Lamanya Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Menjadi Seorang Buddha
“Kelahiran sebagai manusia itu jarang, Kehidupan manusia itu sulit, Mendengar Kebenaran Mulia itu sulit, Munculnya seorang Buddha itu jarang.” [Dhammapada 182]
“Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa”
Memahami Istilah-istilah : Satu Siklus Dunia ( 1 Maha-Kappa ), Satu Periode Dunia (1 Asankkheyya-Kappa), dan Antara-Kappa
Kebanyakan orang yang membaca riwayat hidup Buddha akan berpikir, bahwa Petapa Gotama membutuhkan waktu enam tahun untuk menjadi Buddha. Fakta yang sesungguhnya adalah bahwa Buddha Gotama (catatan: gelar Buddha Gotama adalah sebutan dari sekte Theravada; sedang gelar Sakyamuni Buddha adalah sebuatan dari sekte Mahayana) membutuhkan waktu selama 300.000 siklus dunia (atau = 300.000 Maha-Kappa) plus (+) 20 periode (20 Asankheyya-Kappa; atau/sama dengan 400 antara-kappa) yang tak terhitung lamanya untuk mencapai Pencerahan batin Sempurna dan menjadi seorang Buddha. Hampir tidak mungkin membayangkan panjangnya waktu tersebut. (Praktik Dhamma menuju Nibbana ; Radhika Abeyesekera, Srimanggala 2008)
Menurut Radhika Abeyesekera, dalam bukunya “Praktik Dhamma Menuju Nibbana” (Srimanggala 2008), selama waktu perjalanan tersebut, Boddhisatta kita, telah bertemu dengan para Buddha di masa lampau, yaitu bila saya jumlahkan total kesemuanya adalah sebanyak 163.727 Samma-Sambuddha, dengan perincian sebagai berikut: 125.000 Samma-Sambuddha (Era Mano-Panidhana-Kala; diawali pertemuan Boddhisatta dengan Buddha Brahma-Dewa) + 38.700 Samma-Sambuddha ( Era Waci-Panidhana-Kala ; diawali pertemuan Boddhisatta dengan Buddha Gotama-Purana) + 3 Samma-Sambuddha (Buddha Tanhangkara, Buddha Medhangkara, Buddha Saranangkara) + 24 Samma-Sambuddha ( Era Kaya-Panidhana-Kala ; Dimulai pertemuan Boddhisatta dengan Buddha Dipankara (Buddha pertama yang memberi ramalan kepastian pencapaian ke-Buddha-an Boddhisatta kita) dan diakhiri pertemuan dengan Buddha Kassapa (Buddha ke-24 yang memberi ramalan kepastian pencapaian ke-Buddha-an Boddhisatta kita).
Sebagian masyarakat Buddhis juga ada yang berpikiran bahwa Sang Buddha hanya membutuhkan waktu selama Empat (4) Asankkheyya-Kappa (atau = satu (1) Maha-Kappa/1 siklus dunia saja) ditambah (+) seratus ribu (100.000) Maha-Kappa untuk merealisasi ke-Buddha-an. Pengertian ini hanyalah penggambaran untuk periode semenjak Boddhisatta (calon-Buddha) mendapat ramalan-pasti dari seorang Samma-Sambuddha; dalam kasus ini, adalah sejak Petapa-Sumedha mendapat ramalan pasti dari Buddha-Dipankara bahwa kelak ia akan terlahir dalam keluarga Sakya berkasta Ksatriya, bernama Siddhatta-Gotama dan akan mencapai tingkat Samma-Sambuddha. Periode Empat A.K + 100.000 Kappa ini hanyalah menggambarkan periode dimana Boddhisatta menyempurnakan ke-sepuluh Kesempurnaan (Dasa-Paramitha), yang dikenal sebagai masa “Kaya-Panidhana-Kala”. Lagipula, waktu selama Empat (4) Asankkheyya-Kappa (atau = satu (1) Maha-Kappa/1 siklus dunia saja) ditambah (+) seratus ribu (100.000) Maha-Kappa untuk merealisasi ke-Buddha-an hanya berlaku bagi Boddhisatta Pannadhika (calon Buddha dengan faktor kebijaksanaan kuat), sedangkan untuk Boddhisatta Saddhadhika (calon Buddha dengan faktor keyakinannya yang lebih kuat) akan membutuhkan waktu 8 A.K + 100.000 Maha-Kappa; dan bagi Boddhisatta Viriyadhika (calon Buddha dengan faktor usahanya yang lebih kuat) membutuhkan waktu 16 A.K + 100.000 Maha-Kappa.
Untuk mengerti bagian ini perlu memahami satuan-waktu dalam bahasa Pali yang digunakan untuk menerangkan hal ini. Mereka adalah :
– Maha Kappa [Maha-Kalpa] atau siklus dunia.
– Asankkheyya-Kappa atau periode yang tak dapat dihitung lamanya.
– Antara-Kappa (Anto-Kappa)
Dalam rentang perjalanan manusia, (sesungguhnya) terdapat suatu masa dimana seluruh ummat manusia hanya akan mempunyai batas waktu umur rata-rata hingga 10 tahun. Masa ini terjadi ketika moralitas ummat manusia sedemikian merosotnya, sehingga umurnya hanya akan bertahan hingga 10 tahun, sesudah itu mati. Masa selang antara batas usia manusia rata-rata 10 tahun lalu naik sampai usia yang panjang sekali hingga mencapai delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun, lalu turun kembali hingga batas usia rata-rata menjadi 10 tahun kembali, itu adalah rentang waktu 1 “Antara-Kappa” (Antara satu kappa ke Kappa berikutnya, itulah “Antara-Kappa”).
Satu (1) Asankheyya Kappa adalah sama dengan 20 Antara Kappa. Satu (1) Asankheyya Kappa, oleh beberapa sarjana (sekali lagi, hal ini dinyatakan oeh beberapa sarjana, sebab ada pula para sarjana lainnya yang menyebutkan angka waktu yang berbeda) dinyatakan, bila dialjabarkan sama dengan 10 pangkat 14 (angka satu (1) diikuti empat belas (14) angka nol), sehingga lamanya mencapai kurang lebih 100 trilyun tahun. Dan Satu (1) Maha Kappa adalah sama dengan empat (4) Asankheyya Kappa, sehingga 1 Maha Kappa lamanya mencapai kurang lebih 400 trilyun tahun.
Sang Buddha menjelaskan siklus dunia sebagai berikut : Banyak, banyak tahun dari zaman sekarang suatu hujan deras yang destruktif (menghancurkan) akan terjadi, dan sebagai akibatnya sistem dunia akan berakhir. Kemudian, setelah satu waktu yang lama, dunia akan berkembang kembali. Dan kemudian, setelah satu periode yang lama, hujan lebat yang destruktif lainnya akan terjadi dan menghancurkan sistem dunia. Periode antara dua hujan yang destruktif adalah satu siklus dunia. Buddha telah membagi satu (1) siklus dunia menjadi empat (4) periode:
– Samwata-kappa
– Samwattatthayi-Kappa
– Wiwata-kappa
– Wiwatattathayi-kappa
Samwatta-kappa: Periode pertama dari siklus dunia yang dikenal sebagai Samwatta-kappa merupakan periode yang sangat panjang antara hujan besar yang menghancurkan dan munculnya tujuh matahari, yang mana pada waktu itu seluruh sistem dunia terbakar habis. Period ini dikenal sebagai periode kekacauan atau periode tahap pembubaran.
Samwattathayi-Kappa: Periode kedua dari siklus dunia, yang dikenal sebagai Sawattatthayi, adalah ketika langit dan berbagai surga (cakrawala) yang diatas dan dibawah dunia ditutupi dengan debu tebal dan kegelapan. Periode yang lama ini dikenal sebagai periode berlangsungnya kekacauan, atau periode berlangsungnya tahap pembubaran.
Wiwatta-kappa: Periode ketiga, yang dikenal sebagai witatta-kappa, dimulai dengan hujan deras yang produktif, dan terus berlangsung hingga matahari dan bulan mulai muncul. Periode ini dikenal sebagai periode perkembangan yang panjang.
Wiwattatthayi-Kappa: Periode keempat, yang dimulai ketika matahari dan bulan muncul melalui debu, yang dikenal sebagai wiwattatthayi, kelangsungan evolusi, dan berlangsung hingga hujan besar berikutnya yang menghancurkan.
Masing-masing fase dari keempat fase tersebut diatas dibagi menjadi 20 anto-kappa (64 menurut beberapa teks).
Masing-masing fase tersebut disebut “Kappa-Menengah”/Asankkheyya-Kappa. Kappa-menengah terdiri dari dua-puluh (20) kappa-kecil/anto-kappa. Kappa-kecil/anto-kappa pertama disebut kappa-turun, dan kappa-kecil terakhir (yang ke-20) disebut kappa naik.
Delapan-belas (18) kappa-kecil di antara kappa-turun dan kappa-naik merupakan siklus yang terdiri atas paruh-pertama naik dan paruh-kedua turun.
Sehingga, yang dimaksud dengan satu siklus dunia adalah dari Samwatta-Kappa , lalu melewati Samwattathayi-Kappa, melewati Wiwatta-Kappa, melewati Wiwattatthayi-Kappa, kemudian kembali lagi pada era Samwatta-Kappa ; demikianlah sehingga dinyatakan bahwa satu siklus dunia adalah periode antara dua hujan yang destruktif. Lamanya satu siklus dunia adalah sama-dengan satu (1) Maha-Kappa (atau = empat (4) Asankkheyya-Kappa ).
Sedangkan yang dimaksud dengan satu (1) periode adalah satu periode dari keempat periode dalam satu siklus dunia tersebut (yaitu: Samwatta-Kappa, Samwattathayi-Kappa, Wiwatta-Kappa,Wiwattatthayi-Kappa). Lamanya satu periode adalah sama dengan satu (1) Asankkheyya-Kappa (atau = dua puluh (20) Antara-Kappa/Anto-Kappa)
Kita sekarang berada di salah satu dari dua puluh anto-kappa dalam periode yang dikenal sebagai Wiwattatthayi, kelangsungan evolusi. Dalam setiap anto-kappa jangka hidup seseorang naik hingga satu periode yang sangat panjang, dan menurun lagi hingga kira-kira sepuluh tahun. Kita sekarang berada dalam periode yang sangat menguntungkan. Lima Buddha dilahirkan dalam siklus dunia ini (karenanya dikenal sebagai Maha Baddha Kappa). Empat Buddha telah muncul. Era (zaman) Buddha Metteya (Maitreya) belum datang.
Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistem dunia sangatlah panjang; diperlukan sangat banyak kappa (sebagai satuan waktu) untuk itu. Sewaktu Sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa, Beliau menjawab:
“Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan dengan tahun, abad ataupun ribuan abad.”
“ Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan perumpamaan?”
“Dapat,. Bayangkan bongkahan suatu gunung besar, tanpa retak, tanpa celah, padat, berukuran panjang 1 mil, lebar 1 mil dan tingginya juga 1 mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada orang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat bukit itu habis tergosok daripada suatu masa kappa berlalu. Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu.”
Tentu saja selendang sutra akan habis sebelum batu itu terkikis habis. Buddha memberikan perumpamaan yang indah itu untuk memberikan sebuah gagasan pikiran kepada kita, bahwa satu siklus dunia atau maha Kappa itu sungguh-sungguh teramat sangat lama.
Sang Buddha menjelaskan, bahwa alam-semesta ini telah mengalami siklus “daur-ulang” berulang-kali, sehingga kiamat dalam Buddha-Dhamma tidaklah dianggap sebagai “akhir-dunia”, karena setelah kiamat, maka alam-semesta ini akan mengalami proses siklus pembentukan kembali. Oleh karena itulah dinyatakan bahwa Sang Buddha membutuhkan waktu selama 300.000 siklus dunia (atau = 300.000 Maha-Kappa) plus (+) 20 periode (20 Asankheyya-Kappa; atau/sama dengan 400 antara-kappa) yang tak terhitung lamanya untuk mencapai Pencerahan batin Sempurna dan menjadi seorang Buddha.
Jika kita bisa memahami, mengimajinasikan betapa sangat lamanya jangka waktu yang dibutuhkan untuk merealisasi ke-Buddha-an ini, maka kita tidak akan hanya mengagumi tugas mulia seorang Boddhisatta, tetapi juga ketabahan dan keuletan serte keteguhan-hati-Nya untuk mencapai ke-Buddha-an yang Tertinggi (Samma-Sambuddha).
ERA PRA MANO-PANIDHANA KALA (Era Sebelum Aspirasi Mental)
Era ini adalah era ketika Sang Buddha Gotama pertama kali bercita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an. Ini adalah sebuah masa yang sudah sangat lama sekali, lebih dari 300.000 siklus dunia yang lampau (seperti sudah kita pahami, satu siklus dunia adalah satu siklus dari masa hujan destruktif di masa penghancuran alam semesta, kemudian sampai kepada pembentukan dan evolusi seperti masa kita hidup di abad ke-21 sekarang ini, hingga kelak saat masa kiamat/penghancuran datang kembali ; itulah satu siklus dunia), dan ditambah 20 periode yang tidak terhitung yang telah berlalu.
Pada saat itu, Buddha kita dilahirkan di dalam sebuah keluarga miskin. Setelah ayahnya meninggal, dia menghidupi ibunya penuh kesulitan dengan menjual kayu bakar dan sayuran. Karena sulit untuk bertahan hidup dengan penghasilannya itu, dia memutuskan untuk menumpang sebuah kapal dagang dalam perjalanannya menuju Suwanna-Bhumi. Tetapi ibunya berat hati untuk membiarkan dia pergi sendiri. Untuk menyenangkan ibunya, dia membawa serta ibunya di kapal itu. Suatu hari, kurang lebih seminggu setelah kapal berangkat, sebuah badai mengamuk dan kapal terbalik. Sebagian besar penumpangnya tenggelam. Lelaki miskin itu berenang dengan berani untuk mencari ibunya. Kemudian, dengan mempertaruhkan hidupnya, dia menggendong ibunya di punggnungnya dan dengan susah payah dia berenang ke daratan.
Ibunya yang berterimakasih memberkahi anaknya dengan mengatakan, “Karena kamu menyelamatkan aku dari tenggelam di laut, maka suatu hari kamu akan mampu menyelamatkan orang-orang lain dari segala penderitaan mereka (menjadi seorang Buddha)”.
Diilhami oleh kata-kata ibunya orang miskin itu membuat aspirasi mental yang pertama muncul untuk mencapai ke-Buddha-an. Dia berpikir, “Semoga pada suatu hari aku dapat menyelamatkan makhluk-makhluk hidup, dengan menunjukkan kepada mereka jalan untuk meghancurkan penderitaan.”
Sejak saat itu dan seterusnya, dia dikenal sebagai “Boddhisatta” (Skt. : Boddhisattva) ~ seseorang yang berada di Jalan menuju Kesempurnaan; atau orang yang bercita-cita untuk mencapai tingkat Buddha. Boddhisatta kemudian memulai tugas yang berat untuk menyempurnakan diri-Nya dengan mengikuti praktik yang dikenal sebagai “Dasa-Paramita” (Sepuluh-Kesempurnaan):
1. Kesempurnaan Kemurahan-Hati (Dana-Paramita)
2. Kesempurnaan Moralitas ( ila-Paramita)
3. Kesempurnaan Pelepasan-Keduniawian (Nekkhama-Paramita)
4. Kesempurnaan Kebijaksanaan (Panna-Paramita)
5. Kesempurnaan Semangat (Viriya-Paramita)
6. Kesempurnaan Kesabaran (Khanti-Paramita)
7. Kesempurnaan Kebenaran (Sacca-Paramita)
8. Kesempurnaan Kebulatan-Tekad (Adhitthana-Paramita)
9. Kesempurnaan Cinta-Kasih (Metta-Paramita)
10. Kesempurnaan Keseimbangan-Batin (Upekkha-Paramita)
Ada dua kisah Jataka (kisah kehidupan lampau Sang Buddha Gotama) yang berhubungan dengan saat antara aspirasi mental pertama ini , dengan aspirasi mental pertama yang dibuat oleh Boddhisatta bernama Sumedha di hadapan seorang Samma-Sambuddha ( yaitu dihadapan Buddha-Dipankara).
