Prajna Paramita Hrdaya Sutra

Pengaturan

(Penjelasan singkat oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Sthavira)

Pendahuluan

Hyang Buddha membabarkan Buddhadharma selama 49 tahun, kenyataannya tidak ada satu huruf yang di dapat. Patriach Bodhi Dharma berasal dari India yang membabarkan Dharma Zen di daratan China, tidak menggunakan aksara huruf dan kata-kata melainkan ajaran langsung menuju “pemahaman hati dan menampakkan Hakikat Buddha”.

Kehadiran para Buddha di bumi ini mempunyai tujuan untuk membabarkan Dharma ‘membuka’, ‘menjelaskan’, ‘menembusi’, dan ‘memasuki’ kebenaran pengetahuan dan pandangan Buddha.

Ajaran Buddha Dharma tentang Prajna (Kebijaksanaan Sempurna) sedalam samudera, seluas alam semesta. Di uraikan selama 22 tahun, tersusun dalam 600 jilid, Maha Prajna Sutra yang lengkap dibabarkan oleh Guru Agung Shakyamuni Buddha. Sutra Hati dari bahasa Sansekerta diterjemahkan ke dalam bahasa mandarin ada 14 versi, walaupun terjemahannya begitu banyak versi tapi arti, makna dan inti ajarannya semua sama, hanya saja terjemahan Maha Bhiksu Xian Zhuang yang efektif sehingga terpilih, diambil dan dipergunakan oleh seluruh kalangan Buddhis.

Umumnya ‘ajaran kecil’ Hinayana menggunakan kekuatan ‘Hukum Karma’ sebagai intinya. Sedangkan ‘ajaran besar’ Mahayana menggunakan ‘Prajna’ sebagai pembimbingnya.

Prajna Paramita Hrdaya Sutra adalah inti sari dari Maha Prajna Sutra. Sutra ini dianggap sebagai pedoman umat Buddha Mahayana dan selalu diulang-ulang setiap hari oleh siswa yang berkeluarga maupun para Bhiksu di Vihara. Namun sayang, walaupun banyak yang mengenal dan melafalkan Sutra Hati, tetapi kenyataannya hanya sedikit yang benar-benar memahami isi Sutra.

Buddha bersabda: semua Dharma guna menyembuhkan penyakit hati. Bila tidak ada masalah hati; Untuk apa Dharma dibabarkan?

Arti: Semua Dharma yang dibabarkan untuk mengatasi masalah dan penyakit hati, sehingga Sutra Hati menjadi inti dan potensial untuk dipelajari dan dipahami.

Di dalam Sutra Avatamsaka dikatakan: Ingin mengetahui semua Dharma, berasal dari hati dan kesejatian diri. Sempurnanya tubuh kebijaksanan dan pencerahan semua berasal darinya.

Semua kegalauan dan penderitaan manusia disebabkan oleh faktor kebodohannya, karena umat awam tidak bisa memahami dan menggunakan peran dan fungsi hati dengan baik dan benar, sehingga hidupnya dipermainkan oleh perubahan dan kondisi, akibatnya hidup banyak susah dan derita. Bila saja manusia dapat menyadari hati dan pikirannya berikut prosesnya, dipastikan dapat melenyapkan khayalan dan penderitaannya.

Pikiran adalah pelopor dari semua tindakan. Memperbaiki atau mengendalikan semua tindakan, maka harus dimulai dari meluruskan pandangan dan menjernihkan pikiran. Pikiran adalah kelompok dari Panca Skandha, sehingga mutlak untuk dipelajari dan dipahami. Tanpa mengenal keberadaan, kondisi dan kebenaran diri sendiri yang terdiri dari jiwa dan raga, maka kiranya semua pembinaan diri cenderung tidak tepat dan salah kaprah, atau pembinaannya tidak menghasilkan kebijaksanaan dan jasa pahala besar. Malah dikhawatirkan sikap tinggi hati dan sembrono akan meningkat, apabila tidak adanya Prajna dalam setiap tindakan.

Ada istilah populer di kalangan Buddhis, yaitu: “Membina diri tapi tidak membina hatinya maka cepat atau lambat jadi siluman; Membina hatinya tapi tidak membina diri, sulit menghindari cibiran banyak orang”. Kenapa membina diri saja tanpa membina hatinya kok bisa jadi siluman? Karena corak siluman berbentuk dewa tapi berhati iblis, itulah karakter siluman yang menjadi musang berbulu domba. Artinya bila cetusan hatinya bajik tapi kemudian tidak Sunya maka semua perbuatan baik tersebut mempunyai hasrat terselubung berupa kepura-puraan bajik tapi sebenarnya terkandung sifat ego dan pamrih penuh keserakahan. Di dalam Sutra Avatamsaka juga di sabdakan: Melaksanakan segala kebajikan tanpa mengembangkan Bodhicitta (hati luhur) di namakan “Perilaku Iblis”.

Bila ada umat manusia yang mau berdana kepada sepuluh penjuru Buddha, dan mau membalas budi kepada sepuluh penjuru Buddha, silakan saja melafalkan Sutra Prajna Avalokitesvara (Sutra Hati) ini sebanyak ratusan kali bahkan ribuan kali dilakukan dari pagi sampai malam secara berkesinambungan, maka segala tekad luhur akan terealisasikan.

Melihat sekelumit ulasan pendahuluan di atas, betapa penting mempelajari dan memahami masalah hati, yang berkaitan dengan Prajna dan Sunya. Untuk itu, silakan di simak Penjelasan Singkat Prajna Paramita Hrdaya Sutra dengan seksama dan cermat untuk menghilangkan pikiran khayal dan penderitaan kita.

Sutra Hati begitu popular dan digemari, sebabnya:

  1. Singkat dan padat, mencakupi ajaran agama Theravada, Mahayana, dan Tantrayana.
  2. Sutra Hati hanya terdiri 260 kata, karena sedikit apabila dibaca/dilafalkan muda di ingat. Setiap vihara maupun caitya melakukan kebaktian pagi-sore wajib melafalkannya, begitu pula para umat Buddha sering melafalkan di rumah-rumah.
  3. Mudah dibaca/dipanjatkan, kata-kata sederhana tapi maknanya dalam, sehingga mudah dilafalkan tapi sulit dipahami. Untuk memahami kebenaran Sutra Hati maka harus banyak dilafalkan dengan sepenuh hati, sujud dan penuh konsentrasi untuk melepaskan khayalannya. Begitu khayalannya sudah berkurang otomatis kebijaksanaannya mulai muncul.
  4. Kata-kata Sutra Hati ini mengandung arti yang luas dan dalam, walaupun terdiri dari 260 kata, tetapi Sutra Hati mencakupi ajaran Maha Tripitaka.
  5. Mendapatkan manfaat secara spontan, karena langsung ke inti masalah, yaitu Panca Skandha manusia untuk keluar dari semua problem. Begitupula yang mendengarkan akan menjadi sadar dari kekeliruannya.
  6. Mencakupi ajaran terang dan rahasia, Sutra Hati di dalamnya ada ajaran duniawi dan non-duniawi, melampaui paham dualisme, begitupula ada ajaran terang dan rahasia.

Utamakan Pemahaman Sutra Hati

Lebih baik mendengar sedikit dan memahami artinya daripada mendengar banyak tetapi tidak memahami artinya. Seseorang seharusnya ingin menjadi guru bagi pikirannya dan tidak menganggap pikiran sebagai guru (Nirvana Sutra).*

Sutra Hati disabdakan oleh Hyang Buddha demi kepentingan para makhluk. Buddha memberi penjelasan kepada makhluk-makhluk yang belum tercerahkan untuk memahami segala sesuatunya. Makhluk awam masih meyakini dan mempersepsi adanya Lima Skandha. Hyang Buddha bersabda: “Bilamana kalian bisa seperti Avalokitesvara mempersepsi Panca Skandha itu semuanya Sunya, maka kalian bakal mengatasi semua derita” Karena Para Buddha dan Bodhisattva sudah mengetahui hakikat keberadaan Panca Skandha itu tidak eksis dan real.

般若波罗蜜多心经 (Prajna Paramita Hrdaya Sutra)

观自在菩萨,行深般若波罗蜜多时,照见五蕴皆空,度一切苦厄。舍利子,色不异空,空不异色,色即是空,空即是色,受想行识,亦复如是。舍利子,是诸法空相,不生不灭,不垢不净,不增不减。是故空中无色,无受想行识,无眼耳鼻舌身意,无色声香味触法,无眼界,乃至无意识界,无无明,亦无无明尽,乃至无老死,亦无老死尽。无苦集灭道,无智亦无得。以无所得故。菩提萨埵,依般若波罗蜜多故,心无挂碍。无挂碍故,无有恐怖,远离颠倒梦想,究竟涅槃。三世诸佛,依般若波罗蜜多故,得阿耨多罗三藐三菩提。故知般若波罗蜜多,是大神咒,是大明咒,是无上咒,是无等等咒,能除一切苦,真实不虚。故说般若波罗蜜多咒,即说咒曰:揭谛揭谛,波罗揭谛,波罗僧揭谛,菩提萨婆诃。

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia

Prajna Paramita Hrydaya Sutra

(Sutra Hati Kesempurnaan Kebijaksanaan)

Ketika Avalokitesvara Bodhisattva sedang merenungkan Prajna Paramita yang sangat dalam itu, melihat tembus bahwa Panca Skandha adalah Kosong, maka mengakhiri semua penderitaan dan kesusahan.

Sariputra! Wujud tidaklah berbeda dengan kosong, Kosong tidaklah berbeda dari Wujud. Wujud sendiri adalah Kosong, Kosong sendiri adalah Wujud. Begitu juga perasaan, pengertian, perwujudan, dan kesadaran.

Sariputra! Semua Dharma hakikatnya Kosong. Tidak timbul, tidak lenyap, tidak bernoda, tidak murni, tidak bertambah begitu juga berkurang. Karena itu, di dalam kekosongan tidak ada wujud, perasaan, pengertian, perwujudan, kesadaran; tiada mata, tiada telinga, tiada hidung, tiada lidah, tiada jasmani atau rohani; tiada penglihatan, tiada pendengaran, tiada pembauan, tiada cita rasa, tiada sentuhan, tiada Dharma; tiada alam pandangan juga tiada alam kesadaran. Tiada kegelapan rohani atau akhir kegelapan rohani, tiada usia tua dan kematian atau akhir dari usia tua dan kematian. Tiada derita, tiada asal mula derita, tiada akhir derita, tiada jalan pembebasan derita; tiada kebijaksanaan, tiada pencapaian.

Sesungguhnya, tiada sesuatu yang dicapai, Sang Bodhisattva dengan keheningan pikiran berlandaskan kepercayaan penuh pada Prajna-Paramita. Sebab telah tiada rintangan, maka tiada ketakutan, khayalan ilusi telah berakhir, akhirnya Nirvana.

