal yang tak akan pernah habis untuk dibicarakan. Tak kurang sudah ratusan bahkan ribuan judul roman, novel, lagu, sinetron, dan film yang mengangkat tema cinta, seperti: Ketika Cinta Harus Memilih, Cinta Tiada Akhir, Siapa Takut Jatuh Cinta?, dan sebuah film yang sempat menjadi box office, Ada Apa dengan Cinta (AAdC) dan masih segudang judul cinta yang selalu laris bak kacang garing. Disebabkan oleh kurangnya pengertian akan konsep nirwana (Nibbana) sebagai suatu kondisi batin yang bebas dari nafsu, serakah, benci, dan kebodohan batin, beberapa tahun yang lalu ada pencipta lagu yang memberi judul karya ciptanya “Nirwana Cinta.”
Belum lagi kisah klasik (dongeng) yang berbumbu cinta, seperti: Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare, Roro Mendoet dan Pronocitro dari Jawa Tengah, Joyoprono dan Layonsari dari Bali juga Kasih Tak Sampai antara Siti Noerbaya dan Syamsoelbahri serta masih sederet dongeng cinta lainnya yang tak kalah menarik.
Masyarakat Jawa juga mengenal pepatah yang berbunyi “witing tresno jalaran soko kulino”, yang berarti: cinta itu datang karena kebiasaan, dan sebuah “slogan nekat” bagi mereka yang tidak percaya diri, cinta ditolak, dukun bertindak.
Dalam mitologi India kuno (wayang) pun dikenal adanya dewa cinta, yaitu Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Begitu pula dalam mitologi Yunani mengenal adanya Dewa Aprodhite (Amor) yang selalu membawa panah dan gondewa yang siap dilontarkan kepada insan berlainan jenis.
Di Semarang, kata “cinta” diabadikan untuk nama sebuah bukit yang menjadi objek wisata, yaitu “Bukit Cinta” yang terletak di dekat Ambarawa, dan di Bandung, juga ada sebuah batu yang diberi nama “Batu Cinta”, sebuah monumen yang mempertemukan kembali kekasih yang saling mencinta setelah sekian lama berpisah dan saling mencari (=pateang-teang (Bahasa Sunda) yang menjadi asal mula nama Situ Patenggang).
Arti Cinta
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “cinta” berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati dan risau. Dalam KBBI juga terdapat kata “cintamani” yang berarti intan yang bertuah atau ular yang mendatangkan bahagia (terutama dalam percintaan).
Agama Buddha tidak alergi dengan istilah “cinta.” Terbukti dalam Nikaya Pali, yaitu: Dhammapada ada satu bab yang diberi judul: Piya Vagga yang berarti kecintaan. Begitu pula dalam Majjhima Nikaya terdapat sutta yang berjudul Piyajatika Sutta, khotbah tentang orang-orang tercinta.
Dalam Bahasa Pali juga ditemukan beberapa istilah cinta, seperti: piya, pema, rati, kama, tanha (jawa trenso), ruci, dan sneha yang memiliki arti: rasa sayang, kesenangan, cinta kasih sayang, kesukaan, nafsu indera (birahi), kemelekatan, dsb, yang terjalin antara dua insan berbeda jenis atau cinta dalam lingkup keluarga.
Rollo May, dalam bukunya “Love and Will” mendefinisikan empat macam cinta, yaitu:
- Libido: cinta yang menyangkut seks, nafsu birahi.
- Eros: dorongan untuk mencintai dan dicintai.
- Philia: persahabatan, cinta seperti saudara.
- Agape: cinta yang penuh pengabdian demi orang lain dengan dasar rasa kemanusiaan.
Efek Cinta
Cinta memiliki suatu kekuatan yang hebat dan dahsyat, kadang cinta membuat orang yang mengalaminya merasa bahagia, senang, mabuk kepayang, dan ah…, berjuta rasanya (menurut lagu). Tetapi, kadang cinta dapat juga membuat orang kehilangan akal sehat, seperti yang terjadi di Semarang, SF (20), nekat bunuh diri dengan meminum cairan serangga. Kenekatan korban diduga akibat patah hati lantaran cintanya diputus sang kekasih. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa lembar “surat cinta.” (Suara Merdeka, Selasa, 2 September 2003).
