Masih Terpenjarakah Kita?
oleh UP Dharma Mitra (Peter Lim)
“Di dunia ini, apabila seseorang dikuasai oleh keinginan kotor dan beracun, kesedihan niscaya berkembang bagaikan rumput birana, yang tumbuh subur karena tersirami air hujan”Tanha Vagga XXIV : 335.
Penjara merupakan salah satu sarana (alat), untuk menghukum atau menyadarkan segelintir orang-orang, yang tindak tanduknya di luar dari jalur kebenaran. Di dalam penjara ini, nantinya para pelaku kejahatan, menerima sanksi (hukuman) yang disesuaikan dengan derajat kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Yang pasti, di kondisi yang kurang menyenangkan ini, segala bentuk aktivitas jadi serba terbatas, keinginan-keinginan yang didambakan, juga tidak bisa dipenuhi dan di samping itu, apa yang telah direncanakan, tidaklah bisa direalisasikan. Itulah yang disebut dengan penjara duniawi. Singkatnya, sukkha (kebahagiaan) yang dirasakan, kadarnya jauh lebih sedikit dari pada dukkha (derita) yang diterima. Dan di luar dari penjara duniawi ini, masih terdapat lagi sebuah penjara, yang akibatnya jauh lebih dukkha (menderita). Akibatnya, bukan saja bisa dirasakan di kehidupan ini, tetapi juga kehidupan-kehidupan mendatang. Penjara tersebut dikenal dengan sebutan penjara bathin, yang terciptakan oleh kebodohan (moha) diri kita sendiri. Di dalam kitab suci Digha Nikaya III : 230 dan 276, Samyutta Nikaya V : 59 dan Vibhanga 374, disebutkan bahwa salah satu pencetus terbentuknya penjara batin ini adalah upadana (kemelekatan) diri kita akan keduniawian. Dan secara garis besarnya, upadana ini dapat dibagi atas 4 (empat) bagian besar, yang terdiri dari:
A. Kamupadana: kemelekatan akan nafsu indera.
Menurut konsep Buddhis, setiap manusia memiliki 6 (enam) indera, yang terdiri dari :
a. mata
b. telinga
c. hidung
d. lidah
e. jasmani(kulit) dan
f. pikiran.
Yang dimaksudkan dengan kamupadana adalah timbulnya kemelekatan dan keinginan, untuk menguasai (memiliki) atau menghancurkan sesuatu dikala :
g. melihat yang disukai atau tidak
h. mendengar yang menyenangkan atau tidak
i. mencium aroma yang wangi atau tidak
j. mengecap yang enak atau tidak
k.merasakan sentuhan yang lembut atau tidak
l. berpikir yang indah atau tidak.
Terjadinya kemelekatan setelah adanya kontak antara indera dengan objek-objek (sasaran- sasaran) yang tersentuh, itulah penjara. Seseorang yang begitu melekat dengan apa yang dia inginkan, berhasil diraih atau tidak, suatu saat pasti akan menimbulkan derita. Mengapa…? Jika berhasil diraih, dia diharuskan mencurahkan perhatian, untuk merawat dan menjaganya. Dalam hal ini, apakah semua kondisi yang terdiri dari perpaduan unsur-unsur, kekal keberadaannya…? Benda apapun yang berada di sekitar kita, cepat maupun lambat, apakah dikehendaki atau tidak, pasti akan mengalami proses kehancuran. Jika proses kehancuran ini sampai terjadi sedangkan diri kita begitu terlekat olehnya, apakah yang bakal terjadi…? Tiada lain adalah dukkha (derita). Begitu juga sebaliknya, jika tidak berhasil mendapatkan, apa yang telah diidam-idamkan, derita lah yang dirasakan. Mengapa bisa demikian…? Karena kemelekatan yang demikian eratnya mencengkram bathinnya, akan selalu menimbulkan kecewaan, kesedihan dan kefrustasian. Oleh karena itu, agar nafsu indera tidak berkesempatan membelenggu bathin ini, tebaslah setiap wujud (bentuk) dari kemelekatan. Bagaimana caranya…? Caranya yaitu dengan menyadari sebaik-baiknya bahwa benda apapun yang terdapat di alam semesta ini, tidaklah kekal keberadaannya. Dapatpun belum tentu bahagia dan apalagi tidak dapat, logiskah kita terlekat olehnya…? Di dalam sabda-Nya Sang Buddha menyabdakan : “Makhluk-makhluk yang terjerat pada keinginan, meronta-ronta seperti kelinci yang terperangkap oleh pemburu. Mereka yang terjerat dalam belenggu dan ikatan bathin, niscaya mengalami penderitaan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama”.
