Apakah ‘Aku’ ada?
Seseorang mengira “si Aku” itu ada, karena ia mau meyakini dirinya ada.
Lalu siapa yang meyakini “Aku” itu ada?
Apakah “aku” yang meyakini bahwa “Aku” itu ada?
Apabila demikian, ada berapa “Aku” di dalam diri?
Apakah “aku” harus ada terlebih dahulu untuk merasa “Aku” itu ada, atau ketika merasakan “Aku ada”, maka “Aku” menjadi ada?
Mana yang lebih dahulu “Aku” atau “merasakan”?
Kalau “Aku” terlebih dahulu ada mendahului perasaan, maka dengan demikian aku ada dengan tidak merasakan. Kalau si aku “tidak merasakan”, bagaimana ‘Aku’ bisa merasakan bahwa ‘Aku’ ada?
Kalau “merasakan” lebih dahulu ada dibandingkan ‘Aku”, maka “Aku” timbul hanya karena perasaan bahwa “Aku” ada. Lalu siapa sebenarnya yang merasakan?
Jika ada dua ‘Aku’, “yang mengamati” dan “yang diamati”, siapakah ‘Aku’ “yang diamati” saat ‘Aku’ yang satunya “yang mengamati”? Bukankah ketika ia berada di luar “Aku” maka ia bukan “Aku” lagi, tapi jadi “liyan” (orang lain). Begitu juga sebaliknya. Karena itu ketika ada “Aku” yang satu mengamati “Aku” yang lain atau “Aku” yang satu diamati oleh “Aku” yang lain, maka “Aku” sebenarnya hanya sudut pandang atau perspektif. Kalau ia adalah sudut padang atau perspektif, maka ia berubah-rubah tergantung pada situasi.
Sebelum kamu tergesa-gesa menyimpulkan, aku mau menambahkan: kalau gitu apakah “ada” itu sendiri? Siapakah yang bisa merasakan sesuatu itu “ada” kalau bukan karena adanya “Aku”? Lalu bagaimana “Aku” bisa adalah “ada”, jika yang merasakan “ada” atau “tidak ada” adalah “Aku” itu sendiri?
Oleh karena itu, teman-teman, Kalau “Aku” lenyap, maka “ada” pun akan padam. Begitu juga ketika “ada” padam, maka “Aku” pun lenyap. “Si Aku” tidak lain adalah “si ada” maupun “si tiada” itu sendiri.
Jalan Buntu untuk ‘Ego’
Wawancara dengan YM Master Sheng-yen oleh Carter Phipps
WIE: Menurut Buddhisme Ch’an, apakah ego itu?
Guru Sheng-yen (GSy): Dalam Buddhisme Ch’an gagasan ego berputar di sekitar gagasan keterikatan atau kemelekatan. Sejatinya ego itu tidak ada. Ia dihasilkan sebagai akibat dari keterikatan pada tubuh dan kemelekatan pada gagasan-gagasan seseorang atau sudut pandang sendiri. Tetapi karena baik tubuh maupun batin adalah tidak kekal dan selalu berubah dari waktu ke waktu, kemelekatan kita kepadanya selalu berubah-ubah juga. Dan dikarenakan kemelekatan ini berubah-ubah, ego juga berubah. Jadi dari perspektif Ch’an, ego tidak ada sebagai entitas yang permanen, yang tidak berubah. Ego tidak ada berdiri sendiri terpisah dari kemelekatan yang berubah-ubah pada seseorang ke tubuhnya dan gagasannya.
WIE: Apa maksud dari melampaui ego?
GSy: Ada dua cara yang berbeda untuk mencapai transendensi dari ego. Salah satunya adalah pengalaman, yaitu melalui mengalami transendensi diri. Dan ini dapat dilakukan melalui praktik, latihan meditasi duduk dan menyelidiki koan [pertanyaan paradoks]. Dimungkinkan untuk mencapai pengalaman ini tanpa praktek, namun hal demikian sangat jarang; kebanyakan orang perlu melakukan praktik. Maksud dari praktik semacam ini pada dasarnya adalah untuk mendorong ego ke sudut hingga tiada lagi tempat lain untuk pergi. Ego tidak dapat melarikan diri ke manapun.
