Pesan Waisak BE 2560/2016, Temukan Jati Diri & Kembangkan Potensi Kebuddhaan

(Oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira, Ketua Umum Sangha Mahayana Buddhis Internasional)

Setiap tahun di Bulan Suci Waisak, kita sebagai Umat Buddha atau sebagai Praktisi Buddhis  selalu mengenang, memperingati dan merayakan Hari Trisuci Waisak, yaitu: Kelahiran, Kesempurnaan dan Maha Parinirvananya Guru Agung Sakyamuni Buddha, dan bahkan semua Buddha yang berada di alam semesta. Kehadiran, pengajaran langsung dan sumbangsih seorang Manusia Buddha di muka bumi ini adalah untuk mengajarkan kebenaran, pencerahan dan pembebasan mutlak,  berupa kebenaran konvensional maupun kebenaran mutlak. Utamanya Guru Buddha mengajak semua makhluk untuk ‘membuka 开‘hati, menerima ‘menjelaskan 示’ kebenaran, berjuang ‘mencerahkan 悟’ hati dan ‘memasuki 入’ dunia spiritual untuk mencapai kesucian dan mengembangkan Bodhicitta. Adapun berbagai metode dibabarkan untuk menyadarkan dan mengajarkan bahwa semua makhluk mempunya Hakikat Buddha yang memiliki sumber kebijaksanaan dan pahala unggul, disebabkan diliputi khayalan, pikiran jungkir-balik dan kemelekatan, sehingga para makhluk terbenam dalam lumpur kebodohan dan mengalami penderitaan.

Saat Waisak adalah momentum yang efektif untuk ‘Mengevaluasi’ makna dan tujuan manusia datang di muka bumi ini, sekaligus ‘Merefleksikan’ segala bentuk pikiran, ucapan maupun perbuatan yang pernah dilakukan. Bila dirasakan banyak kekurangan atau banyak melakukan perbuatan bodoh dan menyesatkan, maka ‘Koreksi’ dirilah dengan melepaskan kebodohan, mengembangkan kebijaksanaan, mengendalikan diri dan mengembangkan potensi diri. Untuk mencapai cita-cita mencapai  pencerahan sempurna.

Marilah kita menyimak tulisan “Temukan Jati Diri & Kembangkan Potensi Kebuddhaan.” Penulis menyadari bahwa tulisan ini panjang dan isinya berat, tetapi kiranya tulisan ini sangat bermutu sehingga  jarang ditemukan dan sulit didapat. Diharapkan para penerima Majalah Harmoni atau para pembaca dimana saja berada,  jangan menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk menyimak, dan mempelajari dengan teliti dan seksama. Semoga tulisan ini dapat dipahami dan bermanfaat.

Bila masak air sebentar-bentar apinya dimatikan, maka airnya akan dingin kembali dan sukar untuk mendidih. Bila ia masak air apinya tidak dimatikan sebelum mendidih, maka mudah mendapatkan air panas.Begitupula umat Buddha atau praktisi Buddhis belajar dan praktiknya  tidak bersemangat, tidak mengerti, tidak serius, tidak fokus, tidak ada tekad, tidak sepenuh hati, tidak tulus dan tidak berkesinambungan, maka jangan berharap bisa mencapai tujuan yang diinginkan, seperti pencerahan, dan pembebasan mutlak, yaitu:

Tidak menyadari kebenaran hati, bagaimana bisa melepaskan penderitaan
Tidak menampakkan kesejatian diri (jati diri), bagaimana bisa mencapai pencerahan
Tidak cerah menembusi  karakteristik kekosongan, bagamana bisa terbebas dari siklus tumimbal lahir.

Praktik melepaskan  kondisi duniawi adalah praktisi tingkatan awal
Praktik melepaskan corak hati adalah praktisi tingkatan menengah
Praktik melepaskan karakteristik aku dan miliku adalah praktisi tingkatan tinggi
Praktik melepaskan dan membimbing adalah praktisi tingkatan calon Buddha
Praktik non dualitas yang sudah sempurna paramitanya adalah Guru Buddha

Membina diri tapi tidak membina hatinya, cepat atau lambat pasti berubah jadi siluman; Membina hati tapi tidak membina diri, sulit menghindari cibiran banyak orang.

Hati memohon Dharma ke luar, dinamakan praktisi sempalan; Hati memohon Dharma ke dalam jati dirinya sendiri dinamakan praktisi Buddhis.

Banyak orang mempelajari Buddhadharma bagaikan ia hanya melihat cermin saja tapi tidak mau melihat pantulan cermin itu siapa, bagaimana, dan untuk apa melihat cermin. Umpamanya ia hanya mengetahui isi kitab suci, bisa menerangkan kitab suci, bisa menghafal kitab suci, bisa berdebat soal kitab suci dengan yang lain, tetapi ia belum sadar benar ke dalam dirinya yang tepat sasaran, karena ia tidak mengenal dirinya itu siapa, bagaimana, dan untuk apa ia  mempelajari kitab suci? Pada zaman dulu Guru Buddha mengajarkan Dharma dari hati ke hati langsung tertuju pada penyakit nya dan inti dirinya sendiri. Bila terdapat penyakit maka ia dikasih resep untuk meminum obat agar lekas sembuh dan sehat kembali. Artinya Buddha mengajarkan kebenaran langsung tertuju untuk mengenali hati menampakkan jati diri setiap makhluk. Bila ditemukan banyak penyakit hati maka obati dengan resep Dharma yang efektif. Sekarang ini banyak praktisi hanya pandai melihat jari yang menunjuk bulan tapi tidak berusaha melihat Bulan. Gampangnya hanya mau  melihat bulan di permukaan air saja tidak usah repot-repot mendongak kesana kemari untuk mencari bulan. Apalagi  pergi ke bulan untuk melihat bulan. Lucunya lagi malah ada praktisi yang berjuang menangkap bulan di permukaan air. Bilamana mau mencari Kebuddhaan, seharusnya menemukan kebenaran hati dan menemukan jati diri ke dalam dirinya sendiri. Menampakkan dan menggunakan jati diri sendiri yang murni. .