Pada titik waktu tersebut, ketika Boddhisatta pertama kali membuat aspirasi mental untuk mencapai ke-Buddha-an di hadapan seorang Samma-Sambuddha, periode Mano-Panidhana Kala dimulai.
Kisah pertama menceritakan saat Boddhisatta dilahirkan sebagai anak laki-laki Raja Benares. Dia kemudian dikenal sebagai Sattutapa. Setelah ayahnya meninggal, dia naik tahta sebagai Raja. Raja memiliki seekor gajah yang terlatih dan indah. Ketika mendengar bahwa salah satu taman-Nya dihancurkan oleh gajah-gajah liar, raja berangkat dengan menunggang gajahnya yang terlatih untuk memeriksa kerusakan. Sementara dia memeriksa tingkat kerusakan dan berkata kepada menterinya, gajahnya yang terlatih mencium bau gajah betina yang hadir di malam sebelumnya. Gajah yang terlatih itu melepaskan diri dan meninggalkan pawangnya, dan berlari ke dalam hutan mengejar gajah betina itu. Beberapa hari kemudian, gajah itu kembali dan pawangnya menjelaskan kepada raja bahwa, gajah yang biasanya taat itu telah berubah dan pergi karena nafsu birahinya kepada gajah betina itu.
Raja merenungkan informasi itu, dan, karena merasa jijik pada akibat nafsu birahi pada gajahnya yang tenang, jinak dan terlatih, Beliau memutuskan untuk meninggalkan aneka kesenangan sensual dan menjadi seorang petapa. Dia meninggalkan milik-milik duniawinya dan kerajaannya, lalu menjalani kehidupan sebagai orang suci. Meskipun periode Kaya-Panidhana-Kala baru saja berlangsung, Boddhisatta telah melengkapi kesempurnaan dalam pelepasan. Dia mulai mempraktikkan kesempurnaan dalam hal ini.
Kisah kedua, mengisahkan bagaimana Boddhisatta dilahirkan sebagai seorang Brahmana bernama Brahma-Kumara. Pada usia ke-16 tahun dia menyelesaikan pendidikannya dan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa. Dia bermeditasi di kaki Gunung Munda dengan murid-muridnya, dimana murid utamanya adalah Buddha masa depan: Metteya (Maitreya). Suatu hari, ketika mereka pergi mencari buah-buahan untuk dimakan, Boddhisatta melihat induk harimau yang kelaparan yang baru saja melahirkan yang berada di dasar sebuah jurang yang terjal. Melihat induk harimau yang kelaparan itu hampir memangsa bayi-bayinya, dia memanggil muridnya yang utama dan meminta dia untuk mencari bangkai binatang yang mati, untuk diberikan kepada induk harimau itu. Akan tetapi, sebelum muridnya kembali, Boddhisatta melihat induk harimau itu mulai menerkam bayi-bayinya. Untuk menjalankan cita-cita luhur ke-Buddha-an, dia melompat dari jurang terjal dan membiarkan induk harimau yang kelaparan itu menyantap dirinya, dengan demikian dia menyelamatkan kehidupan bayi-bayi harimau. Sebagian orang berpikir, bahwa kematian ini yang menyebabkan Buddha-Gotama mencapai ke-Buddha-an terlebih-dahulu sebelum Maitreya mencapai ke-Buddha-an kelak. Lebih dari 300.000 siklus dunia dan 20 periode yang tak terhitung yang lalu Boddhisatta telah memulai mempraktikkan kemurahan-hati. Sekian tahun kemudian, selama Kaya-Panidhana-Kala, Beliau telah mencapai kesempurnaan dalam kemurahan-hati (dana).
ERA MANO-PANIDHANA KALA (Era Aspirasi Mental)
Era ini masih dalam hitungan waktu 300.000 siklus dunia + 20 periode yang tak terhitung lamanya diwaktu yang lampau. Era Mano-Panidhana-Kala ini dilalui selama 100.000 siklus dunia diselingi dengan tujuh periode yang tak terhitung lamanya.
Era Mano-Panidhana-Kala ini dilalui selama 100.000 siklus dunia diselingi dengan tujuh periode yang tak terhitung lamanya. Selama ini Boddhisatta menyatakan cita-cita luhur untuk mencapai ke-Buddha-an di hadapan seorang Buddha yang lain.
Boddhisatta Gotama saat itu dikenal sebagai Raja Atidewa. Samma-Sambuddha yang ada saat masa hidupnya Raja Atidewa ini adalah Buddha Brahma-Dewa.
Pada suatu ketika, Raja Atidewa sedang melihat keluar dari balkonnya di istana ketika dia melihat Buddha Brahma-Dewa. Raja segera mendekati Buddha, memujanya dengan bunga-bunga melati dan menyatakan cita-cita luhurnya untuk mencapai ke-Buddha-an. Dia kemudian membangun vihara besar untuk Buddha dan menyediakan segala kebutuhan untuk Beliau dan para Bhikkhu-Nya.
Selama periode Mano-Panidhana-Kala ini, terdapat 125.000 Samma-Sambuddha. Boddhisatta kita menjumpai semua Buddha tersebut dan menyatakan cita-cita luhurnya untuk mencapai ke-Buddha-an di hadapan setiap Buddha setelah melakukan berbagai perbuatan yang bajik.
Kemudian melalui satu periode dengan banyak siklus dunia dimana selama itu tidak ada seorang Samma-Sambuddha. Boddhisatta dilahirkan sebagai seorang yang mencapai Jhana, dan dilahirkan di alam Brahma.
ERA WACI-PANIDHANA-KALA (Era Aspirasi Verbal)
Era ini terjadi pada 200.000 siklus dunia + 13 periode yang lampau yang tak terhitung lamanya. Era Waci-Panidhana-Kala ini dilalui selama 100.000 siklus dunia + 9 periode yang tak terhitung lamanya.
Selama era ini, Boddhisatta Gotama menyatakan aspirasi verbal di hadapan Buddha yang lain.
Periode ini dimulai pada zaman Buddha Purana-Gotama.
Sebagaimana dikisahkan, pada akhir era Mano-Panidhana-Kala, Boddhisatta terlahir kembali di alam Brahma. Setelah masa hidupnya di alam Brahma dijalani sepenuhnya, Boddhisatta dilahirkan sebagai Pangeran Sagara di dalam keluarga istana di kota Dhannawati. Setelah menyelesaikan pendidikannya dia dinobatkan sebagai seorang penguasa dunia.
Pada zaman itu ada seorang raja bernama Yasaniwasa dann seorang ratu bernama Wimala yang memerintah kota Siriniwasa. Anak laki-laki mereka meninggalkan kehidupan istana untuk mencapai ke-Buddha-an, dan 14 hari kemudian mencapai Pencerahan-Sempurna. Dia kemudian dikenal sebagai Buddha-Gotama, yang sekarang ini disebut sebagai Buddha Gotama-Purana (Sesepuh ; Buddha Gotama-Purana ini bukan Buddha-Gotama kita yang terakhir hidup sebagai Pangeran Siddhatta Gotama). Ketika Pangeran Sagara (Calon Buddha kita) mendengar bahwa Buddha Gotama-Purana sedang mengunjungi Dhanawati, dia tertarik dan meninggalkan istana dan pergi memberikan penghormatan kepada Buddha. Kemudian, setelah membangun vihara besar untuk Buddha dan menyediakan segala keperluan Beliau, dia kemudian menyatakan cita-citanya untuk mencapai ke-Buddha-an.
Pangeran Sagara, Boddhisatta kita, berkata, “Yang-Mulia, dengan perbuatan-perbuatan bajik ini, semoga aku, seperti halnya Anda, dilahirkan di dalam keluarga yang dikenal sebagai kaum Sakya dan dikenal sebagai Gotama, seperti Anda, dan semoga saya mencapai ke-Buddha-an pada suatu hari di masa depan.”
Buddha Gotama-Purana kemudian meramalkan,”Jika kamu memenuhi semua kesempurnaan, kamu pasti akan mencapai keinginanmu dan mencapai ke-Buddha-an.”
Demikianlah Boddhisatta kita menyatakan aspirasi verbal yang pertama, dan menerima ramalan pertama yang tidak spesifik (dari segi tempat, waktu, dll.) ini. Kemudian dia meninggalkan kerajaannya dan menjadi murid Buddha Purana-Gotama.
Selama periode ini, ada 38.700 Buddha dan Boddhisatta kita menjumpai setiap Buddha itu dan menyatakan aspirasi verbalnya di hadapan mereka, dan menerima ramalan yang tidak spesifik dari setiap Buddha.
Bertemu dengan Buddha-Tanhangkara
Periode berikutnya dari era Waci-Panidhana-Kala adalah pada masa Buddha-Tanhangkara. Ini terjadi pada masa 100.000 siklus dunia + empat periode yang lampau yang tak terhitung lamanya.
Sepanjang periode ini, berlangsunglah Maha-Kappa dari Waci-Panidhana-Kala. Selama Maha-Kappa dari Waci-Panidhana-Kala berlangsung, di kota Pupphawati, memerintah Raja bernama Sunandadan Ratu bernama Sunanda-Dewi.
Mereka memiliki anak laki-laki bernama Tanhangkara yang meninggalkan kerajaannya, dan setelah mempraktikkan berbagai kebajikan selama satu minggu, mencapai Pencerahan-Sempurna. Pada waktu itu, Boddhisatta kita dilahirkan sebagai Raja dunia bernama Sudassana di kota Surindawati. Melihat Buddha-Tanhangkara, Raja Sudassana melakukan banyak perbuatan bajik dan menyatakan aspirasi verbal untuk mencapai ke-Buddha-an. Kembali Boddhisatta kita menerima ramalan tidak spesifik. Dia kemudian meninggalkan kerajaannya dan menjadi murid Buddha-Tanhangkara.
Bertemu dengan Buddha-Medhangkara
Periode berikutnya dari era Waci-Panidhana-Kala adalah pada masa Buddha-Medhangkara. Ini terjadi pada masa 100.000 siklus dunia + empat periode yang lampau yang tak terhitung lamanya.
Sepanjang periode ini, berlangsunglah Maha-Kappa dari Waci-Panidhana-Kala. Dalam anto-kappa ini, di kota Mekhala, memerintah seorang Raja bernama Sudewa dan ratu bernama Yasodhara. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Medhangkara yang meninggalkan kerajaannya, dan mempraktikan berbagai kebajikan dan mencapai Pencerahan-Sempurna.
Pada masa itu Boddhisatta kita dilahirkan di dalam keluarga seorang Brahmana, dan dia bernama Somanassa menurut nama kota dimana dia tinggal. Somanassa mempersembahkan berbagai dana kepada Buddha-Medhangkara dan membangun beberapa ruangan untuk meditasi, kemudian bergabung sebagai murid Buddha-Medhangkara. Kembali Boddhisatta kita menyatakan aspirasi verbal untuk mencapai ke-Buddha-an dan menerima ramalan yang tidak spesifik.
Bertemu dengan Buddha-Saranangkara
Periode berikutnya dari era Waci-Panidhana-Kala adalah pada masa Buddha-Sarangkara. Ini terjadi pada masa 100.000 siklus dunia + empat periode yang lampau yang tak terhitung lamanya.
Sepanjang periode ini, berlangsunglah Maha-Kappa dari Waci-Panidhana-Kala. Dalam anto-kappa berikutnya, di kota Wipula, memerintah seorang Raja bernama Sumanggala dan Ratu Yasawathi. Mereka memiliki anak laki-laki bernama Saranangkara yang meninggalkan kerajaannya, dan mempraktikkan berbagai kebajikan dan mencapai Pencerahan-Sempurna. Pada zaman itu Boddhisatta dilahirkan dalam keluarga seorang Brahmana bernama Yasawanta. Dia membangun banyak vihara dan menyediakan nasi susu dan kebutuhan lain untuk Buddha. Dia kemudian menyatakan aspirasi verbal dan kembali menerima ramalan yang tidak spesifik. Dia kemudian bergabung dengan Sangha para Bhikkhu, merealisasi Jhana, dan dilahirkan di alam Brahma.
Hingga bertemu Buddha-Saranangkara, Boddhisatta kita belum memenuhi berbagai kebutuhan yang diperlukan untuk menerima Pernyataan yang Pasti. Semua yang Beliau terima dari para Buddha tersebut hanyalah pernyataan yang tidak spesifik.
Setelah bertemu dengan ketiga Buddha ini : Buddha Tanhangkara, Buddha Medhangkara, Buddha Saranangkara ; Boddhisatta kita akan mulai mendapat ramalan pasti saat nanti bertemu denganBuddha-Dipangkara dan hingga ke-23 Buddha lainnya berikutnya setelah Buddha-Dipangkara. Era dimana Boddhisatta kita mendapat ramalan pasti bahwa kelak Beliau akan mencapai ke-Buddha-an, disebut dengan era “Kaya-Pinidhana-Kala”.
ERA KAYA-PANIDHANA-KALA (Era Tindakan)
Era ini terjadi pada 100.000 siklus dunia + 4 periode yang lampau yang tak terhitung lamanya. Era Kaya-Pinidhana-Kala ini dilalui selama 100.000 siklus dunia (100.000 Maha Kappa) + 4 periode (4 Asankkheyya Kappa) yang tak terhitung lamanya.
Periode ini dimulai pada zaman Buddha-Dipankara. Boddhisatta kita saat itu dikenal sebagai Petapa Sumedha.
Periode yang dilalui selama 4 Asankkheyya Kappa + 100.000 Maha-Kappa/Siklus dunia ini, adalah periode dimana Boddhisatta menerima ramalan yang pasti (spesifik) dari Samma-Sambuddha yang lain.
Pada saat itu, Boddhisatta kita dilahirkan di dalam satu keluarga Brahmana dan bernama Sumedha. Dia telah mendistribusikan seluruh kekayaannya di antara kaum miskin dan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa.
Pada saat yang sama ada seorang Raja bernama Sumedha, dan seorang Ratu bernama Sumedha yang memerintah kota Rammawati. Anak laki-laki mereka meninggalkan kehidupan istana dan mencapai Pencerahan-Sempurna. Beliau dikenal sebagai Buddha Dipankara. Ketika mendengar bahwa Buddha-Dipankara sedang berkunjung, Petapa Sumedha mulai menghiasi satu jalur jalan yang akan dilalui Beliau. Akan tetapi, Buddha Dipankara tiba sebelum petapa Sumedha selesai menyiapkan jalan itu. Sejangkauan jalan di hadapan Buddha berlumpur. Dengan merebahkan tubuh melintang di bidang yang berlumpur itu, Sumedha meminta agar Buddha-Dipankara dan para pengikut-Nya meniti dirinya supaya kakinya tidak kotor. Kemudian Boddhisatta kita menyatakan tekadnya untuk mencapai ke-Buddha-an. Buddha-Dipankara memberinya delapan genggam bunga melati-putih yang melambangkan “Jalan-Ariya-Beruas-Delapan” yang direalisasi semua Buddha.
Buddha-Dipankara kemudian memberikan ramalan secara pasti (spesifik), dengan bersabda, “ Di masa depan yang jauh, kamu akan dilahirkan sebagai orang dari suku Sakya, dan akan mencapai Pencerahan-Sempurna sebagai Buddha-Gotama.” Sejak menerima ramalan pasti ini, Boddhisatta mulai berjuang untuk menyempurnakan “Dasa-Paramaita” ( epuluh-Kesempurnaan).
Delapan kondisi harus dimiliki untuk menerima ramalan (proklamasi) yang pasti (spesifik). Kedelapan kondisi tersebut adalah:
1. Ia adalah manusia
2. Ia adalah laki-laki
3. Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4. Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5. Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6. Dia harus memiliki kekuatan-batin/mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana (yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi”)
7. Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8. Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan ummat manusia dan para dewa.