Jadi ego dan metode yang Anda gunakan untuk melampaui ego saling bertentangan secara langsung satu sama lain. Seperti yang saya katakan, ego didasarkan pada kemelakatan–kemelekatan kita pada tubuh dan gagasan-gagasan. Oleh karena itu, metode melampaui ego adalah untuk mengatasi kemelekatan ini, meletakkan kemelekatan ini. Tatkala ego terpojok dan tidak bisa lari ke manapun lagi, satu-satunya yang dapat dilakukan adalah dengan meletakkannya. Dan tatkala seseorang meletakkan ego, maka itulah pencerahan.
WIE: Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut bagaimana menyelidiki koan dapat membantu untuk “menyudutkan ego”?
GSy: Dalam metode ini, Anda sebenarnya tidak sedang mencoba untuk memecahkan koan tersebut. Sebaliknya, metode tersebut meminta pada koan untuk memberikan jawabannya. Sebuah koan mungkin seperti, “Apakah wu [ketiadaan] itu?” Jadi Anda terus-menerus bertanya dan meminta koan untuk memberikan jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi sebenarnya, tidak mungkin untuk menjawab. Tentu saja, dalam proses bertanya, pikiran Anda akan memberikan jawaban, tapi apa pun jawaban Anda dapatkan harus Anda tolak. Dan Anda semata-mata tinggal dengan metode ini-terus bertanya dan terus menolak apa pun jawaban yang muncul dalam pikiran Anda. Pada akhirnya Anda akan mengembangkan sensasi keraguan (doubt sensation). Anda tidak akan sanggup bertanya mengenai koan lagi. Bahkan, tidak ada artinya lagi untuk bertanya. Maka tidak ada yang harus dilakukan kecuali pada akhirnya meletakkan diri dan itulah ketika pencerahan muncul di hadapan Anda. Tetapi apabila Anda bertanya tentang koan dan Anda hanya menjadi lelah, apabila Anda tidak dapat menemukan jawaban dan sehingga Anda berhenti, ini bukan pencerahan. Hal demikian hanyalah kemalasan.
Cara kedua untuk melampaui ego adalah cara konseptual. Hal ini terjadi ketika muncul perubahan tiba-tiba dan menyeluruh dalam sudut pandang seseorang. Hal ini dapat terjadi, misalnya, ketika seseorang membaca sebuah sutra atau mendengarkan ceramah dharma. Dengan seketika, seseorang dapat tercerahkan. Tapi agar hal demikian terjadi, seseorang harus terlebih dahulu memiliki hasrat mengetahui jawaban atas pertanyaan, “Apakah ego itu, apakah diri itu?” Mereka harus sudah terlibat dengan pertanyaan ini dalam pikiran mereka sendiri. Dan kemudian, ketika mereka menemukan sebuah kalimat tertentu, mereka tiba-tiba dapat mengenali jawaban dan seketika mencapai pencerahan. Salah satu contoh yang sangat baik adalah Patriark Keenam, Hui Neng. Beliau mendengar satu kalimat dari Sutra Intan dan tercerahkan. Namun, bagi orang yang tidak pernah berpikir tentang permasalahan dan pertanyaan ini dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang tidak peduli tentang apakah ego itu dan tidak memiliki keinginan untuk mengetahui apakah diri itu, ini tidak akan terjadi. Mendengarkan kuliah dharma atau membaca sutra saja tidak akan membantu mereka
WIE: Apa peran guru dalam membebaskan murid dari egonya?