Di dalam Referensi dari Kamus Bahasa Indonesia: “Jati Diri”  adalah: Inti, Jiwa, Semangat, dan Daya gerak dari dalam, Spiritualitas, Hakikat diri.

Di dalam penjelasan Sutra Intan, Ven Master Huineng mengatakan; Sejak Guru Besar Bodhidharma yang mengajarkan dan menjelaskan Sutra Intan supaya orang-orang langsung menyadari ‘Jati Diri’nya sendiri. Disebabkan orang-orang duniawi tidak menampakkan jati dirinya sendiri, maka melalui ajaran Dharma digunakan untuk menampakkan jati dirinya sendiri.

Patriach ke 5, Ven Master Hung Jen mengatakan:  Tidak menyadari kemurnian hati, belajar Dharma tidaklah bermanfaat. Bila menyadari diri sendiri mempunyai kemurnian hati dan menampakkan jati diri yang murni, maka dinamakan Orang Besar (Mahasattva), Guru Dewa Manusia, dan Buddha.

Bila praktisi Buddhis mampu dan berkenan membaca dan mempelajari seluruh ajaran Maha Tripitaka, maka bisa di ambil inti sari  atau konci utama dari semua ajaran Buddha, yang hanya mengerucut menjadi  empat kelompok besar saja, yaitu: 1. Sebab; 2. Akibat;  3. Hati ; 4. Jati Diri.

Pengertian dan Perbedaan:
Jati diri adalah自性 (Zi Xing): Jati diri  yang diliputi Kebodohan atau kekotoran batin  disebut ‘Karakter kejiwaan atau Tabiat 习性 (Xi Xing)’; Sedang Jati Diri yang Murni disebut “Inti dari Jati Diri, 本性  (Ben Xing), Buddha Natural, juga disebut  ‘Tathagatagarbha 如来藏 (Ru lai Zang) adalah Embrio Buddha atau Esensi Buddha, atau yang umum di kenal adalah “Hakikat Buddha佛性 (Fo Xing)”.

Di dalam Sutra Altar disabdakan: Inti jati diri adalah Buddha, terpisah dari jati diri tiada Buddha.
Jati diri bila bodoh adalah menjadi makhluk awam,; Bila jati diri sudah cerah/terang adalah  Buddha.

唯 心净土,自性弥陀。(Wei Xin Jing Tu, Zi Xing Mi Tuo) ; “Kemurnian Hati adalah Tanah suci; Jati Diri sendiri adalah Amitabha Buddha.”  Hati benar adalah pemilik, sedangkan  hati khayal yang berkondisi adalah tamu. Janganlah hati tamu  mendominasikan hati pemilik, arti hati murni janganlah dinodai oleh hati khayalan atau kesesatan. Hati murni yang disebut hati benar adalah surga sejati. Bila ingin mau dilahirkan di tanah suci, maka sucikan hati, bila hati suci maka  tanah berserta isinya pun jadi suci. Sedangkan pengertian Jati diri adalah Amitabha Buddha, adalah setiap makhluk mempunyai Buddha Natural (jati diri yang murni) dapat mengembangkan kesadaran Buddha, berpotensi jadi Buddha dan kelak bakal jadi Buddha.

Dimanakah jati diri itu berada? dan bagaimanakah perwujudannya? Tubuh manusia  bila tidak bersemayamnya jati diri maka tubuh tersebut akan mati. Jati diri walau ia berada di dalam tubuh, tapi sulit dilihat dengan kasat mata. Bila ia berada di mata ia bisa melihat. Bila berada di telinga ia bisa mendengar. Bila berada di hidung ia bisa mencium. Bila ia berada di mulut ia bisa bicara. Bila ia berada di tubuh ia bisa merasakan sentuhan. Bila ia berada di pikiran ia bisa berpikir. Wujud jati diri sesungguhnya: bukan ada ketetapan, bukan berbentuk, bukan berwarna, bukan berukuran, bukan berupa/menyerupai, bukan ada atau tiada, bukan lama atau baru, bukan bertambah atau berkurang , melampaui semua nama, bahasa dan logika awam. Perwujudan jati diri semuanya dipengaruhi oleh kesadaran dan karma masing-masing. Bagi yang belum terbebas dari kelahiran dan kematian Ia dibungkus oleh kebodohan dan nafsunya sehingga mengembara dari satu tubuh  ke tubuh lainnya berdasarkan bentuk kelahiran  dan  berputar  di alam berikutnya sesuai kondisi karma dan kesadarannya. Bagi yang sudah cerah dan terbebas dari lingkaran siklus tumimbal lahir maka ia akan bercahaya terang sesuai tingkatan kesucian yang dimiliki, serta kemampuan yang ada.

Peran & Fungsi Jati Diri
Jati diri bila bersemayam di dalam tubuh maka tubuh akan berfungsi sesuai organ indera yang digunakan. Bila jati diri berada di mata ia bisa melihat dan menyadari fenomena yang dilihat. Umumnya umat awam setelah melihat memunculkan sensasi penglihatan, sehingga berkelanjut memunculkan diskriminasi  kesan-kesan, perasaan, kecintaan, kemelekatan sehingga menciptakan jeratan dan menodai diri. Akibatnya jati diri yang awalnya murni terbungkus oleh kebodohan dan nafsu khayalannya. Dalam kehidupan  nyata didunia ini, tidak mungkin hati kita tidak timbul bila berhadapan dengan kondisi, lalu bagaimana kita gunakan hati ini untuk menghadapi kondisi yang terjadi disekeliling kita?  Di dalam Sutra Intan, disabdakan: “Janganlah melekat kepada apapun walau hati itu timbul”. Pengertiannya adalah walau kita berhadapan dengan kondisi seperti melihat, mengetahui, mengambil tindakan sesuai yang dibutuhkan, untuk menyelesai masalah yang ada. tapi ingat hati kita tetap harus murni tidak melekat dan ternoda dengan kondisi yang ada.