Pada zaman Buddha-Dipankara, lebih dari 200.000 siklus dunia + 16 periode yang tak terhitung lamanya setelah Beliau menyatakan aspirasi mentalnya yang pertama, Boddhisatta kita menemukan delapan perolehan dan menerima ramalan yang pasti (spesifik).
Cita-cita Boddhisatta untuk menjadi seorang Buddha kini telah pasti. Tetapi pada tingkat ini pun, setelah sekian tahun yang tak terhitung lamanya mempraktikkan kemurahan hati (Dana), moralitas (Sila), pelepasan (Nekkhama), Kebenaran (Sacca), dan lain-lain, Boddhisatta kita masih seorang duniawi (puthujjana). Yaitu, bahwa dia tidak mencapai kesucian, bahkan belum pula merealisasi tingkat kesucian yang pertama; Sottapanna.
Tetapi jika Boddhisatta saat itu menghendaki, saat itu juga ia dapat memenangkan kebebasan-Nya dengan merealisasi tingkat Arahat. Pada tahapan ini dia menahan pencapaian ini, dengan kebulatan tekad dan terus di dalam samsara untuk menyempurnakan Dasa-Paramita demi kebaikan ummat-manusia. Pada hari yang bersejarah di saat ia menerima ramalan pasti dari Buddha-Dipankara, petapa Sumedha membuat pernyataan sebagai berikut:
“Hari ini jika keinginanku demikian, Pelanggaran-pelanggaranku akan memakan aku.
Tetapi untuk apa buah Ajaran menyelamatkan aku sebelum Aku mencapaI Kemahatahuan (Sabbanuta-Nana)
Aku akan mencapai Kemahatahuan lebih dahulu,
Dan menjadi Buddha di dunia.
Tetapi buat apa aku, seorang manusia yang berani,
Mencari lautan untuk menyeberang seorang diri?
Kemahatahuan harus aku capai lebih dahulu,
Dan ummat manusia dan para dewa beramai-ramai menyeberang”.
Boddhisatta mengetahui bahwa ada banyak perangkap antara waktu itu dengan waktu ketika Beliau ingin mencapai ke-Buddha-an Tertinggi, mengetahui bahwa, di dalam samsara Beliau ~ melalui tindakannya ~ dapat dilahirkan di dalam salah satu alam yang tidak bahagia, mengetahui dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai keselamatan, Boddhisatta Sumedha menghindarinya demi kita. Beliau menghindarinya untuk kebaikan ummat manusia dan para dewa.
Selama periode ini, yang dikenal sebagai Kaya-Panidhana-Kala, Boddhisatta menyempurnakan dirinya (menyempurnakan “Dasa-Pamaita”/Sepuluh-Kesempurnaan) dan mempertahankan kebulatan tekad dan cita-citanya untuk mencapai ke-Buddha-an. Pada era Kaya-Panidhana-Kala inilah keseluruhan dari Dasa-Paramita selesai disempurnakan oleh Boddhisatta, dan kelak akan terlahir terakhir kalinya sebagai manusia bernama Pangeran Siddhatta Gotama.
Pada era Kaya-Panidhana-Kala ini, Boddhisatta kita menerima ramalan pasti dari ke-24 Samma-Sambuddha yang lain. Ke-24 Samma-Sambuddha tersebut adalah sebagai berikut:
1. Buddha Dipankara ~ Boddhisatta dilahirkan sebagai Petapa Sumedha dan menerima ramalan yang pasti (spesifik).
Setelah berlalu satu periode yang lamanya 1 Asankkheyya-Kappa , kemudian muncullah Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha Kondanna.
2. Buddha Kondanna ~ Boddhisatta kita terlahir sebagai manusia dan menjadi seorang Raja Cakkavatti bernama Vijjitavi.
Setelah berlalu satu periode yang lamanya 1 Asankkheyya-Kappa, kemudian muncullah Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha Manggala.
3. Buddha-Manggala ~ Boddhisatta terlahir sebagai manusia dan menjadi seorang Brahmana bernama Suruci.
4. Buddha Sumana ~ Boddhisatta kita terlahir sebagai seekor naga dan menjadi Raja Naga bernama Atula.
5. Buddha Rewata ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Brahmana bernama Atideva.
6. Buddha Sobhita ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Brahmana bernama Ajita.
Setelah berlalu satu periode yang lamanya 1 Asankkheyya-Kappa, kemudian muncullah Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha Anomadassi.
7. Buddha Anomadassi ~ Boddhisatta kita terlahir sebagai makhluk setan dan menjadi pemimpin para Asura.
8. Buddha Paduma ~ Boddhisatta kita terlahir sebagai seekor singa.
9. Buddha Narada ~ Boddhisatta kita terlahir sebagai seorang manusia dan menjadi seorang petapa bernama Jatila.
Setelah berlalu satu periode yang lamanya 1 Asankkheyya-Kappa kemudian muncullah Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha Padumuttara.
10. Buddha Padumuttara ~ Boddhisatta kita terlahir menjadi seorang laki-laki yang kaya-raya bernama Jatila. Periode ini terjadi pada 100.000 Maha-Kappa sebelum kelahiran kembali Boddhisatta kita yang terakhir kalinya sebagai seorang manusia dan menjadi Pangeran Siddhatta Gotama yang kelak merealisasi ke-Buddha-an menjadi Buddha-Gotama.
Setelah berlalu satu periode yang lamanya 70.000 Maha-Kappa (70.000 siklus dunia) kemudian muncullah Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha Sumedha.
11. Buddha Sumedha ~ Boddhisatta kita terlahir sebagai manusia dan menjadi seorang Brahmana bernama Uttara; yang nantinya akan menjadi Bhikkhu.
Periode ini terjadi pada 30.000 Maha-Kappa (30.000 siklus dunia) sebelum kelahiran kembali Boddhisatta kita yang terakhir kalinya sebagai seorang manusia dan menjadi Pangeran Siddhatta Gotama yang kelak merealisasi ke-Buddha-an menjadi Buddha-Gotama.
Setelah berlalu satu periode yang lamanya 12.000 Maha-Kappa (12.000 siklus dunia) kemudian muncullah Samma-Sambuddha yang berikutnya, yaitu Buddha Sujata.
12. Buddha Sujata ~ Boddhisatta kita terlahir menjadi seorang manusia dan menjadi seorang Raja bernama Raja Cakkavatti.
Periode ini terjadi pada 18.000 Maha Kappa (18.000 siklus-dunia) sebelum kelahiran kembali Boddhisatta kita yang terakhir kalinya sebagai seorang manusia dan menjadi Pangeran Siddhatta Gotama yang kelak merealisasi ke-Buddha-an menjadi Buddha-Gotama.
13. Buddha Piyadassi ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Brahmana bernama Kassapa.
14. Buddha Atthadassi ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi petapa bernama Susima.
15. Buddha Dhammadassi ~ Boddhiasatta kita terlahir kembali sebagai seorang raja Dewa , yaitu sebagai Dewa Sakka.
16. Buddha Siddhatta ~ Boddhisatta kita terlahir menjadi seorang manusia dan menjadi petapa bernama Manggala.
17. Buddha Tissa ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi seorang raja bernama Sujata yang kemudan menjadi seorang petapa.
Periode ini adalah 92 Maha-Kappa (92 siklus dunia) sebelum kelahiran kembali Boddhisatta kita yang terakhir kalinya sebagai seorang manusia dan menjadi Pangeran Siddhatta Gotama yang kelak merealisasi ke-Buddha-an menjadi Buddha-Gotama.
18. Buddha Phussa ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia menjadi seorang Raja bernama Vijitavi yang kemudian menjadi seorang Bhikkhu.
19. Buddha Vipassi ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seekor naga dan menjadi Raja Naga yang bernama Atula. Ini adalah kedua kalinya Boddhisatta kita menjadi Raja Naga bernama Atula, setelah sebelumnya pernah pula terlahir sebagai Naga dan menjadi Raja Naga bernama Atula pada masa Buddha Sumana (lihat pada point no.4)
20. Buddha Sikkhi ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Raja bernama Arindama.
Periode ini adalah 31 Maha-Kappa (31 siklus dunia) sebelum kelahiran kembali Boddhisatta kita yang terakhir kalinya sebagai seorang manusia dan menjadi Pangeran Siddhatta Gotama yang kelak merealisasi ke-Buddha-an menjadi Buddha-Gotama.
21. Buddha Vessabhu ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Raja bernama Sudassana yang kemudian menjadi Bhikkhu.
Periode ini adalah 1 Maha-Kappa (1 siklus dunia) sebelum kelahiran kembali Boddhisatta kita yang terakhir kalinya sebagai seorang manusia dan menjadi Pangeran Siddhatta Gotama yang kelak merealisasi ke-Buddha-an menjadi Buddha-Gotama.
22. Buddha Kakusandha ~ Boddhisatta kita terlahir kembali menjadi seorang Raja bernama Khema.
Periode ini ada dalam Maha-Kappa (satu siklus dunia) yang sama seperti periode Buddha Gotama. Artinya, ada dalam periode siklus dunia yang sekarang ini juga).
23. Buddha Konagamana ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Raja bernama Pabbata yang kemudian menjadi seorang Bhikkhu.
Periode ini ada dalam Maha-Kappa (satu siklus dunia) yang sama seperti periode Buddha Gotama. Artinya, ada dalam periode siklus dunia yang sekarang ini juga).
24. Buddha Kassapa ~ Boddhisatta kita terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi Brahmana bernama Jotipala.
Periode ini ada dalam Maha-Kappa (satu siklus dunia) yang sama seperti periode Buddha Gotama. Artinya, ada dalam periode siklus dunia yang sekarang ini juga).
Terdapat 24 Buddha di antara waktu Petapa Sumedha menerima ramalan yang pasti (spesifik) terhitung dari semenjak Buddha Dipankara hingga Buddha Gotama kita. Boddhisatta kita menjumpai setiap Buddha dan mendapatkan ramalan yang pasti dari setiap Buddha.
Selama periode antara Buddha Sobhita dan Buddha Anomadassi, dalam periode kegelapan selama 1 Asankkheyya-Kappa ketika tidak ada Dhamma, Boddhisatta kita pernah melakukan perbuatan salah [Diantara banyak perbuatan yang tidak bermanfaat yang Boddhisatta lakukan selama Kaya-Panidhana-Kala ada 12 (dua-belas) dan akibat-akibat perbuatannya dialami bahkan ketika Beliau menjadi Buddha. Ti-Pitaka tidak menjelaskan kedua-belas perbuatan yang dilakukan selama periode ini. Diduga itu adalah pembunuhan terhadap saudaranya laki-laki, karena ini adalah salah satu perbuatan buruk yang lebih serius, dan juga karena Buddha mengatakan bahwa itu adalah periode kegelapan tanpa seorang Samma-Sambuddha. Tujuh dari perbuatan tidak terampil lainnya adalah meliputi penghinaan terhadap seorang Buddha atau murid seorang Buddha. Mungkin pula itu adalah perbuatan tidak-baik yang tidak diceritakan yang habis seluruhnya selama Kaya-Panidhana-Kala]. Boddhisatta membunuh saudaranya laki-laki untuk mewarisi kekayaan keluarganya. Alasan dia melakukan kesalahan adalah bahwa dia masih seorang duniawi – seorang Boddhisatta yang telah mempraktikkan “Dasa-Paramita” (Sepuluh-Kesempurnaan selama berkalpa-kalpa tetapi masih sebagai seorang duniawi, dengan 1.500 Kilesa (kotoran-batin) dan nafsu keinginan dan keserakahan seorang duniawi.
Itulah sebabnya pada zaman Buddha Anomadassi Beliau menjadi pemimpin para Asura.
Itulah sebabnya Beliau menjadi seekor singa pada zaman Buddha Paduma.
Itulah sebabnya dia harus menjalani kehidupan di alam binatang dan baru kembali ke bentuk manusia.
Itulah sebabnya ada banyak cerita Jataka dimana Boddhisatta menjadi binatang.
Dan buah-kamma terakhir dari kamma-buruk masa lampau-Nya menyebabkan kaki Sang Buddha terluka ketika Devadatta menggelindingkan batu besar di Gijjhakula dengan tujuan untuk membunuh Sang Buddha. Setelah memberikan anggota-anggota badannya dan hidupnya dalam kelahiran-kelahiran yang tak terhitung, seorang Buddha telah mencapai titik “saturasi” (puncak, tertinggi) dalam kemurahan hati dan tidak dapat dibunuh. Tetapi akibat kamma-buruk masa-lampaunya, meski gelindingan batu besar yang diarahkan Devadatta mengenai Sang Buddha dengan tujuan untuk membunuh Sang Buddha tersebut tidak mampu menyebabkan terbunuhnya Sang Buddha , namun kaki-Nya tetap terluka dan cukup membuat rasa sakit bagi Sang Buddha.
Dengan membaca kisah-kisah kehidupan lampau Sang Buddha Gotama, kita bisa memetik pelajaran, bahwa betapa berbahayanya dilahirkan di zaman dimana tidak ada Dhamma di dunia. Kita bisa begitu gampangnya berbuat buruk pada zaman dimana perbuatan tidak bermoral dipandang sebagai perbuatan yang wajar.
Dengan memahami kisah perjalanan kehidupan lampau Sang Buddha, kita juga bisa menjadi melihat betapa Boddhisatta membutuhkan waktu yang sangat lama, untuk mendapatkan kembali kelahiran sebagai manusia. Boddhisatta hidup di alam-alam penuh penderitaan sekian tahun yang tak terhitung lamanya. Dalam Bàlapandita Sutta, Sunnàata Vagga dari Uparipannàsa (Majjhima Nikàya) ada perumpamaan mengenai seekor kura-kura buta sehubungan dengan kalimat, “Manussattabhavo dullabho,” “Sulitnya terlahir menjadi manusia.” Misalnya ada seseorang yang melemparkan sebuah pelampung yang berlubang di tengahnya ke tengah lautan. Pelampung tersebut akan mengapung dan hanyut ke barat jika tertiup angin timur dan ke hanyut ke timur jika tertiup angin barat; hanyut ke selatan jika tertiup angin utara dan hanyut ke utara jika tertiup angin selatan. Dalam lautan tersebut, ada seekor kura-kura buta yang naik ke permukaan air seratus tahun sekali. Kemungkinan kepala kura-kura tersebut dapat masuk ke dalam lubang pelampung yang hanyut tersebut adalah jarang sekali. Sebagai makhluk yang telah mengalami penderitaan di alam sengsara dalam salah satu kehidupannya, adalah seratus kali lebih sulit terlahir menjadi manusia. Banyak teks-teks lain dalam Tipitaka yang menjelaskan sulitnya terlahir menjadi manusia.
Sekarang kita semua menjadi mengerti betapa sangat lamanya perjuangan seorang manusia untuk menjadi Samma-Sambuddha, bagaimana dia harus membulatkan tekad dan bertekun untuk menyempurnakan tugasnya. Bagi kita yang mengetahui kisah-kisah kehidupan lampau Sang Buddha Gotama sebagaimana diuraikan dalam kitab Jataka, kita mengetahui usaha yang diperlukan untuk menyempurnakan kesepuluh “Paramita” ; bagaimana Boddhisatta meninggalkan kekayaan, kehidupannya yang mewah, dan terutama sekali istri dan anaknya, untuk melekngkapi kesempurnaan dalam kemurahan hati; berapa kali Boddhisatta harus menyerahkan kerajaan-Nya untuk mencapai kesempurnaan dalam pelepasan-keduniawian (Nekkhama); betapa sulit Boddhisatta menyempurnakan kesempurnaan dalam Kebenaran (Sacca), Kesabaran (Khanti) , dan kesempurnaan (aramita) yang lain-lainnya.
