Buddhadharma & Pancasila Buddhis – Menuntun Hidup Dalam Kebijaksanaan

(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira, Ketua Sangha Mahayana Buddhis Internasional)

Namo Bhagavate Sakyamunaye Tathagataye Arhate Samyaksambuddhaye.Hyang Buddha adalah pengejawantahan semua kebajikan yang Ia babarkan. Aturan moral-Nya adalah yang paling sempurna yang pernah diketahui dunia. Sepanjang empat puluh lima tahun lebih yang sukses dan penuh historis sebagai seorang Guru Bijak yang tercerahkan sempurna. Ia menerjemahkan seluruh karya-Nya secara nyata dan tidak pernah menunjukkan sedikit pun celah kelemahan manusia atau hawa nafsu besar.

Hyang Buddha mengekspresikan kebenaran bernilai abadi dan memajukan etika bukan untuk orang India saja, tetapi untuk segenap umat manusia. Hyang Buddha adalah salah satu manusia ‘Genius Terbesar’ yang pernah teranugerahkan kepada dunia.

Guru Agung Sakyamuni Buddha di agungkan bukan karena  ia dilahirkan sebagai putra mahkota, memiliki kekayaan, berwajah rupawan, tubuhnya penuh keindahan, atau punya keahlian khusus lainnya. Tetapi Buddha dimuliakan karena faktor-faktor antara lain: Teladan mulia Hyang Buddha  merupakan  sumber inspirasi dan motivasi; Segala tekad luhur-Nya yang membaja; Kebijaksanaan –Nya yang mendalam dan luas; Cinta kasih-Nya yang Universal; Belas kasih-Nya yang tidak terbatas; Pelayanan-Nya yang tanpa pamrih; Pengasingan-Nya yang historis; Kesucian-Nya yang sempurna; dan Kepribadian-Nya yang sangat menarik, telah mengilhami orang-orang untuk menghormati-Nya sebagai Guru Tertinggi yang patut di hormati dunia. Nyatanya Beliau diagungkan karena kebaikan, kebijaksanaan, kesucian, pencerahan, welas asih-Nya yang universal. Inilah alasan mengapa umat Buddha, menganggap Hyang  Buddha sebagai Guru Jagat Dunia yang patut dihormati oleh semua makhluk di alam semesta, dan menjadikan Buddhadharma sebagai Ajaran Realita Penuh Kebenaran yang terbaik yang menuntun jalan hidup tertinggi.

Dharma berarti kebenaran, kebenaran yang nyata sebagaimana adanya; Dharma juga berarti hukum-hukum yang ada di dalam hati dan pikiran manusia sendiri; Dharma adalah prinsip kebajikan; karena itu, Hyang Buddha menasehatkan kepada manusia untuk menjadi mulia, murni dan patut dihormati. Dharma tidak hanya ada di dalam hati dan pikiran manusia saja, tetapi juga ada di alam semesta. Arti etimologis dari kata ini adalah “yang menegakkan atau menunjang”. Karena itu Dharma adalah setiap prinsip untuk berlangsungnya alam semesta.

Segenap alam semesta adalah pengejawantahan atau pengungkapan Dharma. Hukum alam yang telah ditemukan ilmu pengetahuan modern adalah pengungkapan Dharma, karena Dharma merupakan suatu hukum di alam semesta yang dapat dimengerti dengan mempelajari bidang fisika, kimia, zoology, botani dan astronomi. Dharma ada di alam semesta sebagaimana gaya berat, angin, dan panas. Ajaran Buddha yang disebut Dharma karena Beliau menerangkan bagaimana berbagai peristiwa alam terjadi menurut kondisi duniawi dan hukum yang bersifat universal.