Umat Buddha bila belum paham, belum mengenal, belum temukan atau tidak menampakkan  jati dirinya sendiri, walau banyak melakukan Buddhsmrth (Nienfo), melafalkan sutra, praktikkan Astanangasila (Atthasila), melaksanakan berbagai sila, semuanya  hanya praktik dipermukaan saja. Bila cuma praktik sampai dengan taraf ini saja maka bakalan  praktik tersebut tidak bermanfaat besar. Sebab melakukan  praktik Buddhasmrth (Nienfo) peroleh sebab akibat, melafalkan sutra peroleh kepintaran, melaksanakan sila dapat dilahirkan di surga, berdana peroleh rejeki keberuntungan, tetapi mencari jati diri atau  Hakikat Buddha nya selamanya tidak diperoleh.

Bilamana dirinya tidak menemukan jati dirinya, dinamakan bukan seorang pakar kebajikan yang mengusai pengetahuan dan kesadaran. Bila tidak mampu menemukan jati dirinya, walaupun menguasai dan dapat bicara berbagai kitab suci dua belas bagian, akan tetapi tidak luput dari arus kelahiran dan kematian berulang di dalam siklus tumimbal lahir. Terjerat di dalam Triloka Dhatu (Alam karma Dhatu, Rupa Dhatu dan Arupa Dhatu) menerima penderitaan, sulit untuk keluar. Dulu pernah ada seorang Bhiksu bernama Shan Sing, mampu melafalkan sutra dua belas bagian, tetapi tidak luput dari siklus tumimbal lahir, kenapa demikian?, sebabnya karena tidak menampakkan jati dirinya sendiri. Bhiksu San Sing sudah menyesal dan mengalaminya. Sekarang ‘Era Kemunduran Dharma’ banyak orang yang hanya membabarkan banyak sutra dan abhidharma yang menganggap sebagai  tujuan dari Agama Buddha, ini adalah perilaku ‘Orang Bodoh’. Karena bilamana orang tidak menyadari hatinya sendiri, menemukan jati dirinya sendiri, melafalkan berbagai  kitab dan sastra semua tidaklah berguna.

Bilamana mau mencari Buddha, hati lurus tertuju untuk menemukan jati diri. Jati diri ini adalah Hakikat diri, Hakikat Diri yang murni adalah Buddha Natural.  Manusia Buddha adalah orang yang leluasa, orang yang tiada masalah dan tidak ada pekerjaan walaupun setiap saat sibuk membimbing dan melindungi semua makhluk (maksudnya walau tubuh Manusia Buddha melakoni kehidupan nyata dan tugas tanggung jawabnya membabarkan Dharma dan menolong semua makhluk, tetapi batinnya suci, Beliau  tidak terjebak, terseret  dan melekat dengan segala aktivitas melakoni dan melaksanakan tugas). Bilamana praktisi tidak melihat atau tidak mengetahui jati dirinya sendiri, melainkan setiap hari sibuk mencari keluar dan memohon agar bertemu dengan Buddha, kiranya salah sasaran dan tidak efektif , sehingga tidak didapat. Walaupun tiada satu materi atau semua urusan yang diperoleh. Bila kita masih gelap belum cerah dan berkeinginan mau temukan Jati Diri maka harus mencari pakar guru yang sudah cerah dan berpengalaman, memohon dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh pembelajaran dan hati dapat memahami. Ingalah urusan hidup dan mati umat manusia adalah urusan yang terbesar, jangan sia-siakan,  bila memanjakan diri, atau menipu diri sendiri maka kelahiran anda di dunia tidaklah bermanfaat.

Para makhluk tidak menyadari dan tidak mengetahui hati sendiri yang murni adalah Buddha. Bilamana mengetahui hati sendiri yang murni adalah Buddha, tidak seharusnya hati keluar mencari Buddha, Buddha tidak menyeberangkan Buddha. Membiarkan hati keluar mencari Buddha, ia tidak mengenal Buddha. Juga Buddha tidak akan bernamaskara kepada Buddha. Juga hati tidak akan melafalkan Buddha. Bilamana berkeinginan mencari Buddha, seharusnya menampakkan jati diri, menampakkan jati diri yang murni itulah Buddha Natural.  Di dalam Sutra Kuan Wu Liang Sou Cing disabdakan: “Hati adalah Buddha, hati menjadi Buddha.”

Hati di bagi dua jenis: 1. Inti Hati (本心) 2. Kesadaran Hati (识心); 1. Inti Hati adalah tiada pemikiran, adalah Buddha; 2. Kesadaran Hati dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a.Pemikiran benar, menjurus ke Jalan Buddha; b. Khayalan hati, menjauhi Buddha (1. Pemikiran bajik mengarah/menjurus ke tiga alam kebajikan: alam dewa, alam manusia dan alam asura; 2. Pemikiran jahat mengarah/menjurus ke tiga alam celaka: alam binatang, alam setan kelaparan, dan alam neraka.

Di dalam Maha Pari-Nirvana Sutra, Guru Buddha bersabda: ‘Aku’ sejatinya adalah Kebenaran Tathagatagarbha. Semua makhluk memiliki Hakikat Kebuddhaan (Jati Diri yang murni) maka disebut “Kebenaran Aku”. Demikian ‘Kebenaran Aku’ sejak dulu senantiasa tertutupi oleh kerisauan yang tidak terbatas, sehingga makhluk-makhluk tidak mampu melihatnya. (Umumnya para makhluk mempergunakan ‘Khayalan Sang Aku’, bukannya “Kebenaran Aku”. Di dalam ajaran Mahayana Buddhis, umumnya Nirvana di sebut: Permanen, Kebahagiaan, Kebenaran Aku,  Kesucian;  Dalam bahasa Mandarinnya disebut: 常chang,乐le, 我 wo, 净cing).