Dhammapada Atthakatha, juga memuat cerita tentang Raja Pasenadi Kosala yang jatuh cinta pada seorang wanita yang telah bersuami, siang dan malam, raja memikirkan wanita itu dan ia menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkannya. Pikiran raja diliputi nafsu birahi dan hal ini membuatnya mengalami gangguan tidur. Raja juga diganggu oleh suara-suara seram yang datang dari alam neraka, suara dari makhluk neraka yang pada kehidupan lampaunya senang berzinah dengan isteri orang lain. Setelah dinasehati Sang Buddha, akhirnya raja menyadari kesalahannya dan tak lagi menginginkan wanita itu.
Dalam Piyajatika Sutta, Majjhima Nikaya, dikisahkan tentang seorang ayah yang mencintai putra laki-lakinya. Suatu hari putranya itu meninggal dunia. Sang ayah diliputi kesedihan yang mendalam, dan ia tidak lagi peduli pada pekerjaan dan makanan. Setiap hari ia pergi ke kuburan dan meratapi kepergian anaknya di sana.
Kemudian ia datang kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata kepadanya, “Perumahtangga, perilakumu seperti perilaku orang yang hilang ingatan, perilakumu dalam keadaan yang tidak normal.” Ia kemudian menceritakan tentang apa yang dialaminya.
Sang Buddha berkata, “Itulah perumahtangga, itulah sebabnya orang-orang yang kita cintai, mereka yang terkasih membawa kesedihan dan ratapan, sakit, dukacita dan kekecewaan.”
Memang cinta antara orangtua dan anak adalah hal yang wajar dan alamiah, tetapi kemelekatan yang kuat pada yang kita cintai akan dapat membuat kita kecewa dan menderita. Dalam Dhammapada gatha 210 dan 213 dikatakan:
“Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan yang ttidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan”
“Dari cinta timbul kesedihan, dari cinta timbul ketakutan,
bagi orang yang telah bebas dari rasa cinta tiada lagi kesedihan dan ketakutan”
Resi Vyatsyayana, pujangga India Kuno menulis sebuah kitab tentang seni bercinta. Kitab yang menghebohkan dan dijadikan pedoman bagi pasangan yang dimabuk asmara “Kama Sutra” dan sempat pula kisah ini diangkat ke layar perak.
Dalam Sutta Nipata, terdapat pula khotbah Sang Buddha dengan judul yang sama (Kama Sutta), namun isi kedua sutta ini bertolak belakang. Jika dalam Kama Sutra diajarkan teknik-teknik bercinta, tetapi dalam Kama Sutta justru sebaliknya, Sang Buddha mengingatkan bahwa kenikmatan nafsu indera harus dihindari. Beliau mengatakan, “Jika manusia yang menginginkan kenikmatan-kenikmatan indera itu tidak memperolehnya, maka ia akan menderita bagaikan tertusuk anak panah” (SN – 767). “Manusia yang menginginkan berbagai objek indera, seperti misalnya: rumah, kebun, emas, uang, kuda, pelayan, handai taulan, dll, maka emosi yang kuat akan menguasainya, bahaya akan menghimpitnya, dan penderitaan akan mengikutinya bagaikan air yang masuk ke dalam kapal yang karam” (SN -769).
Cinta Kasih Universal (Metta)
Nikaya Pali juga memuat satu kata cinta yang berbeda dengan cinta yang telah disebutkan di atas, cinta kasih yang dipancarkan secara universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta kasih yang tanpa pamrih, yaitu: Metta.
Metta adalah bagian pertama dari empat kediaman luhur (Brahma Vihara) atau empat keadaan yang tidak terbatas (Apamanna). Bagian lainnya, yaitu Karuna (kasih sayang), Mudita (simpatik), dan Upekkha (keseimbangan batin).
Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat (byapada).