GSy: Pertama-tama, hal yang paling penting adalah bahwa murid itu harus benar-benar ingin tahu apa hakikat dari ego. Mereka perlu memiliki hasrat yang membara untuk tahu. Lalu, apa yang seorang guru dapat lakukan adalah memberikan siswa itu metode atau alat untuk menyelidiki, serta menunjukkan kepada mereka bagaimana cara menjalani praktik dengan metode ini. Banyak murid yang mungkin telah memiliki metode, namun tidak dapat menggunakannya dengan baik. Sehingga guru dapat menunjukkan pada murid bagaimana menggunakan metode mereka dengan baik, selain juga menunjukkan pemahaman konseptual dan sikap yang benar sesuai kebutuhan mereka dalam menjalani praktik mereka. Dan apabila siswa itu memiliki keinginan yang kuat untuk memahami hakikat diri sejati mereka, maka metode akan menjadi bermanfaat. Mereka akan dapat melihat bahwa diri ini yang didasarkan pada kemelekatan adalah ilusi. Tidak nyata. Dan ketika mereka menyadari hal ini, mereka juga akan melihat bahwa ego itu tidak ada.
WIE: Dalam buku terbaru Anda ”Subtle Wisdom,” Anda menulis, “Kadang-kadang pikiran mengalami sesuatu yang dikiranya sebagai pencerahan, tetapi sebenarnya hanya ego dalam keadaan sangat bahagia.” Bisakah Anda menjelaskan perbedaan antara kedua pengalaman ini –antara pencerahan asli dan kondisi semata-mata karena ego, seperti yang Anda katakan, “dalam keadaan sangat bahagia”?
GSy: Pengalaman akan kebahagiaan bisa juga menjadi bagian dari pencerahan; seseorang dapat merasa bahagia apakah mereka tercerahkan atau tidak. Akan tetapi, biasanya ketika seseorang dalam kegirangan ini, kebahagiaan ini, itu karena, pada saat itu, orang itu tidak merasa terbebani lagi oleh tubuhnya atau oleh pikiran dan emosi, maka orang itu merasa sangat tentram. Namun, hal ini bukanlah pembebasan. Seseorang mungkin merasa sangat ringan; hal ini tidak berarti apapun. Sebuah perasaan sangat damai, girang, bahagia tidak sama dengan pencerahan. Pencerahan adalah ketidakmelekatan pada sudut pandang apapun atau tidak memiliki kemelekatan apapun pada tubuh. Tidak ada beban sama sekali, dan itulah mengapa orang akan merasa bahagia. Sebagai contoh, Buddha Shakyamuni, setelah pencerahan-Nya, duduk di bawah pohon bodhi selama tujuh hari untuk menikmati kebahagiaan, sukacita dharma dari pembebasan itu. Tapi seseorang bisa merasakan kebahagiaan tidak peduli apakah ia tercerahkan atau tidak tercerahkan. Jadi kita harus mampu membedakan hal ini.
WIE: Dalam buku Anda selanjutnya Anda mengatakan bahwa ego ini berada dalam keadaan sangat bahagia dapat terjadi dikarenakan, “ego bahkan mungkin dikenali sebagai menyatu dengan alam semesta atau keilahian.” Bisakah Anda menjelaskan apa yang Anda maksudkan?
GSy: Perasaan menyatu dengan alam semesta tersebut sebenarnya adalah salah satu jenis samadhi [absorpsi meditasi], hasil dari konsentrasi mendalam, dan tatkala seseorang berada dalam tahap ini, mereka mengenali seluruh alam semesta adalah sama seperti dirinya sendiri. Yang terjadi adalah ia memperluas ego kecilnya menuju ke luar, untuk mencakup semua sudut pandang, untuk mencakup semua alam semesta dan segala isinya. Jadi pada titik ini, seseorang tidak akan lagi memiliki gagasan-gagasan atau pikiran egois yang bersifat individu, yang biasanya muncul dari egoisme sempit. Bahkan, seseorang mungkin mengalami kekuatan yang luar biasa yang dihasilkan dari samadhi ini, kekuatan yang berasal dari gagasan bahwa “alam semesta itu sama dengan saya.” Orang yang memiliki realisasi demikian seringkali dapat menjadi pemimpin agama yang sangat besar.