Di dalam Sutra Intan, disabdakan: “Bila mengandalkan rupa melihat ‘Aku’, Mengandalkan suara memohon ‘Aku’ , orang ini mempraktikkan jalan sesat, tidak akan bertemu Tathagata.”; Organ Indera manusia awam hanya bisa melihat rupa tubuh ‘ Khayalan Aku’, tetapi sulit melihat Jati Diri ‘Kebenaran Aku’; Sensasi Indera manusia awam hanya bisa memohon kepada ‘Ilusi Aku’ dengan suara, tetapi sulit memanggil dan memohon Jati Diri  ‘Kebenaran Aku’ .

Di dalam Sutra Kesadaran Sempurna《圆觉经》, disabdakan: Apa yang disebut kebodohan? Putra berbudi! Semua makhluk sejak dulu yang tidak terbatas, dilanda pikiran jungkir terbalik, bagaikan orang bodoh yang tidak bisa membedakan empat arah penjuru (timur, selatan, barat dan utara), dengan khayalan memastikan Catur Maha Bhuta (Empat unsur tubuh, padat, cair, panas dan udara)menjadikan corak tubuh sendiri. Menjadikan kondisi bayangan enam sensasi sebagai corak hati sendiri, diumpamakan mata lagi sakit melihat diangkasa adanya bunga-bunga. Putra Berbudi! Angkasa raya tidak ada bunga, hanya pesakitan memunculkan khayalan dan melekat. Karena disebabkan khayalan dan kemelekatan, maka adanya siklus tumimbal lahir dalam arus kelahiran dan kematian, inilah yang disebut kebodohan. (Karena bodoh tidak menyadari jati diri, sehingga jati diri berkhayal mengira Pancaskandha yang terdiri tubuh dan hati adalah sebagai Sang Aku, mengira khayalan adalah kebenaran, sehingga mengejar kondisi dualitas menciptakan karma, akibatnya mengalami siklus kelahiran dan kematian).

Kesadaran dapat dikelompokkan menjadi delapan:
1. Kesadaran Penglihatan
2. Kesadaran Pendengaran
3. Kesadaran Penciuman
4. Kesadaran Pengecapan
5. Kesadaran Tubuh (sentuhan, perabaan, panas-dingin)
6. Kesadaran Pikiran (Kesadaran Diskriminasi, membedakan)
Dalam Mahayana, dikenal pula:
7. Kesadaran ke-7, disebut Manas/ Mona (Kesadaran Sang Aku, Terjebak dan Melekat Khayalan Aku)
8. Kesadaran ke-8 (Alaya Vijnana/Gudang Kesadaran)

Di dalam Sutra Ta Sheng Mi Yen Cing disabdakan: Kesadaran Alaya, sejak tiada awal dicengkeram oleh tabiat emosi bagaikan air terjun yang mengalir terus, senantiasa mengapung dan bergerak mengikuti angin kondisi, ditambah lagi senantiasa memunculkan ombak kesadaran yang tidak berakhir.

Di dalam Sutra, disabdakan: Tathagatagarbha yang memiliki tiga puluh dua ciri-ciri agung memasuki tubuh semua makhluk, disebabkan kebodohan,  Tathagatagarbha 如来藏 menjadi Gudang Kesadaran 识藏; (Guru Besar Yung Ming Ta She, bersabda: Tathagatagarbha di sebabkan tanpa awal cenderung dinodai dan diliputi oleh tabiat buruk, maka berubah menjadi Gudang Kesadaran; (Gudang Kesadaran juga dinamakan energy kesadaran, ada 8 kesadaran, yaitu: 1. Kesadaran Penglihatan; 2. Kesadaran Pendengaran; 3. Kesadaran Penciuman; 4. Kesadaran Pengecapan; 5. Kesadaran Tubuh; 6. Kesadaran Pikiran; 7. Kesadaran Mona;  8. Kesadaran Alaya.  Di antara berbagai kesadaran, kesadaran alaya sebagai “ Inti Kesadaran”, tujuh kesadaran lainnya  disebabkan kesadaran alaya  yang mengutus sehingga kesadaran lain muncul.  Di dalam Sutra Ta Sheng Ju Leng Chia Cing, disabdakan: Pikiran muncul berasal dari Alaya; Kesadaran terbangkit mengandalkan Mona; Alaya membangkitkan semua hati, bagaikan samudra memunculkan ombak). Maitreya Bodhisattva bersabda: Membedakan adalah kesadaran, tiada membedakan adalah kebijaksanaan; Mengandalkan kesadaran, adalah noda, mengandalkan kebijaksanaan adalah kemurnian; Noda adanya kelahiran dan kematian, kemurnian tiada para Buddha.

Guru Besar Han Shan Ta She di dalam penjelasan Sutra Kuan Leng Chia Cing dijelaskan: Hati sunyi dan senyap dinamakan “Satukan Hati (一心, Hati Manunggal, hati non-dualitas”;  Satukan hati/Hati Manunggal)  disebut Tathagatagarbha, Bodoh terhadap ‘satu hati’ menjadikan delapan kesadaran. Pengertian hati sunyi dan senyap adalah  jati diri yang murni atau disebut ‘Satu Kebenaran Hati’, semua Buddha menembusi hati ini. Sejak dulu para Buddha hanya mengajarkan dan mentransmisikan inti jati diri; Para Guru Besar hanya menunjukkan inti hati secara esoteric (rahasia).