Jikalau kita membandingkan kesempurnaan spiritual Boddhisatta ketika zaman Buddha Dipankara dengan zaman Beliau merealisasi tingkat Samma-Sambuddha, adalah seperti membandingkan sebutir pasir dengan sebuah pegunungan yang lebih besar daripada Himalaya ; namun pada saat masa Buddha Dipankara, Boddhisatta kita telah mencapai Empat Rupa-Jhana dan Empat-Arupa-Jhana (Attha Samapatti Jhana-Labhi) dan mampu mencapai kekuatan-kekuatan gaib serta mampu merealisasi ke-Arahatta-an.
Nah, saudara-saudari se-Dhamma semuanya, teramat-lama waktu perjuangan yang harus ditempuh bagi seorang manusia untuk berhasil merealisasi ke-Buddha-an. Apakah ada diantara saudara-saudari se-Dhamma yang berminat untuk merealisasi tingkat Samma-Sambuddha pada suatu saat di masa depan yang jauh nanti? Bila ada, saudara-saudari se-Dhamma bisa belajar dari perjalanan Buddha kita , Buddha Gotama, dalam usaha-Nya menyempurnakan diri hingga akhirnya merealisasi tingkat Anuttara Samma-Samboddhi ; menjadi Buddha yang Tiada-Banding, Guru para Dewa dan Manusia.
APA YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENJADI SEORANG BUDDHA
Posted by ratanakumaro
Buddhopi buddhassa bhaneyya vannam, Kappam pi ce aññam abhasamāno, Khiyetha kappo cira digham antare, Vanno na khiyetha tathāgatassa
[Begitu banyaknya tanda-tanda seorang Buddha sehingga seorang Buddha lain, yang menggunakan semua waktu seumur hidupnya untuk menjelaskan kemuliaan seorang Buddha, tidak akan dapat menyelesaikan pekerjaannya]
“Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa”
Nammatthu Buddhassa,
Petapa Sumedha (Boddhisatta) Mengorbankan diri , menjadi jembatan bagi Buddha Dipankara dan para Arahat (sumber: http://wirajhana-eka.blogspot.com).
Saudara-saudari se-Dhamma, pada artikel terdahulu kita telah membahas mengenai “lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menjadi seorang Buddha”. Pada artikel selanjutnya ini, kita akan membahas, “apakah yang harus dilakukan untuk menjadi seorang Buddha”. Yang harus dilakukan oleh seorang manusia yang bercita-cita menjadi Buddha, setelah ia mendapatkan ramalan pasti dari seorang Samma-Sambuddha, yaitu adalah menyempurnakan “Dasa-Paramita” (Sepuluh Kesempurnaan).
Artikel ini akan dimulai dengan kisah Petapa-Sumedha (Boddhisatta kita, yang kelak menjadi Buddha Gotama) yang bertemu dengan Buddha-Dipankara dan mendapatkan ramalan pasti dari Beliau pada Empat Asankheyya-Kappa + 100.000 Maha-Kappa yang lampau. Kemudian, artikel ini dilanjutkan dengan membahas beberapa kisah pilihan dari Jataka (kisah kehidupan lampau Sang Buddha Gotama) yang berkaitan dengan penyempurnaan Dasa-Paramita yang dilakukan oleh Boddhisatta kita yang kelak menjadi Buddha-Gotama.
I. PETAPA SUMEDHA SANG BODDHISATTA (CALON BUDDHA)
Empat Asankkheyya-Kappa + 100.000 Maha-Kappa yang sangat lama dimasa lampau telah berlalu, terdapat sebuah kota yang makmur bernama Amaravati. Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal , indah dan menyenangkan. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman yang indah, memiliki persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang cukup. Kaya akan barang-barang berharga untuk dinikmati oleh masyarakatnya. Kota ini menghangatkan hati para dewa dan manusia.
Di kota Amaravati ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedha. Ibunya adalah keturunan Brahmana dari keluarga Brahmana dari generasi ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga ia adalah seorang Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.. Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya-raya dan baik. Ia tidak dapat dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.
Sehubungan dengan kekayaannya: Ia memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia mempelajari tiga Kitab-Veda: Iru, Yaju,dan Sama. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat.
Orang tua Sumedha meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda.Penjaga harta keluarga membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu-delima, mutiara, dan lain-lain dan memberitahukan pada Sumedha tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya tersebut serta menyerahkannya pada Sumdedha.
Setelah melalui perenungan yang mendalam, Sumedha memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan pergi hidup bertapa.
Sebelum pergi menjadi petapa, Sumedha melakukan Mahadana. Dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravati, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahadana kepada semua orang tanpa membedakan status miskin atau kaya. Setelah melakukan Mahadana, Sumedha sang calon Buddha masa depan, melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedha mendekati pegunungan Himalaya, memerintahkan dewa yang bernama Vissukamma untuk mempersiapkan sebuah tempat tinggal bagi Sumedha yang nantinya digunakan Sumedha untuk menetap sementara, karena akhirnya Sumedha memutuskan untuk meninggalkan gubuk yang dipersiapkan Dewa Sakka dan anak buahnya tersebut, dan memilih untuk tinggal di bawah pohon.
Setelah menemukan pohon yang sesuai untuk didiami, Sumedha tinggal dibawah pohon tersebut. Sumedha hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam tiga postur: duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian tingkat Jhana (Empat Rupa-Jhana dan Empat Arupa-Jhana) dan lima kekuatan batin tinggi (Abhinna).
Munculnya Buddha-Dipankara
Setelah petapa Sumedha berhasil dalam pertapaan-Nya, mencapai delapan tingkat pencapaian Jhana dan lima kekuatan batin tinggi seperti telah disebutkan sebelumnya, di dunia ini muncul seorang Buddha yang bernama Dipankara, Raja dari Tri-Loka (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu).
Disertai empat ratus ribu Arahanta, Buddha-Dipankara mengunjungi kota Rammavati dan berdiam di Vihara Sudassana. Sementara itu Sumedha sedang menikmati kebahagiaan Jhana di dalam hutan dan sama sekali tidak mengetahui kemunculan Buddha-Dipankara di dunia ini.
Mengetahui kedatangan Buddha Dipankara di vihara Sudassana, penduduk Rammavati, setelah makan pagi, datang membawa barang-barang untuk keperluan pengobatan seperti mentega, ghee, dan lain-lain, juga bunga dan dupa untuk dipersembahkan kepada Buddha Dipankara. Pada akhir khotbah tersebut, mereka mengundang Buddha beserta murid-muridNya untuk makan keesokan harinya.
Sumedha Terbang di Angkasa
Esoknya penduduk Rammavati melakukan persiapan seksama untuk melakukan dana besar-besaran (asadisa-mahadana). Sebuah paviliun dibangun, bunga teratai biru yang bersih dan lembut bertebaran di dalam paviliun; udara segar diberi wewangian empat jenis pengharum, dan berbagai macam persiapan lainnya.
Ketika persiapan selesai dilakukan di dalam kota, para penduduk mulai dengan pekerjaan memperbaiki jalan yang akan dilalui Buddha untuk memasuki kota. Dengan tanah mereka menambal lubang-lubang yang disebabkan oleh banjir dan meratakan tanah yang berlumpur dan tidak rata. Mereka juga melapisi permukaan jalan dengan pasir putih bagaikan mutiara, menebar bunga dan beras dan menanam pohon pisang lengkap dengan tandan buahnya di sepanjang jalan itu.
Pada waktu itu, Sumedha Sang Petapa meninggalkan pertapaanNya dan ketika ia melakukan perjalanan angkasa, ia melihat penduduk Rammavati berkumpul dan bergembira dalam pekerjaan memperbaiki dan menghias jalan. Merasa ingin tahu apa yang sedang terjadi dibawah, ia turun dari angkasa dan berdiri sementara para penduduk memperhatikannya
Kemudian Petapa Sumedha bertanya pada penduduk, untuk apa mereka melakukan persiapan besar-besaran tersebut, dan para penduduk menjawab, “Yang Mulia Sumedha, telah muncul didunia Buddha Dipankara yang tiada bandingnya, yang telah menaklukkan lima kejahatan Mara, Ia adalah Raja terbesar di seluruh dunia, kami memperbaiki jalan ini untuk-Nya.”
Petapa Sumedha merasa gembira mendengar kata “Buddha” yang diucapkan penduduk Rammavati. Ia mengalami kebahagiaan batin yang luar biasa dan mengulang-ulang kata “Buddha, Buddha” ia tidak dapat mengendalikan kebahagiaan yang luar biasa itu muncul dalam dirinya.
Karena kebahagiaan dan perasaan religius yang mendalam, Petapa Sumedha kemudian merenungkan dalam-dalam,”Aku akan menanam benih kebajikan yang baik di tanah yang subur yaitu Buddha Dipankara ini, untuk melakukan perbuatan baik, yang sulit dan sangat jarang dapat dilakukan, juga untuk menyaksikan saat-saat bahagia munculnya seorang Buddha. Saat-saat bahagia itu sekarang telah datang kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.”
Dengan pikiran seperti itu, Sumedha meminta kepada para penduduk untuk memberi bagian sedikit jalan untuk petapa Sumedha, sebab ia ingin berpartisipasi dalam pekerjaan memperbaiki jalan tersebut. Kemudian, penduduk dewa memberinya satu ruas jalan yang panjang, becek dan sangat tidak rata yang sangat sulit diperbaiki. Hal ini dikarenakan para penduduk percaya, bahwa Petapa Sumedha adalah Petapa yang sakti yang pasti mampu menyelesaikan pekerjaan yang sulit tersebut. Dan Sumedha pun dengan bahagia menerima bagian jalan yang harus dikerjakannya tersebut.
Sebelum Sumedha menyelesaikan pekerjaannya, Buddha Dipankara tiba diiringi 400.000 Arahanta, yang semuanya telah memiliki enam kemampuan batin-tinggi (Abhinna).
Sumedha mengorbankan dirinya
Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa (Mahapurissa), dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di langit biru.
Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000 Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”
Setelah mengambil keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.
Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an
Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”
“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasi dari perbuatanku yang tiada bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“ Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehiduapn, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.
Sumitta, Kelak Menjadi Yasodhara
Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”
Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.
Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara: Sumedha kelak akan menjadi Buddha
Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian:
“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”
Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah:
1. Ia adalah manusia
2. Ia adalah laki-laki
3. Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4. Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5. ia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6. Dia harus memiliki kekuatan-batin/mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana (yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi”).
7. Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
8. Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan ummat manusia dan para dewa.
Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.
Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”
Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan (pada masa itu mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan telapak tangan kanan). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi penghormatan.
Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,” Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”
Setelah Buddha Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan Sumedha di sisi kanan mereka (setelah mempersembahkan bunga dan dupa). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi (Gandhabba) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.
Setelah Buddha Dipankara dan keempat ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan, Sumedha bangun dengan gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan, ia duduk bersila diaas tumpukan bunga-bunga yang ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan manusia, kemudian merenungkan :
“ Aku telah berhasil mencapai Jhana dan lima kemampuan batin. Di sepuluh ribu alam semesta, tidak ada petapa yang menyamaiku. Aku tidak melihat seorang pun yang sama denganku dalam hal kekuatan batin.” Dan Sumedhapun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan luar biasa.
II. MENYEMPURNAKAN DASA-PARAMITA
Selama Empat Asankkheyya Kappa + 100.000 Maha-Kappa (siklus dunia) yang tak terhitung lamanya, Boddhisatta Gotama berjuang untuk menyempurnakan sepuluh kesempurnaan (Dasa-Paramita) yaitu :
1. Kesempurnaan Kemurahan-Hati (Dana-Paramita)
2. Kesempurnaan Moralitas (Sila-Paramita)
3. Kesempurnaan Pelepasan-Keduniawian (Nekkhama-Paramita)
4. Kesempurnaan Kebijaksanaan (Panna-Paramita)
5. Kesempurnaan Semangat (Viriya-Paramita)
6. Kesempurnaan Kesabaran (Khanti-Paramita)
7. Kesempurnaan Kebenaran (Sacca-Paramita)
8. Kesempurnaan Kebulatan-Tekad (Adhitthana-Paramita)
9. Kesempurnaan Cinta-Kasih (Metta-Paramita)
10. Kesempurnaan Keseimbangan-Batin (Upekkha-Paramita)
Di bawah ini dituturkan kisah-kisah kehidupan lampau yang menjelaskan bagaimana Boddhisatta Gotama mencapai kesempurnaan dalam masing-masing dari sepuluh kebajikan itu. Harus dimengerti bahwa Boddhisatta mempraktikkan masing-masing dari sepuluh kesempurnaan itu dalam banyak kelahiran yang tak terhitung, dan hingga tingkat yang tidak hanya mencakup pemberian kekayaan dan kerajaannya untuk kebaikan dunia. Kemurahan hatinya juga mencakup pemberian anggota-anggota tubuhnya, kehidupannya, dan terutama, anak-anak dan istrinya yang tercinta, hingga mencapai kesempurnaan dalam kemurahan hati. Sepanjang sekian banyak kalpa Boddhisatta bekerja dengan tak kenal lelah, dengan kebulatan tekad dan ketekunannya, untuk menyempurnakan setiap Paramita.
1. Kesempurnaan Kemurahan-Hati (Dana-Paramita)
Kisah berikut ini diambil dari Wessantara Jataka. Sekian waktu yang lalu di negara yang sekarang kita kenal sebagai India, ada sebuah kota bernama Jetuttara. Jetuttara diperinta oleh seorang Raja yang berbelas –kasih dan berkebajikan bernama Sanjaya, yang memiliki anak bernama Wessantara. Pangeran Wessantara, yang tak lain adalah Boddhisatta kita, adalah seorang yang sangat mengagumkan dalam kebajikan dan terpelajar. Dia bukan hanya memiliki segala kualitas yang dibutuhkan untuk dapat menjadi seorang ahli waris, dia juga berbelas-kasih dan terkenal karena praktiknya dalam kemurahan hati.
Kemasyhuran Wessantara karena kemurahan hatinya menyebar ke segenap penjuru negeri. Seorang raja tetangga yang iri hati, yang mendengar bahwa pangeran tak pernah menolak seorang pun, mengirimkan orang-orangnya yang berpakaian Brahmana untuk meminta gajah istananya yang amat besar. Pada waktu itu gajah istana kerajaan bukan hanya sebuah simbol status yang tinggi yang dipilih dengan hati-hati, ia juga suatu defensi yang berguna pada zaman perang. Pangeran Wessantara, yang kaget mendengar bahwa seorang Brahmana membutuhkan gajah kerajaan, mencurigai bahwa itu merupakan taktik dari esorang raja yang iri hati. Karena belum pernah menolak apapun yang diminta, dia menekan pikirannya dengan berefleksi pada kebajikan-kebajikan dari kemurahan hati sehingga memberikan gajah istana bukan taktik politis. Dengan mengangkat kendi emasnya tinggi-tinggi, beliau mencurahkan air sebagai tanda pemberian ke tangan si Brahmana selaku adat pada waktu itu, dan menyerahkan gajah istana yang dirias dengan semarak.
Ketika rakyat mendengar hadiah Pangeran Wessantara, mereka menjadi sangat marah. Dengan mengklaim bahwa Beliau telah menyimpang terlalu jauh dalam praktik amalnya, mereka meminta agar Beliau dihukum karena tindakannya yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan politis. Pangeran Wessantara dibuang ke hutan belantara di Gunung Wanka.
Ketika mendengar hukumannya, Pangeran Wessantara berseru, “Para menteri tidak mengerti kebajikan dalam kemurahan hati. Mereka tidak mengerti bahwa aku akan memberikan mataku, kepalaku, hidupku, untuk kebaikan orang lain.” Kemudian perlahan-lahan, dalam kesedihannya, dia berjalan ke arah ayah dan istrinya – Putri Maddi – untuk mengucapkan selamat tinggal. Bagaimanapun juga, Putri Maddi merasa bahwa hidup tanpa suaminya akan lebih buruk daripada kematian. Dengan membawa kedua anak mereka, Jaliya dan Krishnajina, dia bersiap pergi ke hutan belantara bersama dengan Pangeran.