Semua Hyang Buddha pada waktu dahulu, sekarang, dan mendatang, mencapai Anuttara-Samyak-Sambodhi berlandaskan kepercayaan penuh pada Prajna Paramita. Karena itu, Prajna Paramita sudah jelas merupakan Maha Mantra Spirituil, Maha Mantra Cemerlang, Mantra yang Teragung, Mantra Tanpa Bandingan yang dapat melenyapkan semua penderitaan; adalah sungguh-sungguh benar. Dari sebab itu, Mantra Prajna Paramita diucapkan. Mengulanginya seperti ini: GATE GATE PARAGATE PARASAMGATE BODHI SVAHA.

Penjelasan Sutra

Setiap orang bilamana menghendaki terbebas dari duka dan derita, terbebas dari proses kelahiran dan kematian, memiliki tekad untuk meraih pencerahan tertinggi, bila bukan merujukan ke dalam hatinya sendiri maka semua sulit terealisasikan. Tetapi, jikalau mau memahami hatinya sendiri, di anjurkan hanya menghayati dan menembusi Sutra Hati yang terdiri dari 260 kata saja, itu saja sudah cukup. Akan tetapi bila tidak memahami kebenaran Sunyata maka wujud dan kebenaran hati sendiri juga sulit di prediksi, dipahami dan dilacak. Inilah inti sari sutra yang mempunyai tujuan utamanya menjelaskan kebenaran dari ‘Karakteristik Sunyata”, bukan seperti orang-orang duniawi yang menganggap kekosongan adalah kekosongan hampa. Mereka salah persepsi dan menilai bahwa agama Buddha adalah agama nihilis yang membuat pengikutnya menjadi pesimistik terhadap kehidupan dan lari dari kehidupan duniawi.

Adapun maksud dan tujuan memberikan penjelasan Sutra Hati adalah agar orang-orang duniawi memahami ‘Realitas Kesunyataan’, tidak berpandangan salah yang menciptakan karma buruk. Bila sudah mendapatkan pengertian dan memperoleh manfaat dari Sutra Hati, yaitu: terbebas dari penderitaan, di anjurkan mengembangkan welas asih dan keseimbangan hati untuk menolong dunia. Menyadari hakikat kebenaran bahwa ajaran Buddha bagaikan mustika yang sangat bermanfaat, dapat menerangi kegelapan dunia dan menghilangkan praktik-praktik diskriminasi dan aktivitas khayalan baik terhadap makhluk hidup maupun dunia.

般若 Po Ye (Prajna), adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, di artikan ke dalam bahasa mandarin adalah Ta Ce Hui (Maha kebijaksanaan) karena keterbatasan bahasa mandarin untuk menerangkan kata Prajna sesungguhnya yang bermakna luas dan dalam, maka tidak diterjemahkan atau diganti, melainkan dipergunakan kata asal, yaitu Prajna atau umumnya di sebut Po Ye. Semuanya membicarakan masalah hati dan ketakjubannya bila digunakan, ke atas diri sendiri adalah Buddha, ke bawah adalah makhluk. Orientasinya adalah menapak jalan ke-Buddhaan, mengakhiri kelahiran dan kematian menyeberangi lautan Samsara (derita). Bila berbicara karakteristik sejatinya hati adalah bagaikan Vajra tidak timbul tidak lenyap. Tetapi bila berbicara rupa dan wujud hati, maka dikatakan ‘corak tanpa corak’ atau menyerupai bayangan, itulah realitas dari kebenaran wujudnya. Bila membicarakan kegunaannya hati yang menakjubkan sungguh luas yang bersifat abstrak dan gaib sehingga sulit dipahami.

Sumber Prajna ini semua orang sesungguhnya sudah memiliki, karena Buddha, hati dan semua makhluk pada intinya sama, akan tetapi Buddha sudah terbuka kebijaksanaan Prajnanya, sedangkan para makhluk memiliki tapi belum terbuka, karena ditutupi oleh kebodohan dan hawa nafsunya.

Pengertian Prajna sesungguhnya mengandung arti yang luas, menembusi Dharma duniawi dan Dharma non-duniawi. Kedua-duanya bersifat harmonis tanpa rintangan, asalkan tepat digunakan tidak terjebak dan melekat kepada semua Dharma sehingga memiliki Maha Kebijaksanaan. Oleh sebab itu, mampu memahami makna yang terdalam. Karena semua urusan duniawi dan lain sebagainya sesungguhnya juga Buddhadharma.

Pengertian Buddha adalah Penerangan Agung (pencerahan agung), sudah menembusi realitas masalah manusia, dunia dan kebenaran Dharma. Bila pemahamannya terhadap jalan hidup kemanusian sudah memadai barulah bisa meraih jalan ke-Buddhaan.

Pendek kata, masuk ke dunia atau keluar dunia hanya terfokus kepada peran hati. Pikiran jungkir balik dan kegalauan, keserakahan, kebencian dan kebodohan adalah hati para makhluk yang masih berada di enam alam tumimbal lahir. Bila mampu menembusi Kesunyataan, maka batinnya akan kembali murni dan leluasa, juga bila tidak melekat maka disebut hati Buddha atau Bodhisattva. Bila menjauhi dunia maka tidak ada Buddhadharma, begitupula bila menjauhi Prajna maka aktivitasnya pasti terjerumus ke lembah duka dan derita.

Penjelasan Prajna

Buddha Dharma dibagi menjadi 2 kelompok besar:

  1. Pencerahan Dharma (Ajaran kebijaksanaan yang sudah menembusi hakikat Dharma/melampaui Dharma).
  2. Ajaran Dharma (Ajaran umum yang belum menembusi realita Dharma).

Prajna dibagi 2 kelompok

  1. Kebijaksanaan kata-kata (kebijaksanaan relatif yang masih mempergunakan subjek dan objek).
  2. Kebijaksanaan di luar kata-kata (kebijaksanaan absolut menembusi kedemikianan segala sesuatunya tanpa terjebak dan melekat kepada subjek dan objek).

AbhiDharma ‘Ta Ce Tu Lun’ mengatakan:

Prajna Paramita dapat melahirkan kesempurnaan Buddha. Mengendalikan dan menuntun Bodhisattva. Buddhadharma adalah Prajna.

Prajna Paramita adalah ibu dari para Buddha.

  1. Para Buddha menjadikan Dharma sebagai guru, Dharma adalah Prajna Paramita.
  2. Prajna Paramita yang dalam dapat melahirkan jasa pahala layaknya Buddha, dapat menjelaskan kebenaran Dharma dan duniawi.
  3. Tiga masa para Buddha dengan Prajna Paramita mencapai Anuttara Samyaksamboddhi.
  4. Belajar agama Buddha tidak melihat dan mendengarkan Prajna Paramita maka tidak dapat menembusi intisari Dharma melalui Prajna, dikhawatirkan tidak dapat memahami sutra Mahayana lainnya.
  5. Prajna sebagai pembimbing praktisi, misalnya Lima Upaya (Praktik Dana/bermurah hati, Sila/pengendalian, Ksanti/ketabahan, Virya/semangat, Samadhi/ketenangan) bagaikan orang buta, Prajna sebagai pembimbingnya. Tanpa bimbingan Prajna, maka praktik Lima Upaya ini bisa menyimpang.

Prajna mempergunakan Sunyata melingkupi semuanya.

Prajna dapat menetralisirkan khayalan, kemelekatan dan keterikatan, melampaui dualisme, tidak terjebak fenomena dan noumena. Melingkupi semua Dharma dan prosesnya.

Prajna adalah pemimpin semua sutra

Sutra Prajna dibabarkan untuk tingkatan Mahayana dan Adhiyana (tingkatan tertinggi). Oleh karena itu, Prajna adalah sentral Buddhadharma.

Sutra Hati dan semua sutra yang Buddha sabdakan seluruhnya membahas tentang sebab-akibat, masalah hati-karakteristik jati diri, kebenaran relatif – kebenaran absolut, mengenai kehidupan dan kematian semua makhluk. Juga kemunculan Buddha di dunia, untuk mengupas masalah dunia dan menerangi kegelapan dunia. Apa itu dunia? “Seluruh dunia seperti nyala api yang berkelap-kelip; mereka seperti sebuah bayangan, suatu gema, sebuah mimpi; mereka seperti sebuah kreasi magis”. (Vimalakirti-nirdesa)

Mengapa kita dilahirkan? Sebelum dilahirkan kita siapa? Setelah dilahirkan kita bagaimana? Setelah mati mau kemana? Jawaban singkatnya adalah: “Bentuk-bentuk kelahiran dan kematian dipengaruhi oleh sebab akibat dari aktivitas Panca Skandha (Gabungan 5 jenis: rupa, perasaan, pikiran, pencerapan, dan kesadaran.). Makna hidup dan kehidupan umat manusia diperankan oleh Panca Skandha. Tujuan hidup ini untuk memahami dan mensunyakan Panca Skandha untuk melenyapkan penderitaan dan memperoleh kebahagiaan”. Kehidupan dan kematian begitu juga Nirwana bagaikan mimpi kosong di hari kemarin, itulah penerangan yang lengkap dari Sutra Hati.

Pengaruh Panca Skandha yang berupa aktivitas serta reaksi, umumnya menyebabkan kekhawatiran tanpa akhir, mengalami kesusahan dan kesedihan karena terperangkap oleh Panca Skandha yang liar bergelora.

Melatih Prajna Paramita yang dalam, mencari pengalaman dan mampu merasakan sesuatu di dalamnya secara keseluruhannya, kemudian tiada perbedaan lagi di antara yang mencari pengalaman dengan yang berpengalaman, fenomena dan noumena, hal dan pikiran, wujud dan kosong.

Prajna sering dihubungkan sebagai kebijaksanaan intuisi, kebijaksanaan yang disadarkan atau menyadari. Kebijaksanaan intuisi adalah suatu prinsip integritas yang merasakan keseluruhan secara totalis melampaui fenomena dan noumena.

Pola-pola Kebijaksanaan

Kebijaksanaan tumbuh lewat tiga cara: Mendengar, Meditasi dan Praktik Berlatih.

  1. Mendengar: adalah untuk mencintai ajaran yang telah dipelajari dan tidak pernah menjadi bosan terhadapnya.
  2. Meditasi: adalah untuk merenungkan segala sesuatu sebagaimana apa adanya mereka, melihat mereka sebagai sesuatu yang tidak kekal, yang menyebabkan penderitaan, kosong dan tidak memiliki diri, dengan itu tidak melekat padanya dan berjalan menuju kebijaksanaan Buddha.
  3. Praktik Berlatih: adalah untuk menyekat diri (membebaskan diri) dari nafsu keinginan dan pikiran jahat, dan sedikit demi sedikit memasuki jalan menuju pencerahan. (Annuttara-samyaksambodhicittopada-sastra)*

 

5 Jenis Pengembangan Prajna

 

  1. Kebijaksanan huruf dan kata (Pemahaman dari banyak membaca dan mendengar).
  2. Kebijaksaan intropeksi/meneliti (Pemahaman yang berasal dari mengkaji dan menguji).
  3. Kebijaksaan penembusan (Pemahaman dari pengalaman dan penembusan).
  4. Kebijaksaan kondisi (Pemahaman sebab-akibat, subjek-objek, fenomena dan noumena).
  5. Kebijaksaan beragam (Pemahaman upaya dan metode).

