Corak & Manfaat Berdana

(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Sthavira)

PENDAHULUAN

Manusia awam yang masih di liputi kebodohan, terjerat cinta dan terbenam oleh nafsu indera pasti akan terus berproses tumimbal lahir tanpa mampu menentukan kelahiran selanjutnya. Umumnya mereka terlahir kembali berdasarkan karma dan kesadarannya yang membentuk corak kehidupan, ragam kemampuan, jodoh pertalian dan kondisi kehidupannya masing-masing yang satu sama lain berbeda sehingga memiliki rupa, penampilan, perilaku, karakter kejiwaannya dan kondisi keluarga maupun bentuk kehidupannya yang berbeda sesuai dengan hukum sebab akibat karma masa lampaunya dan mesti dilakoni saat sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya, misalnya bodoh-pintar, sehat-sakit, normal atau abnormal, kaya-miskin atau kondisi-kondisi lainnya yang umumnya memiliki perbedaan. Semua kondisi kelahiran kita bukan ditentukan oleh peran ‘Sang Pencipta’ melainkan semua hasil karena terbentuk dari sebab akibat yang dilakukan oleh diri sendiri, berkaitan dengan diri sendiri dan berdampak untuk diri sendiri. Umat Buddha yang telah memahami realitas kebenaran ajaran agama Buddha tentu tidak percaya dan tidak pasrah dengan adanya pameo ‘Takdir, Suratan, Cobaan, atau Kutukan’  yang sudah ditentu oleh Sang Pencipta, melainkan semua bentuk dan kondisi kehidupan kita karena dipengaruhi oleh kekuatan dan keadilan ’Hukum Sebab-akibat’. Semua akibat karena adanya sebab, sebab baik menghasilkan kebahagiaan, sebab buruk menghasilkan penderitaan. Bila saja kehidupan kita sekarang susah dan sulit, bertobatlah dan perbaiki nasib jangan lagi menyalahkan orang lain, pasrah atau pesimistik. Sebaliknya bila hidup kita serba berkecukupan, senang dan lancar, bersyukurlah dan ungkapkan rasa terima kasih, janganlah terlena, lupa diri dan terlalu optimistik, perbanyaklah kebajikan, karena segala yang terbentuk tidaklah kekal, terus berubah dan tidak menentu.

Ajaran Buddha yang dikenal luas dan dalam senantiasa mengajarkan umat manusia untuk memahami, menentukan dan memperbaiki nasib dengan melakukan banyak kebajikan yang dimulai dari kebajikan ke dalam dirinya sendiri, yaitu: memperbaiki pandangan, pemikiran, ucapan dan perbuatan. Sedangkan kebajikan keluar yaitu tidak berbuat bodoh dan jahat kepada semua makhluk, melainkan gemar melakukan kebajikan berdana, misalnya berdana uang (materi), berdana Dharma (ajaran agama/kebaikan), dan berdana bantuan non-materi seperti tenaga, nasehat, pemikiran, pengabdian, pelayanan dan sebagainya untuk kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk.

Manusia awam yang masih terbenam dalam proses tumimbal lahir, dan masih menyenangi dunia Saha ini maka utamakanlah perbuatan kebajikan, karena tanpa kebajikan dipastikan terjatuh di tiga alam yang menyedihkan. Ketahuilah perilaku aneka kebajikan mendatangkan keberuntungan beragam, sedangkan perilaku segala kejahatan mendatangkan kemalangan bervariasi, baik kehidupan sekarang maupun kehidupan yang akan datang.

Tentu orang yang telah sadar dan hidup penuh kebijaksanaan pasti gemar berdana, tetapi bagaimana orang yang belum sadar dan hidupnya belum bijaksana? Apakah dengan mengenyam pendidikan formal atau keterampilan, rajin bekerja dan berusaha saja kehidupannya akan membaik dan bisa makmur? Apakah kehidupan tanpa kebajikan bisa merubah nasib? Bagaimana pula melakukan kebajikan yang benar dan bermanfaat? Ladang kebajikan apa yang paling baik dan subur untuk ditanami? Manfaat-manfaat apa yang bisa didapat dari melakukan kebajikan? Juga bagaimana menetralisir batin kita setelah banyak melakukan kebajikan? Tentu pertanyaan-pertanyaan kritis ini perlu dijawab dengan menampilkan klarifikasi penjelasan di dalam artikel ini demi berkembangnya kegemaran, semangat dan kerajinan dalam aktivitas berdana yang dilandasi kebijaksanaan. Untuk itu, silakan disimak tulisan ini dengan tenang dan terang untuk memahami ‘Corak dan Manfaat Berdana’.

MAKNA & PENGERTIAN ‘DANA PARAMITA’

Pengertian akan makna “Dana Paramita” adalah sebagai berikut:

Kata ‘Dana’ secara harfiah berarti ‘Pemberian’. Persamaan arti lain, ‘Kedermawanan’, ‘Pembebasan’, ‘Amal’, dan ‘Kemurahan hati’.

Guru besar Zen Patriach ke-6 Venerable Hui Neng pernah bersabda: ”Ke dalam hati melepaskan keserakahan dan kekikiran, sedangkan keluar memberikan manfaat kepada semua makhluk, maka disebut berdana”.
Sedangkan pengertian kata ‘Paramita’ adalah  ‘Kesempurnaan’, secara harfiah, istilah ‘Parami’ dianggap berasal dari kata ‘Parama’, berarti perilaku luhur penuh dengan kesucian atau praktik-praktik agung. Semua Bodhisattva atau calon Buddha harus mengembangkan sifat-sifat luhur dan praktik agung ini di dalam banyak kehidupan yang lama sekali, setelah itu mereka baru mencapai tingkat kesucian tertinggi dalam pelaksanaan kebajikan yang berlimpah sehingga mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha. Singkatnya ‘Dana Paramita’  adalah sebuah perilaku kedermawanan yang dilandasi kemurahan hati dalam melaksanakan kebajikan amal yang berlimpah dengan dilandasi hati murni untuk mencapai kesempurnaan Buddha.

Di dalam ajaran Buddha, praktik berdana merupakan ‘praktik utama’ untuk berkembangnya kualitas spiritual, yaitu berkembangnya sifat kedermawanan dan pelepasan. Bila praktik kedermawanan ini dilakukan secara baik, benar dan berkesinambungan akan melemahkan sifat dan karakter yang bernuansa keegoisan, keserakahan, kebencian dan membantu keuletan pikiran yang dapat melenyapkan kegelapan batin. Secara Universal praktik berdana merupakan salah satu perilaku keluhuran umat manusia yang fundamental, sesuatu tindakan kebajikan yang dilandasi panggilan hati nurani dan ketulusan hati mengembangkan kepedulian untuk keselamatan atau melenyapkan penderitaan makhluk lain.

Segala berkah rejeki, keberuntungan, kemuliaan dan pembebasan yang diperoleh semua berasal dari praktik berdana. Para Bodhisattva menyempurnakan dana paramita sampai tingkat tertinggi, rela memberikan harta, tahta, kehidupannya bahkan anggota tubuh dan nyawanya sekalipun untuk membantu makhluk-makhluk yang membutuhkan.

MEMAHAMI MAKSUD & TUJUAN BERDANA

Untuk memahami maksud dan tujuan berdana, marilah kita sejenak merenungkan gatha ini:
“Bila tidak pernah menanam bibit, bagaimana kelak mengharapkan buahnya?
Bila ladang yang ditanami tidak subur, bagaimana mengharapkan tanaman bisa tumbuh berkembang?
Bila tanaman tersebut tidak dirawat, bagaimana kelak bisa mengharapkan panen berlimpah?
Sama juga bila kita tidak pernah berdana, bagaimana mengharapkan ada rejeki dan keberuntungan?
Bila berdana ditempat tidak subur dan baik, bagaimana rejeki keberuntungannya bisa berkembang?
Bila hati tidak ikhlas dan senang, bagaimana rejeki keberuntungannya bisa berlimpah ruah?”

Hukum sebab akibat yang dikenal Hukum kebenaran mutlak meliputi alam semesta. Setiap wujud makhluk, kondisi maupun harkat martabat kehidupan semuanya berasal dari pertalian sebab akibat. Setiap perbuatan  baik atau buruk  akan menimbulkan akibat. Besarnya atau kuatnya akibat tersebut tergantung dari niat, cara dan tujuan yang menyertainya. Karena perpaduan antara niat, cara dan tujuan itulah yang disebut karma. Semakin kuat tekad  seseorang dan perilaku yang berkesinambungan, maka semakin besar tenaga karma yang tercipta, semakin besar akibat yang akan diterima di masa mendatang.

Hyang Buddha adalah Guru Agung jagat raya yang telah mencapai pencerahan sempurna memahami hukum kebenaran sebab akibat tiga masa, Beliau mengatakan bahwa segala kemakmuran dan kemuliaan berasal dari sebab berdana dan moralitas, sedangkan akibat dari kemiskinan dan kehinaan karena sebab dari kekikiran dan kecongkakan. Berdana bukan asal berdana atau hanya sekedar berdana melainkan ada yang perlu diperhatikan sebelum berdana, saat berdana dan sesudah berdana. Kualitas kebajikan berdana semua dipengaruhi oleh tiga kondisi yaitu: 1. Bagaimana kondisi hati si pemberi dana (sikap, maksud dan tujuannya berdana?); 2. Ragam jenis dana yang diberikan (dana sulit, dana biasa saja atau dana hanya sekedar saja?); 3. Kondisi penerima dana (makhluk suci, makhluk awam, atau makhluk jahat/cacat). Umumnya umat awam berdana tanpa dilandasi pengetahuan dan kesadaran yang memadai, sehingga cetusan niat baik hatinya hanya sekedar kasihan dan sedikit peduli saja, juga dilakukan hanya berkala dan tidak berkesinambungan sehingga buah kebajikannya tipis yaitu keberuntungannya seret dan sedikit.

Lagi pula kecenderungan umat awam berdana umumnya bersifat pamrih, terjebak dan melekat, misalnya berdana satu piring buah di hadapan altar Buddha tapi doa permohonannya banyak sekali, juga bila berdana kepada seseorang tapi ada pamrihnya yaitu mengharapkan balasannya atau setidak-tidaknya penerima dana harus menghormati, memprioritaskan, atau mengingat nama dan budi kebaikannya. Juga sering terjadi pemberi dana suka mendikte, menyuruh atau merendahkan si penerima dana karena pemberi dana berpikiran bahwa penerima dana sudah berhutang budi jadi layak harus mengikuti selera atau kemauan si pemberi dana.

Perlu diketahui, perilaku ini bukan murni berdana melainkan lagi berupaya nyogok dengan alasan berdana untuk memohon segala keinginannya bisa terkabul, juga dana pamrih bukanlah dana murni melainkan ‘dana nabung’ yang kelak ingin mendapatkan kembali dana kebaikannya beserta perhitungan bunga-bunganya sekian persen. Apabila perilaku berdana dengan persyaratan yang dikehendaki atau untuk mendapatkan pelayanan yang istimewa dan spesial maka itu bukan berdana melainkan memberi uang persen atau uang jasa.

Sedangkan Karakter berdana yang berkualitas adalah ‘Tanpa Corak, Tanpa Syarat, Tanpa Pamrih dan Tiada Kemelekatan’ (Cetusan kehendak mau berdana adalah kebajikan, menyiapkan dana adalah kebahagiaan,  berdana tanpa syarat adalah kearifan, berdana dengan hormat adalah kemuliaan, saat berdana adalah jasa pahala, setelah berdana hati kembali murni tiada corak pemberi dana, penerima dana, dan bentuk dana yang diberikan; dana demikian disebut dana murni yang disebut kebajikan murni atau kebajikan agung), dan tujuan paling utama berdana adalah mencapai paramita kesempurnaan Buddha.

CORAK BERDANA

Dalam melatih kemurahan hati sering kali kita mendengar keluhan, “Bagaimana saya dapat berdana untuk orang lain, sedangkan memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri saja belum cukup! Bukannya saya yang harus berdana melainkan saya harus bisa menerima pemberian dana dari orang lainnya”.

Menghadapi dilema tersebut. Ada suatu ulasan yang sangat menarik disampaikan oleh ‘Venerable Master Shi Yun’, Beliau menjelaskan berdana tidak harus selalu uang atau materi semata. Kita dapat memberikan dana dalam banyak bentuk yang penting ada niat untuk memberi. Kalau kita memiliki materi yang cukup atau berlebih, kita dapat dengan mudah memberikan materi kepada orang-orang yang susah atau membutuh bantuan tersebut. Mungkin dana materi yang kita berikan tersebut bagi kita tidak terlalu berarti tetapi bagi orang lain belum tentu demikian. Terkadang materi yang kita berikan tersebut, itulah yang memang merupakan harapan mereka atas belas kasih dari kita. Karena ada orang yang kalau tidak dibantu mereka akan bertambah susah dan menderita. Hal ini memang sangat menyedihkan. Inilah realita kehidupan.

Kita tidak boleh berpikiran sempit dan dangkal. Apa yang di alami dan terjadi pada mereka itu adalah karma mereka dan mereka yang harus menanggung sendiri. Mengapa saya harus perduli? Lagi pula saya tidak ada hubungan keluarga atau saudara sama sekali dengan mereka. Malahan di antara mereka ada yang sering menyusahkan hidup orang lain. Tentu kita harus berjiwa besar bisa memaklumkan bahwa mereka hanyalah  manusia awam yang masih diliputi banyak kebodohan, sehingga belum bisa terbebas dari aksi dan perilaku kejahatan karena tidak menyadari hukum sebab akibat yang berkelanjut, akibatnya mengalami kesusahan dan penderitaan besar. Sedangkan orang baik tentu bernasib baik pula sehingga kehidupan mereka serba kecukupan bahkan bisa lebih, mana lagi mereka membutuhkan bantuan kita, sehingga kita tidak memiliki kesempatan berbuat kebajikan berdana materi kepada orang-orang kaya, hanya saja orang kaya masih memerlukan dana Dharma untuk membimbing mereka ke jalan baik dan benar. Perlu kita ketahui, bahwa bukan hanya manusia saja yang perlu kita bantu, melainkan semua makhluk yang berjodoh dengan kita seperti melihat hewan sakit saja kita harus iba dan kasihan dengan berupaya menolong, mengobati, merawat atau memeliharanya. Sebagai umat Buddhis yang mempraktikkan Buddhadharma tentu kita diajarkan untuk mengembangkan cinta kasih dan welas asih untuk peduli, menyayangi dan menolong kepada semua makhluk. Misalnya jikalau kelak suatu hari  kita mengalami kemalangan, kesusahan atau penderitaan, kita pun mungkin mengharapkan bantuan orang yang lain. Ingat, kita hidup tidak sendirian tetapi ada banyak makhluk berada di sekeliling kita. Walaupun setiap makhluk satu sama lain memiliki karma yang berbeda-beda, tapi kehidupan semua makhluk saling berkaitan satu dengan yang lain, untuk itu sewajarnya kita saling menghormati, saling peduli, saling membantu mengatasi kesusahan mereka atau turut merasa gembira apabila mereka bisa bahagia.