Setelah memberikan segala sesuatu yang mereka miliki kepada orang-orang miskin, Pangeran dan Putri dan anak mereka masuk ke hutan dengan pakaian sederhana seperti pakaian yang dikenakan oleh para petapa. Mereka hidup dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan di hutan dan hidup dalam harmoni dengan burung-burung dan binatang-binatang. Anak-anak bermain-main di antara bunga-bunga nan indah dan menceburkan diri di sungai-sungai kecil. Sang Putri mengumpulkan buah-buahan dan kacang-kacangan untuk makanan mereka, sementara Sang Pangeran menghabiskan waktunya dalam meditasi. Mereka hidup dalam kebahagiaan meskipun kekurangan kekayaan dan kenyamanan yang biasa mereka nikmati.
Suatu hari Putri Maddi pergi ke hutan untuk mengumpulkan buah dan pangeran beserta dua anaknya yang kecil sedang bermain di tengah bunga-bunga dengan riangnya, ketika seorang Brahmana tua yang tubuhnya kotor akibat melakukan perjalanan mendekati Sang Pangeran. Menyatakan bahwa istrinya telah tua dan membutuhkan pelayanan seorang yang lebih muda, dia meminta anak-anak bangsawan itu. Kata-kata tersebut laksana sebuah tikaman yang menembus ke jantung Sang Pangeran. Namun, ketika merenungkan cita-citanya untuk mencapai ke-Buddha-an, dan perlunya menyempurnakan kemurahan hati, dengan berat hati dia memenuhi permintaan Sang Brahmana.
Melihat kesedihan di mata anak-anaknya, Pangeran meminta agar Brahmana itu menunggu kembalinya Sang Putri supaya anak-anak dapat mengucapkan selamat berpisah kepada ibu mereka. Brahmana itu menolak, khawatir Pangeran akan berubah pikiran jika ada istrinya. Meskipun Pangeran menjamin bahwa Sang Putri adalah istrinya yang taat, dan akan mendukung keputusannya – meskipun itu menyedihkan hatinya – Brahmana itu tidak mengubah tuntutannya.
Dengan airmata yang berlingan Sang Pangeran menyerahkan kedua anaknya dengan mencurahkan air sebagai tanda pemberian ke tangan Brahmana. Anak-anak yang selalu taat itu perlahan-lahan meninggalkan ayah mereka setelah ber-namaskara dan ber-anjali. Pangeran diliputi kesedihan yang dalam ketika melihat anak-anaknya menerima keputusannya dengan tenang. Perpisahan dari anak-anaknya sangat memedihkan hatinya. Kepalanya berdenyut-denyut dan terasa sakit seakan seribu pisau menikam tenggorokannya. Dengan tujuan ke-Buddha-an di dalam pikirannya, Pangeran menaklukkan kesakitannya dan menahan diri dari menyesali pemberiannya.
Ketika Putri Maddi kembali dari hutan, tangannya penuh dengan buah-buahan, dia mengetahui ada sesuatu yang tidak wajar. Dia tidak mendengar teriakan sukacita dan tawa anak-anaknya. Mereka tidak berlari kepadanya dan memeluknya seperti yang biasa mereka lakukan. Kemudian dia melihat Pangeran, kepalanya menunduk dengan kedukaan yang dalam, wajahnya diliputi dengan ketegaran untuk mempertahankan ketetapan hatinya dengan tanpa penyesalan. Dengan berlari ke arah pangeran, Sang putri menanyakan anak-anak mereka. Namun Pangeran tidak dapat berbicara. Dia menatap istrinya dengan tatapan sedih tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Sang Putri yang bingung dan putus-asa berlari memanggil anak-anaknya, kemudian jatuh pingsan karena kesedihan yang dalam. Boddhisatta mengangkat tubuhnya dengan lembut dan membasahi wajahnya dengan air dingin. Kemudian dia berbicara dengan penderitaan berat karena pengorbanan tertinggi dalam kemurahan hati yang dibuat untuk kepentingan ummat manusia. Sang Putri menenangkan diri sendiri dan memegang tangan Pangeran, berlutut dan berdoa memohon bantuan para dewa untuk kesejahteraan anak-anak mereka. Setelah berjanji untuk menjadi istrinya selama berkalpa-kalpa, Sang Putri mengerti tindakan kemurahan hati yang tertinggi ini dan merenung, bahwa dia tidak mengeluh seandainya suaminya memberikan dirinya – sesuai dengan permintaannya – demi mencapai ke-Maha-Tahu-an (Sabbannutta-Nana).
Dunia bergetar dan aneka bunga yang menyebarkan aroma-wangi menghujani Sang Pangeran. Suara musik surgawi bergema di udara karena Sakka, Raja para dewa, menatap dengan perasaan terpesona dan mengelu-elukannya sebagai Buddha yang akan datang. Kemudian karena ingin mengujinya lebih lanjut, Sakka menyamar sebagai seorang tua dan berkata, “Aku telah mendengar kemurahan hatimu yang luar biasa. Kemarin kamu telah memberikan kedua anakmu. Sekarang aku meminta istrimu yang berdiri di sampingmu, yang seperti bidadari surgawi.”
Pangeran menatap sang istri yang tenang ketika dia berjalan mendekatinya. Kemudian menggandeng tangannya dan menyatukannya dengan tangan laki-laki tua itu. Dia mencurahkan air pemberian. Tidak ada kemarahan atau keluhan yang terdengar dari Sang Putri, karena dia tahu pikiran suaminya. Dengan linangan air mata dia memandang suaminya dengan ungkapan cinta, dengan sikap berterimakasih bahwa dia mampu membantu suaminya dalam usaha mencari kesempurnaan batin.
Sebuah cahaya cemerlang yang melebihi pancaran para dewa menerangi bumi, ketika Sakka mendapatkan kembali bentuknya sebagai Raja di alam-alam surga, dan para Dewa turn ke bumi untuk mengagungkan Buddha yang akan datang. Dengan menggandeng tangan sang putri, Raja alam-alam surga dengan lembut mengembalikan dia kepada Pangeran sambil berkata, “ Hanya mereka-mereka yang suci hatinya akan mengerti perbuatan yang mengagumkan ini. Demi kesejahteraan umat manusia, untuk mendapatkan kesempurnaan dalam kemurahan hati, beliau telah mempraktikkan ketidakterikatan hingga tingkatanya yang paling penuh. Hormat pada Buddha yang akan datang”. Setelah memberitahu bahwa Pangeran dan istrinya akan bersatu kembali dengan anak-anak mereka dan Raja Sanjaya, Sakka – Raja alam surgawi – naik kembali ke tempat kediamannya di surga.
Kemurahan-hati (Dana Paramita) adalah yang pertama dari sepuluh kesempurnaan (Dasa Paramita), namun ini adalah kebajikan terakhir yang dilengkapi Boddhisatta. Ketika melengkapi kebajikan terakhir – kemurahan hati – Pangeran Wessantara berseru dengan sukha-citta:
“Dunia ini tidak menyadari meskipun dia (Putri Maddi) ada, dan tidak tahu tentang sukkha-citta atau dukkha-cittanya, Kemudian dia pun merasakan kekuatan dahsyat dari pemberian, dan bergetar dan bergoncang penuh hingga tujuh kali.”
Setelah bersatu kembali dengan Raja Sanjaya dan anak-anaknya, Pangeran Wessantara memerintah atas kerajaan Jetuttara dengan belas kasih dan kebenaran. Sekarang dia melengkapi sepuluh kebajikan yang dibutuhkan untuk mencapai ke-Buddha-an. Setelah meninggal Pangeran Wessantara dilahirkan di Surga Tusita sebagai Dewa Setaketu, untuk menunggu waktu yang tepat bagi kelahirannya yang terakhir sebagai Samma-Sambuddha.
2. Kesempurnaan Moralitas (Sila-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan dalam Sankhapala Jataka. Pada masa lalu yang jauh, kerajaan Rajagaha diperintah oleh seorang raja yang berkebajikan bernama Magadha. Ketika anaknya, Pangeran Duriyodha telah cukup usia, Raja Magadha menyerahkan kerajaan kepadanya. Kemudian dia menjalani kehidupan sebagai seorang petapa dan tinggal di sebuah petapaan di halaman tertutup dalam lingkungan istana.
Pangeran Duriyodha, yang sangat cinta pada ayahnya, mengunjungi sang ayah 3-4 x sehari dan menghujani dia dengan pemberian-pemberian dan barang-barang mewah. Merasa bahwa kehidupan seorang petapa sejati tidak mungkin selama tinggal di lingkungan istana, Raja tua meninggalkannya. Dia berpindah ke sebuah kota yang jauh yang bernama Mahinsaka dan tinggal di sebuah gua batu di sisi sebuah danau indah bernama Sankhapala.
Tak lama kemudian raja tua yang dihormati oleh semua orang menjadi seorang guru besar. Satu makhluk Raja Naga yang tinggal di sebuah kerajaan yang indah dan mewah, yang tak jauh dari tempat itu sering mengunjungi raja tua itu untuk mendengarkan ajarannya. Suatu hari, ketika Pangeran Duriyodha mengunjungi ayahnya, beliau berjumpa dengan Raja Naga dan para pengikutnya. Setelah menerima undangan Raja Naga, Pangeran mengunjungi kerajaannya yang indah. Sebuah keinginan yang kuat untuk hidup di dalam kerajaan yang indah itu muncul di dalam dirinya. Setelah kematiannya Pangeran Duriyodha dilahirkan kembali di dalam kerajaan Naga sebagai seorang raja dengan nama Sankhapala.
Raja Sankhapala (Boddhisatta) sering mengenakan jubah yang sederhana dan bermeditasi di hutan yang dekat. Suatu hari yang indah, Raja Sankhapala menanggalkan pakaian kebesarannya dan berdandan sebagai seorang petapa yang sederhana. Dia kemudian melakukan perjalanan jauh ke dalam hutan, untuk bermeditasi di tengah-tengah aneka bunga yang bermekaran di dekat danau Sankhapala nan indah.
Beberapa pemburu, yang telah berburu selama berhari-hari tanpa hasil, mendekati raja yang sedang tenggelam di dalam kedalaman meditasi. Karena tidak mengenal Raja, mereka memutuskan untuk membunuh Beliau dan menyantap dagingnya karena mereka tidak mendapatkan makanan selama berhari-hari. Setelah menusuk beliau dengan tombak-tombak mereka yang tajam, mereka memperlakukan Beliau sebagai tawanan. Kemudian mereka mengikat kaki dan tangan beliau, dan menggantung beliau pada sebuah tongkat panjang dengan kaki diatas. Dengan menempatkan tongkat di pundak mereka, mereka membawa Beliau ke camp mereka.
Kepala Raja, yang ditarik di tengah-tengah batu-batu dan semak-semak, memar dan mengalami luka-luka. Tubuh beliau, yang dilukai dengan pisau-pisau dan tombak pemburu mereka, mengalami kesakitan yang hebat. Mengetahui bahwa mereka tidak mengenal dirinya, dan itu merupakan sebuah tindakan yang dilakukan karena mereka sangat lapar. Boddhisatta tetap tenang. Dengan memancarkan belas-kasih dan cinta-kasih kepada lawan-lawannya Beliau menerima kesakitannya dengan tenang, tidak mengucapkan sepatah kata pun yang menyatakan kebencian atau kemauan jahat.
Pada saat itu seorang pedagang bernama Alara, yang sedang menempuh perjalanan melewati hutan itu dengan kereta-kereta dan lembu-lembunya, melihat Boddhisatta. Dipenuhi dengan belas kasihan ketika melihat ‘petapa’ yang tenang meskipun terluka, Alara memberikan emas dan barang-barang dagangan kepada para pemburu itu untuk kebebasan beliau. Alara yang kemudian menerima Beliau dengan lembut, membersihkan dan mengobati luka-lukanya. Raja kemudian menerangkan bahwa dirinya tak lain adalah Raja Sankhapala dan membawanya kembali ke kerajaan Naga untuk memberikan ganjaran kepadanya atas kebaikan hati dan belas-kasihnya. Dalam menaati peraturan-peraturan selama mengalami siksaan, yang menunjukkan tidak adanya kemarahan atau dendam (kemauan jahat), Boddhisatta melengkapi kesempurnaan dalam moralitas, kemudian dengan sukacita Beliau berseru:
“Mereka melukai aku dengan tombak-tombak yang lancip. Mereka menganiaya aku dengan pisau-pisau pemburu mereka. Aku tidak marah, tidak menyimpannya di dalam hati, tetapi mempertahankan peraturan-peraturan untuk mencapai kesempurnaan.”
3. Kesempurnaan Pelepasan-Keduniawian (Nekkhama-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan dalam Cula Sutasoma Jataka. Pada masa lampau yang jauh di kota Sudassana memerintah seorang raja bernama Brahmadatta. Boddhisatta kita dilahirkan sebagai anak laki-lakinya dan bernama Somanassa. Pangeran Somanassa terkenal karena cintanya pada pelajaran, kebijaksanaannya dan kebajikannya. Ketika Pangeran cukup usia, dia menikahi seorang putri ayu bernama Chanda Dewi Jauh sebelum raja mewariskan kerajaan kepada anaknya itu, yang memenangkan hati rakyatnya melalui kebaikan hati dan kebajikannya. Pangeran , yang sangat cinta pada pelajaran, segera ditunjuk sebagai Raja Sutasoma, nama yang sering digunakan untuk menunjuk pada seorang yang sangat terpelajar.
Raja Sutasoma (boddhisatta kita) memutuskan bahwa beliau akan memfokuskan bagian pertama dari kehidupannya untuk kesejahteraan rakyat dan kerajaannya, tahun-tahun berikutnya untuk perkembangan spiritual. Dengan pikiran ini, Beliau meminta tukang cukur istana untuk memberitahu kepadanya tentang rambut abu-abu pertama yang muncul di kepalanya. Suatu hari ketika Raja memotong rambutnya, tukang cukur itu mendapat sehelai rambut abu-abu. Memotongnya dengan hati-hati dia menunjukkan pada Raja, yang kemudian memutuskan bahwa itu adalah saat bagi dia untuk meninggalkan kerajaannya, dan mulai mempraktikkan perkembangan spiritual. Setelah mengoperkan kerajaan kepada adiknya yang laki-laki, Pangeran Somadatta, Raja Sutasoma meninggalkan kerajaannya dan kekayaannya lalu menjalani kehidupan sebagai seorang petapa.
Pangeran Somadatta, Putri Chanda Dewi dan rakyat kerajaan meminta raja yang populer itu untuk tetap tinggal. Namun sang raja, yang sekarang telah membulatkan hati untuk menjalani kehidupan spiritual, menolak untuk mengubah pikirannya.
Pangeran Somadatta enggan mengambil-alih kerajaan dan tugas-tugas istana kerajaan. Namun berbagai hal sungguh tidak sama. Sang pangeran muda merindukan kakaknya, yang dicintainya dan yang kepadanya dia bergantung. Rakyat kerajaan, meskipun mencintai Pangeran Somadatta, sering membicarakan Raja bajik yang telah meninggalkan keduniawian itu. Mereka memutuskan untuk mencoba Beliau pada suatu waktu untuk memikat hati Raja dengan aneka kesukaan duniawi. Pangeran, Ratu Chanda Dewi, para menteri dan banyak rakyat mengunjungi tempat petapaan di hutan dimana Raja berdiam. Meskipun mengenakan pakaian sederhana, Raja tampak cerah dan damai, ketika dia duduk dalam meditasi di tengah-tengah aneka bunga yang bermekaran di petapaannya. Dengan menghormat di depan Raja, yang sekarang mengenakan pakaian petapa yang sederhana, mereka mempersembahkan kerajaan kepadanya.