Akan tetapi, Sang Buddha, setelah pencerahan-Nya, tidak mengatakan, “Aku pusat alam semesta.” Tidak juga Beliau menyatakan bahwa ia mewakili seluruh alam semesta. Apa yang Beliau katakan adalah bahwa Sang Buddha hadir untuk mendorong semua makhluk hidup untuk melihat bahwa ego itu berasal dari kemelekatan, dan apabila kita semua dapat melepaskan kemelekatan ini, maka kita akan terbebaskan. Dan Sang Buddha melihat dirinya sebagai seorang teman, seorang teman yang bijaksana bagi semua makhluk hidup, yang mendorong mereka untuk memahami bahwa ego berasal dari kemelekatan serta mendorong semua orang untuk berpraktik, melepaskan kemelekatan ini.
Oleh karenanya, dalam Nirvana Buddha, tiada lagi kemunculan dan tiada lagi pemadaman. Tidak ada Diri –tidak ada Diri besar, tidak ada diri kecil –dan inilah pencerahan sejati. Inilah pencerahan Buddha.
WIE: Jadi, apabila seorang individu disamakan dengan alam semesta sebagai keseluruhan, dalam kasus ini, masih terdapat kemelekatan pada ego yang belum dilepaskan oleh orang tersebut?
GSy: Ya.
WIE: Beberapa patriark agung Ch’an dan Zen terkenal sebagai guru sangat galak yang akan berusaha dengan keras untuk mencapai hasil dan menggunakan tindakan yang sangat ekstrim untuk membebaskan murid mereka dari ego. Dalam buku Anda, Anda menulis tentang bagaimana beberapa guru Anda sendiri juga sangat keras dengan Anda. Apakah dikarenakan kemelekatan kita pada ego yang sedemikian mendalam dan sedemikian kuatnya, maka para master yang mulia ini butuh menggunakan cara-cara ekstrim demikian untuk membuat murid mereka melampaui ego?
GSy: Sebenarnya, tidak semua orang membutuhkan metode yang keras. Jenis metode yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan individu si murid dan kondisi saat itu. Penentuan waktu adalah sangat penting. Misalnya, tatkala saya mengajari murid-murid saya, saya hanya menggunakan metode keras apabila dibutuhkan. Seringkali saya lebih banyak menggunakan cara menyemangati, khususnya bagi murid pemula. Bagi mereka yang telah berlatih untuk beberapa saat, yang telah memiliki keyakinan kuat akan praktiknya namun masih memiliki kemelekatan pada ego, maka saya akan menggunakan beberapa metode yang lebih keras untuk membantu mereka maju. Tapi dibutuhkan seorang guru yang sangat berpengalaman, yang sangat baik, untuk mengetahui kapan waktu yang tepat menggunakan metode tersebut.
WIE: Bagian lain dari buku Anda berbunyi, “Jika rasa kedirian Anda kuat, padat, dan dahsyat, maka Anda tidak mungkin dapat mengalami pencerahan.” Apa yang Anda maksudkan dengan ini? Mengapa sulit bagi seseorang dengan rasa kedirian yang kuat, atau apa yang orang Barat sebut sebagai “ego yang kuat,” untuk mengalami pencerahan?
GSy: Tidaklah selalu benar demikian, bahwa orang dengan ego yang sangat kuat tidak dapat tercerahkan. Bahkan, mereka yang tahu bahwa mereka memiliki ego yang kuat, pada kasus tertentu, sebenarnya adalah calon terbaik untuk mempraktikkan Buddha-dharma. Anda lihat, ada tipe orang yang sangat egosentris namun pada saat yang sama memiliki keinginan yang kuat akan pencerahan. Karena keinginan yang kuat, mereka secara alami akan sangat tidak bahagia dan tidak puas dengan memiliki ego besar, dan sikap demikian baik untuk praktik mereka. Bila Anda memiliki ego kuat demikian, Anda harus rela melakukan sesuatu terhadapnya. Jadi orang seperti ini bisa menjadi kandidat yang baik untuk berlatih dan belajar Ch’an.