Kebijaksanaan intuisi lebih penting dari pada semua dialektika dan analitika, proses mengenai alasan, hakikat dan kesukaan membeda-bedakan pikiran, melampaui dunia yang mengenai alasan dan intelek yang dicirikan oleh pikiran mendua di dalam alasan bahwa:

  1. Dimana terdapat seorang pengamat dan ada yang di amati.
  2. Ada yang mencari pengalaman dan ada yang di alami.
  3. Ada seorang yang melihat dan ada yang di lihat.

Paramita berarti mencapai pantai seberang, yaitu: kedamaian pikiran yang sempurna dari kemerdekaan spiritual yang dicapai. Bilamana kerohaniaan seseorang lebih penting daripada relativitas dunia, untuk mengindentifikasikannya sendiri dengan tujuan realitas.

Penjelasan mengenai arti konteknya

  • Kebijaksanaan intuisi pasti mencapai seberang sekarang juga.
  • Pikiran benar dapat bergabung dengan sumber penerangan.
  • Dharma & analogi mencakupi judulnya yang melebihi relatif.
  • Hakikat kosong dari semua Dharma merupakan bahannya yang melebihi kata-kata.
  • Tiada pencapaian yang fundamentil itulah maksud dan tujuannya.
  • Dengan kekuatannya untuk melenyapkan 3 rintangan, (rintangan pembalasan jasa, aktivitas dan penderitaan).
  • Pembagian yang mudah dipahami, dipastikan dapat memberikan pengertian mengenai ajaran ini. – Sesuatu maha perubahan mengelilingi, inilah perahu kebijaksanaan itu.

Penjelasan judul:

  1. Judul Sutra Hati di dalam bahasa mandarin ada 8 huruf (Po Ye Po Lo Mi To Hsin Cing), bagaikan jantungnya manusia, semua aktivitas jasmani di pusat jantung, apabila jantungnya rusak, maka tubuhnya juga rusak.
  2. Menampakkan inti keseluruhan, apabila dapat menembusi “Semua Dharma adalah sunya bentuknya dan tiada kebijaksanaan juga tiada di dapat” memasuki Kesunyataan, memahami realitas semua Dharma.
  3. Kegunaannya: menderita karena adanya khayalan dan kemelekatan. Melenyapkan khayalan dan menembusi Panca Skandha adalah Sunya dapat melenyapkan tiga racun keserakahan, kebencian dan kebodohan, sehingga dapat melenyapkan kesusahan dan penderitaan.
  4. Kelompok dan bagian, satu gatha Buddha mengajarkan Dharma dapat dipahami berbeda oleh setiap makhluk.
    1. Awalnya ajaran agama (ajaran berupa bentuk).
    2. Pertengahan ajaran Prajna (ajaran tiada bentuk).
    3. Akhir ajaran rahasia (ajaran jalan tengah).

Ragamnya Dharma yang diterapkan

  1. Ajaran agama (ajaran hati dan kondisi ada).
  2. Ajaran rahasia (ajaran kondisi tiada, hati ada).
  3. Ajaran Prajna (ajaran sesungguhnya & sebenarnya).

波罗蜜多 Po Lo Mi To (Paramita), Paramita dimaksud adalah menyeberang ke tepi pantai, karena di artikan menyeberang maka adanya lautan samsara (derita). Semua makhluk mengalami penderitaan ditempat ini maka harus menyeberangi ke tempat yang murni, perumpamaan ini bukan benar-benar ada, disini atau di sana, melainkan karena terperangkap oleh kebodohan dan nafsu sehingga derita, asalkan ia dapat melepaskan semua khayal dan keinginan nafsunya maka ia sudah memperoleh buah kesucian, yaitu: Nirvana. Nirvana adalah kesucian total. Perumpamaan dari sini tempat derita lalu mau menyeberang ke tempat bahagia maka harus melewati lima fase, yaitu:

  1. Disini ia sudah merasakan derita, sehingga jenuh dan siap mau menyeberang. (melepaskan keegoisan, nafsu dan kemelekatan duniawi).
  2. Bertekad menaiki perahu mulai mendayung dan menyeberang menuju ke tempat yang bahagia. (memasuki Samadhi arus kesucian pertama sampai ke-empat ke-Arahatan).
  3. Sekarang perahu berada ditengah-tengah lautan (memasuki kesucian Pratyeka Buddha).
  4. Mulai mendekati pantai (memasuki kesucian Dasa Bumi tingkat akhir Bodhisattva).
  5. Sampailah di tepi pantai bahagia (memasuki batin tanpa rintangan menjadi Buddha). Hsing (Hrdaya) adalah Hati.

Umumnya jenis hati dapat di bagi dalam beberapa katagori, yaitu:

  1. Hati berupa daging (di asumsi sebagai Liver).
  2. Hati karena kondisi dan kekhawatiran.
  3. Hati dapat berpikir dan membedakan.
  4. Hati yang menyimpan dan mengumpulkan aktivitas.
  5. Hati yang bebas khayal dan kemelekatan (hati murni/suci).
  6. Sesungguhnya ‘Hati’ itu apa? Bagaikan bayangan, tidak boleh disebut ada atau tidak ada, karena tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba tapi bisa dirasakan. Hati adalah perpaduan dari Lima Skandha yang disebut Panca Skandha (Penjelasan Panca Skandha ini diterangkan di alinea berikutnya).

Apa yang disebut ‘Hati Khayal’? Orang awam gelap batinnya sehingga kehilangan pikiran sejatinya mengakibatkan hatinya selalu bergerak memikirkan corak, terjebak corak memberi nama, adanya nama melekat k epada corak, semua kemelekatannya tidak realita, inilah disebut hati khayal.

  • Bila hati berinteraksi dengan kondisi luar timbullah bayangan dan ilusi disebut hati khayal.
  • Bila hati mempunyai aktivitas dan kecenderungan maka disebut Dharma khayal (buah pemikiran khayal).
  • Terjebak dan melekat kepada kepalsuan ’Sang Aku’ jadilah pandangan khayal.
  • Bila semua kondisi khayal ini terjadi dan berlangsung lama maka terjerumuslah ke dalam arus enam alam tumimbal lahir, kar ena semua disebabkan hati mengalami pasang surut yang membentuk hati khayal.

Oleh karena itu, kita harus membuka dan menggunakan ‘Kebijaksanaan Prajna’ untuk memahami dan membebaskan diri dari jeratan kelahiran dan kematian. Awalnya masih mempergunakan hati khayal ini untuk merealisasikan jalan ke-Buddhaan atau Nirvana, begitupula proses melepaskan gejolak hati ini masih menggunakan hati khayal. Mengetahui adanya khayal juga mempergunakan hati khayal sehingga menciptakan buah pemikiran khayal terhadap semua orang, masalah dan sebagainya. Wujud enam alam tumimbal lahir, proses kelahiran-kematian dan Nirvana apakah bukan juga khayal? Untuk itu, kita menyadari sesungguhnya tiada kelahiran dan kematian, semuanya adalah penciptaan yang konyol dan edan. Bila sudah memahami ketiadaan lahir dan mati, maka tidak memerlukan lagi Nirvana, maka dikatakan semua wujud dharma adalah Sunya, Nirvana dan proses kelahiran dan kematian bagaikan kembang ilusi. Demikianlah kenyataannya. Tetapi mengapa masih dibedakan hati benar dan hati khayal? Ini mau tidak mau harus mengatakan demikian untuk praktisi tahap awal. Kenyataannya hati tidak ada dan tidak diperoleh, bagaimana pula dibedakan hati benar dan khayal? Jikalau hati khayal belum dilenyapkan maka semua berkaitan dengan orang dan masalah tidak bisa ditepis atau diabaikan. Karena itulah dibedakan hati khayal dan hati benar. Hati benar adalah ‘hati tiada kondisi hati’, bagaimana pula hati tiada kondisi hati? Bukan dimaksud tidak ada hati melainkan memiliki hati yang dapat mengetahui dan merasakan, tapi tidak bergejolak, terjebak dan melekat dengan segala hal, tidak membeda-bedakan, sunyi tidak tergerak ini adalah hati benar. Bila memerlukan pemikiran dan membeda-bedakan orang dan segala urusan, tetapi pikiran tidak jungkir balik, tidak terbawa arus dan terhanyut gelombang di luar. Bila semua urusan sudah selesai atau berlalu maka seketika juga hatinya sunyi kembali tiada hati, ini juga hati benar. Bila hatinya selalu muncul, terjebak, mengembara dan terhanyut, tidak disadari hatinya memasuki kegelapan batin yang dinamakan hati khayal, tetapi kesejatian hatinya tidak akan hilang, tidak ternoda melainkan tetap murni.

Sutra Hati ini mengajarkan bagaimana menyadari hati, pergunakan kebijaksanaan menembusi hati itu apa? Apa yang disebut derita? Bagaimana pula mengembalikan kemurnian, kesunyian dan kesenyapan dasar hati? Oleh karena itu, dinamakan Maha Prajna Paramita Hrdaya Sutra.

Pengertian corak dan peran hati

Kegalauan tidak timbul maka disebut Bodhi; Karma buruk tidak muncul maka disebut pembebasan. Kelahiran dan kematian tidak muncul maka disebut Nirwana; Semua makhluk tidak bergejolak, maka disebut para Buddha.

Dalam agama Buddha, pikiran (pikiran adalah salah satu bagian dari hati) adalah hal penting yang terbesar, segala sesuatu tergantung padanya dan tidak pernah berada di luarnya. (Mulajata-hrdaya-bumi-dhyana-sutra)*

Pikiran itu seperti seniman yang pintar; ia mewarnai seluruh dunia, dan darinya muncul lima agregat (Panca Skandha). Ketika seseorang mengetahui (penembusan) bahwa pikiran adalah pencipta berbagai dunia, maka dia melihat Buddha. Dia memahami sifat ke-Buddhaan yang sejati, karena pikiran, Buddha dan makhluk-makhluk adalah sama. Jika seseorang ingin mengerti semua Buddha masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dia harus merenungkan bahwa pikiranlah yang menciptakan semua Tathagata. (Avatamsaka Sutra)*

 

Pikiran adalah pemimpin segala sesuatu. Ketika seseorang mengerti pikiran, maka dia memahami segala sesuatu, karena segala sesuatu di dunia diciptakan oleh pikiran. (Prajna Paramita Sutra)*

Manjusri bertanya kepada Buddha, “Apakah Pikiran itu? Mohon penjelasan demi kepentingan semua makhluk yang belum tercerahkan”. Buddha menjawab, “Kamu benar-benar seorang ibu, Manjusri, karena kamu mengajukan pertanyaan ini untuk kepentingan makhluk-makhluk yang telah terbangkitkan keinginannya untuk mencapai pencerahan. Para Tathagata menganggap pikiran sebagai Dharma Buddha yang tertinggi; ia memberi manfaat kepada semua makhluk; memadamkan karma negatif; menolong makhluk-makhluk mengatasi bahaya kelahiran kembali, dan menenangkan samudera penderitaan. Di ketiga alam pikiran adalah guru tertinggi, dan dia yang bermeditasi padanya mencapai Nirvana. Tidak ada yang benar-benar eksis di ketiga alam ini kecuali Pikiran, yang seperti bumi, darinya semua benda berkembang. Sebaiknya kamu bergaul dengan teman-teman yang baik dan mendengarkan ajaran tentang Pikiran, merenungkan ajaran ini, dan berlatih untuk mencapai pencerahan tinggi. (Mulajata-hrydaya-bhumi-dhyana sutra)*

经Cing (Sutra)

 

Sutra didefinisikan sebagai jalan kecil. Sutra mempunyai 4 pengertian, yaitu:

  1. Menguntai/menyambung bersama-sama (pembicaraan yang menyambung untuk pengertian).
  2. Menarik, menjadi magnet untuk dilunakkan.
  3. Ketetapan, Dharma yang tidak berubah/abadi.