Raja mendengarkan mereka dengan sabar, kemudian mengajarkan kepada mereka kebajikan dari kehidupan suci. Setelah mendengar ceramah beliau, Ratu dan rakyat yang menyertainya memutuskan untuk meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi guna mengembangkan kehidupan spiritual mereka. Setelah diberi nasehat dan dorongan oleh Raja, Pangeran Muda dan para menterinya kembali ke istana untuk memerintah rakyat disana. Ketika menyempurnakan kebajikan dalam pelepasan keduniawian Boddhisatta berseru demikian:
“Sebuah kerajaan jatuh ke dalam tanganku. Seperti air liur yang menjijikkan aku biarkan ia jatuh. Karena tidak merasakan keinginan sedikitpun, dan dengan demikian pelepasan keduniawian tercapai.”
4. Kesempurnaan Kebijaksanaan (Panna-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan dalam Sattubhatta Jataka. Pada masa lampau yang jauh Boddhisatta dilahirkan sebagai seorang Pandhita yang amat bijaksana dengan nama Pandhita Senaka. Raja menunjuk Beliau sebagai menteri dan tak lama kemudian beliau sangat termasyhur, karena kebijaksanaan dan keadilannya ketika menangani berbagai problem dan konflik, di antara rakyat yang berada di bawah dominasinya. Kemasyhurannya tersebar ke kota sehingga orang-orang yang mengalami problem datang kepadanya dari segala penjuru negeri, untuk mencari keadilan dan jalan keluar yang tepat.
Di kota itu tinggal seorang Brahmana yang memiliki istri muda yang sangat ayu. Tanpa setahu Sang Brahmana dia bercinta dengan banyak laki-laki, dan sering menjamu para tamu laki-lakinya ketika suaminya tidak ada. Pada suatu hari perempuan muda itu meminta agar suaminya mencari pekerjaan supaya dia dapat mengumpulkan emas, untuk menyediakan para pelayan bagi mereka dan menabung untuk masa depan mereka. Kemudian, setelah mengemas makanan-makanan yang lezat untuk bekal di perjalanan, dia menyuruh suaminya pergi.
Brahmana tua itu bekerja keras dan berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan emas, guna menyediakan dua pelayan dan menabung untuk masa depan mereka. Kemudian, ketika ingat makanan yang dipaket istrinya, dia berhenti di sisi jalan untuk menyantap makanan-makanan lezat yang dibuat istrinya. Tanpa setahu dia, seekor ular beracun merayap ke dalam tas terbuka yang berisi makanan itu, karena tertarik pada aromanya yang sedap. Setelah memakan isinya dia menutup tas itu, dan melanjutkan perjalanan pulang tanpa menyadari bahwa seekor ular ada di dalam tas yang berisi makanan yang tersisa.
Satu dewa pohon, ketika melihat bahaya mengancam laki-laki itu, menampakkan diri di hadapan Sang Brahmana dan berseru,”Jika kamu kembali ke rumah, istri kau akan mati ; jika kamu berhenti lagi di sisi jalan, kamu akan mati.” Brahmana tua itu terkejut dan khawatir. Karena tidak dapat mengerti kata-kata dewa itu, dia terbelenggu dalam kedukaan. Dalam perjalanan itu dia tertarik oleh sebuah rombongan besar yang datang untuk mengunjungi Pandhita Senaka, guna mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya. Brahmana itu juga mendekati Pandhita tersebut, dan setelah menceritakan riwayatnya, dia meminta kepada Pandhita untuk menerangkan kata-kata Dewa itu.
Setelah merenungkan kata-kata itu selama beberapa waktu Pandhita Senaka meminta, kepada Sang Brahmana untuk melepaskan ikatan di sekitar tas makanan itu dengan hati-hati. Dia mengatakan kepada Brahmana itu bahwa ia curiga ada ular beracun di dalam tas. Dia kemudian menerangkan kata-kata Dewa itu dengan mengatakan bahwa jika Sang Brahmana pulang, maka istrinya akan mati karena tidak menyadari adanya ular itu, dia akan memasukkan tangannya ke dalam tas itu untuk mengeluarkan makanan yang tersisa, danjika dia berhenti dalam perjalanan untuk istirahat lagi, dia akan mati, karena dia akan memasukkan tangannya ke dalam tas untuk mengambil makanan. Sesuai petunjuk, Brahmana tua itu membuka tas dengan hati-hati. Seekor ular kecil tetapi beracun merayap keluar dan masuk kedalam semak-semak.
Laki-laki tua itu merasa sangat berterimakasih kepada Pandhita itu, yang telah menyelamatkan hidupnya. Dia mempersembahkan 700 coin emas, yang dia peroleh kepada Pandhita. Pandhita Senaka, yang terkejut ketika melihat begitu banyak uang yang dimiliki laki-laki tua yang lelah, akibat melakukan perjalanan itu, menanyakan kepadanya bagaimana dia bisa memiliki begitu banyak uang, dan meminta dia untuk menuturkan kejadian beberapa hari yang lalu dengan lengkap.
Merasa kasihan pada laki-laki tua yang telah bekerja keras, Pandhita menolak hadiah itu dan memberi dia 300 coin emas supaya dia memiliki 1.000 coin emas untuk masa depan dia dan istrinya. Namun, karena mencurigai perempuan muda itu berkhianat, dia meminta kepada Brahmana itu untuk tidak memberitahu istrinya tentang tabungannya. Dia menyediakan dua pelayan untuk istrinya sesuai permintaannya dan memendam seluruh hartanya di taman mereka dengan setahu istrinya.
Beberapa hari kemudian dia terkejut menemukan seluruh emasnya telah lenyap. Dalam bingungnya, dia mengunjungi Pandhita Senaka yang bijaksana dengan berharap mendapatkan solusi untuk masalahnya. Boddhisatta mendengarkan kasus itu, dan mencurigai pengkhianatan perempuan muda itu, menasehati Brahmana tua itu untuk menjami 14 orang tamu selama 7 hari. Tujuh tamu dipilih oleh istrinya dan tujuh tamu lain dia sendiri yang memilih. Setiap hari secara berturut-turut, masing-masing mengeliminasi satu tamu supaya pada hari ketujuh hanya ada dua tamu, yang mana satu tamu dipilih oleh istrinya dan satu lagi dipilih oleh dia sendiri. Dia kemudian meminta agar Brahmana itu datang kembali dan memberitahukan identitas tamu terakhir yang dipilih istrinya.
Brahmana itu mengikuti instruksi Sang Bijaksana dan mengidentifikasi tamu terakhir istrinya – tamu yang dipilih perempuan itu untuk mengikuti perjamuan selama tujuh hari penuh. Boddhisatta kemudian mengirim orang-orangnya untuk menyelidiki rumah tamu terakhir itu dan menemukan emas yang dicuri.
Ketika ditangkap laki-laki itu mengakui kesalahannya dan hubungannya dengan perempuan muda itu. Boddhisatta itu menanyakan kepada Sang Brahmana apakah dia bersedia memaafkan istrinya dan tetap bersama dia. Setelah diberitahu bahwa dia masih mencintai istrinya dan ingin tetap bersama dia, Boddhisatta menasehati perempuan muda itu tentang bahaya dan kebodohan dari tingkah-lakunya dan akibat-akibat dari pelanggaran sexual. Ketika mendengar kebijaksanaan Boddhisatta, perempuan muda itu bersedia untuk mengubah tingkah-lakunya. Brahmana dan istrinya pulang dengan damai.
Boddhisatta telah sering kali mempraktikkan kebajikan dalam bentuk kebijaksanaan selama banyak kelahiran. Ummaga-Jataka melukiskan banyak problem yang beliua pecahkan dalam upayanya mencari kebijaksanaan. Dengan memecahkan problem ini, Boddhisatta melengkapi kebajikan dalam bentuk kebijaksnaan. Beliau berseru dalam kebahagiaan:
“Dengan kebijaksanaan aku menyelidiki kasus ini dan membebaskan sang brahmana dari kesedihan yang dalam. Dalam kebijaksanaan tak seorang pun yang menyamai aku, aku telah mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan.”
5. Kesempurnaan Semangat/Usaha (Viriya-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan dalam Maha Janaka Jataka. Pada masa lampau yang jauh, kerajaan Mithila di negara yang sekarang dikenal sebagai India, diperintah oleh seorang raja bernama Maha Janaka. Beliau memiliki dua anak laki-laki bernama Arittha Janaka dan Pola Janaka. Ketika anak yang lebih tua, Arittha, telah cukup umur, Raja Maha Janaka menunjuk dia sebagai raja baru (penggantinya) dan beliau sendiri pensiun. Beliau juga menunjuk anaknya yang lebih muda bernama Pola, sebagai perdana menteri.
Tak lama kemudian raja tua mangkat. Kedua kakak beradik memerintah kerajaan dengan ramah dan bijaksana. Seorang menteri yang iri hati pada keramahan dan perhatian yang raja berikan kepada perdana menteri, merencanakan untuk menghancurkan Pangeran Pola. Dia mulai meracuni pikiran Raja Arittha dengan tuduhan yang salah tentang saudaranya. Raja, yang percaya pada menterinya, segera mulai berpikir bahwa Pangeran Pola merencanakan untuk membunuhnya dan merebut kerajaannya. Dia memerintahkan agar saudaranya itu dirantai dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah istana.
Pangeran Pola, yang sebenarnya seorang pangeran yang baik, kaget. Dia tahu bahwa dirinya tidak pernah melakukan suatu perbuatan tercela dengan pikiran, ucapan atau tindakan. Dengan menggunakan kekuatan Kebenaran dia beraspirasi demikian, “Aku tidak pernah melakukan suatu perbuatan yang tercela baik dengan pikiran, ucapan maupun tindakan. Dengan kekuatan Kebenaran, semoga rantai yang membelengguku hancur.” Dengan kekuatan Kebenaran belenggu itu pun terhancurkan. Pangeran muda itu melarikan diri ke sebuah kerajaan tetangga dan hidup dalam penyamaran bersama orang-orang desa.
Pangeran Pola, yang memiliki karakter dan kualitas seorang pemimpin, mendapat dukungan dari rakyat desa. Dia mengirim pesan yang meminta abangnya menyerahkan kerajaan kepada dirinya karena tindakannya yang keliru dengan menghukum seorang yang tidak bersalah. Raja Arittha menolak. Dengan membentuk suatu pasukan, Pangeran Pola bersiap menyerang kakaknya yang menghukum dirinya karena kecerobohan.
Raja Arittha menyadari bahwa dirinya bisa mati di medan perang. Dia menyerahkan berbagai permata kepada istrinya yang sedang hamil anak pertama. Dia meminta kepada istrinya untuk melarikan diri dari kerajaan, demi keselamatannya jika dia mati di medan perang. Raja Arittha tewas di pertempuran dan Pangeran Pola mengambil alih kerajaan Mitthila sebagai Raja.
Ratu, dengan bantuan sebuah kereta perang yang bergerak cepat, menempuh perjalanan ke kota Kala Champa dan disana hidup di antara orang-orang miskin, di sebuah rumah untuk para tuna wisma. Suatu hari, seorang brahmana bersama para siswa pengikutnya yang sedang dalam perjalanan, mereka menuju sebuah danau untuk mandi melewati rumah itu. Melihat ratu berparas ayu yang sedang mengandung, dia merasa kasihan. Membawa pulang dia ke ruamh, dia minta istrinya memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya karena dia adalah seorang perempuan yang lebih muda. Tak lama kemudian ratu melahirkan seorang bayi laki-laki yang tak lain adalah Boddhisatta kita. Dia menamai bayi itu Maha-Janaka seperti kakeknya.
Pangeran bayi itu tumbuh menjadi seorang siswa yang baik. Dia juga menjadi seorang olahragawan yang kuat. Namun, dia sering diolok-olok oleh teman-teman sebayanya sebagai seorang miskin yang tidak berayah. Karena ingin mengetahui ayahnya yang sejati, Pangeran bertanya kepada ibunya. Ketika mendengar bahwa dirinya anak seorang raja dan bahwa ibunya masih menyimpan permata-permata kerajaan, dia memutuskan untuk mencoba keberuntungannya.
Saat itu pangeran berusia enam-belas tahun. Ketika akan meninggalkan ibunya, Pangeran Maha-Janaka minta izin untuk pergi berlayar sebagai pedagang di kapal. Ibunya memberi dia satu bagian dari permata-permata kerajaan, dan mengucapkan padanya selamat jalan dan mendoakan kesuksesannya. Tujuh hari kemudian perahu itu menghadapi kesulitan. Laut yang bergelora mengamuk kapal itu dan menyebabkannya terombang-ambing ke kiri dan ke kanan. Anak buah kapal yang berani mencoba untuk mengontrol kapal ketika mereka melihat bahwa ia dikelilingi oleh beberapa kura-kura raksasa. Para anak buah kapal ketakutan tak berdaya menghadapi pemandangan makhluk-makhluk raksasa yang tidak lazim itu. Karena ketakutan mereka mulai berdoa kepada para Dewa untuk menyelamatkan mereka.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Maha-Janaka adalah berkebalikan dengan anak buah kapal lainnya yang memilih untuk berdoa meminta keselamatan kepada Dewa. Pangeran Maha-Janakamenyadari bahwa kapal akan segera terbalik. Dia mendesak sesama crew untuk mengikuti dirinya, dia menggunakan ghee (minyak) pada tubuhnya dan menyantap makanan untuk mempertahankan dirinya. Kemudian, setelah memanjat tiang kapal, dia terjun ke dalam air dan berenang. Setiap otot pada tubuhnya sakit dan bibirnya kering. Angin , panas dan air telah menyiksa kulitnya yang halus. Air asin menimbulkan kepedihan sementara panas matahari yang sedang meninggi membakar kulitnya. Tujuh hari telah lewat – tujuh hari dalam kesulitan dan usaha yang berat tetapi dia masih belum melihat daratan. Melihat seekor camar laut pada suatu jarak tertentu beliau melakukan usaha keras, akhirnya dia ingat bahwa dia sedang membawa tubuhnya yang terluka ke sebuah teluk kecil yang tersembunyi.
Pada saat yang hampir sama, Raja Pola dari Kota Mithila sedang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Raja tua wafat setelah meninggalkan pesan bahwa raja berikutnya adalah laki-laki yang dipilih oleh anak perempuannya, Putri Siwali, sebagai suaminya. Calon demi calon, yaitu para pangeran dari negeri tetangga, dibawa ke hadapan sang putri untuk diterima. Tetapi sang putri menolak mentah-mentah mereka semua. Para menteri yang merasa prihatin mulai menjelajahi seluruh negeri untuk mencari satu pemuda yang cocok.
Pangeran Maha Janaka, yang telah dibesarkan oleh seorang petani yang penuh perhatian, sedang beristirahat di sebuah taman yang dekat. Setelah beristirahat dan sembuh, dia berjalan perlahan di antara bunga-bunga cantik ketika para menteri yang naik kuda kerajaan mendekatinya. Ketika mengetahui bahwa dia adalah putra Raja Arittha, mereka mendandani Beliau dengan pakaian kerajaan dan membawanya ke istana. Putri Siwali terpesona ketika memandang Pangeran Maha Janaka. Dia berlari ke arah Sang Pangeran dan memegang tangannya dan menarik dia masuk ke dalam istana.
Dalam usaha mempertahankan hidup selama tujuh hari dengan keberanian dalam menghadapi cobaan berat akibat kecelakaan kapal, Boddhisatta menyempurnakan kebajikan dalam daya upaya. Setelah menyempurnakan kebajikan yang satu ini, Beliau berseru dengan sukhacitta:
“Kami jauh dari memandang daratan, semua crew mati tak lain karena ketakutan, namun pikiranku tetap tidak kacau, aku telah mencapai kesempurnaan dalam keberanian.”