Patriach ke enam dalam Sutra altar, memberikan sabda bahwa: Jati diri dapat berisi puluhan ribu Dharma, dinamakan gudang kesadaran yang berisi. Bila memunculkan pikiran mempertimbangkan maka adalah kesadaran perputaran. Sehingga memunculkan enam kesadaran, dikeluarkan melalui enam pintu, menampakkan enam sensasi, demikianlah delapan belas dhatu. Semua kegunaan berasal dari jati diri. Bila jati diri sesat, memunculkan delapan belas kesesatan; Bila jati diri benar, memunculkan delapan belas kebenaran. Bila digunakan untuk kejahatan,  berimbas berbuat jahat kepada para makhluk; Bila digunakan  untuk kebajikan, maka dipergunakan untuk dunia Buddhis. Bagaimana bisa digunakan? Karena adanya jati diri.

Buddha adalah hati sendiri yang membuatnya, kenapa meninggalkan hati keluar mencari Buddha, sebelum Buddha atau sesudah Buddha, hanya diucapkan dan ditujukan ke hati. Hati adalah Buddha, Buddha adalah hati, di luar hati tiada Buddha, di luar Buddha tiada hati, bagaikan tiada air tiada es, tiada es tiada air. Jika hati ke luar selamanya tiada Buddha yang diperoleh. Mengabaikan hati keluar mencari Bodhi dan Nirvana,  tiada yang bisa diperolehnya.

Di dalam Abhidharma Ta Sheng Chi Sin Lun, disabdakan:’ Kebenaran yang Demikian’ (真如) bila masih terbungkus, dinamakan ‘Tathagatagarbha’; Sebaliknya bila ‘Kebenaran yang Demikian’ sudah keluar dari terbungkus dinamakan “Kesucian Dharmakaya.”

Di dalam Sutra Leng Yen Cing, disabdakan: Mengetahui dan melihat menjadikan pengetahuan, adalah inti dari kebodohan; Mengetahui dan melihat tetapi tiada menampakan, adalah Nirvana, tiada bocor benar-benar murni.

Di dalam Abhidharma Ta Sheng Chi Sin Lun, disabdakan: siapa yang mengalami pencerahan kebenaran, karena inti hatinya sudah melepaskan pikiran, siapa yang menanggalkan corak pikiran sama seperti angkasa raya, Pencerahan ini tiada yang tidak melingkupi, satu perwujudan Dharma Dhatu adalah Tathagata yang memiliki tubuh Dharma kaya yang tidak membedakan.

Patriach Master Bodhi Dharma di dalam Pintu Dharma Menemtramkan Hati, bersabda: ada hati yang diskriminasi membanding-bandingkan sehinga hati sendiri munculkan pertimbangan-pertimbangan, ini bagaikan mimpi; Bila kesadaran hati sudah sunyi senyap, tiada semua pikiran diskriminasi, dinamakan pencerahan yang benar.

Disebut ‘Hati Gila’ bila tidak bisa melepaskan. Jikalau dapat melepaskan disebut Kebodhian; Di dalam Chuan Xin Fa Yao, disebutkan: melepaskan pikiran dan melupakan kerisauan, Buddha Natural akan muncul; Di Dalam Sutra Fo Cang Cing, disabdakan: Para Buddha yang mencapai Anuttara Samyaksambodhi, karena tiada pikiran dan tiada pemikiran. (maksudnya tiada corak pikiran dan tiada pemikiran dualitas)

Di dalam Abhidharma Ta Sheng Chi Sin Lun, di sabdakan: bilamana ada makhluk-makhluk mampu merenungkan tiada pikiran, adalah sudah mengarah kepada kebijaksanaan Buddha. Semua noda dharma (pemikiran yang ternoda)  mengandalkan akar kebodohan sehingga muncul. Akar kebodohan adalah paling awal pikiran yang bergerak. Oleh sebab itu, makhluk-makhluk sejak dulu belum bisa melepaskan pikiran, maka disebut noda dharma adalah wujud tiada pencerahan. Walaupun pikiran mempertunjukkan namun bila memahami tiada pemikiran maka semua kerisauan seketika lenyap. Oleh karena itu, dijelaskan paling awal satu pikiran yang  bergerak memunculkan dualitas adalah asal derita kelahiran dan kematian. Bila praktisi ingin melihat dan mengetahui sebab derita, maka harus mengetahui untuk melepaskan pemikiran, adalah keharusan untuk membina diri.

Guru Besar Kui Fung bersabda: Mencapai pencerahan menyadari semua wujud adalah sunya (kosong), Hati benar karena ‘tiada pemikiran’, Memunculkan pemikiran tapi cerah, seketika cerah pun menjadi tiada. Membina diri dengan pintu ajaib, kiranya demikian, walaupun membina diri bisa dengan puluhan ribu metode, hanya dengan ‘tiada pemikiran’ sebagai prinsipnya. Hanya dengan hati tiada pemikiran, terhadap cinta dan kejahatan jadi datar tidak tertarik lagi, sebaliknya welas asih dan kebijaksanaan akan semakin terang secara natural, karma buruk akan lenyap secara alamiah, praktik kebajikan semakin bersemangat secara natural, sampai pengertian dan pandangan memahami semua bentuk adalah bukan bentuk, mempraktikkan pembinaan tanpa membina. Saat kerisauan sudah titik nadir, putuslah rantai kelahiran dan kematian, timbul lenyap sudah lenyap, ‘sunyi memancar’ menampakkan, dapat digunakan tanpa akhir, ini dinamakan Buddha.

Hati ini adalah Buddha, Hakikat Kebuddhaan  adalah hakikat semua makhluk, hakikat itu tidak ada perbedaan dualitas, saat jadi makhluk hati tidak lenyap, saat jadi para Buddha hati nya tidak bertambah, inti diri sendiri sudah terpenuhi. Bilamana tidak mampu menetapkan keyakinan hati ini adalah Buddha, selamanya berkalpa-kalpa membina diri, akhirnya tidak mencapai buah kesucian.