Metta berbeda dengan piya, pema, rati, kama, tanha, ruci dan sneha yang hanya menimbulkan nafsu dan kemelekatan. Pengembangan Metta dapat mengantarkan kita pada pencapaian kedamaian Nibbana (Mettacetto vimutti), seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada 368:
“Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada Keadaan Damai (Nibbana), berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara)”
Namun harus diwaspadai bahwa Metta yang dipancarkan secara berlebihan kepada lawan jenis dapat mengalami penyimpangan menjadi cinta nafsu atau cinta egois.
Kepada Siapakah Metta Dipancarkan?
Metta Sutta dari Sutta Nipata, mengajarkan agar kita memancarkan Metta kepada semua makhluk.
“Makhluk yang apa pun juga, yang lemah dan kuat tanpa kecuali, yang panjang atau besar, yang sedang, pendek, kecil, atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun dekat, yang telah lahir atau yang akan lahir, Semoga semua makhluk berbahagia”. (Sutta Nipata 146 – 147).
Bahkan dalam Sutta ini juga diajarkan agar kita juga memancarkan Metta kepada orang yang tidak disenangi dan tidak benci atau dendam kepadanya.
“Jangan menipu orang lain, atau menghina siapa saja, jangan karena marah dan benci mengharap orang lain celaka” (Sutta Nipata 148).
Bhikkhu Buddhaghosa dalam Visuddhi Magga, menjelaskan bahwa pada tahap awal Metta tidak boleh dikembangkan kepada empat jenis manusia, yaitu: orang yang antipati, teman yang amat disayangi, orang yang netral, dan orang yang dimusuhi. Juga Metta tidak seharusnya dikembangkan secara khusus kepada lawan jenis, atau orang yang sudah meninggal.
Kenapa demikian? Karena menempatkan orang yang antipati pada posisi orang yang disayangi adalah melelahkan. Menempatkan teman yang amat disayangi pada posisi yang netral adalah melelahkan, jika sedikit kemalangan menimpa temannya itu, ia merasa ingin menangis. Menempatkan orang yang netral pada posisi orang yang dihormati/disayangi adalah melelahkan. Dan kemarahan akan timbul dalam dirinya bila ia mengingat orang yang dimusuhinya. Jika ia mengembangkan Metta secara khusus kepada lawan jenis, maka nafsu birahi akan muncul dalam dirinya. Jika Metta yang dipancarkan kepada orang yang sudah meninggal, tidak akan membawa pada konsentrasi terserap (appana samadhi) maupun konsentrasi akses (upacara samadhi).
Dari semua itu, yang pertama-tama, Metta haruslah dikembangkan hanya terhadap diri sendiri, melakukan hal ini secara berulang-ulang, sebagai berikut, “Semoga saya berbahagia dan bebas dari penderitaan” atau “Semoga saya dapat menjaga diri saya agar terbebas dari permusuhan, kesusahan, dan kegelisahan, serta hidup berbahagia”.
Cara Mengembangkan Metta
Dalam Sutta dan Vinaya Pitaka terdapat cara-cara (metode) pengembangan Metta, yaitu:
- Tevijja Sutta, Digha Nikaya, menjelaskan cara mengembangkan Metta ke sepuluh penjuru (arah), dengan rumusan: “semoga semua makhluk yang ada di arah barat berbahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, permusuhan, kesakitan, kesukaran batin dan jasmani, semoga semua makhluk yang ada di Barat dapat mempertahankan kebahagiaan yang telah mereka peroleh”.
Selanjutnya Metta dipancarkan kepada semua makhluk yang ada di arah Barat Laut, Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, atas dan bawah. Metode ini disebut “Disapharana”. - Sutta Nipata, Karaniya Metta Sutta. Kalimat-kalimat yang terdapat dalam Karaniya Metta Sutta (bisa dalam Bahasa Pali atau Bahasa Indonesia) dihafalkan lalu dijadikan objek meditasi, diresapi dan direnungkan dalam hati secara perlahan-lahan.
“Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, untuk mencapai ketenangan ia harus mampu, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tidak sombong, merasa puas, mudah dilayani, tiada sibuk, sederhana hidupnya, berhati-hati, tahu malu, ..dan seterusnya”. - Mahavagga, Khandha Paritta. Metode yang terdapat dalam Khandha Paritta ini adalah metode cinta kasih yang dipancarkan kepada ular dan hewan-hewan lainnya.