6. Kesempurnaan Kesabaran (Khanti-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan dalam Khantiwada Jataka. Pada zaman lampau yang jauh, sepanjang Kaya-Panidhana-Kala, Boddhisatta kita dilahirkan di dalam keluarga Pandhita, dan setelah meninggalkan kesenangan hidup yang dinikmati hari lepas hari, Beliau menjalai kehidupan sebagai seorang petapa. Beliau terkenal karena praktik kesabarannya, kebaikan dan belas kasihnya, dan juga karena ketrampilannya dalam mengajar orang lain. Nama aslinya segera dilupakan dan beliau menjadi dikenal sebagai Khantiwada, guru kesabaran. Boddhisatta tinggal di sebuah grotto (gua) nan indah disebuah hutan, di dekat sebuah kolam nan jernih yang disemarakkan dengan wangi bunga teratai biru dan putih.
Suatu hari di musim panas yang menyengat, raja dan para istrinya dan para pengikutnya memutuskan untuk mengunjungi hutan dimana Boddhisatta tingga. Disana, diantara aneka kembang nan indah raja menikmati nyanyian, tarian dan kegembiraan para istrinya yang cantik. Terpikat oleh keindahan tempat dan aroma aneka bunga, raja merebahkan diri untuk bersantai dan menikmati nyanyian dan tarian para istrinya. Sebentar saja dia terlelap dalam tidur, terbuai oleh musik nan lembut dan hangatnya mentari.
Para istri raja, yang melihat junjungan mereka tertidur, berjalan-jalan di hutan untuk mencari kesenangan yang menyegarkan. Terpikat oleh keindahan hutan, mereka menjelajah lebih dalam dan semakin dalam untuk mencari aneka bunga yang menawan. Tak lama kemudian mereka tiba di gua berbau wangi dimana Boddhisatta duduk dalam meditasi. Ketika melihat petapa yang tenang dan tak terusik mereka mengelilingi dia dan meminta beliau membagikan kebijaksanaannya kepada mereka.
Tak lama setelah bangun, raja menemukan para istri dan dayang-dayangnya tidak kelihatan. Dengan mengikuti jejak yang ditandai dengan bunga-bunga dan kelopak-kelopak bunga, yang dipetik oleh para istrinya raja tiba ditempat petapa yang tenang dan lembut yang dikelilingi oleh para istrinya. Dia menjadi terbakar oleh iri hati. Kemarahanya tak terkendali, di amencaci-maki Boddhisatta dengan kata-kata yang tidak patut,”Orang ini telah mempengaruhi istri-istriku. Dia hanya mengkhotbahkan kesabaran dan belas-kasih. Dia seorang yang munafik.” Dia meloloskan pedangnya dan bermaksud membunuh Boddhisatta.
Para istri raja itu kemudian memberikan alasan kepadanya, dengan mengatakan bahwa petapa itu tidak melakukan apa-apa selain mengkhotbahkan kepada mereka kebajikan dalam pengendalian nafsu dan kesabaran. Namun hal ini membuat raja semakin gusar. Dikuasai pikiran gila bahwa para istrinya sekarang membela sang petapa, dia berteriak,”Mari tunjukkan praktik pengendalian dirimu!” Dengan mengayunkan pedangnya dia menebas putus tangan sang petapa. Kemduain, melihat ekspresi yang tenang danlembut di mata sang petapa, dia menebas lagi dan lagi, menebas putus lengannya, hidungnya, telinganya, dan kakinya. Darah mengucur dari tubuh Boddhisatta dan membentuk sebuah kubangan darah di sekelilingnya. Namun tidak ada sepatah kata pun kemarahan yang meluncur dari bibirnya. Belas kasih dan rasa kasihan kepada raja yang bodoh itu memenuhi hati sang Boddhisatta. Mengetahui dirinya akan meninggal, Boddhisatta memaafkan sang raja dengan ketenangan dan kesabaran dengan mengatakan:
“Semoga panjang umur raja yang tangannya kejam, yang karenanya tubuhku menjadi rusak. Perbuatan-perbuatan seperti itu menyucikan batin seperti batinku, yang menghadapinya dengan tanpa kemarahan.”
Namun raja yang kejam itu harus menerima akibat dari perbuatannya yang biada itu. Sebuah gempa bumi yang dahsyat dan suara gemuruh yang menakutkan membelah udara ketika tanah terbuka dan menelan dia. Dia mati dalam siksaan yang ditimbulkan oleh api kebenciannya.
Meskipun kesakitan jasmani dibawah pedang raja yang kejam itu tak tertahankan, Boddhisatta mempertahankan ketenangan dan kesabarannya dan tidak merasakan kemarahan atau kebencian kepada raja itu. Dan dengan berbuat demikian, setelah sekian lama mempraktikkan kesabaran, Beliau melengkapi kebajikan dalam kesabaran.
7. Kesempurnaan Kebenaran (Sacca-Paramita)
Kisah ini diceritakan dalam Maha Sutasoma Jataka (Sutasoma Jataka yang lebih besar). Pada zaman lampau yang jauh, di negara yang sekarang kita kenal sebagai India, Boddhisatta dilahirkan di dalam keluarga istana dari suku Kaurawa. Karena wajah tampannya yang luar biasa dia dinamakan Sutasoma, yang berarti “Soma yang tampan seindah rembulan”. Pangeran Sutasoma sangat unggul dalam pelajaran dan terkenal karena praktiknya dalam agama. Tak lama kemudian beliau melampaui ayahnya dalam kebijaksanaan dan kebajikan, kemudian raja menyerahkan separuh dari kerajaannya kepada anaknya dan menjadikan dia ahli warisnya. Kerajaan diperintah dengan baik oleh ayah dan anak dan rakyat hidup dalam kebahagiaan dan kepuasan.
Suatu hari yang indah di bulan Mei. Aneka bunga bermekaran, memperindah pohon-pohon dengan wara-warninya yang cemerlang. Aroma wangi mereka dan keriangan para putri menarik Pangeran yang melangkah keluar dari istana ke taman istana. Di sana, beristirahat di bawah sebatang pohon yang teduh, Beliau menikmati ketenangan dan keheningan taman. Seorang Brahmana, yang telah mendengar tentang cinta Pangeran pada pelajaran religius, mendekati Beliau dan meminta izinnya untuk membacakan beberapa syair yang ia rasa Pangeran akan menikmatinya. Dengan ramah pangeran mengundang Brahmana itu untuk mengambil tempat duduk di sisinya.
Di hadapannya sang Brahmana dapat membicarakan kedamaian siang yang teduh. Para penjaga yang khawatir menerobos masuk untuk memberitahukan, bahwa Kamashapada si pemakan manusia sedang menjelajahi kota, untuk mencari seratus pangeran. Kamashapada, raja sebuah kerajaan kecil, pernah mengalami nasib malang dengan mencicipi daging manusia. Dia sangat menyukai rasa itu sehingga dia terus menurutui keinginannya dengan membunuh dan menyantap rakyatnya. Rakyat yang marah bersama-sama menghujat dan bersumpah untuk menghancurkan raja itu. Raja itu berlari ke dalam hutan dan meminta perlindungan kepada para Raksha, satu suku yang memakan manusia, dengan imbalan seratus pangeran. Kamashada sekarang sedang mengganas, mencari para pangeran untuk menepati janjinya.
Boddhisatta menyadari bahwa senjata-senjata tidak akan menaklukkan seseorang yang telah merendahkan martabatnya sedemikian rendah dengan membunuh rakyatnya sendiri untuk memuaskan keinginannya yang kuat pada daging manusia. Sebagai gantinya, Beliau memutuskan untuk menyerahkan dirinya dan mencoba menundukkan Kamashapada melalui kebajikan. Pangeran Sutasoma berjalan dengan tenang ke arah si pemakan manusia dan berkata, “Inilah aku. Ambillah aku dan tinggalkan rakyatku yang miskin tanpa mengganggunya.” Melihat pangeran yang tanpa pengawal dan hanya sendiri, Kamashapada menyambar dia, dan menyampirkannya ke atas punggungnya, membawa dia ke dalam hutan.
Kamashapada menurunkan Boddhisatta di sarangnya di tengah-tengah gundukan mayat dan tengkorak yang pecah. Tempat kematian yang berbau sangat busuk. Kamashapada yang duduk bersandar mengagumi keindahan dan kelembutan Pangeran Sutasoma.
Pada saat itu Pangeran sedang merenungkan kesempatan belajar yang hilang dengan sedih, dan memandangnya sebagai bencana yang menimpa, karena baru saja Sang Brahmana akan berbagi kebijaksanaan denga dirinya. Ketika mendengar keluhan Pangeran, Kamashapada tertawa dan bertanya apakah beliau sedang berdukkha-citta karena kehilangan kerajaannya, kekayaannya, atau keluarganya. Kemudian Boddhisatta memberitahu dia bahwa beliau bersedih bukan karena kekayaan atau keluarga tetapi karena kehilangan kesempatan untuk belajar. Beliau kemudian mohon diri untuk kembali guna mendengar kata-kata Sang Brahmana dan berjanji akan kembali ke sarang Kamashapada tanpa pengawal.
Kamashapada tertawa dan berkata,” Apa motifmu untuk kembali lagi kesini? Jika aku membebaskanmu, aku akan kehilangan kamu.” Keingintahuan si pemakan manusia pun muncul. Dia telah menangkap seratus pangeran dan dapat memenuhi janjinya seandainya dia kehilangan pangeran ini. Dia setuju dan membebaskan Boddhisatta.
Rakyat kerajaan itu sangat bersukha-citta ketika mereka melihat Pangeran berjalan kembali dengan selamat dan tidak kurang suatu apa pun. Beliau mengundang Brahmana itu dan setelah mendengar kebijaksanaannya Beliau siap kembali ke sarang Kamashapada. Raja ketakutan dan menolak mengizinkan dia berangkat, tetapi Pangeran bersikeras. Kemudian raja mengumpulkan tentara dan meminta agar mereka menemani Pangeran ke dalam hutan. Namun Pangeran menolak pengawalan dengan berkata,”Aku telah berjanji. Aku harus pergi seorang diri tanpa pengawalan.” Diiringi air mata dan rasa keberatan dari keluarga dan rakyatnya, Pangeran kembali ke sarang si pemakan manusia.
Ketika Kamashapada melihat Pangeran berjalan ke arahnya seorang diri dan tanpa pengawal dia kaget dan kagum. Rasa ingin tahunya muncul dan dia berkata,” Aku tidak usah repot-repot untuk membunuhmu. Kayu api pembakaran masih menyala. Daging manusia terasa paling lezat jika dibakar diatas bara api yang menyala-nyala. Jadi, ceritakanlah kepadaku, apa yang sangat penting yang telah kamu pelajari dari Brahmana itu ?”
Kemudian Pangeran bertanya kepadanya, “apa guna kebijaksanaan bagi orang yang hanya percaya pada kejahatan?” Si pemakan manusia yang marah itu kemudian mengejek Pangeran sebagai orang yang tidak punya kebijaksanaan politis sehingga datang kembali, katanya,”Hanya seorang yang tolol yang kembali setelah diberi kebebasan.” Namun Pangeran menghadapi komentarnya dengan mengatakan, bahwa yang lebih penting daripada kebijaksanaan politis adalah kejujuran. “Aku telah berjanji kepadamu. Bagiku, menepati janji itu lebih penting daripada mempertahankan kerajaan.”
Kamashapada yang telah ditundukkan dan menjadi rendah hati itu kemudian duduk di sisi Boddhisatta dan meminta beliau untuk mengajarkan kepadanya kebijaksanaan yang telah beliau peroleh. Boddhisatta bersedia mengajar dia, katanya,”Bahwa melalui pembebasanmu aku mendapatkan kebahagiaan dengan mendengarkan kebijaksanaan ini.” Kemudian beliau mengulangi kata-kata Brahmana itu:
“Tetapi sekali berjumpa dengan seorang yang berkebajikan, itu sudah cukup untuk membentuk suatu persahabatan yang abadi, jangan menunggu pertemuan-pertemuan berikutnya. Jagalah jangan sampai diri Anda terpisah dari orang yang berkebajikan, tetapi ikutilah dan hormatilah mereka senantiasa. Dia yang dekat dengan mereka tidak akan gagal untuk menjadi seperti mereka.
Orang-orang tersebut laksana debu bunga yang memancarkan aroma wangi dari kata-kata dan perbuatan-perbuatan mulia tanpa mengetahuinya. Telinga para raja dengan aneka permata dan emas hilang bersama keindahan permata-permata mereka, menjadi layu!
Sedemikian kuat cinta dalam orang-orang saleh yang memiliki kebajikan yang tidak pernah memudarkan kebajikan tetapi hidup untuk memberikan berkah.”
Ketika mendengar kata-kata ini, hati si pemakan manusia dipenuhi dengan kebahagiaan, dan dia mempersembahkan empat boon (anugerah) kepada Pangeran. Kemudian Boddhisatta meminta keempat boon berikut:
Berjanji untuk hidup dalam kebenaran
Berhenti menyakiti makhluk-makhluk hidup
Membebaskan semua tawanan
Tidak pernah lagi menyantap daging manusia
Sedangkan Kamashapada berkata,”Anda dapat memiliki tiga yang pertama, tetapi yang keempat, aku tidak dapat memberikannya. Aku tidak dapat berhenti menyantap daging manusia. Bagaimana aku dapat menghentikan rasa itu yang karenanya aku kehilangan kerajaanku?” Boddhisatta kemudian menerangkan bahwa jika tidak dapat melakukan yang keempat, maka dia juga tidak dapat melakukan tiga yang lain. Karena setelah menjanjikan sebuah boon lalu menolak menepati janjinya, maka janji itu sendiri bukan kebenaran.
Dengan bantuan Boddhisatta, Kamashapada menjadi seorang yang terubahkan (insyaf). Dia membebaskan seratus pangeran dan hidup dibawah pengaruh baik Pangeran Sutasoma. Tak lama kemudian ia kembali ke kerajaannya dan memerintah disana. Dengan menepati janjinya untuk kembali, Boddhisatta melengkapi kebajikan dalam kebenaran. Inilah yang beliau katakan dengan sukha-citta setelah melengkapi kebajikan dalam kebenaran:
“Aku menjaga janji yang aku ucapkan dan memberikan hidupku untuk dikorbankan. Seratus prajurit siap membebaskan aku. Sesungguhnya aku telah mencapai kesempurnaan.”
Harus dikatakan bahwa kebajikan dalam Kebenaran adalah yang tertinggi dari sepuluh kebajikan karena ia adalah satu kebajikan yang dijaga oleh Boddhisatta sepanjang Kaya-Panidhana-Kala. Selama periode ini adalah mungkin seorang Boddhisatta untuk melakukan kesalahan, karena dia masih seorang duniawi (belum mencapai tingkat kesucian apapun) dan merupakan subjek bagi perbuatna salah. Namun, dia tidak melanggar peraturan Kebenaran. Pencari Kebenaran, kandidat Buddha, mempertahankan peraturan kebenaran sepanjang periode yang amat lama itu, menjadikan Kebenaran sebagai yang paling penting di antara sepuluh kebajikan.
8. Kesempurnaan Kebulatan-Tekad (Adhitthana-Paramita)
Kisah berikut ini diambil dari Mughapakkha Jataka. Pada masa lampau yang jauh, kota Benares diperintah oleh seorang raja dari kasta Mughapakkha, bernama Kasi. Sebagaimana kebiasaan pada waktu itu, raja memiliki seorang permaisuri dan banyak selir di istananya. Tak satu pun dari istrinya melahirkan anak. Fakta ini menimbulkan kesedihan yang mendalam pada hati raja dan para menterinya, karena tidak ada satu pun yang melanjutkan garis keturunan (silsilah) kerajaan.
Permaisuri Chandra, seorang ratu yang sangat bajik dan murah hati, memutuskan bahwa dia akan melakukan banyak perbuatan bajik dan berdoa, agar dia mendapatkan seorang anak laki-laki sebagai akibat dari perbuatan-perbuatannya yang bajik. Dia mulai bersungguh-sungguh melakukan perbuatan dalam kemurahan-hati, dan belas-kasih kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Kemudian dia beraspirasi untuk mendapatkan seorang anak laki-laki, sebagai akibat dari perbuatan-perbuatannya yang bajik itu.