Seperti korban bencana alam. Akibat keadaan tersebut mereka kehilangan keluarga, harta dan penghidupan. Mereka bukan hanya membutuhkan materi baik berupa makanan, minuman, pakaian, tempat penginapan yang layak, tetapi juga penghiburan dan wejangan Dharma untuk membangkitkan semangat hidup yang sudah remuk redam. Apalagi pemandangan di sekeliling mereka hanyalah puing-puing reruntuhan bangunan dan perabotan rumah tangga yang sudah hancur atau rusak. Selain itu banyak korban yang mengalami cedera, cacat maupun telah meninggal dunia, sehingga mereka terkenang dan selalu mengingat orang yang dikasihi telah meninggalkan mereka atau musibah ini menambah kesusahan dan penderitaan panjang mereka. Siapapun yang melihat atau menyaksikan tragedi ini pasti akan merasa sedih, terenyuh, dan ikut berduka. Parahnya lagi bila mereka hidup di negara yang sedang terjadinya perang. Untuk melakukan aktivitas yang wajar dan normal dalam perdagangan atau bekerja sudah tidak mungkin dapat dilakukan. Setiap hari hati mereka hanya dicengkeram rasa ketakutan, kebingungan, keresahan akan bahaya kematian, pandangan hidup mereka menjadi kosong, galau, putus asa dan tidak berdaya, sehingga keselamatan dan kebutuhan hidup mereka sangat tergantung dari belas kasih orang lain.

Memang benar tidak semua orang hidupnya berkecukupan atau kelebihan materi. Meskipun ada keinginan kuat untuk membantu orang lain namun keadaan materi tidak mendukung. Bila saja kita tidak mampu memberikan bantuan materi maka kita dapat memberikan bantuan tenaga. Dengan bantuan tenaga yang dimiliki, kita dapat membantu pekerjaan yang dibutuhkan sehingga menjadi semua pekerjaan terasa lebih ringan dan cepat selesai. Kalau suatu pekerjaan dilakukan bersama dengan banyak orang lain, maka beban berat atau kesukaran apapun bisa menjadi ringan karena banyak yang membantu. Sehingga kebersamaan dalam bekerja sama begitu penting untuk meraih tujuan bersama. Sumbangsih tenaga umumnya dapat dilakukan oleh kaum muda karena tubuhnya masih sehat dan kuat. Sementara bagi orang yang telah lanjut usia atau fisiknya lemah, hal ini tidak memungkinkan. Bukannya membantu mengangkat beban yang ada, malahan dia sendiri yang akan diangkat oleh orang lain karena kelelahan dan keletihan. Untuk hal ini, mereka dapat memberikan dalam bentuk lain, yaitu pemikiran. Pemikiran dapat meliputi ide-ide positif, atau konstruktif, tentu dengan berbekal pengalaman mereka yang telah hadapi atau alami sendiri.

Ide demikian amatlah langka dan berharga. Tetapi kalau tidak ada yang mempraktikkan hanya sebatas wacana tidaklah bermanfaat. Sehingga hubungan satu sama lain harus bersifat saling mengisi dan saling membantu. Dengan demikian dapat memberikan hasil yang maksimal.

Kalau pemikiran tumpul atau tidak berkualitas, kita pun masih dapat memberikan nasehat yang baik. Nasehat ini bagaikan pelita bagi orang yang belum pernah menempuh atau menghadapi rintangan dan tantangan kehidupan. Tidak semua orang pandai dalam memberikan nasehat kepada yang lain. Ada nasehat yang tujuannya baik karena cara penyampaiannya kurang baik, malah sering disalah tafsirkan atau istilahnya membuat pengertian keliru bagi orang lain sehingga membuat kesalahpahaman dan menimbulkan perselisihan. Untuk hal seperti itu, mereka masih dapat memberikan senyuman. Saat berjumpa atau berpapasan dengan orang lain kita dapat memberikan senyum persahabatan, orang lain akan menerima dengan persahabatan pula. Meskipun kita tidak mengenal orang tersebut secara dekat. Namun suasana persahabatan dan kekeluargaan terus terjalin dimana pun kita berada.

Kadang pula ada orang yang saat memberikan senyum bukannya menambah simpatik orang lain malah membuat orang  jadi curiga atau ketakutan, bila terjadi hal ini kita masih dapat memberikan hati yang baik. Mendoakan keselamatan, kesuksesan, kesejahteraan atau kebahagiaan atas usaha dan jerih payah orang lain. Tentu hal ini mudah dilakukan oleh siapapun juga, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak dapat memberikan dana bantuan apapun yang bisa kita berikan.

Buddha bersabda, “Siapa yang suka berdana dia akan dicintai dan disukai. Inilah manfaat langsung dapat dipetik dalam kehidupan ini”. “Wajah cantik, suara merdu, kemolekan dan kejelitaan, kekuasaan serta mempunyai banyak pengikut. Semua ini dapat diperoleh dari perbuatan baik berdana”. (Nidhikhanda Sutta, Samyutta Nikaya I : 2).

Kemurahan Hati Para Bodhisattva & Sramana

Marilah kita melihat kisah, latihan dan kemurahan hati yang dilakukan para Bodhisattva dan Sramana dalam menyempurnakan segala paramita untuk  merealisasikan jalan KeBuddhaan. Sungguh kita akan merasa bergeming, merinding dan terharu apabila  mendengar dan mengetahui  betapa besar dan berat pengorbanan dan perjuangan yang dilakukannya oleh para Bodhisattva dan Sramana Agung tersebut.

Di dalam Sutra Suvarna Prabhasa, Buddha Sakyamuni dengan para siswanya sedang berpergian di daerah Pancala, tiba pada suatu tempat di dalam hutan, Hyang Buddha meminta Ananda mencari suatu tempat untuknya, dan mengatakan Dia akan menunjukkan relik dari seorang Bodhisattva besar yang telah melakukan perbuatan yang sulit. Dia mengetuk tanah dengan tangannya. Bumi bergoncang dan sebuah Stupa muncul yang terbuat dari kumpulan permata, emas dan perak. Hyang Buddha menunjuk Ananda untuk membuka Stupa itu. Di dalam Stupa itu berisikan sebuah peti mayat dari batu yang ke emas-emasan dilapisi dengan mutiara-mutiara. Ananda melihat beberapa tulang di dalamnya yang seputih salju dan kembang kumula (lili putih). Semua yang hadir menghormati pada relik itu. Hyang Buddha kemudian menjelaskan cerita pahlawan tersebut. Suatu masa yang silam, terdapat raja bernama Maharatha tinggal di sana. Raja tersebut mempunyai tiga anak laki-laki, yaitu Mahapranada, Mahadeva dan Mahasattvavan. Ketiga pangeran itu pada suatu hari sedang berjalan-jalan pada sekitar suatu taman besar dan dekat suatu tempat yang sunyi dinamakan ‘12 semak belukar’. Tiba-tiba mereka melihat seekor harimau betina di semak belukar tersebut. Harimau itu telah beranak 5 ekor anak harimau pada tujuh hari yang lalu. Badan harimau betina itu kurus dan tergelatak lemas karena lapar dan haus. Ketiga saudara tersebut membincangkan keadaan buruk harimau itu mengatakan: “apa yang dapat dimakan oleh harimau yang malang itu?” Mahasattvavan meminta supaya saudara-saudaranya terus jalan dan mengatakan: “Saya akan ke lembah ini untuk berbuat sesuatu”. Dia kemudian mengucapkan kata-kata ini: Saya tergerak oleh perasaan terharu, memberikan tubuh saya untuk kebaikan dunia dan untuk mencapaian Bodhi. Ketika Dia melemparkan tubuhnya di hadapan harimau betina, tetapi harimau tidak berbuat sesuatu terhadap dirinya. Bodhisattva itu mengerti bahwa harimau itu sangat lemah. Dia melihat disekelilingnya untuk mendapatkan senjata, tapi tidak menemukan apa-apa. Dia mengambil sebilah bambu tua yang telah ratusan tahun umurnya, memotong kerongkongannya dan jatuh mati untuk dimakan oleh harimau betina demi menyelamatkan harimau betina dan anak-anak harimau.

Di dalam Cerita Rukmavati (juga dikenal dengan nama Rupavati) dikisahkan dalam Divy-avadana dan Avadana-kalpa-lata, pada suatu waktu dia melihat seorang perempuan yang sangat lapar, yang mempunyai seorang anak dan nyaris akan memakan keturunannya sendiri. Rukmavati dalam dilema, jika dia lari pulang ke rumah untuk mengambil makanan bagi perempuan malang itu yang sedang sangat kelaparan akan memakan anaknya yang masih kecil itu dalam selang waktu sebentar saja. Jika dia mengambil anak kecilnya pulang ke rumah, ibunya anak itu akan meninggal karena sangat kelaparan. Terharu melihat kondisi demikian, maka ia membantu perempuan malang itu dengan “memotong buah dadanya” dan memberikan kepada mereka untuk dijadikan makanannya. Indra, kepada para deva muncul pada kejadian itu dan dia diubah menjadi pria sebagai pahala atas pengorbanannya. Menurut versi Divy-avadana. Perempuan yang rela mengorbankan buah dadanya dengan kekuatan kegaiban saty-adhisthana mendapatkan tubuhnya kembali normal.

Di dalam Sutra Fen Pie Ye Pau Lye Cing dijelaskan kehidupan Buddha Sakyamuni dulu pernah pernah jadi seorang raja yang mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua makhluk, demi menyelamatkan seekor burung merpati yang dikejar dan mau dimakan oleh burung elang. Bersedia memotong-motong tubuhnya dan memberikan sesuai permintaan burung elang  berdasarkan beratnya merpati yang mau disantapnya.

Begitupula kehidupan-kehidupan sebelum menjadi Shakyamuni Buddha pernah Ia menjadi seorang Bodhisattva dalam pencarian ajaran mulia, bertemu dengan Asura raja setan yang sedang melafalkan bait-bait Dharma, Bodhisattva terkesima mendengarkan gatha tersebut, tetapi bait yang dilafalkan baru  separuh saja belum lengkap, ia berusaha untuk bisa mendengar bait lainnya. Bodhisattva mencoba bertanya bisakah saya mendapatkan bait selanjutnya, dijawab oleh Asura: saya lapar, bila kamu bisa mencarikan makanan untuk saya maka bait selanjutnya akan saya beritahu. Bodhisattva melihat disekelilingnya tidak ada makanan dan tidak ada siapapun juga, sehingga ia berpikir demi ajaran tersebut saya rela dimakan oleh Asura. Mereka berdua membuat kesepakatan bahwa Bodhisattva akan naik ke pohon menerjunkan diri ke mulut Asura, saat itu juga Asura harus melanjutkan bait lainnya tersebut. Disaat Bodhisattva terjun ke mulut asura terdengar suara Dharma sambungan bait pertama, betapa bahagianya ia mendapatkan Dharma luhur sekalipun harus mengorbankan jiwa raganya, hanya untuk mendapatkan gatha ajaran mulia tersebut, sungguh pengorbanan dan usaha yang mulia yang sulit dilakukan oleh siapa saja. Juga disabdakan bahwa pernah terjadi saat Bodhisattva melihat kehidupan para nelayan miskin dan banyak yang kelaparan. Beliau terharu dan tergerak hatinya rela tubuhnya menjelma menjadi ikan yang sangat besar yang terdampar di pinggir laut dan tubuhnya di ikhlaskan untuk dimakan oleh para nelayan demi keselamatan dan kelangsungan hidup para nelayan miskin tersebut.

Manjusri Bodhisattva pernah sebelumnya menjadi perempuan yang bernama Dian Tau karena tuntutan dan desakan keluarganya pernah menggugurkan delapan bulan kandungannya. Setelah mendengarkan sabda Hyang Buddha, ia sadar bahwa akibat perbuatan demikian kelak setelah kematian bisa masuk ke neraka. Ia sangat menyesal dan menangis dalam ketakutan, Untuk menebus dosa kesalahannya dan melenyapkan karma buruknya, ia mengelupas kulit tangannya untuk dijadikan kertas, tulangnya dijadikan maupi (kuas) dan darahnya dijadikan me (tinta), untuk menebus dosa dan melenyapkan karma buruk dengan menulis dan menyalin  Buddha Bersabda Sutra Usia Panjang Pemusnah Dosa dan Dharani Untuk Melindungi Anak Kecil.

Legenda Putri Miau Shan yang pernah mencungkil kedua matanya dan memotong kedua lengannya untuk dijadikan obat mujarab bagi penyembuhan ayahnya yang pernah berbuat kejam menyiksa dan membakarnya.  Ia melakukan kebajikan sulit dengan pengorbanan besar untuk menyadarkan ayahnya sekaligus penyembuhan sakit aneh ayahnya akibat aksi kejahatannya selama berkuasa. Jasa pahala pengorbanan dan perbuatan bakti besar yang teramat mulia ini, maka Putri Miau Shan dikaruniakan memiliki mata seribu dan tangan seribu menjadi Kuan Yin Pu Sha.

Sutra Surangama awalnya berasal dari India telah menjadi ‘Mustika Negara’ sehingga dilarang keras oleh kerajaan untuk dibawa ke luar pada jamannya. Seorang Rahib Pan La Mi Thi Cuen Ce, dikarenakan memiliki tekad teramat besar untuk membabarkan Buddhadharma, sehingga ia berusaha dua kali dengan berbagai akal untuk membawa sutra tersebut keluar, tapi tetap saja ketahuan dan disita. Tetapi Ia tidak putus asa dan kehabisan akal, maka ia mencoba menulis sutra tersebut sangat kecil di dalam kertas anti air. Setelah selesai tulisan sutra tersebut ia memotong kedua kulit lengannya dan sutra tersebut dimasukan ke dalam lengan daging tersebut kemudian dijahit kembali. Ia mengobati luka tangan tersebut dan menunggu sampai sembuh dan kering bekas jahitannya. Pada saat mau kembali keluar negeri, ia diperiksa sangat ketat dan lama karena sudah dua kali ketangkap membawa sutra tersebut keluar, tapi kali ini berkat kecerdikannya Ia lolos dan dapat membawa sutra tersebut keluar untuk diterjemahkan ke dalam bahasa mandarin dan disebarkan ke seluruh penjuru demi pencerahan dan keselamatan semua makhluk. Sungguh perbuatan mulia teramat langka dan sulit yang bisa dilakukan oleh kebanyakan orang, budi jasa ini selalu diceritakan dan dikenang kebaikannya apabila umat Buddha mau membaca awal Sutra Shurangama.