Kemudian ada juga individu yang memiliki apa yang kita sebut ego yang lebih lemah atau lebih lembut. Hal ini dapat membantu mereka, tetapi hanya apabila mereka masih sungung-sungguh ingin mengatasi ego mereka. Apabila tidak demikian, mereka tidak akan semakin maju mendekati pencerahan, karena mereka tidak akan memiliki kepercayaan diri dalam praktik. Mereka tidak akan memiliki ketekunan dalam berlatih. Namun apabila seorang individu yang memiliki ego yang lebih lemah atau lebih lembut dan masih memahami bahwa mereka harus berlatih dengan tekun untuk mengatasinya, maka kita bisa mengatakan bahwa orang-orang ini, dikarenakan mereka memiliki keinginan yang kuat akan pembebasan maupun ego yang lebih kecil, mereka lebih dekat dengan pencerahan.
WIE: Saat ini banyak guru spiritual Barat percaya bahwa jalan spiritual tradisional, termasuk Buddhisme, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan para pencari modern. Secara khusus, mereka merasa bahwa dibutuhkan psikoterapi untuk melengkapi latihan spiritual mereka dalam rangka mengatasi kemelekatan emosional mereka dan persoalan ego mereka. Apakah Anda juga merasa bahwa jalan Ch’an tidak lengkap dalam mengatasi penderitaan para pencari modern dan bahwa seseorang lebih baik disarankan untuk mempertimbangkan pendekatan-ganda ini – psikoterapi dan spiritual—dalam pencarian mereka akan pencerahan? Atau praktik spiritual saja, apabila dilakukan dengan tulus dan tekun, cukup untuk membebaskan kita dari ego?
GSy: Terdapat dua permasalahan berbeda di sini. Pertama, individu yang memiliki masalah psikologis yang sangat berat tidak dianjurkan menggunakan metode Ch’an. Ini tidak baik bagi mereka. Bila mereka sekadar ingin belajar meditasi duduk untuk pemula, kami akan mengajarkannya dan mereka akan menuai faedah darinya, misalnya kesehatan yang semakin membaik. Namun, orang dengan masalah [kejiwaan] berat harus pergi ke dokter untuk memulihka mereka sebelum memulai praktik Ch’an.
Akan tetapi, pada umumnya, bagi individu yang tidak memiliki masalah kejiwaan yang parah, praktek Ch’an sudah cukup. Tidak perlu mencari bantuan seorang psikiater atau terapis. Bahkan, kadang-kadang psikiater atau terapis datang dan meminta bantuan saya.
WIE: Dalam tiga puluh tahun terakhir ini, terdapat banyak guru yang berpengaruh, yang memiliki pemahaman dan pengalaman spiritual mendalam, serta telah menarik minat sejumlah besar siswa, akan tetapi pada akhirnya reputasinya rusak dikarenakan pembusukan dan skandal, kadang-kadang dengan cara yang sangat mencengangkan. Apakah mungkin bahwa pengalaman dan pemahaman spiritual, pada kasus tertentu, sebenarnya dapat menguatkan ego?
GSy: Sulit untuk dikatakan demikian. Sebenarnya aku tidak ingin mengomentari hal ini. Ini adalah masalah. Ada beberapa individu yang berpikir bahwa mereka tercerahkan, bahwa mereka terbebaskan, dan mereka juga memiliki gagasan bahwa setelah mereka terbebaskan, sehingga mereka tidak membutuhkan moralitas apapun lagi, mereka merasa tidak perlu lagi menegakkan sila [kewajiban dasar yang dilakukan oleh umat Buddha] lagi. Dan menurut pemahaman Buddhisme saya –-di sini, saya hanya bisa berbicara untuk diri saya sendiri—kami meneladani Buddha Shakyamuni, dan apabila kita melihat Sang Buddha setelah Beliau tercerahkan, Beliau tidak mabuk-mabukan. Beliau tidak bergaul bebas dengan wanita, ‘meniduri’ di sana sini, dan menipu uang orang lain. Dan itulah yang kita teladani. Para master Ch’an Cina menekankan pentingnya menegakkan sila [aturan-moralitas].