“Cinta kasihku kepada suku ular-ular Virupakha, Erapatha, Chabyaputta, Kanhagotamaka. Cinta kasihku kepada makhluk-makhluk berkaki dua, cinta kasihku kepada makhluk berkaki empat, cinta kasihku kepada makhluk berkaki banyak, cinta kasihku kepada makhluk-makhluk tanpa kaki, …dan seterusnya”. - Patisambhida Magga memuat dua cara, yaitu:
- Odishapharana, yaitu Metta dipancarkan dengan batas (spesifikasi orang/makhluk), seperti: “Semoga semua wanita (sabbe itthiyo) berbahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, kesakitan, kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri”
Selanjutnya, semua laki-laki (sabbe puriso), semua orang suci (sabbe ariyo), semua orang yang belum suci (sabbe anariyo), semua dewa (sabbe deva), semua manusia (sabbe manussa), semua yang tidak bahagia (sabbe vinipatika). - Anodhisapharana, yaitu Metta dipancarkan tanpa suatu batas, seperti: “Semoga semua makhluk berbahagia (sabbe satta), bebas dari penderitaan, … dan seterusnya.”
Selanjutnya adalah semua makhluk hidup yang bernafas (sabbe pana), semua makhluk yang dilahirkan (sabbe bhuta), semua orang (sabbe puggala), semua yang telah menjadi orang (sabbe attabhava pariyapanna).
- Odishapharana, yaitu Metta dipancarkan dengan batas (spesifikasi orang/makhluk), seperti: “Semoga semua wanita (sabbe itthiyo) berbahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, kesakitan, kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri”
Metode Disapharana, Odhisapharana dan Anodhisapharana inilah yang direkam dalam kaset dan CD, “The Chant of Metta”
Jika kita mengalami kesulitan dalam menghapal kita dapat menggunakan rumusan Metta yang terdapat dalam peresapan Brahma Vihara (Brahmaviharapharana), yang berbunyi, “semoga saya berbahagia, bebas dari ……. dst. Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari…” dst.
Sebelas Pahala Metta
Dalam Anguttara Nikaya, Ekadasaka Nipata Pali (juga terdapat dalam Visuddhi Magga) dijelaskan ada sebelas pahala yang didapat seorang praktisi yang mengembangkan Metta, yaitu:
- Ia akan tidur dengan nyenyak
- Ia bangun tidur dengan segar
- Ia tidak akan diganggu mimpi buruk.
Harian Umum Suara Merdeka, Kamis, 21 Agustus 2003 (hal XVI), memberitakan: Masyarakat Indonesia banyak mengalami gangguan tidur, terutama insomnia gejalanya berupa susah tidur, sering terbangun di malam hari dan sulit tidur lagi, terbangun terlalu pagi dan bangun pagi terasa tidak segar dan sleep disorder gejalanya berupa mendengkur dan perasaan tersedak. Akibat dari penyakit ini pemerintah akan menanggung kerugian finansial yang cukup besar, di antaranya karena menurunnya produktivitas dan membahayakan jiwa penderitanya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan “The National Highway Traffic Safety Administration” di AS pada tahun 2000 lalu, tercatat 100.000 kasus kecelakaan akibat mengantuk.
Tiga pahala Metta yang pertama adalah berhubungan dengan kondisi tidur yang mudah dan nyenyak. Penulis menyarankan kepada mereka yang mungkin saat ini mengalami gangguan tidur, di samping berkonsultasi ke psikiater, cobalah mulai mempraktikkan Metta setiap saat, daripada mengkonsumsi pil penenang atau obat tidur yang hanya akan menimbulkan ketergantungan/ ketagihan dan melemahkan kerja jantung. - Ia dicintai oleh makhluk manusia
- Ia dicintai oleh makhluk bukan manusia
Contohnya adalah Sang Buddha menaklukkan Gajah Nalagiri yang dibuat mabuk oleh Devadatta. - Dilindungi para Dewa.