Pengertian Sutra ada banyak mengandung makna, bagaikan ‘Jalan’ menunjukkan jalan mengembalikan hati yang benar; ‘Dharma’ adalah mengajarkan metode tepat; ‘Melewati’ melewati dan menembusi dari awal sampai akhir; ‘Sesuai’ sesuai dengan kondisi setiap individual, atau sesuai dengan setiap masalah; Inilah sekelumit penjelasan makna sutra, walupun ada 260 huruf saja, tetapi semua huruf terkandung ajaran Prajna, menunjukan kepada kita untuk menembusi metode Prajna. Bila mengikuti petunjuk ini dan melaksanakan akan menembusi realitas kesejatian dari Prajna. Semuanya tidak jauh dan keluar dari diri para makhluk yang mempunyai hati dan memiliki ragam aktivitasnya. Oleh karena itu, sutra ini disabdakan semuanya untuk ditujukan ke dalam diri sendiri.

Sutra Hati yang dijelaskan ini adalah terjemahan dari Dinasti Thang Guru Besar Maha Tripitaka Xian Zhuang, tulisannya sederhana, tapi maknanya sangat dalam. Pembaca harus seketika memahami maksud yang tersirat yang terkandung di dalam sutra, jangan terjebak kaku pada apa yang tersurat. Sutra ini disabdakan oleh Bodhisattva di jalan Mahayana yang telah mencapai ke-Buddhaan. Bermakna sangat tinggi tiada taranya untuk menjelaskan kondisi ke-Buddhaan. Kondisi pikiran hanya diri sendiri yang mengetahuinya,

sulit dibicarakan, oleh karena itu disebut ‘sutra realiatas tiada huruf’ sebenarnya bukan tidak ada huruf, hanya harapannya praktisi memahami kondisi diri sendiri. Bila sudah demikian tarafnya sampai mencapai tingkatan ke-Buddhaan. Praktisi demikian bukan diketahui oleh 2 Yana (para praktisi kendaran kecil di jalan Sravaka dan Pratyeka Buddha) atau Bodhisattva tingkatan sebelum Dasa Bumi. Kita adalah praktisi dari timur, yang berjodoh dan mempunyai bakat memilih Sekte Mahayana. Oleh karena itu, baik lelaki maupun perempuan, kenal huruf atau tidak kenal huruf, semuanya suka membaca Sutra Hati ini. Bagaikan orang mencium wangi semerbak, setiap orang bisa mengetahui wangi tersebut tetapi kebanyakan tidak tahu wangi apa? Artinya semua bisa mengalami pengalaman yang sama, tapi sulit menjangkau pikiran.

观自在 (Kuan Ce Cai) Avalokitesvara Bodhisattva

Sebutan populer Avalokitesvara ada dua, yaitu:

  1. Kuan Ce Cai: adalah sebutan nama Avalokitesvara yang bersifat ke dalam hatinya yang memiliki keleluasaan besar tanpa rintangan.
  2. Kuan Se Yin: adalah sebutan nama Avalokitesvara yang bersifat ke luar hatinya penuh welas asih peduli menolong semua makhluk.

Makna Kuan Ce Cai ada 10 pengertian:

 

  1. Usia tanpa batas; Bodhisattva sudah keluar dari Triloka, usia tidak terbatas.
  2. Hati tiada rintangan, bebas dari khayalan dan kebodohan.
  3. Tiada rintangan kondisi/kemelekatan harta, sehingga memiliki harta.
  4. Bertindak secara benar dan bebas dari palsu dan salah.
  5. Dapat mengikuti kondisi dan kelahiran semua makhluk.
  6. Dapat sepenuhnya memahami dan melampaui makna dan arti Dharma.
  7. Bangkitkan tekad sampai tuntas.
  8. Gaib tanpa rintangan.
  9. Dapat menembusi dan membabarkan Dharma tanpa rintangan.
  10. Kebijaksanan tanpa rintangan.

Katagori Bodhisattva yang bijaksana:

  1. Bagaikan pelita, menyadarkan bahaya kegelapan.
  2. Bagaikan jembatan, menuntun dan membantu menyeberangkan.
  3. Bagaikan payung, memberikan keteduhan dan kesejukan.
  4. Bagaikan mata, mengajarkan bagaimana melihat kebenaran.
  5. Bagaikan air, menghilangkan dahaga dan memberikan kehidupan.

观 (Kuan), hati Samadhi dapat menggerakan pikiran benar disebut Kuan (merenung), Kuan ini adalah kondisi yang telah mencapai tingkatan kesempurnaan disebut Miau Kuan (ketakjuban merenung). Bukan tingkatan awal melatih diri punya pandangan. Adalah merenung dengan keleluasaan besar, memiliki Prajna berarti terbukanya kesempatan besar dan kegunaan besar. Hati tiada terjebak merenung dan apa yang direnungkan, kedua-duanya mer enung dan direnungkan sudah dilupakan sehingga muncul ketakjuban merenung.

自在 (Ce Cai) tiada setuju bukan pula tidak setuju adalah keleluasaan. Bukan bermakna kebebasan, karena kebebasan masih bisa kikuk (rikuh), bila kondisi muncul yang tidak diharapkan malah mengalami derita. Kesendirian tanpa diri adalah keleluasaan, kemana saja bisa tentram, secara natural tidak menerima kegalauan dari setiap kondisi, semua baik atau buruk ia tidak terjebak, bahagia atau tidak bahagia, begitupula semua derita ia tidak galau, karena memahami konteksnya adalah Sunya. Diri sendiri menjadi penentu. Keleluasaan ini disebut keleluasaan besar.

菩萨 (Pu Sha) adalah panggilan pendek dari Pu Thi Sa Tho (Bodhisattva), maknanya adalah diri sendiri telah sadar dan mampu menyadarkan makhluk lain disebut Pu Sha. Kedudukan Pu Sha adalah pembimbing para dewa dan manusia, adalah pembina dari Triloka Dhatu (Karma Dhatu alam nafsu; Rupa Dhatu alam berbentuk; dan Arupa Dhatu alam tanpa bentuk). Pu Sha dibagi perumah tangga, Sramana, Bodhisattva awal, Bodhisattva menengah dan Bodhisattva Dasa Bumi sampai Bodhisattva tingkat akhir, dan Bodhisattva yang menunggu Buddha memasuki Maha Parinirvana ia menjadi Buddha seperti Maitreya Bodhisattva, Kuan Yin Pu Sha di surga barat Sukhavati kelak menggantikan Amitabha Buddha mencapai Buddha. Para Bodhisattva ini memiliki keleluasaan besar karena tingkatan Bodhisattva tahap akhir yang akan mencapai tingkatan kesempurnaan Buddha.

Seorang Bodhisattva mencurahkan seluruh kegiatan di dunia ini, tidak pernah lelah dalam mengajarkan makhluk-makhluk, dan memanifestasikan dirinya sesuai dengan pengharapan makhluk-makhluk. Dia tidak pernah terikat pada perbuatan-perbuatan, dan membimbing semua, kadang-kadang memanifestasikan dirinya sebagai orang bodoh, kadang-kadang sebagai orang suci, sekali waktu di tengah-tengah Samsara, dan dilain waktu dalam Nirvana. (Avatamsaka Sutra)*

Maka demikianlah Bodhisattva. Saat dia berhasil menyelesaikan kewajiban Dharmanya tidak akan berhenti pada keheningan penuh karunia. Dalam Prajnalah dia kemudian harus berdiam. (Ratnagunasamcayagatha).*

Bila hati Bodhi, semua kondisi adalah mandala; Bila hati bijak, semua masalah adalah karunia; Bila hati bajik, semua aktivitas adalah jasa pahala.

Kepedulian Bodhisattva

Belas kasih agung Bodhisattva terbangkitkan dalam sepuluh cara:

  1. Ketika ia melihat makhluk-makhluk tanpa perlindungan.
  2. Ketika ia melihat mereka mengikuti jalan yang sesat.
  3. Ketika ia melihat mereka miskin dan tanpa simpanan kebajikan.
  4. Ketika ia melihat mereka terlena ditengah-tengah Samsara.
  5. Ketika ia melihat mereka melakukan kejahatan.
  6. Ketika ia melihat mereka terikat oleh hawa nafsu.
  7. Ketika ia melihat mereka tenggelam di samudera Samsara (derita).
  8. Ketika ia melihat mereka menderita penyakit-penyakit yang tidak tersembuhkan.
  9. Ketika ia melihat mereka tidak menunjukkan keinginan kuat untuk berbuat baik.
  10. Ketika ia melihat mereka semua meninggalkan Dharma semua Buddha. (Avatamsaka Sutra)*

行(Sing) adalah aktivitas hati. Hati melakukan banyak aktivitas untuk perenungan dan penggunaan yang menakjubkan. Melakukan kedua hal ini untuk memberikan manfaat besar kepada diri sendiri dan semua makhluk.

深 (Sen) makna ini bukan berarti dalam di antara cetek dan dalam, melainkan tidak bisa diperkirakan dan tidak terjangkau oleh pikiran kedalamannya, sempurna dan luas, tepatnya tiada tara dalam perilaku yang menakjubkan.

般若波罗蜜多 (Po Ye Po Lo Mi To) di atas sudah dijelaskan makna artinya, yang menyiratkan bahwa praktik Bodhisattva sungguh menakjubkan, sudah mencapai tingkatan akhir mencapai tepi pantai kesempurnaan.

Sutra-sutra Mahayana menjelaskan: Janganlah berpikir untuk berlatih Prajna, maupun berpikir untuk tidak berlatih Prajna atau berpikir untuk melakukan sesuatu dengan Prajna, atau suatu cara yang mungkin dapat anda pikirkan tentang Prajna, karena dengan begitu anda tidak akan berlatih Prajna. Demikianlah Prajnaparamita menyimpulkan bahwa Prajna adalah ibu dari semua Buddha dan Prajna adalah penerangan (pengetahuan intuitif) tentang segalanya.

 

时 (Se) huruf Se ini bermakna waktu atau saat itu. Huruf Se ini hubungannya sungguh luas, memperjelas kondisi saat itu sudah meraih buah kesucian, melenyapkan seluruh kegalauan dan telah melampaui segala derita kesusahan, sehingga tiada rintangan lagi.

照见 (Cau Cien) bermakna melihat tembus sampai tidak bersisa, menembusi tanpa terjebak menembusi, menembusi realita non dualitas, sehingga semua menjadi terang benderang.