Di Sutra Avatamsaka, disabdakan: Dharmakaya selamanya    sunyi tenang, suci murni tiada dualitas corak, untuk membimbing semua makhluk, mentransformasikan  beraneka perwujudan, juga dipergunakan segala skandha dhatu, tetapi belum pernah terjebak dan melekat.

Saat bodoh orang mengejar Dharma, saat cerah Dharma mengejar orang, saat cerah kesadaran mengendalikan rupa, saat bodoh rupa mempermainkan kesadaran.

Semua makhluk dasarnya memiliki Hakikat Kebuddhaan, bagaikan air dan es, tiada air maka tiada es, di luar para makhluk tiada Buddha. Para makhluk tidak mengetahui Buddha sangat dekat denganya tetapi memohonnya di kejauhan, bagaikan di dalam air tetapi berteriak haus.

Bergerak dan tenang adalah kesatuan kedemikianan, bukan karena alasan metode cerah, seharusnya mencapainya, melampaui fenomena bergerak dan tenang, ini dinamakan Arya (suciwan). Bergerak tapi sunyi, makhluk adalah Buddha, Sunyi malah bergerak, Buddha adalah  makhluk.

Membalikan kembali ke sumbernya adalah mudah mencapai ‘Rumah’(jati diri), tiada kegaiban yang bisa dikatakan kebanggaan, naturalnya hanya satu jati diri Tathata (kedemikianan), Karena faktor bodoh dan terasa hilang disebabkan satu pikiran membedakan.

Saat  melihat semua orang, tetapi tidak melihat orang-orang punya benar-salah, baik-buruk, ini adalah jati diri yang tidak bergerak, walau bergerak juga tenang (sunyi).

Orang awam selalu hatinya timbul dinamakan eksistensi, praktisi hinayana selalu hatinya lenyap dinamakan tiada, Bodhisattva dan Buddha belum pernah hati timbul, belum pernah hati lenyap, dinamakan bukan eksisitensi bukan tiada hati, bukan ada bukan tiada hati dinamakan “Jalan Tengah”.

Banyak orang bertanya? Hati saya  letaknya dimana? Anda bertanya kepada saya itulah hati anda, saya menjawab anda itulah hati saya. Bila hati saya tiada, bagaimana bisa menjawab pertanyaan anda! Anda bila tiada hati bagaimana anda bisa bertanya kepada saya! Bertanya kepada saya itulah hati anda. Sejak dulu sampai sekarang, masalah sumbangsih dan bergerak kerja, di semua waktu dan tempat, adalah dasar hati anda, adalah Hakikat Buddha anda.

Relung hati sunya sunyi, tiada rupa tiada bentuk, melihat tapi tidak menampakkan, mendengar tapi tiada suara, bagaikan gelap tapi bukan gelap, bagaikan terang tapi tidak terang, melepaskan tapi tidak lenyap, menginginkan tapi tidak timbul.

Bila mencapai pencerahan peroleh taraf Dharmakaya, Dharmakaya adalah tiada corak, tiada pemikiran, tiada kemelekatan, tiada besar tiada kecil, tiada  datang, tiada pergi, tiada suci tiada kotor, seketika tiada Buddha tiada dunia.

Bilamana ada orang takut mati, ia pun tidak bisa menghindari kematian. Kenapa bisa terjadinya kematian, karena disebabkan adanya kelahiran. Bilamana tidak memahami sebab kelahiran, bagaimana ia bisa terbebas dari kematian. Lalu bagaimana bisa adanya kelahiran, karena disebabkan adanya ‘Sang Aku’, dan bagaimana pula bisa adanya Sang Aku?, disebabkan ‘Tidak memahami hati dan tidak menampakkan Jati Diri’, sehingga berkembangnya hati  penuh keserakahan, kebencian dan kebodohan. Semua fenomena  ini adalah khayalan, jangan menganggap kesalahan adalah kebenaran. Bila ingin melenyapkan khayalan, tiada pilihan lain hanyalah  praktik yang mudah, yaitu: Buddhasmrth (Nienfo, mengingat dan melafalkan nama Buddha). Pikiran dilanjutkan pemikiran hanya tertuju kepada Amitabha Buddha, satukan hati, lama kelamaan tidak lagi bersemayamnya Sang Aku. Tiada Sang Aku maka tiadanya kelahiran, inilah mengakhiri kelahiran dan mencapai kebebasan.

Tentu tidak mudah mendapatkan pakar guru yang berpengalaman yang sudah cerah karena menemukan jati dirinya. Tetapi bila orang tersebut memiliki bakat dan jodoh baik, atau mendekati satu Buddha atau Bodhisattva maka ia akan mendapatkan berkah bimbingan memahami makna dan maksud untuk tujuan menampakkan Buddha Natural nya sendiri. Sehingga tidak perlu mencari pakar guru. Bila ia mencari ke dalam dirinya memahami dimana Buddha natural nya adalah praktisi tingkat tinggi. Bila masih belum memahami dan cerah maka dianjurkan untuk belajar dan berlatih kepada pakar guru, bila sudah memahaminya ia harus tekun dan gigih menyempurnakan Kebuddhaannya. Buddha Natural kita adalah tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, yang mutlak, yang maha esa.

Para Arya (suciwan)  saat membina diri, hanya tertuju mendorong hati, karena hati adalah sumber semua kebajikan.Hati adalah pemilik puluhan ribu pahala. Mencapai Nirvana karena  memadamkan hati yang timbul. Triloka Dhatu dan siklus tumimbal lahir berasal hati yang muncul. Hati adalah pintu tiga masa. Hati adalah kunci pembebasan; Mara (iblis) berasal dari hati timbul, Buddha dari hati mencapainya.