Maha Bhiksu Xian Zhuang yang masih muda belia karena melihat ajaran Buddhis Tiongkok pada saat itu belum banyak mendapatkan  ajaran otentik dari sumbernya di India, maka Ia bertekad dan berjuang seorang diri untuk mengambil kitab suci Tripitaka dari India. Ia mengendarai seekor kuda putih dan kadang kala berjalan kaki tanpa kenal lelah dan pantang menyerah melewati ribuan mil gurun pasir, gunung terjal, hutan belantara dan lembah curam yang berbahaya. Selama perjalanan Beliau pun mengalami berbagai hambatan dari para pejabat setempat, rintangan dan gangguan dari penyamun dan iblis. Petualangannya seorang diri selama berpuluh-puluh tahun siap mengorbankan jiwa raganya untuk mendapatkan ajaran Maha Tripitaka. Berkat semangat pantang menyerah, kegigihan dan keuletannya akhirnya kitab suci Maha Tripitaka tersebut dapat di bawa ke daratan Tiongkok. Itupun masih perlu diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa mandarin, Ia pun tidak kenal lelah dan mengeluh untuk menerjemahkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya kembali, akhirnya selesai juga tugas mulia tersebut sehingga umat Buddha Mahayana memperoleh kitab Suci Maha Tripitaka yang lengkap, akhirnya Beliau memasuki Nirvana. Atas jasa-jasa yang sangat besar dan mulia ini maka keteladanan Beliau dikenal dan dikenang sebagai Guru Besar Maha Tripitaka Xian Zhuang yang dihormati dan dipujikan oleh seluruh Siswa dan umat Buddhis dimana saja berada, dan di Taiwan telah dibangun Universitas Buddhis Xian Zhuang yang sangat terkenal untuk mengenang jasa Beliau.

Para Bodhisatva di saat melaksanakan Dana Paramita, menyadari ‘kekosongan dari Sang Aku’ dan juga ‘kekosongan dari setiap Dharma’, oleh karena itu Para Bodhisattva memahami “Ketiadaan Sang Aku dan Dharma” sehingga batinnya murni tiada rintangan lagi. Mereka hanya mengembangkan cinta kasih, welas asih yang maha besar dengan mempergunakan Upaya-Kausalya untuk menolong semua makhluk.

Bersikap Murah Hati Itu Indah

“Only a life for other is a life worthwhile”  (Hidup hanya akan berharga jika bermanfaat untuk orang lain). Albert Einstein.

SEBAB-AKIBAT KEMISKINAN TERJADI

Kondisi kemiskinan berasal dari karma buruk akibat pernah melakukan banyak pencurian, watak dan perilaku yang kikir, gejolak hati yang penuh keserakahan di masa lalunya sehingga tidak pernah berdana, jarang berdana, sedikit berdana atau sulit berdana.

Untuk merubah nasib menjadi lebih baik maka disaat mengalami kemiskinan dan kesusahan jangan lagi berbuat bodoh dan jahat, apalagi mempunyai jiwa pengemis hanya bisa minta dikasihani dan mohon diberi sedekah untuk jangka waktu yang lama. Kalaupun dilakukan terus menerus usaha mengemis dan meminta-minta kiranya hanya dapat sumbangan yang  berbentuk ‘recehan’ saja sehingga sulit merubah nasib. Sudah terbukti banyak orang yang mengalami kemiskinan ditambah lagi memiliki jiwa miskin maka dipastikan sepanjang hidupnya menjadi orang miskin.

Tetapi sebaliknya bila orang miskin bisa berbuat kebajikan berdana, walaupun sulit ia dapat melakukannya, maka kebajikan tersebut adalah kebajikan sulit yang luar biasa jasa pahalanya akan menggugah langit dan bumi, kelak ia akan dibantu oleh para dermawan, dewa, atau Bodhisattva untuk mengentaskan kemiskinan, cepat atau lambat ia akan berubah nasib dari orang miskin menjadi orang kaya dikemudian hari.

BAGAIMANAKAH  MENOLONG FAKIR  MISKIN?

Bagaimana sikap dan perilaku kita sebagai umat Buddha menghadapi para pengemis yang suka minta-minta? Jangka pendek atau daruratnya adalah bila ia lapar berikan makanan, minuman atau uang sekedarnya untuk belanja makanan, bisa juga biaya transpotasi dengan dibelikan tiket untuk pulang ke kampung halamannya. Tentu tidak baik bila orang miskin atau pengemis diberikan dana terus menerus untuk memenuhi kebutuhannya dalam jangka waktu yang lama, karena bisa membuat mereka jadi malas hanya bisa meminta tanpa mau berusaha. Alangkah baiknya bantuan jangka panjang adalah di ajarilah cara hidup mandiri dengan belajar keterampilan atau diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya untuk mencari nafkah demi melanjutkan kehidupannya.

Jangka panjang untuk menolong orang-orang miskin maka ajaklah mereka pergi ketempat ibadah sesuai keyakinannya. Berikanlah buku-buku ringan tentang ajaran agama yang dianutnya atau buku-buku motivasi yang dapat memberikan semangat hidup dan berusaha untuk memperbaiki nasibnya sendiri.

Ujian Bagi Seorang Umat Buddha

DIKISAHKAN  bahwa pada jaman Dinasti Ching, di Kabupaten Che Xhiang hidup seorang bernama Ong Wong. Berhubung ia menerima harta warisan dari leluhurnya, maka ia cukup kaya dan terpandang di kotanya. Sewaktu berusia 20 tahun ia menikah. Dalam waktu sepuluh tahun lebih ia sudah dikaruniai sembilan orang anak laki-laki. Jaman itu belum dikenal apa yang dinamakan keluarga berencana.

Namun kesembilan putranya itu amat dungu, tiada satu pun yang cerdik. Walaupun demikian kedua suami istri itu amat mencintai putra-putranya, sekalipun tidak sedikit kesusahan yang ditimbulkan akibat kebodohan dan pemborosan yang dilakukan kesembilan putranya itu.

Pada suatu masa, terjadi musim kemarau panjang, hingga timbulah paceklik. Banyak korban berjatuhan akibat kelaparan dan kehausan, mayat bergelimpangan di sana-sini. Bagi yang tidak mati keadaan fisiknya juga lemah, mukanya pucat. Melihat keadaan itu, saudara. Ong Wong menjual sebagian harta kekayaannya untuk menolong para korban bencana, sehingga banyak sekali orang yang dapat diselamatkannya dari mati kelaparan. Semua orang menganggap saudara Ong Wong sungguh seperti Bodhisattva Kuan Yin hidup yang penuh welas asih dan cinta kasih. Hal mana disebabkan saudara Ong Wong dan istrinya adalah penganut agama yang taat, terlebih lagi amat percaya dan memuja Bodhisattva Kuan Yin, maka ia dapat rela dan penuh rasa sosial, menjual harga bendanya guna menolong orang lain tanpa sedikitpun merasa kikir. Sungguh saudara Ong Wong telah menjalankan salah satu Sad Paramita yakni Dana Paramita yang merupakan jalur untuk menempuh tingkatan jalur Bodhisattvayana.

Sejak itu, terjadilah suatu hal yang di luar dugaan orang. Semua putra saudara Ong Wong terjangkit suatu penyakit berbahaya. Dalam jangka waktu beberapa tahun saja susul menyusul sembilan putranya itu meninggal dunia. Bagaimana Saudara Ong Wong yang taat memuja Bodhisattva Kuan Yin, menjalankan dana paramita, menolong sekian banyak nyawa manusia, mengapa tidak mendapat balasan yang baik? Apakah Bodhisattva tidak melindungi dan mengetahui?.

Kejadian yang cukup tragis ini, sempat membuat saudara Ong dan istrinya bersedih sekali. Sebagai penganut agama Buddha yang giat menjalankan kebaikan, malah mendapat kemalangan yang tak terduga. Itu merupakan suatu batu ujian, yang menguji kokohnya keyakinan dirinya terhadap agama Buddha.

Ke sembilan putra saudara Ong telah meningal dunia dan kemungkinan juga mereka tidak akan mempunyai keturunan lagi. Akan tetapi keyakinan mereka kepada Bodhisattva tidak berubah sedikitpun, tetapi seperti biasa, pagi dan sore melafalkan Sutra dan Mantra rajin bersembahyang dihadapan Bodhisattva  Kuan Yin,  dan pada suatu hari mereka membuat sebuah tulisan yang berisikan jeritan hati yang cukup memilukan dan dibakarnya dihadapan Bodhisattva Kuan Yin.

Pada malam harinya saudara Ong Wong bermimpi, ia didatangi Bodhisattva Kuan Yin yang mengenakan jubah putih, dengan penuh kasih sayang Kuan Yin Pu Sha berkata kepadanya: “Ke sembilan anakmu itu adalah jelmaan ‘sembilan setan’ yang khusus datang menghamburkan harta keluargamu, hal ini berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan lelulurmu. Namun setelah engkau menjual harta benda, menolong para korban bencana, menolong sekian banyak orang, sungguh besar kebajikanmu itu. Maka Dewa Langit menarik kembali sembilan setan itu. Tak lama lagi akan mengutus ‘para dewata’ untuk lahir di keluargamu, janganlah bersedih lagi, masa depanmu amat cerah, hidupmu akan makmur dan bahagia”.

Keesokan paginya saudara Ong Wong menceritakan mimpinya itu kepada istrinya. Dengan penuh keheranan istrinya berkata: “Eh! Saya juga bermimpi yang sama”.

Sejak itu mereka tidak bersedih hati lagi, malah lebih tekun melakukan kebaikan, menolong orang yang susah, anak-anak yatim piatu dan orang-orang  jompo tanpa mengenal lelah dan berkeluh kesah lagi.

Tak lewat waktu dua belas tahun, istrinya melahirkan lima orang putra. Kelima putra ini amat cerdas dan bijaksana, amat pandai  dan rajin belajar di sekolah sehingga semuanya memiliki pengetahuan yang tinggi, sampai ada yang menjadi pejabat tinggi negara. Kehidupan keluarga saudara Ong sejak itu semakin hari semakin kaya dan sejahtera, anak cucunya semuanya hidup makmur dan bahagia.

Berdana Pada Saat Perayaan  Ullambana & Kathina

Umumnya disaat Parayaan Ullambana yang jatuh pada bulan tujuh penanggalan Kalender Lunar adalah bulan bakti untuk membalas ‘empat budi besar’ (1. Orang tua/leluhur; 2. Para guru; 3. Negara; 4. Semua makhluk) dan juga menolong tiga alam celaka.  Pada umumnya setiap vihara Mahayana pasti  mengadakan  Perayaan atau upacara Ullambana untuk memberikan persembahan kepada Buddha, Dharma dan Sangha, karena setelah perayaan Waisak para Bhiksu Mahayana bertapa melatih diri melaksanakan vassa tiga bulan lamanya yang dikenal dengan sebutan “Cie Sia An Ci”. Setelah bervassa melatih diri saat itulah para Bhiksu memberikan kesempatan kepada para umat untuk menanam jasa pahala, tentunya semua penerimaan dana persembahan dalam bentuk materi untuk Sang Triratna diwakili oleh para anggota Sangha, sehingga sering dikenal dengan sebutan ‘Sangha Dana’, atas jasa kebajikan ini dilimpahan kepada orang tua, leluhur, guru, kerabat atau teman yang sudah meninggal dunia semoga terlahir di alam bahagia, dan bagi yang masih hidup akan berusia panjang, memiliki kesehatan dan hidup penuh kebijaksanaan, selain itu juga mengadakan upacara khusus untuk menolong semua makhluk di tiga alam celaka. (Untuk mengetahui lebih lanjut tradisi ini silakan membaca Sutra Ullamabana).

Sedangkan Perayaan Kathina yang umumnya jatuh di antara bulan Oktober atau November dilaksanakan oleh vihara-vihara Theravada adalah memberikan persembahan dana untuk kebutuhan para Bhikkhu Sangha atau Sramana lainnya, agar mereka bisa hidup layak tidak kekurangan apapun setelah bervassa tiga bulan lamanya.  Sebaiknya berbuat kebajikan bukan hanya pada saat Perayaan Ullambana atau Kathina saja, sepatutnya para umat Buddha dianjurkan untuk berdana secara rutin atau berkala sesuai kemampuan kepada para Bhikkhu Sangha atau Sramana lainnya untuk belajar mendekatkan diri menciptakan jodoh baik kepada Sang Triratna sekaligus mengembangkan rejeki dan keberuntungannya, tentu setelah para Bhikkhu Sangha menerima dana mereka akan memimpin pembacaan paritta atau melafalkan berbagai mantra untuk pelimpahan jasa kepada para umat Buddha.

SYARAT BERDANA YANG BENAR

Hal ini telah dibabarkan Hyang Buddha di dalam Anguttara Nikaya III:48 sebagai berikut:

“Oh, para bhikhu, kelima hal ini adalah dana dari seorang yang baik. Apakah kelima hal itu? Ia berdana dengan keyakinan; ia berdana dengan hormat; ia berdana tepat pada waktunya; dengan hati ikhlas; dan ia berdana tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun pihak lain”.

APAKAH YANG DAPAT DIDANAKAN?

Berdana tidak harus berupa materi, di dalam kutipan-kutipan berikut ini kita akan mempelajari hal tersebut: “Memberi makanan, seseorang memberikan kekuatan; Memberi pakaian, seseorang memberikan keindahan; Memberi penerangan, seseorang memberikan penglihatan; Memberi angkutan, seseorang memberikan kesenangan; Memberi perlindungan, seseorang memberikan semuanya; tetapi seseorang yang mengajarkan Dharma, Ajaran Sang Buddha yang istimewa, orang seperti itu memberikan makanan surgawi”. (Samyutta Nikaya, I, 32)

“Kedermawanan, perkataan yang ramah, melakukan hal yang baik untuk orang-orang lain, dan memperlakukan semua orang secara sama; bagi dunia, tali-tali simpati ini bagaikan penyambung roda kereta.” (Anguttara Nikaya, Vol. 32)

SIKAP BATIN KITA SAAT BERDANA

Sikap terutama adalah harus dilandasi rasa tulus ikhlas dan tanpa pamrih sebagaimana yang dibabarkan oleh Hyang Buddha pada Upasakasila Sutra bab 19: “Putera yang Bajik, Bodhisattva yang mempraktikkan dana/amal akan menghindari keempat kejahatan (1) Pelanggaran sila, (2) keraguan, (3) pandangan menyimpang, (4) kekikiran.