五蕴 (Wu Yin) Panca Skandha terdiri rupa, perasaan, pengertian, perwujudan dan kesadaran adalah katagori umum dari semua Dharma.

Panca Skandha dapat dibagi 18 faktor bagian/bidang:

6 Organ Indera 6 Objek Indera 6 Kesadaran Indera

Mata Melihat Kesadaran mata

Telinga Pendengaran Kesadaran pendengaran

Hidung Bebauan Kesadaran penciuman

Lidah Rasa Kesadaran Pengecap

Tubuh Sentuhan Kesadaran tubuh

Pikiran Dharma kesadaran pikiran

8 Kesadaran Dharma adalah:

  1. Kesadaran mata.
  2. Kesadaran telinga
  3. Kesadaran hidung
  4. Kesadaran lidah
  5. Kesadaran tubuh
  6. Kesadaran pikiran
  7. Kesadaran pengotoran pikiran (kesadaran yang membeda-bedakan)
  8. Gudang kesadaran (disebut juga Rahim Tathagata / Tathagata Garbha)

Panca Skandha sebagaimana dapat ditemukan dalam jasmani:

  1. Jasmani adalah terdiri dari 4 unsur (Padat, cair, panas dan udara), wujud dari Skandha.
  2. Bentuk-bentuk perasaan menciptakan suka, tidak suka dan netral.
  3. Bentuk-bentuk pikiran muncul akibat adanya kondisi, menginginkan kondisi, menolak kondisi atau bersikap cuek dengan kondisi, yaitu: berupa senang akan pujian; sedih karena ejekan; menolak derita; mencari kesenangan; mengejar kepentingan; menghindari kerusakan, mencari perolehan, takut kehilangan. Sebutan 8 penjuru angin (sukses-gagal; untung-rugi; dipuji-dicela; bahagia-derita) yang selalu mengacaukan hidup dan kehidupan manusia.
  4. Karena adanya perasaan dan pikiran maka sikap dan perilaku muncul yang disebut perwujudan.
  5. Karena ada aktivitas maka adanya kesadaran memori, merekam segala hal di dalam benak memori kesadaran.

Enam organ indera, enam objek indera dan enam kesadaran indera membentuk apa yang kita sebut ‘Delapan Belas Alam (18 Dhatu)’. Enam objek indera juga di sebut enam jenis ‘debu indera’. Objek-objek dari kesadaran batin ke-6 adalah simbol-simbol yang kita pakai untuk berpikir, menimbang dan mengingat. Simbol-simbol inilah yang membentuk debu indera kesadaran ke-6. Berpikir, menimbang dan mengingat membentuk unsur kesadaran dari kesadaran ke-6. Simbol-simbol berasal dari lima jenis debu indera yang lain. Kita mengkonsep dengan gambar dan bahasa. Bahasa terdiri atas kombinasi berbagai suara yang menampilkan diri mereka berupa simbol-simbol kepada kesadaran ke-6. Saat kesadaran batin memakai simbol-simbol ini, kesadaran tersebut bisa menimbang (reason), mengingat dan membuat penilaian. Kesadaran batin ini tidak bisa berfungsi tanpa simbol-simbol. Organ indera kesadaran ke-6 mencakup komponen batin dan fisik. Komponen batin adalah kesadaran hasil karma, ia muncul dari kesadaran ke-8 tempat benih karma tinggal. Komponen fisik itu berfungsi seperti pintu, mengijinkan kesadaran hasil karma untuk meninggalkan gudang karma serta mengijinkan karma baru untuk memasuki gudang karma. Komponen fisik itu adalah ‘Sistem Nervous’ seseorang.

Lima Skandha ini tidak terpisahkan maka disebut Panca Skandha. Bila hati dan kondisi di luar yang berupa wujud dan lingkungan menyatu maka disebut rupa. Satu kata rupa terkandung lima huruf (skandha) di dalamnya. Semua yang di luar berupa wujud, corak, bentuk dan rupa, juga yang berada di dalam wujud tanpa wujud berupa segala pikiran yang menimbulkan sensasi. Kondisi di luar awalnya adalah rupa termasuk indera kita berupa mata, telinga, hidung, mulut, jasmani, dan pikiran adalah rupa juga. Rupa yang di luar dan rupa yang di dalam bersentuhan maka timbullah kesan dan perasaan, karena adanya kesan dan perasaan maka muncullah pikiran yang memikirkannya. Adanya bentuk-bentuk pikiran ini maka muncullah aktivitas yang membeda-bedakan, sehingga tersimpan di dalam kesadaran. Oleh karena itu, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran juga bisa dikatagorikan rupa atau wujud. Menyiratkan aktivitas khayal muncul dari hati khayal, membentuk aneka Dharma (kondisi) khayal. Penggunaan Panca Skandha khayal ini sungguh membuat semua makhluk menciptakan kesusahan sendiri, menerima derita di enam alam dan mengalami proses kelahiran dan kematian yang tiada akhir. Tetapi bila saja dapat mengembangkan Prajna, adalah suatu sarana yang melenyapkan tabiat dan kecenderungan, melampaui susah dan derita dan mengakhiri persoalan hidup dan mati. Ini juga metode yang dipergunakan oleh para Buddha dan Bodhisattva mencapai kesempurnaan dan untuk menolong semua makhluk. Semua harus mempergunakan Panca Skandha, hanya para Buddha dan Bodhisattva dapat melihat tembus intinya adalah Sunya, sehingga bisa dipergunakan dengan baik, tidak terhanyut dan diputar-balikan oleh kondisi. Para makhluk awam malah terbalik selalu dipermainkan kondisi sehingga terbelenggu. Fenomena perbedaan sadar atau tidak sadar, memahami Sunyata atau tidak memahami Sunyata, janganlah dipastikan sesuatu yang tidak baik, karena akan timbulnya pandangan yang cenderung.

Sutra Vimalakirti mengatakan “pikiran tidaklah di luar dan tidak pula di dalam dan tidak pula di antara keduanya”. Pikiran adalah intuisi kita.

Di dalam Maha Vaipulya Paripurnabuddhi Nitartha Sutra (Sutra Maha Kesadaran yang Sempurna). Hyang Buddha Bersabda: Tubuh dan seluruh anggota badan yang dimiliki oleh “Aku” itu terdiri dari Catur Dhatu atau Empat Unsur (Padat, Cair, Panas, Udara), jika masing-masing telah mengalami penguraian atau perpecahan, lalu yang disebut “Aku” itu berada dimana? Dari hasil perenungan dan penganalisaan, jelaslah bahwa tubuh kita yang berasal dari Empat Unsur itu sebenarnya bukan suatu material yang kekal. Ia hanya suatu kombinasi dari bahan-bahan rapuh yang tak lama kemudian akan buyar total. Karena itu, benar-benar bersifat khayal.

Di samping itu, oleh karena tubuh manusia terdiri dari Empat Unsur, maka saat ke-4 unsur itu sedang berkombinasi menjadi tubuh, ia dapat menghasilkan empat penghubung, yakni lihat, dengar, rasa dan sadar. Karena ke-empat penghubung ini saling berkaitan, maka tubuh kita langsung dilengkapi dengan 6 indera ‘Dalam’ yang bersifat khayal, yakni mata, telinga, hidung, lidah, kulit tubuh dan hati/pikiran. Selain ke-6 indera yang berwujud ‘Dalam’ ada lagi 6 ayatana (landasan indera) yang berwujud ‘Luar’ yakni: bentuk, suara, bebauan, rasa, sentuhan, dan gagasan/bentuk-bentuk pikiran. Setelah ke-enam indera ’dalam’ berkontak dengan ke-enam ayatana (landasan indera) ‘luar’ maka jadilah 12 tempat penyimpanan yang merupakan fungsionalisasi yang luar biasa. Ia sebagai perasaan batin, juga seperti tempat menyimpan pengertian-pengertian. Ia berdaya lekat namun bersifat khayalan, yaitu yang disebut “Fantasi”.

Peristiwa tentang “fantasi” ini juga tidak kekal. Ketika ke-enam ayatana lenyap, sulitlah bagi kita untuk mengenali bentuknya lagi. Apabila 4 unsur mengalami perpecahan, tentu saja ke-enam indera dan ke-enam ayatana itu sama-sama hancur total. Bekas fantasi pun tidak ada di antaranya, berarti fantasi tersebut ikut menghilang. Apabila anggota badan yang bersifat khayalan telah lenyap maka fantasi kita pun ikut lenyap. Demikian pula, jika fantasi telah menghilang, Avidya yang di sebut “debu” (kekotoran batin) akan ikut sirna. Jika debu itu benar-benar telah hilang total, ide-ide/gagasan-gagasan yang dipakai untuk menghapuskan Avidya juga harus ikut dihilangkan, sebab ide tersebut juga bersifat khayalan yang tidak boleh dibiarkan berbekas dalam Alaya Vijnana (gudang kesadaran/kesadaran yang ke-8) kita. Kecuali ide-ide suci yang tidak diliputi sedikit pun sifat khayalan seperti Alam Bodhi atau Paripurnabuddhi (kesadaran sempurna), ia tetap kekal tanpa ikut lenyap. Ketahuilah, hakikatnya persis sama dengan orang menggosok cermin kotor. Ketika kotoran cermin telah hilang, terangnya pun kembali seperti semula.

Di dalam Maha Vaipulya Paripurnabuddhi Nitartha Sutra, Hyang Buddha bersabda: Hendaknya sang umat betul-betul memahami bahwa ‘Aku’ ini sebenarnya berasal dari Empat Maha Unsur (Catur Maha Dhatu) dan Lima Kelompok Hidup (Panca Skandha). Karena memegang teguh Corak Aku, emosi benci dan cinta, membuat karma sejak awal terikat Samsara. Bila benci dan cinta masih menguasai Sang Hati, sikap melecehkan dan kecurangan juga dimiliki, mengakibatkan lahir batin demikian gelap dan sesat. Apabila unsur dan kelompok tersebut bersama-sama bubar maka “Aku” akan sia-sia. Apabila ‘Corak Aku’ itu telah ditaklukkan oleh si pemilik, maka ketiga corak (Corak-orang, Corak-makhluk, Corak-usia) lain itu pasti ikut musnah.

Renungkanlah pikiran; raja kekosongan ini, halus dan pelik. Tanpa bentuk atau rupa, ia memiliki daya spiritual yang besar. Ia bisa menghapus semua malapetaka, dan mencapai segala pahala. Kendati esensinya (hakikat) adalah kosong, namun ia adalah takaran seluruh Dharma. Bilamana engkau lihat, ia tanpa rupa; Kala engkau panggil, ia menggema. (Master Zen Fu)

皆(Cie) bermakna menyeluruh sampai tidak bersisa. Bukan hanya kekosongan diri, kekosongan Dharma sampai pun kekosongan dari melihat tembus, karena melihat tembus juga adalah Panca Skandha maka di sebut menyeluruh.