Berdasarkan pada kesunyataan (kebenaran) ini, masih logiskah kita terbelenggu oleh nikmatnya ikatan ikatan duniawi…?
B. Ditthupadana : kemelekatan akan pandangan salah.
Pandangan salah dalam hal ini adalah tidak bisa menerima atau mengerti, akan kebenaran kebenaran yang berlaku di alam semesta ini.
Kebenaran kebenaran tersebut, misalnya adalah :
a. setiap perbuatan, pasti akan menimbulkan akibat
b. benda apapun yang terdapat di alam semesta ini, tidaklah kekal keberadaannya
c. perbuatan baik akan menimbulkan kebahagiaan dan yang jahat akan menghasilkan penderitaan.
Tidak sedikit dijumpai, yang hanya dikarenakan kesalahan pandangan hidup, seseorang enggan dan menolak, untuk mau berdana (beramal). Baginya, berdana itu adalah suatu perbuatan yang sia sia saja serta mubazir. Dan jika sakit, bukannya segera ke dokter, eeeeh malahan ke orang orang yang bisa kesurupan. Dikarenakan pandangan salahnya, dia pun berkeyakinan bahwa orang orang yang bisa kesurupan adalah orang orang yang hebat, pilihan dan suci. Apakah benar demikian…? Didalam konsep Buddhis ditegaskan, bahwa seseorang yang mengalami kesurupan atau tubuhnya bisa disusupi oleh makhluk makhluk dari alam halus, tidaklah terlepas karena sati (kesadaran) nya sangat lemah sekali. Sati (kesadaran) ini, istilah awamnya dikenal dengan sebutan roh atau arwah. Mengapa sati (kesadaran) ini bisa melemah…? Faktornya adalah :
d. kekuatan kebajikan yang dimiliki telah mulai berkurang, yang bisa saja dikarenakan tidak pernah berbuat
baik atau suka melakukan perbuatan perbuatan jahat .
e. suka memakan atau meminum, sesuatu yang mana bisa menyebabkan hilangnya kesadaran/menimbulnya
ketagihan (kecanduan), misalnya : jenis jenis obat penenang (morphin, ganja, ekstasi atau minuman minu
man berkadar alkohol tinggi).
Berdasarkan pada fakta kebenaran ini maka bagi seseorang yang tubuhnya, bisa disusupi oleh makhluk makhluk dari alam halus, tidaklah akan bisa meraih proses kesucian di kehidupan ini. Singkatnya, orang orang yang tubuhnya bisa disusupi oleh makhluk makhluk dari alam halus adalah jenis orang orang yang pantas dikasihani. Hingga saat ini, bagi anggota Sangha (persaudaraan para bhikkhu/ni) yang “vinaya : peraturan peraturan yang dipedomanin “nya terawat dengan baik, tidak akan ada peluang sedikitpun bagi makhluk makhluk dari alam halus, untuk bisa (mampu) menyusupi tubuh (jasmani) mereka. Selanjutnya, pandangan salah yang cukup dominan kita dengar adalah “orang baik, pada umumnya lebih menderita dari pada orang jahat “.
Didalam kitab suci Anguttara Nikaya I : 227, Sang Buddha menyabdakan : “Sesuai dengan benih yang telah ditabur, demikianlah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapat kebajikan (kebahagiaan) dan pembuat kejahatan akan memetik kejahatan (penderitaan) pula. Tertaburlah olehmu biji biji dan engkau pula yang akan merasakan buah buah dari padanya.” Berdasarkan pada sabda Sang Buddha ini, tidaklah mungkin perbuatan baik akan menimbulkan penderitaan, sedangkan perbuatan jahat mengakibatkan kebahagiaan. Kalau disaat berbuat jahat, seseorang kelihatannya berbahagia, semuanya bisa saja terjadi, tidaklah terlepas karena:
f. dia lagi menikmati hasil dari karma (perbuatan) baik, yg pernah diperbuat dimasa sebelumnya.
g. bisa saja luarnya kelihatan bahagia, tetapi dalamnya siapa tahu….?