Ajaran Buddha atau Buddhadharma adalah filsafat kebangkitan. Ajaran Buddha sebagai suatu agama atau sebagai suatu ilmu pengetahuan adalah hal yang unik dalam hubungannya dengan filsafat dan penyelidikan metafisik. Karenanya, ajaran Buddha sering dipandang sebagai sistem filsafat yang paling maju di India. Etika, ilmu pengetahuan, dan filsafat terjalin lembut dalam sebuah sistem, yang terpisahkan dari mitologi dan yang berusaha untuk menyingkapkan sifat sejati kehidupan.

Tidak ada aspek dalam Dharma Buddha, atau ajaran Buddha, yang tidak tumbuh dari landasan logis dan rasional dari filsafat tersebut. Dharma Buddha adalah untuk meratakan jalan menuju keselamatan akhir dengan membimbing suatu kehidupan mulia.

Ajaran Buddha dapat didefinisikan sebagai jalan kehidupan yang disebut “Jalan Mulia Beruas Delapan”, (1. Pandangan benar (pengertian benar); 2.Pemikiran Benar; 3. Ucapan benar; 4. Perbuatan benar; 5. Penghidupan benar (pencaharian benar); 6. Daya –upaya benar; 7. Perhatian benar; 8. Konsentrasi benar) yang membimbing menuju sebuah tujuan yang disebut “Nirvana”. Tujuan atau kebebasan ini adalah keadaan kebaikan tertinggi, karena bebas dari kecacatan (keburukan), dan memiliki kedamaian, kemurnian dan kebahagiaan tertinggi yang dapat dimengerti oleh pikiran kita. Namun, tujuan ini adalah sesuatu, yang tidak dapat diberikan oleh orang lain, bagaimanapun mulianya dia, tetapi harus dimenangkan dengan usaha sendiri. Ajaran Buddha mengajarkan prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di dunia terjadi karena suatu (sebab) yang lain. Tidak ada kejadian pertama atau sebab pertama.

Manusia tidak langsung jadi. Manusia sekarang merupakan hasil dari jutaan bentuk pikiran dan tindakan yang lalu, dia tidak langsung jadi, tetapi selalu dalam keadaan menjadi. Proses pikirannya menentukan perangainya. Manusia tidak menjadi sempurna dengan sendirinya, dia harus melatih dirinya untuk menjadi sempurna. Manusia bukan siapa dia, tetapi siapa yang bukan dia. Ini berati bahwa umat manusia sekarang tidak bertingkah laku sebagaimana mereka seharusnya bertingkah laku.  Seorang manusia yang berhati manusia harus memiliki rasa malu bila berbuat jahat, dan takut akibat perbuatan jahat.

‘Ego Diri’ manusia sumber kekacauan dan bencana.
Manusia di dunia ini secara alami mencari kebahagiaan untuk memberikan makna pada kehidupan mereka. Akan tetapi, karena sebuah perkembangan berlebihan dalam kesadaran diri , muncul “Inti-diri Keakuan”. Karena inti-diri keakuan, kita melihat semua hal eksternal melalui sudut pandang kita sendiri. Kita membangkitkan prasangka dikarenakan ‘sudut bias titik pandang egois kita.’ Kita tidak dapat dapat lagi menembusi kebenaran segala sesuatu, dan kita akhirnya menciptakan penderitaan kita sendiri. Sungguh ironis bahwa penderitaan disebabkan oleh pengejaran akan kebahagiaan kita. Mengapa kita menciptakan penderitaan kita? Penderitaan berasal dari khayalan kita yang menghalangi kita untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.