(Khung) orang duniawi banyak yang tidak mengetahui ‘Kebenaran Sunyata’ (kekosongan yang sebenarnya), sembarangan berkata bahwa Sunya (kosong) adalah hampa tiada apapun. Mereka tidak tahu ‘Kekosongan adalah kekosongan waktu/ruang; Kekosongan angkasa raya; Kekosongan wujud; Kekosongan arti dan lain sebagainya’. Untuk penjelasannya di bagi 2 jenis:

  1. Kekosongan wujud: adalah memiliki wujud seperti kekosongan rumah, karena kehadiran orang sudah penuh maka kekosongan sudah tidak ada, ini dinamakan kekosongan dualitas antara ‘ada’ dan ‘kekosongan’. Maka orang duniawi mengira ‘tidak ada’ atau ‘kehampaan’ dinyatakan sebagai kekosongan.

Di dalam kitab suci agama Buddha disabdakan mengenai Hukum Sunyata, adalah ‘semua terkandung sunyata’, ‘karakteristik yang sunya’, ‘intinya adalah sunya’. Terhadap semua wujud yang terdiri berbagai gabungan bukanlah Sunyata yang dualitas, bukan pula ketiadaan, melainkan ‘ada tapi sunya’. Bila mau memahami arti sesungguhnya dari Kesunyataan, harus bisa memahami dulu seperti: semua planet yang mempunyai berbagai wujud dan rupa, gunung, sungai dan bumi, matahari bulan, dan bintang. Sampai barang-barang keperluan, tumbuhan, binatang dan tubuh kita, semua ada wujud dan rupa;

Demikian pula bentuk pikiran, kebenaran, urusan manusia, perasaan manusia, senang, marah, sedih atau gembira, semua berwujud tanpa wujud. Semua termasuk yang di dalam, keseluruhan nama disebut rupa, pada dasarnya adalah Sunya.

Karena semua wujud tidak ditemukan ada satu bagian yang berkarakter berdiri sendiri. Contohnya: selembar kain, selembar kain tidak bisa berdiri sendiri melainkan karena rajutan benang-benang. Benang-benang pun tidak bisa berdiri sendiri, melainkan karena adanya perpaduan kapas. Kapas pun tidak bisa berdiri sendiri karena musti ada bibit. Bibit pun tidak bisa berdiri sendiri musti ada yang tanam, begitu pula tanaman harus mengandalkan air, matahari, udara dan perawatan sehingga tumbuh berkembang. Terbentuknya kain karena adanya perpaduan berbagai unsur yang mendukung. Tidak perlu kain dicabik-cabik baru kelihatan Sunya. Sebelum menjadi kain atau benangpun, saat dikerjakan di padu-serasikan yang berupa gabungan unsur-unsur, karena terbentuk dari berbagai unsur dan kondisi maka tidak absolut keberadaannya. Memohon wujud kain demikian sesungguhnya tidak diperoleh.

Demikian juga tubuh kita yang terdiri jutaan sel dan paduan unsur padat, cair, panas dan udara, tidak ada intinya, tidak real ada, semua adanya kondisi yang mendukung sehingga tidak didapat. Oleh karena itu, disebut karakateristiknya adalah Sunya.

  1. Tiada wujud: Pergunakan hati sebagai objeknya. Hati adalah apa? Sesungguhnya asalnya tidak ada. Tapi paduan berbagai rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran, dinamakan ‘hati’;

Bila musim awal panas udara sejuk sehingga saat duduk tertidur, saat tidur merasakan kenyamaan dan keindahan yang dirasakan, pada saat demikian tidak ada ‘Aku’, juga tidak ada ‘Hati’, tetapi sekonyong-konyong ada seekor nyamuk menggigit sehingga tersadarkan. Sehingga terbangun karena gigitan nyamuk dan paduan unsur batin muncul keluar merasakan gatal dan kesakitan, sehingga kenyamanan hilang seketika muncullah ‘Aku dan Hatinya’.

Begitupula semua hal di luar sama kondisinya dengan kebenaran ini, maka disebutkan ‘tiada karakteristik berdiri sendiri’. Muncul karena adanya kondisi yang tidaklah real nyata. Sehingga tidak didapat. Maka dari itu disebut ‘Berkarakter Sunya’. Oleh sebab itu, materi dan hati bukan suatu yang tidak Sunya. Walau ‘ada tapi sunya’ maka disebut ‘keberadaan yang ilusi’. Juga terkait karakter Sunya dengan semua hal yang tidak terpisahkan. Bukan di luar materi dan hati adanya Sunya, bukan disini Sunya di sana Sunya. Melainkan berbicara rupa tidak terpisahkan dari Sunya; Berbicara Sunya juga tak terpisahkan dari rupa. Menyadari semua kondisi terbentuk adalah sebagai keberadaan ilusi. Juga harus dipahami betul bahwa Sunya pun dasarnya Sunya maka disebut ‘Karakteristiknya Sunya’. Bukan dengan mata dan telinga dapat mengetahui ke-Sunyataan sejati.

Ketetapan hati untuk mengetahui kesemuaan materi atau non materi adalah intinya Sunya dan kemunculannya karena ilusi, dan mengapa kita terjebak dan melekat menganggapnya sebagai realita? Bagaimana terhadap urusan manusia dan masalahnya agar bisa diterapkan? Kiranya semuanya dihadapi dengan apa adanya, dilakoni sesuai kodratnya, bertanggung jawab dengan tugasnya, merawat jiwa raganya, memenuhi kebutuhannya, menciptakan kehidupan riang, berusaha dengan efektif, dapat mengatasi kelahiran dan kematiannya. Bukan seperti kayu tidak ada hatinya, melainkan jadilah tukang kayu yang dapat menciptakan semua perabotan tanpa terjerat kayu dan melekat kepada kayu, bagaikan awam dan air yang terus bergerak dan mengalir, tanpa terjerat dan melekat kepada apapun sehingga ke manapun, dimanapun, kapanpun, kondisi apapun, terhadap siapapun tetap tenang dan leluasa. Inilah disebut kebenaran hati yang Sunya. Inilah praktik Sunyata yang diajarkan oleh Buddha. Hanya kasihan kepada orang-orang yang buta kesadaran, hatinya penuh khayal dan suka melihat sinis dan alergi dengan kehidupan para Sramana atau petapa, suka mengejek dan mengatai itulah orang bodoh yang pesimistik yang terjebak dengan kekosongan sehingga melepaskan kenikmatan duniawi. Kenyataannya orang yang belum sadarlah yang masih bodoh dan bangga dengan kebodohannya tetapi suka usil mengatai orang bodoh, mereka terbenam dengan khayalannya dan senang menikmati dunia kemalangannya karena terus terhanyut di arus tumimbal lahir tanpa berakhir. Karena mereka belum paham bahwa Hukum Kesunyataan melingkupi semua alam beserta isinya tanpa kecuali, sehingga cenderung alergi dan antipati dengan realita kekosongan.

Untuk mengetahui makna kekosongan cobalah renungan “Gatha Sunyata” di bawah ini:

  • Semua aktivitas tidaklah kekal, ketidak-langgengan adalah derita sunya.
  • Semua Dharma tanpa inti (anatta), muncul karena adanya kondisi tapi intinya sunya.
  • Nirvana sunyi dan tenang, eksistensi yang menakjubkan menampilkan kebenaran sunya.

Juga ketahuilah, bahwa:

Hyang Buddha adalah “Raja Sunyata”, Dharma adalah “Kebenaran Sunyata” sedangkan Sangha “Pelaksana dan Pelestari Sunyata”.

 

Sangat disayangkan, banyak umat belum memahami kekosongan Sunyata, jadi mudah salah persepsi dengan kekosongan, takut dengan kekosongan, alergi dengan kekosongan, akibatnya menampik kekosongan. Bila saja orang-orang dunia bisa memahami dan terang akan Kesunyataan, otomatis ia bisa menerima Sunyata, mempraktikkan Sunyata, mengajarkan Sunyata, dan mendapatkan hasil dari Sunyata. Bila orang alergi dengan Kesunyataan maka sifat-sifat buruk bermunculan seperti keserakahan, kebencian dan kebodohan yang membuat derita, tetapi orang yang mempraktikkan Kesunyataan ia tidak akan terhanyut apapun bahkan mampu menepisnya. Bila semua makhluk memahami Kesunyataan, maka dunia ini tidak ada lagi keributan dan penjajahan di kolong langit ini. Buddhadharma sesungguhnya mempunyai manfaat besar bagi masyarakat luas, tetapi kenapa banyak yang mengatakan sebaliknya, yaitu: ‘agama takhayul?’ karena banyak guru dan praktisi yang suka membicarakan Kesunyataan sepenggal-pengal atau sepihak karena kurang memadai pengetahuannya dengan mengatakan janganlah terjebak dan melekat kepada Sunya, karena berpedoman kepada Sunya bisa jadi pesismis, pandangan aneh dan lari dari kenyataan. Sesungguhnya praktisi demikian belum memahami Sunyata secara keseluruhan, sehingga berasumsi, menilai dan mengajarkan bahwa Sunya dan eksistensi adalah dua hal yang berbeda, ini adalah kesalahan fatal yang tidak boleh dibiarkan. Untuk menepis anggapan salah, renungkan kembali Gatha Sunyata ini:

  • Semua Dharma muncul karena adanya kondisi, kekosongan adalah rupa.
  • Semua Dharma intinya Sunya, rupa adalah kekosongan.
  • Semua Dharma hakikatnya sama, rupa dan kekosongan non-dualitas (tidak berbeda).

Oleh karena itu, memahami prinsip Sunyata untuk menghancurkan rupa, bila mampu menghancurkan rupa normanya hati menjadi Sunya, inilah ‘Dharma utama pelenyap susah dan derita’.

 

Pandangan mengenai Kekosongan bukanlah hasil dari analisis, melainkan pandangan sintetis, terlihat oleh intuisi yang disebut Kebijaksanaan Prajna Paramita. Ini berbeda dari kebijaksanaan Vijnana (kesadaran relatif), karena agregat pengalaman yang didasarkan keinginan, sedangkan Prajna melampaui Vijnana. Pandangan Prajna tidak menyangkal dunia ini sebagai fakta, melainkan menentang dunia sebagai nilai yang didasarkan pada invidualitas.

Dharma yang berkondisi bagaikan impian, demikian banyak makhluk suci bersabda; Pikiran khayal sesungguhnya sunyi, hakikat segala kondisi adalah Sunya;

Bila pikiran sudah sunyi dan sunya, maka timbul gaib, cerah dan tidak bodoh.

Semua hal tidak dapat dikatakan benar; Pandangan melalui mata tidaklah benar.

Bila pandangan mata dianggap benar; Maka pengetahuan tidaklah benar.

Bila ingin mengenal kebenaran; Jauhkan kepalsuan maka hati jadi benar.

Bila hati tidak mampu melepaskan kepalsuan; Kemana lagi mencari kebenaran?

Tidak memohon kebenaran, tidak melenyapkan khayalan, seyogyanya memahami bahwa dua Dharma adalah Sunya tiada wujud. Tiada wujud, tiada Sunya juga tiada bukan Sunya, inilah disebut ciri kebenaran sejati dari Tathagata.