Tak lama kemudian Ratu Chadra melahirkan seorang bayi laki-laki yang rupawan, yaitu Boddhisatta kita. Raja yang bersuka-cita memberi nama Pangeran itu Temiya dan memberikan anugerah kepada ratu karena telah melahirkan bayi laki-laki untknya. Ratu yang sangat bersuka-cita, yang berpendapat bahwa denganmemiliki seorang anak laki-laki dia mendapatkan segala yang dia perlukan, bertanya kepada raja apakah ia dapat memperoleh anugerahnya pada suatu hari nanti.
Sejak balita bayi ini tampaknya berbeda dari bayi-bayi lainnya. Dia tampaknya mengamati dan memahami semua yang terjadi di sekelilingnya. Ayahnya yang bangga membawa anak itu kemana-mana, dengan demikian Pangeran muda menyaksikan siksaan dari hukuman atas empat orang yang dituduh, diyakini melakukan perampokan.
Pangeran Temiya, sebagai orang muda menyadari bahwa suatu hari, sebagai raja, beliau juga diharapkan menghukum orang-orang yang bersalah dengan cara ini. Saat itu terlintas dalam ingatannya suatu kelahirannya yang lampau ; ketika menjadi seorang raja dia sering menyiksa orang-orang yang bersalah, hingga mengakibatkan kelahiran di alam menyedihkan dan menjalani siksaan selama 80.000 tahun. Dia tahu bahwa dirinya tidak ingin menjadi raja, namun sebagai satu-satunya pewaris tahta beliau tidak melihat jalan keluar.
Merenung demikian, Pangeran memutuskan bahwa dia harus bertindak dengan suatu cara sedemikian rupa agar tahta tidak diberikan kepada dirinya. Pangeran mengubah tingkah-lakunya dengan berpura-pura menjadi bisu, tuli, dan cacat-mental. Raja Kasi pun mulai meragukan kepantasan Puteranya sebagai ahli waris. Anak ini telah berubah. Kini , dia bukan seorang yang luar biasa cerdas dan bijaksana seperti yang pernah dipikirkannya. Di mata raja, sekarang dia seorang bisu yang bodoh.
Ratu memperhatikan anaknya dengan lemah-lembut, mencurahkan seluruh cintanya kepada anak-kecil yang malang itu, yang tidak dapat bicara maupun mendengar. Dia memandikan anak itu dan memberinya makan, karena tampaknya Pangeran Temiya seorang anak yang tidak dapat merawat dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga, raja merasa malu terhadap anaknya. Apa gunanya anak yang tidak dapat menjadi raja ini? Dia memanggil saisnya, Sunanda, memerintahkan untuk membawa anak itu, yang telah berusia 16 tahun, ke kuburan. “Bunuh dia”, perintah raja yang kejam itu, “Bunuh dia dan kuburkan tubuhnya. Kemudian bawalah pulang permata kerajaan yang dia kenakan.”
Ratu Chandra hancur hatinya ketika mendengar kata-katanya. Dengan air mata berlinang dia mengingatkan raja akan anugerah yang dia janjikan padanya pada hari kelahiran anak mereka.”Biarkan dia hidup”, pinta sang ratu dengan memelas,”Aku akan merawat dia, mohon biarkan dia hidup”. Di tengah-tengah permohonan sang ratu, pangeran muda itu dibawa ke kuburan untuk menerima kematiannya.
Setelah menghentikan kereta di tempat yang tepat, Sunanda mulai menggali sebuah kuburan untuk mempersiapkan kematian Pangeran Temiya. Pangeran Temiya kemudian muncul dari tempat duduknya dan berjalan dengan kalem ke arah Sunanda. Ketika mendengar suara langkah-langkah kaki, Sunanda meletakkan sekopnya dan berpaling, menatap Pangeran yang mukanya sangat cerah dan bercahaya,”Aku bukan seorang yang bisu tuli”, kata sang Pangeran,”Aku telah melakukan cara ini, karena ayahku tidak akan setuju membiarkan aku menempuh kehidupan suci. Inilah satu-satunya cara agar aku dapat menolak warisan kerajaan. Ambillah pusaka-pusaka kerajaan ini dan kembalikanlah kepada raja dan ratu. Biarlah mereka mengetahui bahwa anak laki-laki mereka telah menempuh kehidupan suci sebagai petapa. Kemudian bawalah mereka kembali ke lapangan di tengah hutan dimana aku akan tinggal.”
Sebagaimana diminta, Sunanda mengembalikan permata-permata itu dan menghibur sang ratu yang berdukkha-citta dengan menuturkan fakta itu. Raja dan ratu mengunjungi putra mereka yang telah berbuat dengan keyakinan dan kebulatan tekad yang sedemikian rupa, untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak trampil (buruk), yang harus dia lakukan selaku seorang raja. Ketika putra mereka berbicara tentang akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang salah dan berbagai ekstreem, yang telah dia jalani untuk menghindari perbuatan yang salah, raja mengubah cara-caranya. Dia memutuskan untuk memerintah kerajaannya dengan kebenran, dan memberi izin kepada pangeran muda itu untuk bertahan dalam kehidupan suci. Ketika melengkapi kebajikan dalam ketetapan hati, Boddhisatta menyatakan:
“Bahwa aku tidak membenci orang-tuaku, bahwa aku tidak membenci kemuliaan, namun karena aku menjunjung tinggi Kemahatahuan, maka aku mempertahankan tekadku yang kuat.”
9. Kesempurnaan Cinta-Kasih (Metta-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan dalam Ekaraja-Jataka. Pada masa lampau yang jauh, di kerajaan Kosala, di sana memerintah seorang raja bernama Dabbamalla. Di istananya ada seorang menteri yang dipercaya, karena kesalahapahaman yang lalu, sangat iri hati pada raja tetangga bernama Ekaraja. Menteri itu merencanakan untuk menghancurkan Raja Ekaraja melalui kelicikan dan tipuan. Perlahan-lahan dia mulai meracuni pikiran Raja Dabbamala dengan menyebarkan berita yang salah tentang Raja Ekaraja. Tak lama kemudian Raja Dabbamala percaya bahwa Raja Ekaraja adalah seorang raja yang serakah dan zalim (bengis), yang bermaksud mengambil alih kerajaannya. Raja Dabbamala mengumpulkan seluruh tentaranya untuk menghancurkan Raja Ekaraja dan merebut kerajaannya.
Boddhisatta, yang lahir sebagai Raja Ekaraja, adalah seorang raja yang lemah lembut dan jujur yang memerintah kerajaannya dengan cinta-kasih, keadilan dan belas-kasih ; dia sering menggunakan waktu luangnya di tengah hutan untuk bermeditasi. Sebagai hasilnya, beliau telah mencapai tingkat-tingkat spiritual yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai Jhana-Jhana. Orang-orang dalam kerajaan-Nya adalah orang-orang yang sangat bahagia dan lembut, mereka benar-benar tidak siap untuk bertempur. Karena itu dengan sangat mudah Raja Dabbamala menaklukkan kerajaan itu dan menangkap Raja Ekaraja.
Dengan kemarahan dan kebencian di dalam hatinya akibat tuduhan palsu dari menterinya, Raja Dabbamala mengikat kaki dan tangan Raja Ekaraja dan menggantung beliau dengan kakinya di pohon, dimana dia meninggalkan Beliau untuk mengalami suatu kematian yang perlahan dan menyakitkan. Hari berikutnya dia kembali untuk melihat dan menyaksikan momen-momen terakhir kematian Raja Ekaraja.
Raja berharap menemukan Raja Ekaraja yang ditaklukkan dan disiksa itu memohon belas-kasihan.
Sebaliknya, dia menemukan seorang Raja yang tenang dan damai dalam meditasi yang dalam. Raja Ekaraja sedang bermeditasi beberapa kaki diatas tanah dan memancarkan kedamaian danketenangan. Raja Dabbamalla terkejut lantas bertanya kepada Raja Ekaraja tentang bagaimana Beliau keluar dari keadaan itu. Raja Ekaraja kemudian menjelaskan kepadanya kebajikan-kebajikan dalam cinta-kasih dan belas-kasih, dan bagaimana beliau sering tinggal di hutan dan bermediasi di antara binatang-binatang buas yang tidak pernah mengganggu beliau karena belas-kasih yang beliau pancarkan. Ketika mendengar kebenaran itu, Raja Dabbamalla mengembalikan Raja Ekaraja ke istananya dan meminta maaf. Dia kemudian menjatuhkan hukuman berat kepada menterinya atas kelicikannya itu.
Dengan mempraktikkan belas-kasih kepada semua makhluk hidup dengan sepenuh hati, Raja Ekaraja , Sang Boddhisatta, melengkapi kebajikan dalam belas-kasih. Setelah melengkapi kebajikan dalam belas kasih ini, Beliau berseru dengan sukkha-citta:
“Tidak ada ketakutan yang orang miliki terhadap aku, Aku pun tidak takut pada siapa pun. Dengan kemauanku yang baik kepada semua makhluk, aku percaya pada hutan-hutan sunyi dan suka tinggal disana.”
10. Kesempurnaan Keseimbangan-Batin (Upekkha-Paramita)
Kisah berikut ini diceritakan di dalam Lomahangsa Jataka. Selama Kaya-Panidhana-Kala, Boddhisatta kita yang masih seorang duniawi melakukan banyak perbuatan yang tidak terampil yang mana dua belas diantaranya berakibat cukup serius, bahkan dialami setelah beliau menjadi Buddha. Empat diantaranya berkenaan dengan penghinaan kepada seorang Pacceka-Buddha.
Boddhisatta, yang berjuang mencapai kesempurnaan dan tingkat Buddha, telah merendahkan atau menghina Pacceka-Buddha karena iri-hati.Teks itu tidak secara khusus dihubungkan dengan keempat insiden tersebut. Namun sebagai akibat dari salah satu perbuatan yang tidak terampil ini Boddhisatta kita dilahirkan sebagai seorang asketik (petapa) yang mempraktikkan bentuk asketisme yang ekstrim. Para asketik dari sekte tidur di kuburan-kuburan di antara tulang-belulang dan tengkorak-tengkorak dari tubuh orang mati, yang telah ditinggalkan hingga membusuk, dan hampir tidak mengenakan pakaian.
Boddhisatta, yang selama periode ini percaya pada bentuk asketisme (petapaan) ekstrim ini, mempraktikkan kepercayaan tersebut sepenuhnya sehingga para pengikut sekte ini memuji Beliau dan menghormatinya karena ketekunan dan dedikasinya. Banyak orang yang tidak percaya pada bentuk petapaan ekstrem ini mengejek beliau karena praktik pertapaannya ini.
Sepanjang periode ini,Boddhisata yang mencoba menyempurnakan kebajikan dalam keseimbangan batin, mempertahankan sebuah pikiran yang seimbang dengan tidak bereaksi terhadap pujian maupun celaan yang beliau terima setiap hari. Dengan keseimbangan batin itu, Beliau mengamati berbagai sensasi yang muncul di dalam dirinya ketika Beliau dipuji, dan meredakan reaksi dari keinginan atau keterikatan pada sensasi yang menyenangkan, dengan merenungkan ketidakabadian. Dengan cara yang sama, dengan keseimbangan batin, Beliau mengamati sensasi-sensasi yang muncul ketika beliau diejek dan dihina, dan meredakan aversi (rasa tidak suka) dan repulsi (rasa-jijik) pada sensasi yang tidak menyenangkan dengan merenungkan ketidakabadian. Dengan berbuat demikian, Boddhisatta yang telah mempraktikkan keseimbangan batin selama sekian banyak kelahiran yang lampau, mencapai kesempurnaan dalam keseimbangan batin dan menyatakan demikian:
“Aku telah menempatkan diriku di antara orang mati, kubuat tulang-tulang mereka sebagai bantal, sementara orang-orang berdatangan, sebagian mengejek, dan sebagian memuji.”
Kemudian Boddhisatta menyadari, bahwa bentuk pertapaan ini tidak kondusif bagi usahanya untuk mencapai Pencerahan-Sempurna. Dia meninggalkan sekte ini dan menjalani asketisme yang dipraktikkan oleh sekte-sekte yang lebih moderat, dimana meditasi dan perkembangan spiritual merupakan tujuannya.
_______________________________________________
Dengan melengkapi kesempurnaan dalam kemurahan-hati (Dana-Paramita) dalam kelahirannya sebagai Pangeran Wessantara (baca kisah Pangeran Wessantara ini pada point no.1 “Kesempurnaan Kemurahan-Hati (Dana-Paramita)” diatas) , Boddhisatta kita melengkapi kesepuluh kesempurnaan.
Setelah wafatnya Pangeran Wessantara, Ia dilahirkan di Surga TusitaDewa Setaketu sebagai dewa bernama.Dan disanalah beliau tinggal hingga saat yang tepat untuk kelahirannya yang terakhir sebagai Buddha Gotama.
Nah, saudara-saudari se-Dhamma, marilah kita meneladani perjuangan Boddhisatta kita dalam memenuhi kesepuluh kesempurnaan selama Empat Asankkheyya-Kappa + 100.000 Maha-Kappa sebelum kelak dilahirkan menjadi Pangeran Siddhatta-Gotama dan akhirnya menjadi Buddha.
Kesempurnaan seorang Buddha adalah tiada bandingnya. Di bawah ini, ada tiga bait syair yang diucapkan oleh Suruci Sang Petapa yang kelak menjadi Yang-Mulia Sariputta sebagai penghormatan kepada Buddha-Anomadassi.
“Sakkā samudde udakam, Pametum ālhakena vā, Na tveva tava sabbaññu, Ñāņam sakkā pametave”
[Adalah mungkin untuk mengukur banyaknya air di samudera besar menggunakan alat ukur; tetapi oh Buddha, tak seorang pun apakah dewa atau manusia yang dapat mengukur dalamnya kebijaksanaan yang dimiliki oleh Yang-Teragung]
“ Dhāretum pathavim sakkā thapetva tulamandale, Na tveva tava sabbaññu Ñāņam sakkā dharetave”
[Adalah mungkin mengukur beratnya bumi ini dengan timbangan; tetapi, Oh Buddha, tak seorang pun apakah dewa atau manusia yang dapat mengukur dalamnya kebijaksanaan yang dimiliki oleh Yang Teragung]
“Ākāso minitum sakkā rajjuyā angulena vā, Na tveva tava sabbaññu Ñāņam sakkā pametave”
[Adalah mungkin mengukur luasnya angkasa dengan alat-ukur; tetapi, Oh Buddha, tak seorang pun apakah dewa atau manusia yang dapat mengukur dalamnya kebijaksanaan yang dimiliki oleh Yang Teragung]
_________________________________________________
“Sabbe Satta Sukhita Hontu, Nidukkha Hontu, Avera Hontu, Abyapajjha Hontu, Anigha Hontu, Sukhi Attanam Pariharantu”
(Semoga Semua Makhluk Berbahagia, Bebas dari Penderitaan, Bebas dari Kebencian, Bebas dari Kesakitan, Bebas dari Kesukaran, Semoga Mereka dapat Mempertahankan Kebahagiaan Mereka masing-masing)
RATANA-KUMARO
Daftar Referensi:
1. LAMANYA WAKTU YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENJADI SEORANG BUDDHA
Sumber Pustaka :
1. Praktik Dhamma menuju Nibbana , Radhika Abeyesekera, Penerbit Sri Manggala 2008.
2. Riwayat Agung Para Buddha ( The Great Chronicle of Buddhas ) , Tipitakadhara Mingun Sayadaw, Myanmar; Terbitan Ehipassiko collection, Girimangala Publications.
2. APA YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENJADI SEORANG BUDDHA
Sumber Pustaka:
1. Praktik Dhamma menuju Nibbana , Radhika Abeyesekera, Penerbit Sri Manggala 2008.
2. Riwayat Agung Para Buddha (The Great Chronicle of Buddhas), Tipitakadhara Mingun Sayadaw, Myanmar; Terbitan Ehipassiko collection , Girimangala Publications.