WIE: Untuk semuanya, guru maupun murid?
GSy: Dalam sutra, kitab suci Buddha, disebutkan bahwa apabila Anda benar-benar tercerahkan, secara natural Anda tentu akan menegakkan aturan.
WIE: Anda adalah seorang guru yang dihormati yang memiliki murid di Taiwan dan di Barat, di Amerika ini. Beberapa guru spiritual Barat dan psikolog, yang telah kita singgung dalam masalah ini, mengatakan bahwa ego orang Barat berbeda dari ego orang Timur—bahwa orang Barat lebih melekat pada diri individu dan identitas pribadi. Apabila hal ini benar, secara teoritis, maka pada umumnya seharusnya lebih mudah bagi orang Timur untuk mencapai pencerahan dibandingkan Orang Barat. Apakah Anda setuju dengan hal ini? Apakah menurut pengalaman Anda demikian?
GSy: Belum tentu demikian. Semuanya bergantung pada apakah Anda memiliki keinginan akan pencerahan — apakah, seperti yang telah saya katakan, Anda benar-benar ingin memahami hakikat ego.
WIE: Menurut Anda inilah kunci keberhasilannya?
GSy: Ya, ini kuncinya. Anda mungkin memiliki ego yang lemah atau kecil, tetapi apabila Anda tidak peduli akan hal ini dan Anda tidak memiliki keinginan yang kuat, maka Anda takkan semakin dekat dengan pencerahan.
Jebakan ‘Ego’: Ambisi Spiritual
Umumnya, orang meyakini bahwa keduniawian dan spiritualitas adalah dua kondisi yang pada hakikatnya bertentangan. Dengan memandang demikian, mereka merengkuh kegairahan baru ketika berpetualang memasuki pengalaman spiritual. Kegairahan tersebut menjanjikan bahwa dengan mempraktikkan suatu metode spiritualitas tertentu, tanpa peduli dengan alasan di baliknya, seseorang dianggap menjadi kedap dari keduniawian. Asumsi ini mungkin tak terlalu keliru bila seandainya dunia spiritualitas dan sekuler adalah dua kondisi yang benar-benar bertentangan. Tapi apakah benar demikian adanya?
Hong Yingming, seorang pertapa di jaman Dinasti Ming berpendapat bahwa alasan seseorang mempraktikkan spiritualitas dapat mempengaruhi diri seseorang. Dalam tulisannya “Percakapan Akar Sayuran” (diterjemahkan oleh Thomas Cleary dengan judul “Back to Begining”), ia berkata: “Orang dapat meninggalkan keduniawian setelah melepas ambisi duniawi. Orang dapat memasuki kebijakan setelah melepaskan ambisi spiritual”.
Melalui kata-kata sederhana ini, Hong Yingming berusaha mengingatkan pada manusia bahwa menjadikan tujuan spiritual sebagai ambisi dapat menghambat kebijaksanaan. Ia hendak menyampaikan pesan bahwa, baik “ambisi duniawi” dan “ambisi sipritual,” keduanya dapat menghambat kebijaksanaan seseorang.
Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Hong Yingming sebagai ambisi spiritual? Pernyataan ini menjadi menarik, karena ia menyebutkan adanya “ambisi spiritual”, di samping “ambisi duniawi.” Hal ini mengesankan adanya dua “ambisi” yang berbeda. Seolah-olah, lepas dari ambisi duniawi seseorang belum tentu lepas dari suatu tipe ambisi lain yang siap menjebaknya.