Di dalam Abhidharma Cing Kang Kuo Luen, Hyang Buddha bersabda: Menapak jalan Buddha, memasuki medan kesucian dan memperoleh pahala besar, ada empat tahapan, yaitu:

  1. Tubuh Sunya: tubuh berasal dari kelahiran orang tua, oleh sebab itu menuruni sifat karakter pembawaan dari orang tua. Sembilan lubang mengeluarkan kotoran, jenis-jenisnya tidak murni. Paduan dari empat unsur (padat, cair, panas dan udara), akhirnya pasti rusak dan mati. Laki dan perempuan yang memiliki kebijaksanaan, mengetahui tubuh adalah ilusi, sebelum mati sudah menyadari bahaya kematian. Mempergunakan tubuh ilusi ini untuk mempelajari agama Buddha dan giat melatih diri, ini dinamakan menyadari Tubuh Sunya.
  2. Hati Sunya: bila memperhatikan hati sendiri, bukan timbul bukan lenyap, paling suci paling gaib, kondisi baru muncul, kondisi lenyap hati menjadi tiada. Sekarang menyadari kebenaran hati, senantiasa sadar tidak bingung, tidak mengembara mengikuti khayalan. Hanya mengandalkan karakteristik kebenaran hati melaksanakan aktivitas, ini dinamakan menyadari Hati Sunya.
  3. Karakteristik Sunya: bila memperhatikan karakteristik jati diri naturalnya sunyi tidak bergerak, dapat merasakan namun menembusi, menjelma tanpa akhir, gaib nan berwibawa sulit diukur, jelas-jelas dipahami dan dilampaui, hanya sendiri yang menyadari dan mengetahui, gaib sungguh gaib, sunyi nan sunyi, tiada hasrat adalah ketetapan hasratnya, ini dinamakan menyadari Karakteristik Sunya.
  4. Dharma Sunya: merenungkan ucapan Tathagata di dalam banyak sutra dan Dharma, semuanya adalah metode kemudahan untuk menuntun dan membimbing mempelajari kebenaran, bagaikan air membersihkan kotoran debu, bagaikan penyakit disembuhkan oleh obat, untuk menembusi hati melampaui Dharma. Bila penyakit sembuh obat tidak diperlukan lagi, ini dinamakan menyadari Dharma Sunya.

Empat bait keterangan ini yang mempunyai makna terdalam adalah praktik melampaui keawaman memasuki kesucian, melangkah di jalan pembebasan. Tiga masa para Buddha, mempraktikkan empat bait ini menjadi Buddha, sepuluh penjuru para Bodhisattva mengandalkan empat bait ini sukses menapak jalan kesucian.

Patriach Hui Neng berkata “Kekosongan pun sebenarnya sebuah kekosongan”.

In praise of Zazen, Huikun berkata: “diri sejati adalah nir-diri, diri kita sendiri adalah nir-diri” (Buddha tersimpul dalam sebuah kata, yakni ‘Anatman tanpa aku dan diri’).

度(Tu) artinya melampaui bagaikan sudah sampai ke tepi seberang, pandangan aku dan dharma pun sudah murni.

一切 (Yi Chie) alam semesta berikut isinya sudah termasuk semuanya tanpa bersisa, baik wujud atau non-wujud, kepribadian aku dan Dharma-aku juga semua jenis kesusahan dan derita semuanya berada di dalamnya.

苦厄 (Khu Eh) Penderitaan tubuh, ketidaktentraman hati, wujud maupun tidak berwujud, kasar, halus atau super halus semuanya adalah bentuk kesusahan dan derita. Semuanya berasal dari hati yang memulainya. Bila tidak ada hati, dimanakah derita itu? Bukan tidak tahu, bukan pula tidak menerima karena ada kearifan sehingga mengetahui semua hal asalnya Sunya. Bisa tahu tapi tidak tahu derita, tampaknya seperti menerima banyak hal tapi kenyataannya tidak ada yang diterima. Misalnya, ada 2 orang disaat yang sama menerima derita, yang satu terjebak dan merasakannya sehingga tidak kuat menerima derita ini, bagaikan derita di atas derita, karena derita berkepanjangan maka timbullah segala penyakit; Sedangkan yang lain tidak menanggapinya, tidak dipikirin sehingga tidak mengalami derita dan kesusahan.

“Bangkitkanlah pikiran tanpa mengikatnya pada apapun” (Sutra Intan).

 

 

Menghapuskan Diskiminasi & Perbedaan

Mampu mensunyakan Hati, totalitas dimana semua diskriminasi dan perbedaan-perbedaan dihapuskan, antara lain:

  1. Diri sendiri dan yang lain;
  2. Dulu, sekarang dan mendatang.;
  3. Duniawi dan transendental (di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa);
  4. Suci dan duniawi (awam);
  5. Hidup dan mati;
  6. Pikiran dan hal;
  7. Membangun dan merusak;
  8. Absolut dan relatif.;
  9. Negatif dan positif;
  10. Bodoh dan bijaksana; dan seterusnya.

Tulisan selanjutnya adalah inti sarinya bagaikan ajaran Tripitaka dengan 12 bagian yang mencakupi semua Dharma. Bila mau tahu dan mempraktikkan kebenaran yang tidak terbatas, inilah Sutra Hati, bila dipahami prinsipnya dan dilaksanakan sesuai dengan sabda Sutra Hati maka secara natural dapat melenyapkan semua susah dan derita. Keluar dari kelahiran dan kematian, keluar dari Triloka Dhatu, mencapai jalan ke-Buddhaan.

Bila sesorang tidak memahami atau mampu mengendalikan hatinya, hanya terpaku dan mengerti kepada apa yang tersurat, tidak memahami apa yang tersirat, tidak mau menengok ke dalam dirinya, menyadarinya dan melepaskannya, sehingga tidak ada lagi cara lain yang ampuh. Hanya senang melakukan praktik semu memohon keluar tanpa mampu mempraktikkan ajarannya, yaitu: hari ini memohon segala sesuatunya kepada Buddha, besok memohon kegaiban kepada Dharma, lusa memohon kemudahan kepada Sangha, lain kali memohon banyak rejeki kepada para dewa, untuk mendapatkan lingkungan hoki atau kuburan hoki memohon kepada pakar Feng Shui. Kecenderungan umat awam hanya memohon keluar mengabaikan jati dirinya yang memiliki sumber rejeki yang maha besar, karena tidak diketahuinya maka selalu mengemis keluar. Sesungguhnya praktik-praktik khayal ini sudah menjauhi jalan Buddha, menapak jalur ketahayulan dan memasuki jalan kegelapan panjang. Bagaimana tidak miris dan sedih melihatnya? Sebagai umat yang sadar tentu mencari segala sesuatunya harus ke dalam diri sendiri yang memiliki jiwa Tathagata yang sempurna kebijaksanaan dan kebajikannya. Hanya saja dalam proses pengembalian dari jiwa manusia untuk mengembangkan jiwa Buddha memerlukan bimbingan dan perlindungan dari Sang Triratna. Inilah maksud tujuan sesungguhnya dari makna berlindung kepada Sang Triratna. Untuk itu, renungkanlah Gatha Kesadaran, yaitu:

“Hati memohon keluar segala Dharma adalah praktisi sempalan. Hati mengarah kedalam karakteristik jati dirinya sendiri memohon Dharma adalah praktisi di jalan Buddha”.

Jika seseorang mampu tidak memiliki pikiran masa lampau, sekarang, dan mendatang muncul dibenaknya, maka tiga pengakhiran (bodoh, karma dan derita) dilalui. Bila pengolahan dilakukan dengan konsisten maka tercapailah keadaan menerima kesenangan Dhyana sebagai makanan dan mendapatkan kebahagiaan Dharma.

舍利子 (Se Li Ce) Shariputra, sejak di dalam rahim ibunya yang bernama Shari, anak tersebut memiliki kepandaian yang sudah luar biasa, memiliki karunia kepandaian berpidato yang bagus. Shariputa adalah murid utama Hyang Buddha, memiliki kebijaksanaan unggul versi kereta kecil.

色不异空,空不异色,色即是空,空即是色,受想行识,亦复如是 (Se Pu Yi Khung, Khung Pu Yi Se, Se Ci Se Khung, Khung Ci Se Se, Sou Siang Sing Se, Yi Fu Ju Se). Wujud tidaklah berbeda dari kosong; kosong tidaklah berbeda dari wujud. Wujud sendiri adalah kosong; kosong sendiri adalah wujud.

Pemahaman akan makna ‘Kekosongan (Khung/Sunyata)’

  1. Kekosongan yang kosong melompong: kosong tanpa ada benda, ibarat kekosongan yang pikun, kekosongan yang pesimis/sinis.
  2. Kekosongan nihilis: kosong setelah mati tiada eksistensi lagi, bagaikan lampu yang sudah mati.
  3. Kekosongan dharma: kekosongan wujud apabila diuraikan.
  4. Kekosongan seketika: semua Dharma yang berkondisi bagaikan ilusi, sesungguhnya inti kesejatiannya kosong.
  5. Kesejatian jiwa adalah kosong: semua Dharma yang muncul dari hati dan pikiran adalah kosong dan sunyi, tidak terjebak ada dan tiada, tidak menetap di jalan tengah, sehingga dikatakan kebenaran Sunya (kosong tidak kosong), hakikat ada yang bersifat ajaib bukanlah ada, menampakkan Kesunyataan (kekosongan) besar.

Ragam Makna Dari Kesunyataan (kekosongan/Khung)

  1. Sunyata, artinya ‘tiada rintangan’, bagaikan angkasa raya, walaupun meliputi semesta alam tetapi sesungguhnya tidak terintangi oleh suatu dharma sekalipun.
  2. Sunyata, artinya ‘meliputi semuanya’, bagaikan seluas angkasa raya melingkupi semesta alam.
  3. Sunyata artinya ‘bersifat netral’, bagaikan angkasa raya tanpa melekat/keberpihakan.
  4. Sunyata artinya ‘maha besar’, bagaikan angkasa raya kebesarannya tiada tara.
  5. Sunyata artinya ‘tanpa ciri dan wujud’, bagaikan angkasa raya kesejatiannya tiada rupa dan wujud.
  6. Sunyata artikan ‘kemurnian’, bagaikan angkasa raya, senantiasa murni tanpa noda.
  7. Sunyata artinya ‘tiada terguncang’, bagaikan angkasa raya senantiasa sunyi bebas dari kondisi timbul dan lenyap, tiada memiliki ciri-ciri terbentuk maupun kerusakan.
  8. Sunyata bersifat ‘universal’, bagaikan angkasa raya yang bebas dari paham dualism.
  9. Sunyata artinya ‘kehampaan sejati bebas dari prasangka’, bagaikan angkasa raya tetapi tidak bercirikan angkasa raya, realitas kesunyataan yang bebas dari konsep sunyata.
  10. Sunyata artinya ‘tiada suatu yang bisa dimiliki’, bagaikan angkasa raya yang tidak bisa dijamah dan dimiliki.

Pandangan Terhadap Kekosongan

Kekosongan bukanlah objek intelektual tetapi Prajna, yang dimengerti secara intuitif. Membicarakan Prajna adalah membicarakan kekosongan, pandangan terhadap kekosongan diringkas menjadi 5 jenisnya:

  1. Kekosongan yang tidak berperasaan

Jenis kekosongan ini umumnya diketahui oleh setiap orang dan dipahami mengurangi setiap pengetahuan mengenai kekosongan; yakni tidak mempunyai kesadaran.