Sesuai dengan konsep hukum karma, apapun yg diperbuat maka itulah yang akan dipetik (diterima) hasilnya. Menanam jambu maka jambulah yg akan dipanen, dan tidaklah mungkin menghasilkan kelapa. Dan siapapun yg menyemai kejahatan, pasti akan dicengkram oleh kekecewaan, ketakutan dan kecemasan. Mungkinkah kondisi kondisi ini menimbulkan kebahagiaan…….? Selanjutnya, di dalam agama Buddha ditegaskan pula bahwa kebahagiaan itu, bukan hanya bisa dinikmati di alam manusia tetapi juga di alam Dewa, Brahma atau Nibbana (Nirvana). Setiap makhluk yang terlahirkan (berada) di salah satu dari 31 alam kehidupan adalah disesuaikan dengan kekuatan dari karma (perbuatan) yang dimiliki. Kalau kwantitas (jumlah) karma (perbuatan) nya, tidak sesuai lagi di alam manusia, apakah di inginkan atau tidak, maka dia diharuskan pindah ke alam lain, yang disesuaikan dengan kekuatan dari karma (perbuatan) yg dimiliki. Ibarat memiliki uang yang jumlahnya hanya 50 juta maka rumah yang didiami, bentuknya adalah sederhana. Tetapi jika suatu saat, uangnya telah mencapai ratusan juta maka dikondisi ini, akan membuat dirinya mencari rumah yang jauh lebih indah dan mewah, dari yang sebelumnya. Jadi bisa disimpulkan, bahwa kematian di usia yang dini dikala berbuat baik, akan membuka peluang bagi diri seseorang, untuk terlahirkan di alam yang lebih baik, dibandingkan yang sebelumnya. Didalam sabdaNya, Sang Buddha menyabdakan bahwa lebih baik hidup sehari, yang dipenuhi dengan kebajikan, daripada hidup ratusan tahun lamanya, yang dicengkram oleh kejahatan. Hidup yang senantiasa dipenuhi oleh kejahatan, akan menjerumuskan diri seseorang ke lautan “ samsara : kelahiran dan kematian”, yang tiada akhirnya. “Selama perbuatan jahat belum menghasilkan buah, orang sesat menganggapnya manis seperti madu. Tatkala perbuatan itu menghasilkan buah, ia niscaya mengalami penderitaan” Bala Vagga V : 69. Jadi, berdasarkan pada fakta kebenaran ini, perbuatlah kebajikan sedini mungkin dan yakinilah dengan sebaik baiknya, bahwa kematian itu bukanlah suatu hal yang menakutkan atau merupakan jalur yang akan menuntun kita, untuk terlahirkan di alam derita.
C. Silabbatupadana : kemelekatan akan upacara upacara.
Yang dimaksud dengan silabbatupadana adalah suatu pandangan salah, yang meyakini bahwa dengan hanya memberikan (meletakkan) persembahan persembahan (sajian sajian), di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa, akan bisa mendapatkan pahala pahala atau berkahan berkahan. Dan yang lebih fatal lagi adalah mempersembahkan daging dagingan (sebagai hasil dari pengorbanan makhluk hidup) di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa. Apakah hal ini pantas atau logis dilakukan…? Di dalam kitab suci ditegaskan bahwa salah satu syarat utama, agar kita bisa terlahirkan /mendiami alam “suggati : bahagia “ adalah dengan mengembangkan “metta : cinta kasih universal “, yang mengharamkan segala bentuk kebrutalan, kekejaman, kesadisan dan pembunuhan. Tanpa adanya pengembangan cinta kasih yang sifatnya universal, maka alam “suggati : bahagia “, tidaklah mungkin bisa dicapai atau kesucian akan jauh keberadaannya. Cara yang terbijaksana menghaturkan persembahan persembahan di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa adalah dalam bentuk sayur sayuran atau buah buahan. Logikanya, jika persembahan daging dagingan rutin dihaturkan maka yang namanya makhluk makhluk suci, akan segera kabur dari tempat tersebut dan tidaklah mungkin sanggup bertahan untuk jangka waktu yang lama, ditempat itu lagi. Dan tidak tertutup kemungkinan, tempat tersebut akan dipenuhi (diisi) oleh makhluk makhluk, yang kesadarannya jauh lebih rendah daripada manusia. Makhluk makhluk yang kesadarannya di bawah alam manusia adalah peta (setan), asura (raksasa/jin), niraya (neraka) dan tiracchana (hewan). Sedangkan makhluk makhluk yang kesadarannya, di atas alam manusia (makhluk makhluk suci) adalah para Buddha, Arahat, Bodhisattva, Brahma dan Dewa. Jadi, persembahan persembahan (sajian sajian) dalam bentuk apapun (daging dagingan, sayur sayuran atau buah buahan), yang diiringi dengan sejumlah pengharapan pengharapan, mis : ingin mendapatkan kekayaan, jodoh, kekuasaaan atau kesucian adalah merupakan pandangan yang salah. Semuanya itu adalah wujud dari pengharapan yang sia sia saja. Didalam agama Buddha, terdapat 4 (empat) jenis persembahan wajib, yang selalu dihaturkan, di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa. Ke empat persembahan wajib tersebut adalah:
a. air yang melambangkan kerendahan hati atau kesucian (menyucikan “kilesa kilesa : kekotoran kekotoran batin “ dari kegelapan ke jalur yang terang)
b. lilin yang melambangkan penerangan
c. bunga yang melambangkan ketidak-kekalan dan
d. dupa yang melambangkan harumnya kebajikan yang diperbuat.