Ia mempraktikkan dana di dalam kelima cara:
1.    Tidak membeda-bedakan apakah si penerima bajik atau tidak bajik.
2.    Tidak membuat persyaratan  yang menyusahkan .
3.    Tidak memandang kasta.
4.    Tidak meremehkan si peminta.
5.    Tidak menghinanya.
Ada tiga hal praktik dana/amal tidak menghasilkan pencapaian suatu buah yang luar biasa:
1.    Awalnya berpikir untuk memberi banyak, namun akhirnya hanya memberi sedikit.
2.    Memilih benda-benda yang tidak bagus/cocok untuk diberikan.
3.    Merasa menyesal setelah memberi.

Putera yang Bajik, ada pula delapan hal dari berdana yang tidak menghasilkan buah-buah agung:
1.    Setelah memberi mencari-cari kesalahan si penerima
2.    Tidak memberi secara adil (equally).
3.    Setelah memberi meminta si penerima untuk melakukan sesuatu sebagai balasannya.
4.    Menikmati pujian bagi diri sendiri setelah berdana.
5.    Mengatakan bahwa ia tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan sebelum memberi.
6.    Menghina penerima setelah memberikan sesuatu.
7.    Meminta balasan dua kali lipat setelah memberi.
8.    Timbul keragu-raguan setelah memberi.
Seorang pendana seperti itu tidak dapat berdekatan dengan Para Buddha atau Para Arya (makhluk suci).

Putera yang Bajik, ada tiga hal mendasar bagi segala jenis pemberian:
1.    Berdana/memberi dengan berbelas kasihan pada orang miskin.
2.    Berdana pada musuh, tanpa mengharapkan balasan.
3.    Berdana dengan gembira dan penuh hormat pada orang bajik.

Putera yang Bajik, ada tiga alasan seseorang memiliki penyesalan di dalam berdana:
1.    Serakah akan kemakmuran.
2.    Mengikuti pandangan salah.
3.    Melihat kesalahan-kesalahan si penerima.

Kutipan di atas sudah cukup jelas di dalam menjelaskan kualitas-kualitas mental yang harus kita jalankan dan hindari di dalam berdana. Pentingnya kualitas mental ini dapat kita pahami lebih jauh pada Damamuka Nidana Sutta bab 20.

Ragam Tujuan  Berdana

Banyak ragam berdana untuk tujuan tertentu yang dilakukan oleh para umat Buddha, misalnya:
1.    Ada yang berdana dengan maksud dan tujuan terselubung, seperti mau dikenal, dipuji, diperhatikan, dihormati, dan di kenang.
2.    Ada yang berdana karena latah atau hanya asal-asalan takut dikatakan pelit, khawatir tidak ada muka atau dicemohkan orang lain.
3.    Ada yang beramal dana karena ingin berbuat baik untuk mendapatkan karma baik.
4.    Ada yang serius berlatih, beramal dana untuk melatih kerelaan.
5.    Ada yang meningkatkan kualitas mental lebih tinggi, beramal dana karena ada rasa peduli.
6.    Ada yang lebih tinggi lagi, beramal dana karena ingin memberi teladan, mengajari orang awam untuk berbuat baik.
7.    Ada yang paling tinggi, berdana tapi merasa diri tidak pernah beramal, atau melakukan amal tidak mau diketahui orang lain dan tidak ada pamrih maupun tuntutan apapun juga.

“Carilah apa yang bisa kau dapatkan, sumbanglah apa yang bisa kau berikan, tabunglah sebisamu. – Earn all you can, give all you can, save all you can,” (John Wesley)

Kebajikan Berdana yang Benar Cepat Membuahkan Kesuksesan

Menurut ‘Hukum Kamma dan Punnabbhava’, keadaan kita sekarang adalah merupakan buah dari perbuatan yang mendahuluinya. Jadi kalau sekarang kita miskin, adalah disebabkan perbuatan kita yang lampau, yaitu tidak dermawan. Cara yang tepat untuk mereka yang menginginkan cita-citanya tercapai, usahanya maju atau memperbaiki hidupnya ialah dengan jalan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Tidaklah benar bahwa kekayaan dapat diminta ditempat keramat. Karena kekayaan seperti itu tidak akan memberikan kebahagiaan sejati. Hal ini hanya dikerjakan oleh mereka yang ingin cepat dan mudah memperoleh kekayaan semu tanpa memikirkan akibat yang pahit dikemudian hari.

Kita memang tidak dapat menentukan kapan kebajikan itu akan diterima. Tetapi pemberian seorang bijaksana memiliki 8 sifat mulia yang dapat mempercepat masaknya buah kebajikan itu:

1.    Sucim-deti: dana barang yang bersih (murni).
Barang yang diberikan benar-benar diperoleh dengan cara yang benar sesuai dengan Dhamma. Jadi bukan barang yang diperoleh dengan cara salah.

2.    Panitam-deti: dana barang yang terbaik.
Barang yang diberikan adalah merupakan yang terbaik atau terpilih dari yang dimiliki. Jadi mungkin saja bagi seorang miskin, sekepal nasi merupakan yang terbaik dari yang dimilikinya.

3.    Kalena-deti: dana diberikan tepat pada waktunya.
Seperti menanam bibit, subur tidaknya juga tergantung pada musim yang tepat. Demikian juga pemberian barang atau dana makanan harus tepat pada waktu dimana barang itu dibutuhkan. Pemberian makanan kepada bhikkhu atau sramanera tepat diberikan pada waktu pindapata, atau sebelum lewat tengah hari.

4.    Kappiyam-deti: dana barang yang layak diberikan.
Barang yang diberikan hendaknya dapat bermanfaat bagi yang menerima dan bukan yang membahayakan. Jadi pemberian yang mencelakakan penerimanya tidak disebut sebagai dana. Misalnya pemberian candu, alkohol dan sebagainya yang menyebabkan penerimanya menjadi mabuk.

5.    Viccheya-deti: berdana secara bijaksana.
Dalam memberikan dana hendaknya dipilih orang yang tepat menerima atau penyalurnya. Seperti menanam bibit kita membutuhkan ladang yang subur. Pemberian dana kepada orang yang silanya kokoh pasti akan berbuah lebih baik daripada orang yang silanya kurang kokoh atau tidak memiliki sila (kemoralan).

6.    Abhinam-deti: melaksanakan dana harus tetap (kontinyu).
Orang tidak semua dapat berdana dengan jumlah yang besar sekali saja. Maka hendaknya tanpa jemu laksanakanlah dana terus menerus dimana ada kesempatan sesuai dengan kemampuan. Sang Buddha bersabda: Kebajikan yang dilakukan terus-menerus laksana menitiknya air, lama-lama dapat memenuhi sebuah tempayan.

7.    Dadam cittam pasadeti: berdana harus dilaksanakan dengan pikiran tenang dan rela.
Ketenangan dan kerelaan merupakan sifat mulia yang menambah harumnya kebajikan.

8.    Datva attamano hoti: setelah berdana batin merasa senang.
Kesenangan dan kebahagiaan ini dapat kita limpahkan dengan merenungkan kepada para leluhur kita. Hal ini bisa dicapai bilamana dalam berdana batin tidak melekat. Kebahagiaan ini masih terasa bila ingatan itu timbul kembali dalam pikiran.

Dengan memiliki 8 sifat mulia ini, orang bijaksana tidak akan ragu bahwa kebajikan yang dilaksanakan pasti akan cepat berbuah, menghasilkan keberuntungan dan kebahagiaan di dalam hidupnya. Jadi benarlah kata-kata: “Memberi dalam dhamma berarti menambah”. Banyak sudah kesaksian dari Umat Buddha sendiri yang usahanya lancar setelah banyak berdana. Belajar dari pengalaman tersebut kita seharusnya menjadi sadar bahwa berdana bukanlah suatu kebodohan atau tindakan sia-sia, melainkan perbuatan bijaksana untuk mengembangkan rejeki dan keberuntungannya.

Bagaimana Mengembangkan Rejeki/Hoki?

Manusia kikir tidak mau berdana maka tidak ada rejekinya; Manusia malas berdana seret rejekinya; Menunda-nunda berdana berarti menunda kehadiran rejekinya; Berdana tidak rutin rejekinya juga sepengal-pengal; Berdana dengan kasar rejekinya juga buruk; Mau berdana tapi tunggu kaya dulu bagaikan mau memanen buah tanpa menanam bibitnya, sungguh mustahil! (artinya tiada sebab yang baik bagaimana mengharapkan akibat yang baik); Berdana melalui perantara orang lain, maka rejekinya datang pun harus melalui orang lain; Berdana tanpa hormat kelak memiliki rejeki tapi tidak memiliki kemuliaan; Berdana tapi hatinya tidak ikhlas walau kelak memiliki rejeki tapi sulit menikmati; Awalnya senang berdana tapi kemudian hari menyesal maka walaupun rejeki (kang tau) sudah berada di tangan tapi malah batal tidak memperoleh keberuntungan; Berdana dengan hasil korupsi atau mencuri maka kelak jadi pembantu di keluarga orang kaya (dapat menikmati kekayaan majikan tapi tidak bisa menjadi majikan); Berdana dengan hasil kejahatan seperti pendirian rumah jagal, tangkap hewan, membunuh dan merampas milik orang lain kelak bisa kaya tapi banyak penyakit dan berusia pendek; Sering berdana tanpa pamrih dan kemelekatan adalah perilaku Bodhisattva; Sering berdana yang dilandasi kemelekatan akan dilahirkan di alam dewata; Sering berdana yang dilandasi hawa nafsu dan kemarahan akan dilahirkan di alam Asura (raja setan); Sering berdana dengan sifat pamrih akan dilahirkan menjadi manusia di keluarga makmur.  Berdana dengan niat dan tujuan jahat akan dilahirkan menjadi binatang dikeluarga kaya.

Di dalam Sutra Chang Ah Han Cing disabdakan: Pelaku derma (donatur) akan memperoleh banyak rejeki; Pelaku welas asih menghindari permusuhan (lawan); Pelaku kebajikan dapat menghindari kemalangan; Pelaku yang menjauhi nafsu dan pamrih menghindari kegalauan.
Penjelasan Mengenai Dana

Penggolongan Menurut Pasangan Dua:
1.    AMISA DANA dan DHAMMA DANA
Amisa Dana: Pemberian dalam bentuk materi (termasuk uang)
Dhamma Dana: Pemberian berupa pengetahuan Dhamma, misalnya: mengajar, memberikan khotbah, menulis, menerbitkan dan memberi buku-buku Dhamma.
Dari keduanya, Dhamma Dana memberikan hasil atau vipaka yang lebih tinggi dan berguna. Karena “SABDA DANAM DHAMMA DANAM JINATI”, artinya: dari semua pemberian, pemberian Dhamma-lah yang tertinggi. Amisa Dana menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan materi. Dhamma Dana menghasilkan timbulnya kebijaksanaan dan pengetahuan.

2.    SAKKACA DANA dan ASAKKACCA DANA
Sakkacca Dana: Pemberian dengan hati-hati, sopan dan penuh hormat.
Asakkacca Dana: Pemberian tanpa sifat-sifat tersebut di atas. Misalnya memberikan makanan kepada hewan, tanpa memperhatikan segi-segi kebersihan dan sebagainya.
Jika Asakkacca Dana menghasilkan buah maka seseorang akan mendapatkan sikap yang kurang hormat atau kasar dari teman-teman, anak-anak atau pelayan-pelayannya.

3.    PUJA DANA dan ANUGGAHA DANA
Puja Dana: Pemberian kepada orang-orang yang menjalankan sila dan orang-orang mulia. Atau orang yang mempunyai status lebih tinggi sebagai tanda hormat.
Anuggaha Dana: Pemberian kepada orang yang lebih rendah.
Puja Dana menghasilkan buah yang lebih banyak dan tinggi. Anuggaha Dana-pun jika dilakukan dengan tepat, dapat juga membawa hasil buah akibat yang besar. Seorang Bodhisattva, Raja Vessantara memberikan seorang anaknya kepada seorang Brahmana rendahan yang bernama Jujaka. Tetapi karena Cetana (kehendaknya) demikian kuat, maka hasil yang diterimanya sangat besar.

4.    SAHATTHIKA DANA dan ANATTHIKA DANA
Sahatthika Dana: Pemberian dengan tangan sendiri atau secara pribadi.
Anatthika Dana: Pemberian dengan menggunakan perantara, misalnya dengan melalui seorang pelayan.
Bila Anatthika Dana menghasilkan buah, mungkin disertai dengan tiadanya pengikut atau teman. Raja Rajanna dilahirkan di Alam Dewa Catumaharajika dengan menerima istana yang besar (atas dana yang dilakukan selama hidupnya  sebagia manusia. Tetapi karena dana yang diberikan dilakukan melalui pelayannya, maka ia tinggal sendirian di dalam istana Dewa tersebut, tanpa adanya pelayan atau pendamping.

5.    THAVARA DANA dan ATHAVARA DANA
Thavara Dana: Pemberian yang bersifat tahan lama, misalnya stupa, rumah peristirahatan, vihara, sekolah, jembatan, sumur, menara air, tanah dan sebagainya.
Athavara Dana: Pemberian yang sifatnya tidak tahan lama, misalnya, makanan, pakaian dan uang.
Thavara Dana menghasilkan buah yang lebih kuat. Athavara Dana dapat menghasilkan buah yang sama kuat dengan Thavara Dana, bila Athavara Dana dilakukan dengan teratur dan terus menerus (dalam jangka waktu tertentu).
6.    SAPARIVARA DANA dan APARIVARA DANA
Saparivara Dana: Pemberian yang disertai dengan tambahan-tambahan lain yang lengkap.
Asaparivara Dana: Pemberian yang tidak disertai dengan tambahan-tambahan lain.
Pemberian nasi saja adalah Aparivara Dana, bila disertai dengan lauk pauk dan kue-kue, termasuk Saparivara Dana. Sama juga halnya dengan pemberian roti saja, adalah Aparivara Dana. Sedangkan bila disertai dengan mentega atau selai adalah Saparivara Dana. Bila Aparivara menghasilkan buah, biasanya akan cenderung untuk tidak lengkap, misalnya seseorang menerima rumah, mungkin tak ada dindingnya.

7.    NICCA DANA dan ANICCA DANA
Nicca Dana: Pemberian yang dilakukan secara teratur dan tetap.
Anicca Dana: Pemberian yang dilakukan kadang-kadang saja.
Dalam Anggutara Nikaya dikatakan bahwa jika seseorang melakukan Nicca Dana dan Thavara Dana adalah seperti seorang Sotapana. Dia tidak akan dilahirkan di alam Apaya (Alam menyedihkan/neraka).