Dalam memandang masalah ini, saya berkesimpulan bahwa Hong Yingming hendak mengatakan bahwa: “ambisi duniawi” maupun “ambisi spiritual” tidak ada bedanya. Dalam hal ini, ia hendak mengatakan di balik ambisi sipiritual terselip ambisi duniawi lainnya. Kedua-duanya adalah ambisi, meskipun memiliki keduanya digolongkan secara berbeda oleh pandangan yang sesat.
Ambisi dapat dilihat sebagai dorongan untuk mencapai suatu hasrat atau keinginan obsesif tertentu dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan. Seseorang yang dikuasai oleh ambisinya menjadi kehilangan kendali atas dirinya, karena setiap perilakunya semata-mata diarahkan untuk mencapai ambisinya semata.
Oleh karena itu, ambisi dapat menjebak seseorang untuk menjadi melekat akan dorongan sesaat, sehingga akhirnya justru menciptakan kemerosotan pada batin seseorang.
Akhir-akhir ini, “ambisi spiritual” dimengerti secara keliru sebagai dorongan yang mulia, terutama oleh beberapa praktisi spiritual yang melakukannya semata-mata jenuh akan aktivitas sehari-harinya baik sebagai pekerja, pelajar, pengusaha ataupun ibu rumah tangga. Sebagai manusia modern yang hidup dalam sistem kapitalisme, yang kesehariannya disiapkan hanya untuk melayani kepentingan ekonomi, timbul rasa hampa dalam dirinya. Kehampaan tersebut kemudian mendorong mereka untuk berpetualang dalam berbagai aktivitas yang berbeda. Sebagian darinya kemudian memilih praktik spiritual sebagai cara pelarian tersebut.
Memasuki dunia spiritual, mereka kemudian secara tak sadar menggunakan pendekatan dalam dunia kapitalisme yang penuh persaingan dan prestasi sebagai cara mereka mengejar “ambisi spiritual.”Dalam hal ini kemudian mereka terjebak untuk menjadikan spiritualitas dalam bentuk level-level yang dikemas ke dalam bungkus instan. Maka muncullah kemudian format yang bunyinya kurang lebih demikian: “Latihan metode A akan mencapai level 1, dilanjutkan pelatihan metode B untuk mencapai level 3, dan seterusnya.”
Bukan hanya itu, ambisi spiritual dapat muncul pada beberapa praktisi yang tidak mengikuti pola di atas namun menunjukkan cara berpikir berikut:
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan meraih kekuatan gaib tertentu, menjadi manusia super yang berada di atas semua manusia.” Ketika seseorang berpikir demikian, maka ia dikuasai oleh hasrat akan kekuasaan atas orang lain dan segala hal. Ia dijangkiti oleh ambisi untuk berkuasa melalui kekuatan supernya. Jika kemudian ia mencapai kekuatan gaib tertentu, ia berusaha memamerkannya agar dikagumi oleh orang lain. Selain itu ada juga yang kemudian tenggelam dalam ambisi untuk mencapai kekuatan super sebagai satu-satunya tujuan.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan menjadi guru yang memiliki banyak pengikut.” Dengan memimpikan sebagai guru yang dipatuhi oleh murid-muridnya dan mengharapkan didengarkan oleh banyak orang tanpa penolakan, ia akhirnya terjebak pada hasrat akan kekuasaan atas orang lain.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan menjadi orang yang mampu menjawab semua persoalan: maha tahu.” Dengan berharap menjadi maha tahu, ia akhirnya terjebak pada hasrat akan kepemilikian atas pengetahuan.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya dapat menulis banyak kata-kata bijak yang kemudian membuat saya menjadi terkenal.” Dengan berharap menjadi dikenal oleh banyak orang, ia akhirnya terjebak pada hasrat akan kekuasaan atas orang lain.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan menjadi pihak yang selalu benar dan tidak pernah salah.” Dengan berharap yang paling benar dan tak terbantahkan, ia akhirnya terjebak pada hasrat akan kekuasaan atas orang lain.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan dapat memenuhi tujuan-tujuan pibadi saya dengan lebih mudah.” Dengan berharap memenuhi kebutuhan pribadinya, ia akhirnya terjebak ambisi keduniawian.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan berhak menggurui orang lain.” Dengan berpiki inging mengguri orang lain, ia akhirnya terjebak pada hasrat akan kekuasaan atas orang lain.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya berhak berbuat semaunya.” Hanya ada kekuasaan di balik hak untuk berbuat semuanya, karena itu siapa yang berpikir demikian dibaliknya adalah hasrat kekuasaan yang menguasainya.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan menguasai rahasia tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.” Dengan berkeyakinan demikian, ia akan berbuat untuk memiliki rahasia dan merasa rahasia yang dipegangnya menjadikan ia lebih berkuasa daripada orang lain.