Jangan melekati konsep “Aku” dan “Milikku” dalam kaitannya dengan segala sesuatu melalui batin maupun fisik. Orang suka menyatakan diri ‘aku’ dan ‘milikku’ namun secara pribadi kita tidak mampu mengendalikan kelahiran, kematian, kesehatan dan penyakit kita. Kita pun tak mampu mendisiplinkan indra, nafsu, amarah, ketakutan, kebebalan dan ketamakan kita sendiri. Bagaimana kita dapat menyebut ‘Aku’ yang tak mampu mengendalikan diri sendiri sebagai ‘Milikku’? orang bijak mendisiplinkan batin mereka, langkah pertamanya adalah tidak mementingan diri, secara berangsur, kita bisa mendisiplinkan sang ‘aku’ ini.  Jika kita dapat mencapai tataran ‘tanpa aku’ dan’ tiada milikku’, maka tak ada kebencianku, kesedihanku dan ketamakanku,  Jika tidak ada “aku” bagaimana mungkin penderitaan datang kepada ku?.  Tiada ‘Aku’ dan ‘Milikku’. Oleh karena itu, tidak ada deritaku dan dukacitaku. Orang yang memegang sikap seperti ini adalah pengembangan batin sejati.

Buddhadharma mengajarkan Pancasila Buddhis untuk menjadi manusia yang humanis.
Seseorang dapat terlahir menjadi manusia karena ia dalam kehidupan lampau pernah melaksanakan Pancasila Buddhis. Praktik Pancasila Buddhis  tingkat tinggi jadi Dewata, tingkat menengah jadi manusia, tingkat rendah jadi Asura. Bila kita tidak mau, atau tidak bisa melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sekarang, maka sekarang kita telah gagal jadi orang, kelak sulit jadi orang lagi. Untuk itu, kita sebagai umat Buddha harus memahami makna dan tujuan mengambil Pancasila dan wajib melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian Sila:

  1. Sila adalah etika atau moral yang dilakukan berdasarkan cetana atau kehendak. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ETHOS yang artinya kebiasaan atau adat.
  2. Oleh karena itu etika sering dijelaskan sebagai moral. Dalam pandangan Buddhis sila memiliki banyak arti antara lain: norma (kaidah), peraturan, perintah, sikap, keadaan, perilaku, sopan santun, dan sebagainya D dalam Kitab Samyutta Nikaya V, 143, antara lain: “ Apakah permulaan dari batin yang luhur? Sila yang sempurna “

Ciri, Fungsi, Wujud & Sebab Terdekat Dari Sila:

  1. Ciri Sila adalah ketertiban dan ketenangan
  2. Fungsi (rasa) adalah untuk menhancurkan yang salah  dan menjaga agar orang tetap tidak bersalah.
  3. Wujud sila (paccupatthana) adalah kesucian
  4. Sebab terdekat adalah Hiri dan Ottapa, hiri adalah perasaan malu untuk berbuat jahat atau kesalahan, ottapa ada perasaan takut akan akibat dari perbuatan jahat. Hiri dan Ottapa disebut Lokapaladhamma atau pelindung dunia.

PANCASILA
Pancasila adalah lima latihan kemoralan yang wajib dilaksanakan oleh kita (umat Buddha) semua dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila (Lima latihan kemoralan) terdiri dari:

  1. Tidak Membunuh, Semua makhluk memiliki Hakikat Buddha. Semua makhluk masih dalam siklus tumimbal lahir yang tidak terbatas, mungkin saja pernah menjadi ayah-ibuku, dan kelak sebagai calon-calon Buddha di masa yang akan datang. Semua makhluk tidak mau disakiti, tidak mau dipenggal, tidak mau di bunuh, dikurung, diamputasi dan dimutilasi. Termasuk diri kita sendiri, jadi hindari pembunuhan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan dengan alasan apapun juga. Melainkan banyaklah menolong para makhluk atau banyak melepaskan hewan yang tersiksa karena dikurung atau mau disembelih. Syarat terjadinya pembunuhan adalah: adanya makhluk hidup, tahu bahwa makhluk itu hidup, ada niat/kehendak untuk membunuh, ada usaha untuk membunuh, makhluk tersebut mati/lenyap. Akibat buruk dari membunuh, yaitu: umur pendek, sering sakit-sakitan, selalu bersedih karena berpisah dengan yang dicintai, selalu ketakutan. Perbuatan baik tidak membunuh  ini pahalanya tubuh kita akan memiliki kesehatan prima, berusia panjang, terhindar dari bencana, tidak di lahirkan pada masa perang, keturunan yang tidak terputus, dan segala keinginan yang baik dan benar mudah terkabul.
  2. Tidak Mencuri, termasuk tidak merampas, merampok, menodong, penipu, menjambret, mencatut, korupsi, mengambil barang apapun atau meminjam sesuatu tanpa seijin pemiliknya atau meminjam lupa mengembalikan, dan lain sebagainya. Semua makhluk telah berjuang keras untuk mengumpulkan harta benda untuk kebutuhan dan kelangsungan hidupnya tentu menyayangi kepemilikannya dan tidak mau di rugikan, tidak mau dirampas atau  disita harta bendanya. Syarat terjadinya terjadinya pencurian adalah: adanya barang, tahu bahwa barang itu, milik orang lain, ada niat/kehendak untuk mengambil, ada usaha, barang tersebut berpindah tempat. Akibat buruk dari mencuri, yaitu: kemiskinan, penderitaan, kekecewaan, hidup tergantung pada pihak lain. Tidak mencuri melainkan banyak berdana, sehingga pahala kita banyak rejeki, hidup penuh keberuntungan, kekayaan yang kita miliki terjamin, tidak ada musibah kebakaran, kebanjiran.
  3. Tidak Berzina atau melakukan seksual sesat. Semua makhluk punya harga diri dan martabat yang harus kita hormati.  Semua makhluk menyayangi tubuhnya dan menjaga kemuliaannya sesuai kodratnya. Tidak berzina, tidak selingkuh, tidak bermesum atau pelecehan seksual, tidak melakukan seksual sesat. (Pengertian seksual sesat adalah melakukan hubungan badan bermain seksual bukan kepada pasangannya yang sah, bukan lawan jenis, anak yang masih di bawah umur, terhadap binatang atau makhluk bukan manusia, bukan pada tempatnya, bukan pada bagian tubuhnya seperti mulut atau dubur, bukan pada waktunya,  bermain seks dengan mempergunakan alat-alat tambahan yang dapat merusak organ intim, pola permainan seks yang liar dan sesat yang bertentangan dengan kenormalan dan tidak lazim. Begitupula saat kelahiran dirinya (hari susah ibu saat melahirkan), saat kematian orang tua, saat hari besar keagamaan, saat terjadi banyak duka nestapa karena gempa bumi, terjadinya bencana atau melapetaka lainnya) zina bisa terhadap lawan jenis maupun terhadap sesama jenis. Para bijaksana mengatakan: puluhan ribu jenis kejahatan, kejahatan seksual adalah yang utama. Buddha bersabda: nafsu dan seksual adalah sumber keberlangsungan kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, bila ingin mengakhiri kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, maka harus belajar memutuskan rantai dan ikatan nafsu dan seks.  Syarat terjadinya perbuatan asusila adalah : ada obyek, ada niat untuk melakukan, ada usaha melakukan, berhasil melakukan. Akibat berbuat asusila yaitu: mempunyai banyak musuh, mendapat suami atu istri yang tidak diinginkan, lahir dengan keadaan biologis yang tidak sempurna. Tidak berzina melainkan rutin melaksanakan Brahmacariya (Tidak berhubungan badan), pahalanya kesucian diri meningkat, keluarga rukun harmonis, keturunannya anak-anaknya yang berbakti.
  4. Tidak berdusta, termasuk tidak berbicara kasar atau jorok, tidak memfitnah, tidak menepati janji, sumpah palsu, memberikan nasehat atau petunjuk yang salah atau sesat  kepada orang lain, tidak bergosip (berbicara yang tidak bermanfaat). Syarat terjadinya berkata kasar/berbohong/memfitnah/omong kosong adalah: ada hal yang tida benar, ada niat untuk menyampaikan, ada usaha, ada orang lain yang percaya. Akibat ucapan tidak benar:
    • Berbohong yaitu: menjadi sasaran fitnah dan caci makian, tidak dipercaya,mulut berbau
    • Akibat memfitnah: pecahnya persahabatan tanpa sebab.
    • Akibat berkata kasar: dibenci pihak lain walaupun tidak mutlak salah, memiliki suara parau
    • Akibat bergunjing adalah: cacat tubuh, sering bicara tidak masuk akal sehingga orang lain tidak percaya. Tidak berdusta melainkan banyaklah bicara benar, baik dan bermanfaat, pahalanya ucapannya dipercaya orang, memiliki suara merdu, doanya didengar oleh para dewa.
  5. Tidak makan atau minum yang membuat ketagihan dan memabukkan, tidak meminum alkohol, tidak mengkomsusmsi narkoba, tidak memakan atau minuman zat-zat yang membuat ketagihan dan kehilangan kesadaran diri. Syarat terjadinya karena minuman keras, adalah: adanya barang yang memabukan, mempunyai niat untuk meminum, melakukan usaha untuk minum, terjadi mabuk. Akibat Minum-minuman yang memabukkan Akibat dibicarakan banyak orang, kecerdasan menurun, tergantung pada orang lain. Pelanggaran sila ke 5 akan mengakibat melanggar 4 sila lainnya.  Pahala tidak mengkomsumsi makanan atau minuman yang tidak membuat ketagihan dan memabukkan, melainkan makan dan minuman haruslah yang natural, yang menyehatkan, memberikan manfaat untuk kehidupan bijaksana. Hiduplah secara sederhana, hindari segala sesuatu yang berlebihan, banyaklah menekuni ajaran Buddha, pahalanya tentu memiliki pikiran jernih, kesadaran baik dan berkembangnya kebijaksaan dan mudah meraih pencerahan.