Dari ke empat persembahan wajib yang tertera di atas, tidak satupun yang bermakna atau mengandung unsur meminta (bagaikan pengemis) atau mendambakan hal hal yang diluar dari kelogikaan. Makna sesungguhnya dari persembahan, yang dihaturkan di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa adalah untuk mengikis kesombongan diri, dengan menyadari bahwa segala sesuatunya, tidaklah kekal keberadaannya. Oleh karena itu, tidak ada satu kelebihan pun, yang pantas disombongkan ! Disamping itu, jadilah pelita di dalam kehidupan ini, yang mana bisa menuntun atau menerangi siapapun juga, agar terbebas dari aneka bentuk kejahatan, melalui banyaknya kebajikan yang diperbuat. Persembahan (sajian) apapun yang dihaturkan, di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa, yang perlu direnungkan adalah
e. janganlah dari hasil pembunuhan
f. janganlah sampai terdapat unsur barternya. Misalnya dengan mengutarakan “ “JIKA PERMINTAANKUTERKABULKAN MAKA AKAN KUPERSEM-BAH-KAN, YANG LEBIH LUAR BIASA LAGI !”, ini adalah salah satu contoh dari ungkapan (janji) yang sangat salah, yang tidak sesuai dengan konsep Buddhis !
g. jadikanlah persembahan tersebut, hanya sebagai wujud rasa terima kasih (katannukatavedi) dan mengurangi ke EGOIS an serta meningkatkan tekad untuk menimbun kebajikan sedini mungkin.
“Orang tersucikan, bukanlah karena kelahiran (keturunan) atau harta benda, melainkan perbuatan, pengetahuan, dharma (kebenaran), kesilaan (moral yang baik) dan penghidupan yang luhur ,” Samyutta Nikaya, Sagathavagga 147.
D. Attavadupadana : kemelekatan akan ke egois an
“”Semakin banyak yang diketahui maka akan semakin banyak pula, yang tidak diketahui “. Dari pribahasa yang singkat ini, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa, tidak ada seorangpun yang serba tahu atau sempurna, di dalam kehidupan ini. Dan berdasarkan pada kebenaran ini, pantaskah kita melekat dengan ke EGOIS an diri…? Terlahir kaya, pintar, berkuasa, sehat dan lain sebagainya, pantaskah dilekati atau disombongkan…? Tanpa adanya dukungan atau timbunan karma (perbuatan) baik, yang telah disemai di kehidupan kehidupan sebelumnya, tidaklah mungkin kita bisa menikmati kelebihan kelebihan disaat ini. Mengapa ke EGOIS an bisa timbul….? Ke EGOIS an bisa timbul, umumnya karena adanya kebanggaan yang berlebihan atas kelebihan kelebihan yang telah dimiliki, misalnya terlahir kaya, pintar, cantik dan berkuasa. Menyombongkan kelebihan kelebihan yang telah dimiliki, cepat maupun lambat, akan menuntun seseorang ke liang derita.
Fakta telah membuktikan bahwa orang yang ke EGOIS an sangat menonjol, akan mudah sekali mengalami frustasi, kecewa dan patah semangat. Kalau kaya, dia hanya akan memanfaatkan kekayaannya, untuk melampiaskan kepuasan dirinya semata mata. Dan dengan kepintarannya, dia selalu memperdaya pihak lain. Kerupawanan yang dimiliki, hanya dimanfaatkannya untuk menghancurkan pihak lain dan jika berkuasa, otoriternya luar biasa, siapa yang menentang maka akan langsung disingkirkan. Di akhirnya, apakah yang akan terjadi….? Tiada lain yang akan dia rasakan, selain dari pada penderitaan. Jadi, attavadupadana dalam kondisi dan keadaan yang bagaimanapun juga, tidaklah akan memberikan dampak yang positif, disamping menimbulkan penderitaan yang berlarut larut. Oleh karena itu, agar terbebas dari kondisi yang tidak baik ini, sadarilah dengan sebaik baiknya bahwa kemelekatan akan apapun juga (termasuk diri sendiri) adalah derita. “ Kamehilokamhi na hatthi titti : di dunia ini, tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu inderawi “, Majjhima Nikaya, Majjhima pannasaka 451.