8.    SANKHARA DANA dan ASANKHARA DANA
Sankhara Dana: Pemberian Dana setelah mendapat dorongan atau anjuran dari orang lain.
Asankhara Dana: Pemberian yang dilakukan atas kehendak sendiri, tanpa dorongan dari orang lain.
Sankhara Dana bila menghasilkan buah, akan menjadi seseorang lamban berpikir dan bodoh, dan buahnya sendiri terbatas sekali. Asankhara Dana bila menghasilkan buah, akan menjadikan seseorang cerdas dan pandai, buahnya tidak terbatas.

9.    JANA DANA dan AJANA DANA
Jana Dana: Pemberian yang dilakukan dengan sepenuh pengertian (mengerti akan akibat-akibatnya).
Ajana Dana: Pemberian yang dilakukan dengan tidak mengerti/mengetahui apa akibatnya.
Ajana Dana menghasilkan Dvihetuka Patisandhi. Mereka yang dilahirkan dengan Dvihetuka Patisandhi tidak banyak yang dapat mereka capai dalam kehidupan spiritual, sebab mereka tidak mempunyai Amoha (kebijaksanaan). Jana Dana membawa ke arah Tihetuka Patisandhi. Mereka yang lahir dengan Tihetuka Patisandhi dapat mencapai tingkat Arahat dalam kehidupan sekarang ini.

10.    VATTA NISSITA DANA dan VIVATTA NISSITA DANA
Vatta Nissita Dana: Pemberian yang dilakukan untuk mengharapkan keuntungan-keuntungan yang bersifat duniawi. Keuntungan Duniawi meliputi keinginan untuk dilahirkan di alam-alam dewa, dilahirkan sebagai anak orang kaya.
Vivatta Nissita Dana: Pemberian dengan tujuan untuk membebaskan diri dari Samsara (kesengsaraan) dengan tercapainya Nibbana/Kebebasan.
Perbedaan antara Vatta Nissita Dana dengan Vivatta Nissita Dana ini merupakan keistimewaan dalam ajaran agama Buddha. Vatta Nissita Dana tidak membentuk Paramita; sedangkan Vivatta Nissita Dana dapat membentuk Paramita. Vatta Nissita Dana dapat pula membentuk Paramita, tetapi cenderung untuk memperpanjang Samsara (roda perputaran hidup dan mati).

11.    DHAMMA DANA dan ADHAMMA DANA
Istilah Dhamma di sini lain dengan istilah Dhamma dalam nomor 1. Dhamma di sini berarti “sesuai dengan hukum alam (Dhamma)” atau “tidak melanggar hukum alam (Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha)”
Dhamma Dana: Pemberian berupa nasi, pakaian dan sebagainya.
Adhamma Dana: Pemberian berupa minuman keras, senjata, mesiu dan sebagainya barang-barang yang berbahaya, yang mungkin menjadikan seseorang melanggar Panati atau Surameraya Sila.
(Untuk daftar lima macam Adhamma Dana lihat pada penggolongan Pasangan Lima)

12.    DHAMMIKA DANA dan ADHAMMIKA DANA
Dhammika Dana: Pemberian yang betul diberikan kepada seseorang atau Yayasan yang dituju sejak dari semula.
Adhammika Dana: Pemberian yang sebetulnya akan diberikan kepada seseorang atau suatu Yayasan, tetapi orang itu merubah pikirannya dan memberikannya kepada orang lain atau Yayasan lain.

13.    VATTHU DANA dan ABHAYA DANA
Vatthu Dana: Pemberian barang materi.
Abhaya Dana: Pemberian berupa suatu kebebasan kepada suatu makhluk dari bahaya atau dari kematian, misalnya membebaskan hewan-hewan dari kurungan (yang telah ditangkap), larangan untuk berburu di hutan, melatih/mematuhi Lima Sila (Pancasila) dan sebagainya.

14.    AJJHATIKA DANA dan BAHIRA DANA
Ajjhatika Dana: Pemberian berupa anggota badan, misalnya mata, badan jasmani dan mengorbankan jiwa sendiri untuk kebaikan dan kebahagiaan orang lain.
Bahira Dana: Pemberian biasa, tidak berupa anggota tubuh sendiri.
Ada tiga macam Paramita (Kesempurnaan)
1.    Paramita biasa.
2.    Upa Paramita, yaitu pemberian anggota tubuh, tetapi tidak memberikan jiwa (hidup) seseorang.
3.    Paramattha Paramita, yaitu pemberian jiwa/hidup seseorang.

15.    SAVAJJA DANA dan ANAVAJJA DANA
Savajja Dana: Pemberian yang disertai kekejaman atau pembunuhan makhluk hidup (binatang-binatang).
Anavajja Dana: Pemberian yang tidak disertai dengan kekejaman atau pembunuhan makhluk hidup.
Savajja Dana bila menghasilkan buah, cenderung disertai dengan adanya bahaya-bahaya, atau dapat pula hilangnya jiwa seseorang.
16.    AGGA DANA dan UCCHITA DANA
Agga Dana: Pemberian sesuatu yang terbaik dan terutama.
Ucchita Dana: Pemberian berupa sesuatu yang bernilai rendah (barang sisa)
Jika si penerima Ucchita Dana menghargai dan menyukai pemberian itu, maka Dana yang diberikan itu tetap akan membawa hasil yang besar. Yang paling penting adalah Cetana (kehendak) yang baik dan Sakkacca (sikap pikiran yang hormat dan sungguh-sungguh) dari si pemberi, misalnya orang kaya memberi orang miskin, pemberian tersebut nampaknya nilainya rendah di mata orang kaya, tetapi dalam pandangan si orang miskin, barang tersebut sangat diharagai. Demikian juga dengan pemberian kepada hewan-hewan.

17.    HINA DANA dan PANITA DANA
Hina Dana: Pemberian yang bernilai rendah.
Panita Dana: Pemberian yang bernilai tinggi.
(Penjelasan sama dengan penjelasan nomor 16)

Penggolongan Menurut Pasangan Tiga

1.    HINA DANA, MAJJHIMA DANA dan PANITA DANA.
a.    Hina Dana: Pemberian yang dilakukan dengan harapan mendapat kemasyhuran.
b.    Majjhima Dana: Pemberian yang dilakukan dengan tujuan untuk dapat dilahirkan sebagai manusia yang kaya.
c.    Panita Dana: Pemberian yang dilakukan dengan harapan untuk mencapai kebebasan (Nibbana).

2.    DASA DANA, SAHAYA DANA dan SAMI DANA.
a.    Dasa Dana: Pemberian yang bernilai rendah, misalnya sesuatu yang biasa diberikan kepada seorang budak.
b.    Sahaya Dana: Pemberian yang mempunyai tingkat yang sama dengan apa yang biasa digunakan seseorang yang sama kedudukannya, misalnya sesuatu yang diberikan kepada seorang teman.
c.    Sami Dana: Pemberian yang bernilai tinggi, misalnya sesuatu yang bisa dipakai oleh para majikan atau raja-raja.

3.    LOKA DANA, ATTA DANA dan DHAMMA DANA
a.    Loka Dana: Pemberian yang dilakukan karena tradisi setempat (takut dipandang rendah bila tidak ikut berdana).
b.    Atta Dana: Pemberian yang dilakukan untuk menjaga kewibawaan/pangkat seseorang.
c.    Dhamma Dana: Pemberian yang dilakukan karena ingin mempratekkan ajaran agama.

Penggolongan Menurut Pasangan Empat

1.    CATTU PACCAYA DANA
Penggolongan ini meliputi empat macam kebutuhan seorang bhikkhu :
a.    Civara Dana: Pemberian jubah kepada bhikkhu.
b.    Pindapatta Dana: Pemberian makanan kepada bhikkhu.
c.    Bhesajja Dana: Pemberian obat-obatan kepada bhikkhu.
d.    Senasana Dana: Pemberian tempat tinggal atau kuti kepada bhikkhu.

Senasana Dana memberikan buah jasa yang paling tinggi. VIHARA DANAM SANHASA AGGAM BUDDHENA VANNITAM. Artinya: Sebuah tempat tinggal bhikkhu yang diberikan kepada Sangha dipuji oleh Sang Buddha sebagai pemberian hadiah tertinggi. SOCA SABBADODA HOTI, YO DADATI UPASSAYAM, yang berarti: seseorang yang mendirikan tempat tinggal bhikkhu sebagai hadiah kepada Sangha, sama nilainya dengan segala macam hadiah.

2.    DAKKHINA VISUDDHI DANA

Penggolongan ini didasarkan atas:
a.    Sifat si pemberi yang berbudi luhur (menjalankan sila).
b.    Sifat si pemberi yang tidak berbudi luhur (tidak menjalankan Sila).
c.    Sifat si penerima yang berbudi luhur (menjalankan Sila).
d.    Sifat si penerima yang tidak berbudi luhur (tidak menjalankan Sila)
Bila keduanya berbudi luhur, pemberian tadi akan menghasilkan buah yang banyak; jika salah satunya tidak berbudi luhur, hasil yang diperolehnya hanya sedikit.
Penggolongan Menurut Pasangan Lima

ADHAMMA DANA (lihat nomor 11 dari Penggolongan Menurut Pasangan Dua), ada lima macam Adhamma Dana, yakni:
1.    Pemberian makanan minuman yang memabukkan, dan senjata dengan mesiunya.
2.    Pemberian boneka-boneka untuk pertunjukkan, alat tari-tarian.
3.    Pemberian berupa hewan-hewan untuk maksud seksual.
4.    Pemberian berupa wanita-wanita untuk maksud seksual.
5.    Pemberian gambar atau karya-karya yang dapat menimbulkan Kilesa (kekotoran batin).

Bila Seseorang memberikan racun, tali pengikat, pisau atau senjata-senjata lain secara sadar kepada seseorang yang ingin bunuh diri (juga cara-cara bunuh dirinya ikut diterangkan), hal itu termasuk Panatipata Kamma, bukan Kusala Kamma. Hal ini juga berlaku bagi seseorang yang sedang berusaha untuk membunuh orang lain. Tetapi, seandainya racun diberikan untuk tujuan penyembuhan penyakit, maka hal itu adalah Kusala Kamma.

Jika senjata-senjata dan mesiunya pertama-tama dibuat tak berbahaya, kemudian dapat digunakan di Vihara, maka hal itu adalah Kusala Kamma (perbuatan baik).

Pemberian berupa alat untuk menari, pertunjukkan dan sebagainya yang dapat menyebabkan timbulnya Kilesa (kekotoran bathin) adalah Akusala Kamma. Tetapi bila alat-alat seperti seruling, tambur, bedug dan sebagainya digunakan untuk menghasilkan suara-suara yang cocok dan sesuai untuk vihara, maka pemberian barang-barang tersebut tidak termasuk Akusala Kamma.

Bila barang-barang/obat-obatan yang memabukkan diberikan tidak dengan maksud untuk mabuk-mabukkan, tetapi untuk obat (dengan ditelan atau untuk dipakai di luar) dengan tujuan utama untuk menyembuhkan penyakit, maka hal itu adalah Kusala Kamma.

Pemberian hewan-hewan dan manusia (wanita) untuk menjalankan Kusala Kamma, dan tidak untuk maksud seksual atau perbuatan tidak bermoral lainnya, dapat dikatakan sebagai Dhamma Dana.

Di Dalam Velamaka Sutta, urutan daripada buah jasa yang diperoleh sesuai dengan tingkat-tingkat si penerima dan sesuai dengan hakikat/sifat perbuatan dana tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan makanan kepada seseorang yang telah mencapai kesucian tingkat Sotapanna (tingkat pertama), akan menghasilkan buah jasa yang lebih banyak daripada memberikan Dana ke-empat jurusan, yang dilakukan oleh Brahmana Velamaka selama 7 tahun, 7 bulan dan 7 hari.
2.    Memberikan makanan sekali kepada seorang Sakadagami (Kesucian kedua) akan lebih banyak menghasilkan buah daripada 100 orang Sotapana.
3.    Kepada seorang Anagami akan menghasilkan buah jasa lebih banyak daripada 100 orang Sakadagami.
4.    Kepada seorang Arahat (Kesucian terakhir) akan menghasilkan buah jasa yang lebih banyak daripada 100 orang Anagami (Kesucian ketiga)
5.    Kepada seorang Pacceka Buddha (Buddha “Diam”) akan menghasilkan buah jasa yang lebih banyak daripada 100 orang Arahat.
6.    Kepada seorang  Samma Sambuddha (Buddha “Sempurna”) akan menghasilkan buah jasa yang jauh lebih banyak daripada 100 orang Pacekka Buddha.
7.    Pemberian kepada Sangha (Pesamuan para Bhikkhu), akan menghasilkan buah jasa jauh lebih banyak daripada Samma-Sambuddha.
8.    Pemberian sebuah Catudisa Sanghika Vihara menghasilkan buah jasa yang jauh lebih banyak. Ini adalah pemberian berupa dana materi yang tertinggi.
9.    Lebih menghasilkan buah jasa yang besar adalah Berlindung kepada Sang Tiratana.
10.    Lebih menghasilkan buah jasa yang besar adalah mematuhi/melaksanakan Pancasila Buddhis.
11.    Lebih menghasilkan buah jasa yang besar adalah melatih Samatha Bhavana untuk beberapa saat.
12.    Lebih menghasilkan buah jasa yang besar adalah melatih Vipassana Bhavana/Meditasi Pandangan Terang.

Penjelasan singkat ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana cara melakukan pemberian yang baik. Sangat diharapkan agar penjelasan tersebut dapat membantu kita dalam menerapkan dasar-dasar Kamma yang baik.

Ladang Subur Untuk Berdana

Di dalam Maha Abhidharma disabdakan: Walaupun begitu banyak ladang kebajikan, tetapi hanya Buddha saja ladang kebajikan yang utama.

Di dalam Sutra Fu Thien Cing, Hyang Buddha bersabda kepada Raja dewa (Thien Ti), di antara sembilan puluh enam aliran kepercayaan agama, Jalan keBuddhaan yang paling mulia; Di antara ajaran kebenaran dari sembilan puluh enam aliran, Buddhadharma adalah yang paling sempurna; Di antara para petapa aliran sembilan puluh enam tersebut, Sangha yang berlindung pada Buddhalah yang paling benar.