Di dalam Sutra Chang Ah Han Cing, disabdakan: Barang siapa yang melanggar sila, ada lima macam kepudaran (kehilangan keberuntungannya) ; Barang siapa yang bisa melaksanakan sila ada lima jasa pahala dan keberuntungan. Buddha bersabda:

Barang siapa yang TIDAK MELAKSANAKAN SILA, ada 5 hal ia tidak memiliki keberuntungan:

  1. Memohon dan berupaya untuk memiliki harta, apa yang diinginkan tidak terkabul;
  2. Apa yang sudah dimiliki (harta benda), setiap hari menjadi susut berkurang;
  3. Dimana saja ia berada, orang banyak tidak respek/menghargai;
  4. Namanya  busuk, reputasinya buruk  menyebar di kolong langit;
  5. Tubuhnya setelah rusak dan mati, seketika masuk ke neraka:

Sebaliknya bagi yang MELAKSANAKAN SILA, ada 5  jasa pahala dan keberuntungannya, yaitu:

  1. Apapun yang diinginkan, semuanya bisa terkabul;
  2. Harta properti, hari demi hari bertambah tidak berkurang;
  3. Di mana saja ia berada , semua orang respek dan menyanyangi;
  4. Nama baik dan reputasi kebajikannya menyebar di kolong langit;
  5. Setelah tubuhnya rusak dan mati, pasti terlahir di surga.

Di dalam Sutra Sila Upasika, disabdakan: Pancasila Buddhis dapat melenyapkan semua ketakutan dan kegentaran; Bilamana melepaskan Pancasila (tidak melaksanakan) maka tidak dapat mencapai buah kesucian Mahayana maupun Hinayana.