“Dengan mencapai tingkat pemahaman spiritual tertentu saya akan menjadi orang suci yang berbeda dengan manusia awam.” Dengan berpikir demikian, ia meyakini dirinya istimewa, dengan meyakini dirinya istimewa ego kediriannya menjadi menonjol, sehingga dengan demikian ia menjadi terikat dengan hasrat kepemilikan akan diri.
Oleh sebab itu, “ambisi spiritual” dapat mempengaruhi siapapun tanpa mempedulikan airan metode apa pun yang dipraktikkannya. Kadang-kadang ia muncul dalam bentuk yang paling halus sebagai “cita-cita mulia” yang dibaliknya tersimpan hasrat akan kekuasaan dan kepemilikan. Karena itu, “ambisi spiritual” sulit dikenali. Sebabnya adalah, orang yang dijangkit oleh “ambisi sipiritual” seringkali diikuti dengan usaha menipu diri. Maka untuk mengenali ambisi spiritual di dalam dirinya, seseorang harus lepas dari kecenderungannya untuk menipu diri.
Kondisi yang kurang lebih sama dengan “ambisi spiritual” yang saya maksudkan di atas adalah penjabaran Chögyam Trungpa, seorang master meditasi Tibetan, mengenai spiritiual materialism. Menurut Chögyam Trungpa, pandangan spiritual materialism:
“Memperdayai diri kita dengan membuat kita mengira sedang berkembang secara spiritual ketika malahan kita sedang memperkuat egosentrisme kita melalui teknik-teknik spiritual.”
Seperti apakah bentuk penipuan diri tersebut? Proses penipuan diri berusaha meyakinkan pelakunya dengan mengatakan bahwa dirinya tidak lagi memiliki hasrat kekuasaan atau kepemilikan apapun lagi, karena ia telah berusaha menolak keduniawian dan berusaha menjadi bijaksana. Ia merasa ambisi tersebut cukup dihapus dengan tekad dan keyakinan diri yang kuat. Cara berpikir demikian membuat ia menjadi tidak peka lagi dengan ambisi yang ada dalam dirinya. Akhirnya, setiap ambisi tersebut muncul dalam dirinya, ia berusaha menolaknya.
Dafter Referensi:
1. Apakah aku ada?; By Tonny
2. Jalan Buntu untuk Ego; Wawancara dengan YM Master Sheng-yen圣严法师oleh Carter Phipps
3. Jebakan Ego: Ambisi Spiritual; By Tonny
Master Sheng-yen (圣严, atau Zhang Baokang, 张宝康) (1930 – 2009) adalah seorang tokoh Buddhis, intelektual keagamaan. Master Buddhisme Ch’an China generasi ke-57 aliran (Jepang: Rinzai) dan generasi ke-3 Master Xu-yun (Awan Kosong). Dalam silsilah Caodong (Jepang: Soto), beliau adalah master generasi ke-52 dan keturunan langsung dari Master Dongchu (1908-1977). Master Sheng-Yen adalah pendiri Dharma Drum Mountain, sebuah organisasi Buddhis yang berbasis di Taiwan.