(Kenapa demikian mulianya Hyang Buddha? Karena selama Tiga maha Asenkyakalpa melatih diri, menolong semua makhluk dan menyempurnakan sarva paramita. Sehingga  kesucian, kebijaksanaan dan jasa pahala kebajikan Hyang Buddha tak  terkatakan dan tidak terjangkau oleh pikiran umat awam. Di Triloka Dhatu, Hyang Buddhalah yang paling mulia dan tiada bandingnya. Bilamana ada makhluk dapat membangkitkan sekali saja untuk memberikan penghormatan kepada Hyang Buddha, maka jasa kebajikannya sudah melampaui dana pemberian segala permata di angkasa raya. Oleh karena itu, dianjurkan kepada putra-putri yang berbudi seharusnya menanam akar kebajikan di ladang Triratna Buddha, Dharma dan Sangha yang paling tepat dan subur).

Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra, Bab 10, Varga perbandingan Jasa-Jasa Berdana. Hyang Buddha bersabda kepada Ksitigarbha Bodhisattva: “Seperti diketahui, bahwa di dunia Jambudvipa itu terdapat banyak Raja-raja, Menteri-menteri dan pegawai negeri, Maha Grhapati, Maha Ksatria, Maha Brahmana dan sebagainya. Seandainya mereka bertemu dengan umat yang miskin merana, bahkan bertubuh cacat, bisu, tuli, buta dan sebagainya, bila ketika mereka hendak berdana, mereka dapat bersikap ramah, disertai senyuman memberikan sedekah itu dengan tangan sendiri atau menyuruh orang melakukannya dengan lemah lembut. Maka pahala yang akan diperoleh Sang Raja atau Menteri dan lain-lainnya itu akan sama banyaknya dengan berdana kepada Buddha yang banyaknya bagaikan butiran pasir ratusan Sungai Gangga!” “Mengapa pahala yang diperoleh mereka demikian besarnya? Disebabkan karena Sang Raja, para menteri dan sebagainya dengan jiwa yang welas asih memberikan dananya kepada para umat yang hina diri serta cacat tubuh, maka mereka memperoleh imbalan yang demikian agung, hingga ratusan ribu kelahiran memiliki Saptaratna yang sempurna, apalagi sandang dan pangan!”

“Ada lagi, Yang Arya Ksitigarbha, Seandainya para raja dan Brahmana yang berada dimasa yang akan datang, jika mereka bertemu dengan Vihara, Stupa atau Buddha Rupang, Bodhisattva Rupang, Sravaka dan Pratyekabuddha rupang, lalu mereka merawatnya sehingga orang dapat melakukan puja bhakti, pemujaan semacam ini adalah berdana maha besar. Maka para Raja dan sebagainya akan dilahirkan di Surga Trayastrimsa menjadi Raja Sakra dan ia akan menikmati kebahagiaan Surga sampai 3 kalpa! Jikalau Sang Raja tersebut menyalurkan jasa-jasa yang diperolehnya tadi kepada para makhluk yang berada diseluruh Dharmadhatu, maka para Raja dan sebagainya ini akan menjadi Maha Brahma Raja selama 10 kalpa!”.

“Ada lagi, Yang Arya Ksitigarbha, Seandainya para Raja, Brahmana dan sebagainya bertemu dengan Stupa, Vihara, Gambar Buddha atau Buddha rupang serta Sutra-sutra Buddha sebagai peninggalan jaman dahulu, lalu mereka memperbaiki, memelihara dengan kekuatan sendiri atau dilakukan bersama-sama dengan orang lain hingga ratusan ribu orang, berdana secara demikian itu akan mendapatkan rahmat Buddha. Maka Sang Raja dan sebagainya dalam ratusan ribu kelahiran akan menjadi Raja Cakravartin. Sedangkan pembantu lain dalam berdana demikian itu akan menjadi raja kecil. Apalagi jika Sang Raja serta pembantunya dapat menyalurkan jasa-jasanya kepada semua makhluk hidup, imbalan jasa-jasanya sungguh besar tidak terbayangkan”.

“Adalagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat para raja serta Brahmana dan sebagainya, bertemu dengan orang tua, yang sakit dan yang melahirkan, sesaat itu merasa iba dan memberikan obat-obatan, makanan minuman serta tempat tidur sehingga mereka merasa selamat sentosa. Jasa-jasa seperti ini teramat agung dan tak terkatakan. Dalam masa 100 kalpa, sang Raja dan sebagainya akan menjadi penguasa di Surga Suddhavasa, kemudian menjadi Penguasa di Sad Karmadhatu dan akhirnya mereka akan menjadi Buddha, tak akan terjerumus ke alam kesengsaraan untuk selama-lamanya, bahkan dalam ratusan ribu kelahiran mereka takkan mendengar suara kesedihan”.

“Ada lagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat para raja serta Brahmana dan sebagainya dapat berdana seperti yang tersebut, mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa, apa lagi jika jasa-jasanya disalurkan kepada semua makhluk hidup di alam semesta, baik sedikit maupun banyak, mereka akhirnya akan menjadi Buddha. Apalagi manjadi Raja Cakravartin, Raja Sakra, Raja Maha Brahmana dan sebagainya. Oleh karena itu Yang Arya Ksitigarbha, nasehatilah semua makhluk hidup agar mereka mau berdana demikian itu dan menyalurkan semua jasa-jasanya kepada semua makhluk hidup supaya kita semua menjadi Buddha kelak”.
“Lagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat putra-putri yang berbudi yang dapat menanamkan kebajikan dibidang Buddha Dharma, sekalipun kebaikannya itu hanya seujung rambut atau sebutir debu, namum buah yang akan diterimanya nanti sungguh sukar diperkirakan”.

“Lagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat putra putri yang berbudi dapat berdana atau memuja rupang atau gambar-gambar para Buddha, Bodhisattva, Pratyekabuddha atau Raja Cakravartin dan sebagainya, mereka akan memperoleh kebahagiaan yang tak terbatas dan selalu dilahirkan di Surga atau di dunia manusia untuk menikmati pahala besar mereka. Akan tetapi, jika jasa-jasa yang diperoleh mereka itu semua disalurkan kepada para makhluk hidup di alam semesta atau Dharmadhatu, maka pahala yang akan mereka peroleh nanti sungguh besar sekali tidak terbayangkan”.

“Lagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat putra putri yang berbudi, mendapatkan Sutra Mahayana atau mendengarkan satu Graha atau satu perkataan dari Sutra itu, lalu timbul rasa hormat untuk memujinya dengan khidmat atau berdana dengan mencetak dan menyebarluaskan Sutra tersebut, maka orang yang berbudi ini akan memperoleh pahala besar sekali. Jika jasa-jasanya disalurkan kepada para makhluk di alam semesta akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa dan tidak terbayangkan”.

“Lagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat putra putri yang berbudi, bertemu dengan Stupa, Vihara atau menemukan Sutra Mahayana dan sebagainya yang masih baru dan utuh, lalu mereka memuja, memelihara atau menghormati dengan sujud, atau penemuan mereka itu sudah lama, lapuk dan rusak, kemudian diperbaiki hingga utuh baik kembali, hal itu baik dilakukan sendiri atau be-ramai-ramai dengan orang lain. Maka putra-putri yang berbudi itu akan mendapat kesempatan 30 kali kelahiran sebagai raja kecil. Jika pekerjaan yang mulia ini dikerjakan oleh seorang Danapati, maka ia akan menjadi seorang Raja Cakravartin dan selalu dengan kebajikan-kebajikan membimbing para raja kecil”.

“Lagi, Yang Arya Ksitigarbha, pada masa yang akan datang, jika terdapat putra putri yang berbudi, pernah beramal dengan berdana atau memuja atau memperbaiki stupa, vihara, kitab berisi Sutra-sutra, sekalipun akar kebaikan yang telah ditanamkan ini hanya seujung rambut, sebutir debu atau pasir atau setetes air, disalurkan kepada makhluk hidup di alam semesta atau Dharmadhatu, mereka akan menikmati pahalanya hingga ratusan ribu kelahiran. Akan tetapi jika jasa-jasanya disalurkan kepada sanak saudaranya atau saudaranya atau diri sendiri saja, pahala yang akan dinikmati hanya 3 kali kelahiran. Janganlah melepas pahala yang maha besar dengan mendapatkan pahala yang kecil. Demikianlah Yang Arya Ksitigarbha, hukum berdana itu sangat menakjubkan!”.

Di dalam Sutra Cing Kang Cing, disabdakan: Para Bodhisattva demikian melaksanakan kebajikan berdana tidak terjebak dan melekat kepada wujud (tiada corak sang aku, tiada corak kepribadian, tiada corak keusiaan dan tiada corak perbedaan dari makhluk-makhluk), maka jasa kebajikannya tidak terkirakan dan tidak terbatas.

Dalam petikan Anguttara Nikaya II (V,31), Hyang Buddha menerangkan tentang manfaat-manfaat dari berdana. Pada suatu ketika, yang terberkahi berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu putri Sumana di ikuti lima ratus wanita kerajaan di dalam lima ratus kereta datang mengunjungi Beliau. Setelah tiba, dia memberi hormat dan duduk di satu sisi sambil berkata: “Bhante, seandainya ada siswa Bhante yang setara keyakinannya, keluhurannya, dan kebijaksanaannya. Tetapi yang satu pemberi dana dan yang lain bukan  pemberi dana. Maka kedua ini, ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, akan terlahir lagi di alam bahagia, alam surgawi. Setelah menjadi dewa demikian, adakah perbedaan di antara keduanya, Bhante?”

“Ada Sumana. Si pemberi dana, sesudah menjadi dewa, akan melampaui yang bukan pemberi dana dalam lima hal: masa hidup surgawi, keelokan, kebahagiaan, kemasyuran, dan kekuatan surgawi”.

“Tetapi, Bhante, jika keduanya ini meninggal dari sana dan kembali ke dunia ini, apakah masih ada perbedaan?”

“Ada Sumana. Si pemberi dana, setelah menjadi manusia, akan melampaui yang bukan pemberi dana dalam lima hal: masa hidup manusiawi, keelokan, kebahagiaan, kemasyuran, dan kekuatan.”

“Tetapi, Bhante, jika keduanya ini meninggalkan kehidupan perumah tangga menuju kehidupan tak berumah tangga atau menjadi bhikkhu, apakah masih ada perbedaan?”

“Ada, Sumana. Si pemberi dana, sesudah menjadi bhikkhu, akan melampaui yang bukan pemberi dana dalam lima hal: dia sering dimintai untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan sesama bhikkhu akan ramah terhadapnya baik melalui ucapan, badan jasmani, maupun pikiran; pemberian-pemberian yang mereka bawa kepadanya kebanyakan menyenangkan.”

“Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai tingkat kesucian Arahat, apakah masih akan ada perbedaan?”

“Dalam hal itu, Sumana, Ku nyatakan tidak akan ada perbedaan antara satu pembebasan dan pembebasan lain”.

Demikianlah manfaat dari berdana seperti yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha. Maka dari itu, lakukanlah perbuatan berjasa ini dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nantinya kita akan memperoleh kebahagiaan baik di alam manusia maupun di alam para dewa yang akan melampaui yang bukan pemberi dana.

Di dalam Sutra Ta Fang Pien Fo Pau En Cing, disabdakan: Keberadaan Ayah, Ibu dan Perkumpulan Sangha adalah dua jenis ladang rejeki untuk mesti dilakukan oleh semua makhluk, semua jasa pahala terlahir di alam dewa dan manusia, atau memperoleh buah kesucian dan pembebasan Nirvana, semua disebabkan melaksanakan dua kebajikan tersebut di atas. Perkumpulan Sangha adalah ladang rejeki yang paling  subur untuk keluar dari Triloka Dhatu (3 Alam Tumimbal lahir yaitu: Karma-Dhatu, Rupa-Dhatu, Arupa-Dhatu);  Sedangkan Ayah dan Ibu adalah ladang rejeki yang sangat subur di dalam Triloka Dhatu.

MANFAAT  BERDANA

Di dalam Samadhiraja Sutra, disebutkan 10 keuntungan hasil dari latihan berdana Seorang Bodhisattva senantiasa setia dan teguh dalam beramal (tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan atau menunda-nunda untuk berbuat amal/berdana). Kebajikan demikian menghasilkan keberuntungan sebagai berikut:

1.    Dapat melenyapkan dosa yang berasal dari keserakahan dan kekikiran.
2.    Hatinya dimuliakan oleh semangat cinta kasih dan penolakan kejahatan.
3.    Menikmati kesenangan dalam kegiatan amal dengan banyak orang.
4.    Kelak dilahirkan dikeluarga kaya yang memiliki banyak kesenangan.
5.    Saat dilahirkan sudah memiliki watak kemurahan hati.
6.    Menjadi terkenal di antara 4 macam kumpulan (yakni bhiksu-bhiksuni, upasaka dan upasika).
7.    Diterima dan dihormati oleh semua kumpulan.
8.    Kemuliaannya menjadi termashur di segenap penjuru sebagai penderma agung.
9.    Memiliki wujud rupawan, tangan dan kakinya lembut, mungil dan indah.
10.    Senantiasa mendapat berkah karena dikelilingi oleh teman-teman yang baik untuk memperoleh Penerangan.

“Di dunia ini ia berbahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu, ia akan berbahagia ketika berpikir, ‘aku telah berbuat kebajikan’, dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia”. (Dhammapada, 18).

Hyang Buddha menjelaskan disaat membuang air setelah mencuci piring sudah termasuk tindakan kebajikan asalkan diiringi dengan pikiran kemurahan hati dan berdoa: “Semoga partikel-partikel makanan di dalam cucian ini menjadi makanan bagi makhluk-makhluk di selokan atau di tanah”.

“Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa. Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati. Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi, dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya”. (Dhammapada , 177)

Di dalam Sutra Buddha Bersabda Manfaat Berdana, dijelaskan sebagai berikut:

Ada tiga puluh tujuh jenis berdana dan ragam jasa pahala yang dihasilkannya, yaitu:
1.    Dengan keyakinan yang kuat melaksanakan dana, seketika itu juga dapat menjauhi kesirikan dan mendapatkan penghormatan dari orang lain.
2.    Tepat waktu dalam berdana, memperoleh kemurnian pikiran, ucapan dan perbuatan; setiap saat pagi, siang, sore dan malam (4 waktu)  hatinya tenang tenteram.
3.    Sering berdana, batin dan jasmaninya memperoleh konsentrasi yang menggembirakan tiada kacau dan galau.
4.    Berdana dengan tangan sendiri, memperoleh jari lentik yang panjang, dan wujud tubuh yang indah mempersona.
5.    Mewakili orang lain berdana, kelak mendapatkan balasan orang lain berdana besar atas namanya.
6.    Berdana sesuai ajaran, hati menjauhi dari kemelekatan corak akan mendapatkan rejeki tanpa hasrat.
7.    Berdana dengan raut muka yang senyum menawan, akan mendapatkan wujud dan tubuh yang rupawan dan orang melihatnya banyak yang senang dan menyukainya.
8.    Mendanakan dupa yang terbaik dan harum, senantiasa akan memperoleh barang berkualitas dan senang menggunakan keharuman dupa.
9.    Mendanakan citra rasa makanan yang terbaik, akan memperoleh makanan dengan citra rasa terbaik pula, bergizi dan menyehatkan tubuh.
10.    Berdana dengan ajaran Dharma dengan menitik beratkan rasa hormat akan memperoleh ketentraman, kesenangan, dan banyak orang suka melihatnya.
11.    Berdana dengan jiwa besar dan lapang akan memperoleh rejeki yang maha besar.
12.    Berdana makanan yang didekorasi indah akan dijauhkan dari kelaparan dan memiliki gudang ransum yang berlimpah.
13.    Berdana minuman juice, kemana saja tidak akan kelaparan dan kehausan.
14.    Berdana pakaian, akan memperoleh pakian indah dan sangat serasi di tubuh.
15.    Berdana tempat tinggal, akan memperoleh ladang yang luas, tempat tinggal rumah bertingkat yang besar, megah dan indah.
16.    Berdana tempat tidur akan dilahirkan dikeluarga kaya yang memiliki segala perabotan bersinar dan bersih.
17.    Berdana gajah, kuda atau kendaraan kereta, akan memperoleh empat kekuatan yaitu (a. Harapan  mudah terkabul, b. Pikiran mudah dikendalikan, c. Semangat tinggi, d. Kebijaksanaan berkembang).
18.    Berdana obat-obatan, akan memperoleh kesehatan dan tiada mengidap segala penyakit.
19.    Berdana sutra dan Dharma, akan memiliki berbagai kegaiban yang dapat mengetahui masa lalu.
20.    Berdana bunga dan buah akan memperoleh tujuh faktor penerangan sejati. (a. Kemampuan; b. Penyelidikan terhadap Dharma; c. Usaha yang bersemangat; d. Kegiuran atau kegembiraan yang mendalam; e. Ketenangan batin; f. Konsentrasi pikiran yang sempurna; g. Keseimbangan batin.)
21.    Berdana kembang perhiasan (kalung  berupa untaian bunga) akan terbebas dari kekotoran batin yang  berbentuk keserakahan, kebencian dan kebodohan.
22.    Berdana parfum atau wangi-wangian akan dijauhkan dari kegalauan, kejorokan dan kekotoran.
23.    Berdana payung akan mendapatkan Dharma keleluasaan.
24.    Berdana, bel (lonceng, genta) mendapatkan suara yang merdu dan menawan.
25.    Berdana alat-alat musik akan mendengarkan suara musik surgawi yang sangat gaib.
26.    Berdana pelita penerangan akan memperoleh mata yang bening dan terang.
27.    Berdana pakaian atau kain sutera akan mendapatkan baju pembebasan (kelak dapat mengenakan pakaian rahib).
28.    Berdana air parfun atau air wangi yang dipercikan ke stupa Buddha atau vihara akan memperoleh tiga puluh dua ciri fisik keagungan dan tanda-tanda kemuliaan lain yang menyertainya.
29.    Berdana air parfum atau air kembang untuk memandikan/membersihkan tubuh Buddha akan memperoleh tiga puluh dua ciri fisik keagungan dan tanda-tanda kemuliaan lain yang menyertainya.
30.    Berdana minyak wangi untuk diolesi ke Buddha rupang, juga akan memperoleh tiga puluh dua ciri fisik keagungan dan tanda-tanda kemuliaan lain yang menyertainya.
31.    Berdana air harum untuk keperluan mandi para anggota sangha akan memperoleh kelahiran dikeluarga makmur dan mulia, jarang sakit dan hidup tentram.
32.    Berdana dengan cinta kasih akan memperoleh raut muka yang damai, menyenangkan dan tiada sifat kebencian dan karakter jiwa pendendam.
33.    Berdana dengan welas asih akan dijauhkan dari bencana pembunuhan atau perilaku yang menyakitkan.
34.    Berdana dengan gembira tidak akan memperoleh rasa ketakutan, dijauhi dari rasa khawatir dan kegalauan.
35.    Berdana dengan keiklasan akan dijauhi dari rintangan batin dan memperoleh batin yang damai, sunyi dan sunya.
36.    Berdana aneka jenis keperluan dan kebutuhan akan memperoleh berbagai macam rejeki dan keberuntungan.
37.    Berdana dengan hati tanpa corak dan melekat, akan memperoleh penerangan sempurna.

Hyang Buddha bersabda bahwa ke tiga puluh tujuh jenis dana yang dilakukan khusus dan telaten oleh para bijaksana.

Di dalam Sutra Fo Shuo Chien Fo Ying Yen Cing, disabdakan: Berdana adalah perilaku yang mengumpulkan ‘Pahala Pranita’ (kebajikan yang gaib), kelak menerima balasan kehidupan makmur tiada kemiskinan. Para dewa dan umat manusia dikarena kebajikan berdana maka memiliki kesempatan terlahir di kedua alam tersebut. Oleh karena itu, para bijaksana bergembira mempraktikkan kebajikan berdana.
Buddha bersabda ada 33 jenis berdana tidak murni

Suatu ketika Hyang Buddha bersabda kepada Pi Ye Sha (毗耶娑): Manusia memang senantiasa melakukan  pahala kebajikan, namun sering sekali dengan hati pikiran yang tidak murni, ini bukanlah berdana yang sesungguhnya. Beliau mengatakan ada 33 jenis berdana yang tidak tulus, antara lain:
1.    Berdana dengan hati pikiran yang tidak tulus, dengan kegelapan batin (pikiran dan pengertian yang jungkir-balik), maka ini bukanlah benar-benar berdana yang murni.
2.    Jika kemarin seseorang memberikan saya sepotong kue, dan hari ini saya harus membalas dengan  memberikan dia sebuah kado, atau andai kata 10 tahun yang lalu seseorang pernah membantu saya, sekarang dia mengalami kesulitan dan saya memberi bantuan padanya, ini bukanlah berdana yang murni, hanya sekedar hubungan perasaan saja dengan membalas jasa kebaikan orang.
3.    Ketika seseorang berdana, namun bukan dilandasi dengan cinta kasih dan kasih sayang yang tulus, hanya sekedar gejolak emosi atau mengharapkan simpati, ini bukanlah berdana yang murni.
4.    Didorong oleh hasrat keinginan pribadi, misalnya melihat sesuatu yang kita suka, kemudian kita bersedia memberikan sesuatu yang lebih, ini bukan termasuk berdana yang murni
5.    Melempar barang-barang keperluan ke dalam api, ini bukanlah berdana, karena api adalah sesuatu sifat membakar yang dapat merusak benda dan sehingga menyia-nyiakan sesuatu benda, dan tidak bisa memberikan manfaat kepada orang  lain.
6.    Melempar barang-barang keperluan ke dalam sumur, ini bukan juga berdana, karena air pun mempunyai sesuatu sifat merusak benda, akibatnya menyia-nyiakan sesuatu benda, dan tidak bisa memberikan manfaat kepada orang  lain.
7.    Apabila ada yang memberikan parsel besar kepada para pejabat, dengan harapan mendapatkan promosi jabatan atau kemudahan yang dinginkan. Juga bisa karena pengaruh seseorang  pejabat atau pengusaha, kita berdana, maka dana ini disebut dana pamrih bukan dana murni.
8.    Kekuatiran pada pemerasan harta oleh para penjahat, kemudian dana ini disumbangkan dengan harapan dapat melenyapkan karma buruk sendiri, ini bukan termasuk berdana yang murni.
9.    Memberikan kepada orang opium, heroin dan obat anastesi (bius), ini bukanlah berdana. Tetapi jika seorang dokter melihat pasien sangat menderita akibat kesakitan, kemudian dokter memberikan obat anastes ini adalah berdana yang tepat.
10.    Memberikan orang senjata untuk melindung diri, ini tidak termasuk berdana.
11.    Memberikan kepada orang daging, ini tidak termasuk berdana.
12.    Memungut dan merawat anak yatim piatu adalah baik tetapi jika ada maksud dan tujuan kelak sesudah dewasa akan dijadikan pesuruh ini bukanlah berdana.
13.    Demi kejayaan  dan nama baik berdana, tidaklah termasuk berdana paramita yang murni.
14.    Melakukan bakti sosial dengan atas nama satu acara show, tidak termasuk berdana paramita yang murni.
15.    Seseorang mengalami kebangkrutan dan memindahkan hartanya kepada orang lain dengan sangat terpaksa, ini bukanlah berdana paramita.
16.    Jika sebuah rumah ada kasus kemudian dihibahkan ke sebuah lembaga sosial, ini bukanlah termasuk berdana.
17.    Apabila kita mengetahui berdana adalah perbuatan baik, tetapi tidak mempunyai uang/harta, lantas mengambil dana orang lain jadikan seperti dana sendiri dan berdana, ini tidak termasuk berdana paramita yang murni.
18.    Padi yang ada dilumbung padi termakan oleh tikus dan burung, pemilik merasa sangat marah, ini tidak termasuk berdana, dan jika kita ingin menyumbang beras, maka sumbanglah beras yang baik.
19.    Ketika kita mengundang seorang mekanik (ahli) perbaiki alat-alat, dan sambil kita belajar, kemudian kita mengungdang dia makan, memberinya uang, ini tidak termasuk berdana.
20.    Jika seorang pasien merasa penyakitnya sudah tidak bisa sembuh, kemudian dia memberikan jasa (uang) yang banyak  kepada dokter dengan harapan dokter dapat mengobatinya dengan sekuat tenaga, ini juga bukan berdana yang murni.
21.    Setelah memukul dan memarahi orang kemudian merasa tidak enak hati dan memberikan sesuatu dana menandakan permohonan maaf ini juga bukan berdana yang murni.
22.    Ada orang setelah berdana timbul curiga kepada yang menerima, atau apakah orang yang menerima dana ini bisa membalas budi padanya ini bukanlah berdana yang murni.
23.    Ada orang setelah berdana merasa sangat sakit hati, dan menyesal, ini benar-benar “bukan berdana”,   (Pengalaman saya  ketika masih muda saat itu sedang belajar Buddha Dharma di Shi Zhuan, ketika itu ada orang mengalami kesulitan dan meminta pertolongan, saya tampil di depan sebagai penggalang dana, karena pengaruh saya, mereka semuanya ikut sumbang, tetapi akhirnya saya dinasehati oleh seorang  senior saya, beliau berkata: Hai, anak muda lain kali anda jangan menjadi pelopor penggalang dana, di kota Shi Zhuan ini, ada pepatah mengatakan: “Menganjurkan  orang berdana bagaikan memotong daging mereka”).
24.    Ada semacam orang, dia mengira setelah memberikan dana pada orang lain, seumur hidup penerima dana harus menuruti perintahnya. Ini juga bukanlah berdana yang murni.
25.    Ada sebagian orang tua mengira setelah baca sutra dan mantra, dapat mengumpul pahala kebajikan, dan dicatat dalam buku catatan, untuk kelak di surga dapat sesuatu, ini bukanlah berdana paramita.
26.    Saat orang menjelang kematian, merasa sangat menderita, dan menyadari bahwa waktu sudah tidak lama lagi, ia tidak mewarisin harta ke anaknya melainkan berdana ke tempat lain, ini juga bukan berdana yang baik.
27.    Berdana untuk mencari ketenaran di televisi atau di media surat kabar, untuk menarik simpati orang banyak, ini juga bukan berdana yang murni.
28.    Andaikata melihat orang sedang berdana 10 dollar, yang lain juga ikut berdana 15 dollar, namun ada satu boss, tidak mau kalah, dia ikut berdana 20 dollar, mengalahkan kedua donatur. Andaikata kita berdana dengan iri hati dan ingin lebih hebat dari orang lain, berdana paramita ini tidaklah murni.
29.    Karena melihat wajah gadis yang cantik dan bersedia memberikan perhiasan dan uang yang banyak, untuk mendapati perhatian si gadis ini tidak termasuk berdana paramita yang murni
30.    Ada orang karena tidak mempunyai sanak saudara, dia baru ingin sumbangkan hartanya kepada orang lain, walaupun ini adalah tindakan yang bagus, tetapi dari sisi  Dharma, ini bukan dikategori berdana.
31.    Jika berdana memilih–milih, maka tindakan ini tidak termasuk berdana paramita yang tulus.
32.    Berdana harus seperti “menghantar bara di musim dingin, jangan sulami bunga di atas kain sutra. Jika anda berdana hanya melihat ke atas, maka ini bukanlah berdana paramita yang tulus.
33.    Jika hanya pemberian sedikit bunga atau buah-buahan kepada orang lain, ini hanya perbuatan biasa bukanlah dikatagorikan berdana.

Berdana dalam Buddhism, andaikata kita uraikan satu-persatu, semuanya mempunyai makna sila dan vinaya (norma yang harus dijalankan). Hyang Buddha memberitahu kepada Pi Se Ye bahwa berdana tidak murni, maka tidak akan mendapatkan kebenaran dan buah kesucian di jalan keBuddhaan, paling-paling hanya melatih diri di jalan dewa saja. “Harta dari orang yang tidak baik, tidak akan bermanfaat bagi siapa-siapa. Harta dari orang yang kikir demikian juga tidak akan bermanfaat pada siapa-siapa dan juga dirinya sendiri. Sedangkan harta dari orang yang baik akan bermanfaat jika didanakan sehingga tidak akan tersia-sia”.

Kikir & Keuntungan Berdana, Hyang Buddha bersabda, “Duhai para Bhikkhu, seseorang yang bodoh ibarat sebagai seorang petani yang tidak mau menabur benih padinya di sawah. Dia hanya mengumpulkan padi hingga busuk, tersia-sia sampai tidak bisa untuk ditanam lagi. Bila saja padi tersebut ditabur, maka taburan satu butir padi akan memberikan satu tangkai padi dengan buah padi yang banyak. Demikian pula dana yang diberikan akan membuahkan pahala yang banyak. Mengoleksi harta tidak berguna, di mana harta itu hanya berguna bagi dirinya sendiri, sama dengan perhiasan-perhiasan yang indah tapi tidak dipakai, bagaimana perhiasan itu akan berguna? Malahan akan menyebabkan kekhawatiran dan perasaan was-was”. (Sutra 62 wejangan terakhir Sang Buddha dan jawaban kepada Dewa).