Di dalam Sutra Sila Upasaka, Putra Berkebajikan, di antara semua dana, dana ketidak gentaran adalah nomor satu. Oleh karena itu, Saya (Buddha) berkata: Lima ke tidakgentaran adalah Pancasila Buddhis. Demikian Pancasila dilaksanakan, dapat menjauhi lima kegentaran. Sehingga lima macam maha dana (Pancasila)  mudah untuk dilatih. Peroleh keleluasaan. Tidak kehilangan harta benda. Naturalnya akan memiliki rejeki dan pahala yang tidak terukur dan tidak terbatas. Bila melepaskan lima dana (Pancasila), tidak dapat memasuki arus kesucian pertama Strotapana, sampai tidak bisa mencapai Anuttara Samyaksambodhi (kesempurnaan Buddha)

Di dalam Sutra Fo Shuo Ta Shen Cie Cing, disabdakan: Bilamana ada orang melaksanakan sila dapat melihat Buddha; Bila melanggar sila dan kebenaran, berarti telah menjauhi Nirvana dan tidak akan sampai ke pantai bahagia.

Di dalam Abhidharma Ta Ce Tu Lun disabdakan: Pelalu Dusta ada sepuluh karma buruk: 1. Mulut dan nafasnya senantiasa berbau busuk; 2. Dewa berkebajikan meninggalkannya, dan bukan orang (makhluk jahat) mengganggunya; 3. Walau ucapannya nyata, karena sering dusta orang lain tidak dipercaya lagi; 4. Orang bijaksana diundang pun tidak mau menghadiri; 5. Sering kena tuduhan fitnah, nama busuk tersebar luas; 6. Orang tidak mau respek, walau mengajar pun orang lain tidak bisa menerima atau gunakan; 7. Sering bermurung dan kesal; 8. Telah menanam sebab jodoh karma fitnah; 9. Tubuh rusak setelah mati masuk ke neraka; 10. Bilamana jadi orang senantiasa mendapatkan tuduhan  fitnah.

Di dalam Sutra Fo Shuo She Thien Wang Cing, disabdakan: Catur Maharaja Dewata, setiap bulan pada “Enam hari Atthasila” (penanggalan imlek tgl 8, 14, 15, 23, dan 2 hari akhir bulan, bisa 28, 29 atau 29, 30) memeriksa perilaku manusia baik atau buruk. Untuk dilaporkan kepada Dewa Sakkha. Bila orang tersebut melaksanakan sila,  Dewa Sakkha menjadi gembira, dan memerintahkan semua Dewa Kebajikan untuk melindungi. Mengambil sila bisa sedikit atau banyak, bila melaksanakan satu sila, maka ada lima Dewa melindunginya. Bila Pancasila dilakasanakan semua maka ada dua puluh lima Dewa melindunginya. Orang ini kehidupannya tenang dan tentram. Setelah kematian akan dilahirkan ke surga.

Di dalam (Kitab Thai Sang kan Yin Phien) di sabdakan: Baik, jahat, bencana atau keberuntungan bersumber dari hati yang menciptakan. Bilamana satu pikiran mengkondisikan hati penuh kebencian dan bernafsu seksual sesat adalah ciptakan karma ke neraka; Kikir tidak mau berdana adalah karma jadi setan kelaparan; Senang bodoh dan suka kegelapan adalah karma jadi binatang; Memunculkan kesombongan dan bersifat malas adalah karma jadi asura; Tekun laksanakan Pancasila adalah karma jadi manusia; Tekun mempraktikkan Dasa Kusala (sepuluh kebajikan) adalah karma jadi dewa; Mencapai kesucian menembusi hakikat manusia itu adalah sunya adalah karma jadi Sravaka (Arahat); Memahami saling ketergantungan jati dirinya mampu melepaskan adalah karma jadi Pratyeka Buddha; Praktikkan Sad Paramita (enam paramita) adalah karma jadi Bodhisattva; Kebenaran dan kasih yang disempurnakan jadi Buddha.