Kesimpulan
Setelah beragama Buddha sekian tahun lamanya dan belum juga merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, mengapakah kondisi ini bisa terjadi….? Kondisi ini bisa terjadi, tidaklah terlepas karena bathin kita masih terpenjara. Terpenjara dalam hal ini, maknanya adalah terbelenggu atau buta sama sekali, akan fakta fakta kebenaran. Yang benar bisa saja dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Bagaikan si buta yang jalannya meraba raba dan pasti cenderung melakukan kesalahan kesalahan, itulah gambaran yang sesungguhnya, bagi seseorang yang bathinnya terpenjara. Penjara bathin yang membuat diri kita menderita, pada umumnya adalah:
a. Kamupadana : kemelekatan akan nafsu indera.
Adanya keinginan untuk mau memiliki (menguasai) atau menghancurkan dikala melihat, mendengar, membaui, mengecap, merasa dan berpikir, itulah kemelekatan akan nafsu indera, yang pasti berdampak negatif (penderitaan). Tetapi jika kita bisa mengontrol diri agar indera kita, tidak sampai terlekat oleh objek objek (sasaran sasaran) yang tersentuh, maka yang namanya “dukkha : derita”, tidak akan berkesempatan lagi mendera bathin kita.
b. Ditthupadana : kemelekatan akan pandangan salah.
Agar ditthupadana ini bisa dihindari, milikilah sedini mungkin makna dari kebenaran, dengan mau mempelajari, menyelami dan mengamalkan dharma (kebenaran) di setiap derap langkah yang akan dilalui. Umat Buddha yang telah mengenal Buddha Dharma, tidak akan mencari hal hal yang aneh jika sakit. Dia tidak akan mencari dukun atau orang yang bisa kesurupan, untuk menangani sakitnya. Pilihan utamanya, hanya kepada seorang dokter dan memakan obat yang telah diresepkan. Dan jika ingin berlindung maka perlindungannya, hanyalah kepada Sang Tri Ratna (Sang Buddha, Dharma dan Sangha) serta para Bodhisattva Mahasattva lainnya. Dia tidak akan mencari perlindungan, yang diluar dari kelogikaan, misalnya pada benda benda keramat, dukun dukun atau orang orang yang katanya sakti, yang mana bisa kesurupan ini dan itu.
c. Silabbatupadana : kemelekatan akan upacara-upacara.
Agar terbebas dari kondisi yang salah ini, yakinilah terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya, bahwa persembahan persembahan (sajian-sajian) yang dihaturkan di hadapan altar suci Para Buddha, Bodhisatva dan Dewa, bukanlah untuk mendapatkan ini dan itu, di kemudian hari. Di samping itu, persembahan-persembahan yang diberikan, janganlah sampai terdapat unsur pembunuhan (mis. : daging-dagingan). Persembahan-persembahan yang sepantasnya dihaturkan dialtar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa adalah dupa (melambangkan harumnya kebajikan), lilin (melambangkan penerangan ke jalur yang benar), bunga (melambangkan ketidak-kekalan), air (melambangkan kerendahan hati/kesucian), buah-buahan (melambangkan buah-buah karma (perbuatan) yang baik) dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, persembahan-persembahan yang dihaturkan di altar suci Para Buddha, Bodhisattva dan Dewa adalah untuk memotivasi dan menyadarkan diri kita, agar senantiasa mau berbuat dan berlaku, yang baik-baik.
d. Attavadupadana : kemelekatan akan ke egois an.
Agar terbebas dari kondisi ini, sadarilah dengan sebaik-baiknya bahwa tiada suatu makhluk pun, yang belum mencapai kesucian, yang lahir sempurna di alam semesta ini dan juga tiada satupun kelebihan kelebihan yang telah dimiliki, pantas dan logis disombongkan. Mengapa……? Semuanya tidaklah kekal keberadaannya dan suatu hari kelak, apakah diinginkan atau tidak, pasti (harus) ditinggalkan.
Semoga dengan terbebasnya diri kita dari penjara bathin ini, hidup yang terjalani penuh dengan hal-hal yang baik, bermanfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain. Sabbe satta sabba dukkha pamuccantu – sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia….sadhu,….sadhu,….sadhu,……
http://cahayakebahagiaan.tripod.com/masih_terpenjarakah_kita.html