Beragam Kualitas Dari Pahala  Berdana

Banyak umat Buddha tidak mengetahui dan memahami perbedaan-perbedaan hasil berdana, misalnya:
1.    Pernah suatu kali Shariputra berdana makanan kepada Hyang Buddha, kemudian Hyang Buddha mengambil makanan tersebut dan diberikan kepada seokor anjing. Hyang Buddha bertanya: Anda berdana kepada saya dan saya berdana kepada seekor anjing, pahala manakah yang lebih besar? Shariputra menjawab Hyang Buddha memberikan dana kepada seekor anjing pahalanya sangat besar. Kenapa demikian? Karena dipandang dari kualitas pemberi dana yaitu kesempurnaan hati Buddha yang memberi tetapi tidak memandang kualitas penerima dana yaitu makhluk yang diberi dana.
2.    Di dalam Sutra Empat Puluh Dua Bagian, bab bagian ke-11, Hyang Buddha bersabda: “Daripada memberi dana makanan kepada seratus orang jahat, lebih baik memberikan makanan kepada orang yang saleh. Daripada memberi makan kepada seribu orang saleh, lebih baik memberi makan kepada seorang yang melaksanakan Pancasila. Dari pada memberi makan kepada sepuluh ribu pelaksana Pancasila, lebih baik memberi makan kepada seorang Srotapana. Daripada memberi makan kepada sejuta Srotapana. Lebih baik memberi makan kepada seorang Sakrdagamin.Daripada memberi makan kepada sepuluh juta Sakrdagamin, lebih baik memberi makan kepada seorang Anagamin. Daripada memberi makan kepada seratus juta Anagamin, lebih baik memberi makan kepada seorang Arahat. Daripada memberi makan kepada satu milyar Arahat, lebih baik memberikan makan kepada seorang Prayetka Buddha. Daripada memberi makan kepada sepuluh milyar Prayetka Buddha, lebih baik memberikan makan kepada seorang Bodhisattva yang telah mencapai tingkat keBuddhaan. Daripada memberi makan kepada sepuluh milyar Bodhisattva yang telah mencapai keBuddhaan lebih baik memberi makan kepada seorang yang tidak ada keinginannya lagi, tidak ada kemelekatan lagi, tidak ada yang perlu dilatih lagi dan tidak ada yang perlu dicapai lagi”. (Perbedaan jasa pahala ini karena ditinjau dari sudut kualitas penerima dana bukan kualitas pemberi dana).
3.    Yang Arya  Na Li Cuen Ce, dimasa lalunya pernah berdana makanan kepada seorang Pratyeka Buddha, atas jasa pahalanya ini selama sembilan puluh satu kalpa terlahir di surga dan di bumi hidup makmur tiada kemiskinan. Dengan rejeki dan jasa pahala ini ia mencapai kesucian Arahat. (berdana kepada makhluk awam yang membutuhkan memang mudah, banyak dan gampang dicari, tetapi berdana kepada makhluk suci adalah sulit diketahui, sulit dicari, sulit mempunyai kesempatan dan sungguh langka).
4.    Di dalam Sutra Wei Mo Cing disabdakan: Seorang Brahma San Te Chang Ce, mempersembahkan aneka permata dan mutiara untuk didanakan kepada Upasaka Vimalakirti (penjelmaan Bodhisattva), Upasaka Vimalakirti mengambilnya dan diberi dua bagian, yaitu satu untuk seorang Tathagata Nan Sen, satunya lagi diberikan kepada orang yang termiskin di dalam pasamuan tersebut. Hasilnya jasa pahalanya sama tidak ada perbedaan. (Kenapa tiada perbedaan jasa pahala? Karena memberikan dengan hati murni seimbang tanpa perbedaan).
5.    Umat awam bila berdana memberikan sesuatu umumnya terjebak dan melekat sehingga buahnya hanya dilahirkan menjadi makhluk yang memperoleh kebahagiaan relatif di surga atau di bumi. Sedangkan makhluk suci berdana tidak terjebak dan melekat, sehingga jasa pahalanya besar dan luas, memperoleh kebahagiaan mutlak yaitu kedamaian Nirvana. (inilah perbedaan umat awam dan makhluk suci dalam melaksanakan kebajikan berdana).
6.    Di dalam Sutra Avatamsaka disabdakan: Membina diri dengan melaksanakan banyak kebajikan tanpa mampu mengembangkan Bodhicitta adalah perilaku Iblis/Asura. (Bisa saja penerima dana adalah sama tapi kualitas hati pemberi dana berbeda maka hasil yang diperoleh pun berbeda akibat).

Berdana Kebajikan Tanpa Memberikan Uang atau Materi

Buddha bersabda ada 7 jenis berdana tanpa uang sepeserpun, tetapi dapat memperoleh pahala besar.          Adapun 7 jenis dana tersebut adalah tertera di bawah ini sebagai berikut:
1.    Dana kebajikan mata: senantiasa mempergunakan mata penglihatan untuk memandang sisi yang baik terhadap orang tua, guru dan semua orang, tidak mempergunakan mata memandang sisi yang buruk kepada semua orang. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan memiliki mata yang terang dan murni, kelak jadi Buddha memiliki mata dewa dan mata Buddha, ini dinamakan pahala besar pertama.
2.    Dana kebajikan menampilkan raut muka yang damai dan rupa menyenangkan: terhadap orang tua, guru dan semua orang tidak menampakkan raut muka yang bengis, jahat atau buruk rupa, melainkan menampilkan raut muka yang damai dan rupa yang menyenangkan. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima  tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan memiliki rupa yang menawan dan agung, kelak jadi Buddha memiliki rupa tubuh yang bercahaya emas, ini dinamakan pahala besar ke-dua.
3.    Dana kebajikan ucapan yang santun dan bermanfaat: terhadap orang tua, guru dan semua orang, senantiasa berbicara sopan, lembut dan bermanfaat, tidak berbicara kasar dan jelek. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima  tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan memiliki kepandaian dan kemampuan gaib dalam berbicara. Apa yang dibicarakan semua orang menyukai, menerima, meyakini, dan melaksanakannya, kelak jadi Buddha memiliki empat kepandaian handal, ini dinamakan pahala besar ke-tiga.
4.    Dana kebajikan tubuh: terhadap orang tua, guru dan semua praktisi yang melatih diri, bila bertemu menyambut dengan berdiri, memberi hormat (wensin) atau bernamaskara, dimanapun dan terhadap siapapun  senantiasa memberi hormat dan rendah hati tidak sombong. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima  tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan memiliki tubuh yang indah rupawan, tubuh yang tegap dan tinggi besar, bila orang melihatnya senantiasa menghormati, kelak jadi Buddha bagaikan pohon lebat yang tinggi besar, sulit dapat melihat ubun-ubunnya, inilah dinamakan pahala besar ke-empat.
5.    Dana kebajikan hati: Walaupun dapat memberikan 4 jenis dana yang disebutkan sebelumnya, tetapi bila tidak mempunyai hati damai dan berkebajikan maka tidak disebut berdana. Hati berkebajikan penuh kedamaian dan senang berbuat kebajikan, jikalau memiliki hati damai dan kebajikan ini dalam dan luas maka dinamakan dana hati. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima  tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan memiliki hati yang terang dan murni, tidak bodoh dan gila, kelak jadi Buddha, memperoleh hati yang memiliki semua kebijaksanaan, ini dinamakan dana hati yang merupakan pahala besar ke-lima.
6.    Dana kebajikan memberikan tempat duduk atau tempat rebahan: bilamana melihat orang tua, guru atau semua orang, dimanapun ia rela berdiri dan mempersilakan duduk atau rebahan di tempat yang tersedia, sampai bangku pribadi yang nyaman pun ia ikhlaskan untuk memberikan kesempatan duduk kepada orang lain. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan senantiasa memiliki kemuliaan dan tempat duduk atau rebahan yang terbuat dari tujuh permata, kelak jadi Buddha memperoleh ‘bangku Dharma berbentuk singa’, ini dinamakan pahala besar yang ke-enam.
7.    Dana kebajikan meminjamkan tempat tinggal: terhadap orang tua, guru dan semua orang dapat mempersilakan tempat tinggalnya sementara untuk dihuni bagi orang yang melaksanakan perjalanan jauh, melayani dengan telaten dan gembira. Orang ini setelah melepaskan tubuhnya (meninggal dunia) dan menerima tubuhnya kembali (kelahiran kembali) akan senantiasa memiliki tempat tinggal istana dengan mudah, kelak jadi Buddha dimanapun dan kapanpun memperoleh kedudukan di atas mustika permata dan bunga teratai. Ini dinamakan pahala besar yang ke-tujuh.

Wujud tujuh dana kebajikan ini semua dilakukan dari peran hati dan perilaku bajik, tidak pergunakan dana materi, tetapi kesemuaan ini memperoleh balasan pahala yang sangat besar.

Bagaimanakah Suasana Hati Setelah Berbuat Banyak Kebajikan?

Ada pepatah mengatakan: “Pemberi dana jangan mengharapkan balasan kebaikan dari penerima dana; Sedangkan penerima dana jangan melupakan kebaikan orang pemberi dana”. Sesungguhnya perilaku berdana atau perbuatan bajik kenyataannya untuk diri sendiri, memang kelihatan sementara kebaikan ini untuk orang lain, tetapi kebenarannya adalah untuk diri sendiri karena telah menanam bibit menciptakan sebab karma dan jodoh yang baik; Sedangkan si penerima dana harus mempertanggungjawabkan dan kelak harus bisa membalas budi dan kebaikan kepada si pemberi dana, baik dalam kehidupan sekarang, kehidupan yang akan datang atau untuk periode kehidupan selanjutnya yang lama sekali.

Di dalam Abhidharma Cing Kang Kwo Luen, disabdakan: Bahwa pernah Manjusri Bodhisattva bertanya kepada Hyang Buddha, “Bagaimana disebut hati yang baik?” Hyang Buddha bersabda: Dua kata dari “Hati baik” orang awam jarang memiliki dan sulit melaksanakan.

Bilamanakah  disebut hati baik?

Memberikan kebaikan kepada orang lain, tidak mengharapkan balasannya;
Membantu urusan orang lain, tidak mengharapkan imbalannya;
Berdana kepada orang lain, tidak mengharapkan buah rejekinya;
Peduli menolong orang lain, tidak mengharapkan balasan budi kebaikannya;

Melakukan banyak kebajikan dengan segala kerendahan hati, mengabulkan segala harapan banyak orang; Walaupun sulit melepaskan tetapi dapat melepaskan; Walaupun sulit bisa sabar pun masih bisa sabar; Walaupun sulit dilaksanakan tapi masih bisa dilaksanakan juga; Tidak membedakan kawan dan lawan; Berperilaku adil sama rata untuk peduli dan menolong; Realita kebenarannya dilaksanakan bukan hanya diucapkan oleh mulut saja. Orang bodoh membicarakan kebajikan hanya di mulut saja, tapi hati tidak ada cinta kasih dan perilaku kebajikannya; Sedangkan orang mulia sering melakukan kebajikan dengan hati baik, mulutnya tidak pernah mengucapkan kebaikan dirinya, hanya berpikiran peduli dan memberikan manfaat kepada banyak orang. Tidak memohon ketenaran nama dan segala harapan untuk dirinya sendiri, ini dinamakan orang yang memiliki “Hati baik”; Bila berdana hanya sejengkal tapi memohon balasan sepanjang semeter, menanam sedikit kebajikan tapi harapan dan permohonannya banyak maka orang tersebut dikatakan “Tidak Berhati Baik”.

Banyak umat Buddha karena belajar Buddhadharma sepenggal-pengal sehingga mempunyai persepsi salah terhadap ‘Hukum Kesunyataan’ yang umumnya dikenal sebutan “Anatta” diartikan segalanya adalah ‘Kekosongan’ sehingga timbul pandangan nihilistik tidak mau berbuat sesuatu apapun untuk meningkatkan kualitas diri, kualitas Dharma, kualitas kebajikan dan kualitas kebodhian. Kenapa bisa demikian? karena mereka belum memahami ‘Hukum Non-Dualitas’ yaitu realitas kekosongan yang berisi eksisitensi, begitupula segala eksistensi berisi kekosongan. Walau memiliki ekisistensi tapi tidaklah kekal, walaupun inti segalanya adalah kekosongan tapi tidaklah musnah. Bila saja batin seseorang tidak merealisasikan kekosongan dan melaksanakan segala kebajikan maka ia sulit di jalan Buddha. Oleh karena itu, untuk mencapai paramita menjadi Buddha maka mutlak harus sempurnakan segala kebajikan dengan batin sunya dan sunyi.
Pedoman utama Ajaran Buddha, yaitu : Jangan berbuat bodoh dan jahat; Sempurnakan segala kebajikan; Sucikan hati dan pikiran;  Inilah ajaran para Buddha . Pedoman ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu jangan melakukan kejahatan mencuri (tidak berbuat bodoh dan jahat), lakukan kebajikan dengan berdana (bertahap menyempurnakan segala kebajikan), saat berdana janganlah bersyarat dan pamrih, bila sudah berdana hati murni kembali tidak melekat (melakukan kebajikan dengan hati dan pikiran suci).

Inilah realita praktik utama ajaran para Buddha, bila praktik ini senantiasa dilakukan dan dikembangkan, niscaya kelak buahnya akan meraih kesempurnaan di jalan keBuddhaan.

Di dalam Sutra Ye Ten San Mei Cing, disabdakan: Sesungguhnya berdana bertujuan melenyapkan kekikiran dan keserakahan yang pernah dilakukan, perilaku kebajikan berdana ini adalah praktik awal memasuki jalan ke-Buddhaan.

Penutup

Demikianlah artikel ‘Corak dan Manfaat Berdana’ ini dibuat untuk dipahami dan dilaksanakan, harapannya semoga tulisan artikel ini menjadi inspiratif dan motivatif sekaligus menjadi acuan bagi umat Buddha dalam melaksanakan kemurahan hati atau amal kebajikan untuk mengembangkan rejeki dan keberuntungan dalam kehidupan sekarang maupun bekal untuk kehidupan selanjutnya. Untuk itu, sisikanlah sebagian keberuntungan Anda untuk amal kebajikan dengan dibarengi peningkatan kualitas Bodhicitta untuk menapak jalan ke-Buddhaan.

Akhir kata semoga semua makhluk memperoleh berkah perlindungan dan bimbingan spiritual dari Hyang Triratna Buddha, Dharma dan Sangha, Svaha.

Daftar Pustaka:
–    Kitab Suci Buddhadharma Mahayana dan Theravada
–    Sedikit cuplikan dari tulisan YM Master Shi Yun
–    Kebajikan Berdana yang Benar Cepat Membuahkan Kesuksesan, Dikutip dari Buku Bunga Rampai Dhammadesana, Oleh YM Bhikkhu    Subalaratano Mahathera.
–    Penjelasan Mengenai Dana; oleh YM Bhikkhu Ledi Sayadaw (Almarhum)
–    Buddha bersabda 33 jenis berdana tidak murni, asalnya dari bahasa Mandarin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bapak Darwin Tjoawanta.