Mengendalikan diri sendiri lebih dahulu;
Tidak seorang pun dapat mengendalikan orang lain dengan baik kalau dia tidak terlebih dahulu mengendalikan dirinya sendiri. Seseorang dengan pengendalian diri yang telah berkembang dengan baik tidak akan pernah, dalam keadaan apa pun, direndahkan orang, dihujat orang lain bahkan difitnah sekalipun  ia tidak akan menjadi marah, membenci dan ingin membalas dendam. Seorang yang mampu mengendalikan diri tidak mau melihat kekurangan orang lain, dimata dia semua orang adalah Bodhisattva, hanya dirinya sendiri masih merasa sebagai orang awam. Jika manusia sudah membina diri hatinya tidak akan gusar, marah dan tidak membenci terhadap siapapun yang tidak sependapat dengan dirinya; Sebaliknya dia akan berusaha untuk memahami alasan dari ketidaksependapatan itu dan mengambil hikmahnya. Pelajaran yang terbaik toleransi adalah mentolerir sikap intoleran.

Berbuat baik, Menjadi Baik, & Tetap Baik
Seorang praktisi Buddhis, mungkin tidak begitu sulit untuk berbuat baik, adalah lebih sulit untuk menjadi baik. Namun mempertahankan sikap mental yang baik dan melakukan suatu pelayanan kepada orang lain dengan menghadapi berbagai tuduhan, kritikan dan gangguan adalah yang paling sulit di antara semuanya. Adalah mudah untuk menjadi baik ketika segala sesuatunya baik. Tetapi sulit menjadi baik ketika segalanya buruk. Sopan santun, kejujuran, intergritas dan rasa tahu malu adalah empat prinsip etis dalam melakoni kehidupan manusia. Tanpa pengembangan yang tepat akan keempat prinsip etis tersebut, kehidupan manusia akan menghadapi kekacauan dan kehancuran.

Buddhadharma mengajarkan kebijaksanaan, ketrampilan dan pelayanan
Tahu apa yang harus dilakukan adalah kebijaksanaan; Tahu bagaimana harus melakukan sesuatu adalah ketrampilan: Tahu melakukan sebagaimana semestinya adalah pelayanan. “Sifat orang yang bijaksana. Dia yang memiliki pengertian dan kebijaksanaan besar, tidak berpikir untuk merusak dirinya sendiri atau orang lain, ataupun keduanya. Dia lebih berpikir tentang kesejahteraan dirinya, orang lain, keduanya dan seluruh dunia.” (Buddha-A. IV)

Penutup
Buddhadharma bagaikan ‘Cahaya Penerangan’ yang menerangi kegelapan dunia. Buddhadharma bagaikan “Perahu Penyelamatan” bagi semua makhluk yang masih tenggelam di dalam lautan Samsara (derita). Buddhadharma bagaikan ‘Kompas Kehidupan’ yang memberikan petunjuk arah dan tujuan benar dan baik  bagi semua makhluk. Praktik Pancasila Buddhis  adalah mutlak harus dilakukan oleh setiap umat Buddha. Alangkah bijaksananya apabila setiap manusia yang bermukim di muka bumi ini, dapat melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, niscaya kehidupan manusia akan berangsur damai, harmoni dan sejahtera. Begitupula alam akan menjadi sahabat, bumi dan lingkungan akan  menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk dihuni,  sekaligus tempat yang menyenangkan bagi kita semua untuk tumbuh berkembang untuk menyempurnakan segala paramitanya. Sebaliknya bila Pancasila Buddhis di abaikan dan tidak dilaksanakan, maka manusia akan cenderung menjadi liar, bengis, kejam dan jahat. Dunia akan dilanda banyak kekacauan, bencana, peperangan, dan aksi kejahatan lainnya.

Demikian Artikel “Buddhadharma dan Pancasila Buddhis Menuntun Hidup Dalam Kebijaksanaan” dibuat. Semoga dapat di ambil hikmahnya dan bermanfaat. Akhir kata semoga semua makhluk berbahagia, svaha.