Patriach ke-6  Grand Master Hui Neng bersabda: Tidak terpikirkan ‘Jadi Diri’ asalnya murni; Tidak terpikirkan ‘Jati Diri’  intinya tidak timbul-lenyap; Tidak terpikirkan ‘Jati Diri’ itu semua lengkap; Tidak terpikirkan ‘Jati Diri’ itu tidak bergerak bergoyang; Tidak terpikirkan ‘Jati Diri’ dapat memunculkan puluhan ribu Dharma.

Sumber kesucian tidak berada jauh, samudra Jati Diri bukan berada di kejauhan, hanya tertuju ke dalam diri sendiri. Jangan mengikuti dia untuk mencari, kalau pun mencari tidak didapat, didapat pun tidak benar.
Patriach ke enam Grand Master Hui Neng, bersabda: praktik melepaskan jangan lagi mencari pemikiran pelepasan, kalau demikian selama hidupnya tidak melihat kesucian. Jati diri masing-masing melepaskan jeratan‘Lima Nafsu’(ketenaran, keuntungan, kemakmuran, kenikmatan, pelayanan). Menampakkan jati diri dalam hitungan waktu yang sangat singkat adalah kebenaran.

Dalam Shurangama Sutra disabdakan: Mengandalkan tidak timbul tidak lenyap punya sebab yang menyebabkan mempraktikan jalan, ini baru menampakkan tidak timbul tidak lenyap Hakikat Nirvana.

Para makhluk tidaklah berbeda dengan Buddha; Buddhapun tidak berbeda dengan para makhluk; bodoh kepada hati sendiri menjadi makhluk, menembusi atau cerah kepada hati sendiri menjadi Buddha.

Bilamana berkeinginan tidak ada perbedaan dengan Buddha, hanya jangan memohon keluar. Satukan pikiran hati menjadi murni bercahaya, ini adalah di dalam rumah Buddha Dharmakaya.

Hanya satukan hati adalah Buddha, Buddha dan semua makhluk sesungguh tidaklah berbeda, hanya saja para makhluk selalu mencari keluar, mencari keluar berbalik tidak didapat. Bagaimana bisa Buddha mencari Buddha?, gunakan hati menangkap hati?, melewati berkalpa-kalpa menjelma berbagai perwujudan, akhirnya tidak didapat. Banyak yang tidak mengetahui, bahwa hanya istirahatkan pikiran dan lupakan kerisauan, Buddha natural sendiri  akan menampakkan.

Praktik Bodhisattva Kuanyin (Avalokitesvara) gunakan indera telinga yang mencapai penembusan sempurna: Mendengar atau tidak mendengar bukanlah kesejatian pendengaran. Asalnya tidak timbul bagaimana bisa lenyap, saat ada suara adalah sensasi suara hati sendiri yang timbul, saat tiada suara adalah sensasi suara hati sendiri yang lenyap. Namun kesejatian pendengaran tidak mengikuti suara yang timbul, juga tidak mengikuti suara yang lenyap. Pencerahan mengenai kesejatian pendengaran, kemudian menghindari sensasi suara yang memutar balikan, saatnya diketahui kesejatian pendengaran tiada timbul lenyap, kesejatian pendengaran tiada datang pergi.

Di dalam Sutra Se Ti Cing disabdakan: satu pemikiran tidak muncul bagaikan layaknya seorang Buddha. Patriach ke enam Master Hui Neng juga memberikan penerangan tambahan: ada pemikiran memunculkan pikiran menjadi sesat, tiada pemikiran yang memunculkan pikiran adalah kebenaran. Hati membedakan semua perwujudan dharma, membedakan semua yang di luar, gunung, sungai bumi, matahari, bulan dan bintang, sampai manusia, urusan, kebendaan, tetapi hati tidak tergerak, dinamakan tiada pemikiran.  Adalah kebajikan yang dapat membedakan semua corak Dharma namun jati diri sendiri tidak tergerak, dengan tenang menetap kebenaran unggul, dinamakan tiada pemikiran.

Lingkungan dan kondisi tidak ada yang bagus jelek, bagus jelek muncul di hati. Sadari dan mengarah kepada hati sendiri asalnya adalah Buddha, bukan semestinya bertahap, juga jangan dibiarkan dibina, asalnya hakikat itu sendiri demikian kedemikianan, puluhan ribu pahala sudah lengkap.

Dharmakaya siang malam tiada diperoleh pun tiada yang hilang, bagaikan tubuh di dalam samudra laut janganlah mencari air. Setiap hari berjalan mencapai puncak gunung jangan mencari gunung lagi. Di kepala menaruh kepala  lagi berbalik menambah kebodohan.

Hati mengikut perputaran kondisi puluhan ribu, pengalihan demikian nyatanya menjadi kegelapan. Walau mengikuti arus tapi bisa mengenali jati diri, maka tiada kesenangan pun tiada kegalauan.

Perbuatan, ucapan dan pemikiran bila sudah suci  maka Buddha muncul di dunia. Sebaliknya bila perbuatan, ucapan dan pemikiran tidak murni maka Buddha  akan lenyap Semua jenis orang bodoh, seperti orang yang mati kelaparan padahal ia duduk di samping keranjang makanan; Bagaikan orang yang mati kehausan padahal ia berada di dekat air sungai. Bila membangkitkan penglihatan dan menembusi jati diri, satu pikiran bisa mencapai tingkatan Kebuddhaan.

Kesucian tidak perlu dibina, asalkan jangan ternoda. Apa yang menyebabkan ternoda, hanya menyebabkan adanya kelahiran dan kematian. Ternoda itu seperti memunculkan aktivitas, melekat dan bertujuan, ini adalah disebut ternoda.  Bila keinginan yang lurus mencapai kesucian, “Hati Biasa” (hati alamiah tidak di buat-buat) itu adalah kesucian. Bagaimanakah ‘Hati Biasa’(natural hati) itu? Tiada aktivitas yang diciptakan, tiada benar-salah, tiada mendapatkan-melepaskan, tiada binasa-kekal, tiada makhluk awam-suciwan.