Raja Bimbisara berjanji akan membuatkan kuti bagi Bhante Subhuti, siswa yang terkemuka dalam pengembangan Metta dan layak mendapat persembahan. Tetapi, karena kesibukannya, Raja lupa akan janjinya. Bhante Subhuti akhirnya bermeditasi di alam terbuka, hal ini membuat Dewa hujan enggan untuk menurunkan hujan dan membuat kekeringan melanda kerajaan Magadha. Baru setelah raja ingat akan janjinya dan membuatkan kuti bagi Bhante Subhuti hujan dapat turun kembali. - Tidak mempan api, racun, dan senjata.
Karena hasutan dan niat jahat yang dilakukan oleh Magandiya, Raja Udena menjadi murka kepada Ratu Samavati. Raja mengarahkan anak panah beracun kepada Ratu Samavati dan pengikutnya. Tetapi, berkat kekuatan Metta yang dipancarkan Samavati dan pengikutnya, anak panah beracun itu terpental bagai membentur dinding/perisai. - Pikirannya mudah terkonsentrasi
- Ekspresi wajahnya tenang
- Ia meninggal dengan tidak gelisah
- Jika ia belum mencapai Nibbana, maka ia akan terlahir kembali di Alam Brahma (alam bahagia/surga tingkat tinggi) bagaikan orang terbangun dari tidur.
Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha mengatakan, “Para Bhikkhu, seandainya selama sejentikan jari seorang bhikkhu memancarkan buah pikir cinta kasih, mengembangkannya, memberikan perhatian kepadanya, maka orang seperti itu benar-benar dapat disebut bhikkhu. Tak sia-sialah dia bermeditasi. Dia bertindak sesuai dengan Ajaran Sang Guru, mengikuti nasehat Sang Guru, makan makanan yang sepantasnya diperoleh dari pindapata. Betapa lebih besarnya cinta kasih itu jika dia mengembangkannya”.(AN I, vi, 3-5).
Penutup
Sebagai manusia (makhluk hidup), mencintai dan dicintai adalah suatu hal yang wajar dan alamiah. Tetapi menjadi tidak wajar jika menempuh segala cara untuk mendapatkannya, (seperti meminta bantuan paranormal) dan mengambil jalan pintas (bunuh diri, dan sebagainya) jika kecewa karenanya. Realistislah dalam memandang persoalan cinta, tidak melekat dan juga tidak membenci ketika kita gagal dalam bercinta.
Saat ini, dunia dilanda berbagai macam masalah dan persoalan hidup yang tak mudah diselesaikan, di mana angka kriminalitas, kekerasan, kebencian, dendam, dengki, iri hati, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan berbagai dekadensi moral yang semakin meningkat, serta adanya ancaman perang dari negara-negara yang bertikai. Ditambah lagi bahaya kekeringan (kesulitan air bersih) dan kelaparan meluas di mana-mana, maka marilah kita memberikan sumbangsih kita pada dunia ini. Mulailah kita mengembangkan Metta, cinta kasih universal dalam diri kita. Pedulilah pada sesama, pedulilah pada semua makhluk dan peduli pada dunia (bumi) tempat kita hidup dan berpijak. Sang Buddha mengatakn, “Loko Patambhika Metta,” artinya cinta kasih dapat menyelamatkan dunia”.
Happy Valentine Day!
Referensi:
- Jotidhammo Thera, Catatan Pelajaran Samadhi, Lembaga Pendidikan Samanera; Sangha Theravada Indonesia, 2002.
- Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama cetakan ketigabelas, Magha Puja 2544/2001.
- Buddhaghosa, Bhadantacariya, Visuddhi Magga (Jalan Kesucian 5), Mutiara Dhamma; Bali, cetakan pertama, Kathina 2542/1998.
- Diterjemahkan oleh Dra. Lanny Anggawati, Dra. Wena Cintiawati dan Endang Widyawati S.Pd. petikan Anguttara Nikaya (edisi lux) Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna; Klaten, cetakan pertama Magha Puja 2546, Maret 2003.
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2001.
- Tim Penerjemah Tripitaka, Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I, Yayasan Pancaran Dhamma, Jakarta
https://www.facebook.com/notes/bambang-puryanto/konsep-cinta-dalam-agama-buddha