Buddha, Buddha, Buddha, Buddha tidak terlihat, satu sinar sempurna di dalamnya tercakup perwujudan puluhan ribu, jasmani tiada jasmani adalah kebenaran jasmani, wujud tiada wujud adalah realita wujud, bukan rupa bukan sunya bukan pula tidak sunya, tidak tergerak tidak tenang tidak berhubungan, tiada perbedaan tiada sama,  tiada ‘ada-tiada’, sulit mendapatkan sulit melepaskan sulit berharap, semua bisa dilepaskan, di dalam di luar terang sempurna mencapai tingkatan pembebasan.
Buddha adalah hati demikian pula hati adalah Buddha, kata hati dan Buddha asalnya adalah khayalan. Bilamana mengetahui tiada Buddha dan tiada hati, sudah mulai menyadari kebenaran kedemikianan dan Dharmakaya Buddha.

Di dalam Sutra Maha Prajna, disabdakan: Para Buddha datang ke dunia, membicarakan hakikat kesejatian adalah kekosongan benar, untuk membimbing para makhluk yang berperasaan. Bila mau mendengar Buddha bersabda jati diri yang murni adalah kekosongan benar, memasuki jalan para Arya (suciwan) peroleh buah kesucian Arya, menjauhi hakikat kesejatian yang kosong, tiada kemudahan lainnya (artinya sulit mencapai kesucian dengan kemudahan lainnya).

Di dalam Sutra Maha Prajna disabdakan: Semua Dharma  seluruhnya tiada realita “ keberadaan”(anatta/ tanpa inti), lepaskan konsep aku dan milik-ku, jadikan tiada kesejatian menjadi jati diri, asalnya hakikat adalah sunya dan sunyi, wujud diri adalah sunya sunyi, hanya ada sekelompok orang bodoh memunculkan perbedaan, sehingga bodoh, konyol dan terbalik pikirannya.

Buddha Dharma yang absolute  mutlak  dan konvensional melebur dengan harmoni, tidak menjadi rintangan. Kemurnian jati diri walaupun tiada bergerak, tetapi tidak buruk bila di gunakan dengan cara-cara mudah, untuk mengembangkan cinta kasih dan belas kasih. Demikian tahapan dikembangkan adalah bagian keseluruhan kemurnian jati diri.

Di dalam Sutra Nirvana disabda: ada Buddha atau tiada Buddha, jati diri senantiasa ada, karena semua makhluk ditutupi oleh kegalauan, sehingga tidak menampakkan Nirvana.

Di zaman Tang, Guru Zen Master Hui Chan bersabda: Di dalam diri sendiri terdapat ‘Mustika’ yang sudah lengkap, walaupun digunakan sesungguhnya bisa leluasa, tidak perlu dicari keluar. Satu saat bisa istirahat saja, mustika diri sendiri mengikuti tubuh mempunyai kegunaan. Sehingga dapat hidup riang. Tiada satu dharma bisa diperoleh, tiada satu dharma yang bisa dilepaskan; Tidak melihat satu dharma berwujud timbul lenyap, tidak melihat satu dharma berwujud datang pergi. Meliputi sepuluh penjuru tiada satu debu pun bukan mustika yang dimiliki sendiri.  Hati sendiri  adalah satu keseluruhan Sang Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha) senantiasa berhadapan dengan diri sendiri.

Buddha natural  bukan karena ada sebab dan kondisi ia ada atau muncul, melainkan ia ada tanpa sebab dan kondisi. Sedangkan  Manusia Buddha yang sempurna, di karenakan ada sebab dan kondisi yang  terbentuk, sehingga ia datang dan pergi,  ada muncul kemudian  lenyap. Sedangkan Manusia Buddha walaupun sudah mangkat Dharmakayanya masih tetap eksis berada di mana-mana, yang berjodoh kan berjumpa, yang belum berjodoh akan bertemu bila di panggil. Karena hakikat sejatinya Dharma tidak datang tidak pergi, tidak kotor tidak bersih, tidak bertambah pun tidak berkurang.

Hati manusia di bagi dua kelompok besar, yang satu timbul lenyap bernuansakan khayal adalah sumber kerisauan; Yang satu lagi adalah hati yang tidak timbul tidak lenyap yang disebut Nirvana adalah sumber kebahagiaan hakiki. Hati timbul mencari keluar kebahagiaan  adalah sumber derita, kenapa hati timbul disebut derita? Karena hati timbul, ia akan melekat, ia akan berubah dan ia akan lenyap; Sedang Hati tidak timbul tidak lenyap adalah sumber kebahagiaan hakiki. Kenapa hati tidak timbul dan tidak lenyap adalah sumber kebahagiaan? Karena hati tidak timbul, otomatis ia tidak melekat, berubah, dan lenyap. Bila gunakan hati timbul lenyap mencari kebahagiaan di luar maka bukan kebahagiaan yang diperoleh sebaliknya derita berpanjangan yang didapat;  Bila gunakan hati yang tidak timbul tidak lenyap itulah kebahagiaan sejati tidak perlu lagi mencari dan mengemis kebahagiaan keluar!

Penutup:
Demikianlah Pesan Waisak BE 2560/2016 yang bertemakan “Temukan Jati Diri & Kembangkan Potensi Kebuddhaan” ini dibuat khusus dalam rangka menyambut dan merayakan Bulan Suci Waisak. Harapannya semoga Hyang Triratna Buddha, Dharma dan Sangha menebarkan Berkah Spiritualitas Waisak yang berlimpah yang menyinari kegelapan dunia dan membangunkan  kesadaran semua makhluk, sekaligus memberikan berkah keselamatan, kearifan, bimbingan dan perlindungan kepada kita semua agar terus bersemangat dan tekun menapak jalan Buddha dan rutin menolong semua makhluk agar bebas dari bodoh dan derita. Akhir kata semoga semua makhluk berbahagia, svaha. Amituofo.