 

  1. Kekosongan mengenai kehancuran

Dipahami oleh orang-orang belajar jalan kecil, tidak mengerti prinsip kekosongan yang sesungguhnya, mengatakan bahwa bila orang meninggal dunia maka mereka berhenti eksistensi, yakni penghancuran.

 

  1. Kekosongan mengenai dharma analisa

Kekosongan ini adalah suatu perenungan yang dilakukan kereta kecil, mereka menganalisa wujud sebagai wujud, pikiran sebagai pikiran dan menyortir dharma-dharma yang dianalisa itu ke dalam dharma-dharma mereka sebagai unsur pokok tanpa menyadari bahwa semuanya itu adalah kekosongan. Sesuatu hakikat yang dapat dilihat, dapatlah di analisa sebagai suatu wujud dharma yang bervariasi, yang disebabkan perasaan, pengertian, perwujudan dan kesadaran, semuanya adalah kosong.

 

  1. Kekosongan dharma jasmaniah

Jenis yang ke-empat mengenai kekosongan di olah oleh yang telah mencapai penerangan terbatas, Pratyeka Buddha, yang mempunyai pengalaman secara jasmaniah mengenai kekosongan dharma.

 

  1. Kekosongan yang sebenarnya Para Bodhisattva mengolah perenungan mengenai kekosongan yang bereksistensi sempurna. Ketika melihat tembus bahwa Panca Skandha adalah kosong, artinya Beliau sedang mengolah pada tingkat yang dicapai dengan Prajna yang dalam dengan kemampuan dari pikiran Prajna yang dalam.

Wujud sejati dari semua benda atau hal adalah kosong, “wujud” yang kosong. Bila mau menembusi wujud adalah kekosongan, maka Jauhkan kata-kata membicarakan corak; Jauhkan ciri nama corak; Jauhkan kondisi hati melihat corak. Bila ketiga ini dilakukan untuk penembusan, maka “Semuanya akan menampakan wujud yang kosong.”

Semua wujud adalah paduan unsur atau elemen yang berkondisi pada intinya Sunya/kosong; Wujud ombak yang bergelombang karena adanya kondisi bersifat sementara akan kembali kepada asalnya air, artinya wujud ombak kembali kepada kekosongan air.

Kosong adalah wujud, sesungguhnya kekosongan itupun adalah “wujud”. Kekosongan segala hal akan kembali termanifestasikan oleh pikiran, sehingga wujud kekosongan akan muncul. Kosong berhubungan dengan subtansi kekosongan, sementara wujud adalah fungsi dari kekosongan. Walaupun subtansi dan fungsi muncul menjadi berbeda, tapi kedua-duanya secara mendasar adalah satu.

Kosongnya sesuatu (kekosongan) karena belum terpikirkan oleh manusia, belum terbentuk, belum diberikan nama, belum dirasakan oleh kondisi hati; Tetapi semuanya sudah ada dan tersedia; artinya kekosongan itu menyimpan banyak hal yang belum terungkapkan oleh pikiran manusia yang terbatas. Bila saja kekosongan segala hal dapat digali dan dibentuk oleh manusia maka kekosongan ini bisa berwujud.

Wujud sendiri adalah kekosongan; Kosong itu sendiri adalah wujud. Sesungguhnya wujud dan kosong tidak memiliki hakikat yang berbeda atau tidaklah menjadi ganda yang berbeda. Kedua-duanya adalah kesatuan, kosong berisi wujud dan wujud berisikan kosong.

Semua subjek dan objek yang berkondisi yang kita ketahui dan dirasakan yang berada disekeliling kita termasuk diri kita dan milik kita adalah kosong, karena kekosongan, dari kekosongan, dengan kekosongan dan di dalam kekosongan.

Menyerupai apakah ruang kosong? Ruang kosong tidak mempunyai bentuk. Walaupun demikian tidak ada bentuk yang tidak menyerupai ruang kosong. Oleh karena ruang kosong tidak memiliki bentuk maka ruang kosong bisa dibentuk, dapat memuat segala sesuatu dan menyerupai sesuatu. Semua bentuk adalah khayalan. Jika seseorang memahami bahwa semua bentuk bukanlah bentuk, ia memahami Tathagata. Jika pikiran diskriminasi tidak ada maka akan memahami kebenaran akan ketiadaan bentuk. Hanya ketika melihat sifat kesejatian maka kita akan menyatu dengan ruang kosong.

Sutra Ta Shen Mi Yen Cing, disabdakan:

Mengabaikan kekosongan maka tiada wujud; Menampik wujud maka tiada kekosongan. Bagaikan bulan dan cahayanya; Dari awal sampai akhir senantiasa tiada berbeda. Semua dharmapun demikian adanya; Karakteristik dari kesunyataan bersifat manunggal. Peran dan fungsinya tiada perbedaan; Karena sebab itu semuanya terwujud.

Abhidharma Cung Luen Kuan Se Thi Phing, disabdakan:

Karena ada kebenaran dari kesunyataan, maka semua dharma terwujud. Bila tiada kebenaran kesunyataan, maka tiada sesuatu yang terwujud.

“Segala sesuatu adalah kosong” tetapi ini tidak berarti bahwa semuanya adalah negasi (ketiadaan), melainkan bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi-manifestasi. Realitas tertinggi di dunia relativitas ini ialah ‘Hukum Perubahan’, tetapi dalam perspektif Nirvana realitas tertinggi adalah ‘Kekosongan’, yang berada di atas segala relativit as.*

Madhyamika menyebut kebenaran tinggi “kosong” (Sunya) dimana tiada apapun yang berhubungan dengan relativitas yang dapat dijadikan predikatnya, tetapi ‘Kosong’ tidak berarti nihil; ia hanya kosong dan hampa dari semua syarat dan deskripsi yang relatif. Dengan kata lain ia adalah absolut, semua yang dapat dikatakan tentang dia tidak dapat memberi ide yang tepat tentang dia. Sebenarnya Kekosongan sama sekali bukan ide, karena ia adalah untuk dipahami secara intuitif dan tidak dapat digambarkan secara logis. Pengertian intuitif terhadap Kekosongan merupakan pencerahan.*

Bait-bait di atas tersebut sebenarnya hanya satu makna yaitu: rupa (eksistensi) dan sunya bersifat non dualitas (tidak terpisahkan). Awalnya dikatakan ‘Rupa tidak berbeda dengan kekosongan, kekosongan tidak berbeda dengan rupa.’ Maksud Tidak berbeda yang menyiratkan ketiadaan dua hal yang berbeda, ini hanya pembicaraan untuk kemudahan saja. Sedangkan bait selanjutnya, yaitu ‘Rupa adalah kekosongan, Kekosongan adalah rupa’. Menyiratkan kedua hal Rupa dan Sunya adalah satu, tidak terpisahkan, ini adalah ucapan akhirnya. Satu huruf rupa bukan hanya mewakili Panca Skandha juga terkait alam semesta beserta isinya yang mempunyai wujud dan rupa berbeda, semua terkandung di dalamnya. Karena alam semesta dan semua hal tidak terlepas dari karaktersitik diri yang luas berupa kesatuan intergral, yang dikatakan rupa. Begitupula perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran adalah wujud tidak berwujud, dinamakan juga rupa. Rupa yang di dalam dan rupa yang di luar semua karena sebab dan kondisi ia muncul, tiada karakteristiknya sendiri, tiada inti yang realita, tidak didapat, asal muasalnya berkarakter Sunya. Sekarang walaupun ada terlihat hanya ilusi, sesungguhnya tidak ada yang didapat. Oleh karena itu, Rupa berarti Sunya. Bukan dimaksud rupa yang di luar adanya sunya. Bila memperhatikan kesunyataan di atas kiranya dapat memahaminya. Hati yang muncul berbagai berjenis juga termasuk Panca Skandha selalu bergulir. Begitupula rupa yang yang beragam jenis, semua bagaikan bunga ilusi yang munculnya kacau dan lenyapnya juga kacau. Bagaikan sebuah film yang selalu berubah dan terus berubah sehingga dikatakan tidak didapat. Janganlah bait-bait di atas dilihat dan dirasakan sebagai ketakjuban, sesungguhnya sebuah kebenaran yang bersifat umum penuh kewajaran. Anda hanya menyadari bahwa semua muncul karena ada kondisi, tiada karakteristiknya sendiri, tiada realita yang nyata, tidak diperoleh, maka dinamakan berkarakter Sunya. Bukan hanya rupa maupun Skandha lainnya saja, termasuk wujud alam semesta dan seisi alam yang berwujud, juga 18 dhatu, 12 Mata rantai, 4 Kesunyataan mulia dan Sad Paramita dan lain sebagainya adalah wujud tanpa berwujud, semuanya demikian berkarakteristik Sunya. Hanya saja umat awam terjebak ada, maka dikatakan rupa tidak berbeda dengan Sunya. Dua Yana Kecil (Praktisi di jalan Sravaka dan Pratyeka Buddha) masih terjebak Sunya. Oleh karena itu, diajarkan Sunya tidak berbeda dengan rupa. Begitupula bila Bodhisattva belum menembusi hakikat non-dualitas, maka dikatakan rupa adalah Sunya, Sunya adalah rupa. Maksud kesemuaan ini untuk mendobrak pandangan Dharma mereka, andaikata memahami pandangan Dharma mereka juga intinya Sunya, sehingga memahami ketiadaan rintangan lagi.

Segala sesuatunya yang berkondisi di alam semesta ini selalu berproses, yaitu: terbentuk, keberadaan, berubah, dan lenyap. Bagaimanakah peran dan fungsi Kesunyataan (kekosongan) terhadap segala sesuatu yang berkondisi dan berproses? Tiada lain, yaitu: “Terbentuk berasal dari kekosongan; Keberadaan berintikan kekosongan; Berubah karena karakteristik kekosongan; Lenyap kembali ke natural kekosongan”. Oleh karena itu dikatakan wujud tidak berbeda dengan kekosongan, kekosongan tidak berbeda dengan wujud; wujud adalah kekosongan, dan kekosongan adalah wujud.

Segala sesuatunya bereksistensi tapi bereksistensi sunya sehingga bukan bereksistensi sesungguhnya; Walaupun segala sesuatunya sunya tapi sunya yang bereksistensi sehingga bukan sunya sesungguhnya; Walau bereksistensi tapi tidaklah kekal, walau sunya tapi tidaklah musnah. Inilah kesunyataan yang tidak sunya walaupun sunya tapi tidak musnah. Begitupula perwujudan eksistensi yang tidak bereksistensi walau bereksistensi tapi tidak kekal.

Memandang kekosongan menampakkan kekosongan adalah pandangan nihilis; Memandang kekosongan tanpa eksistensi adalah pandangan salah; Memandang kekosongan bukan kekosongan adalah pandangan benar; Memandang kekosongan yang berisi kekosongan adalah pandangan Kesunyataan.

Kekosongan yang sebenarnya tidak merintangi eksistensi, eksistensi tidak merintangi kekosongan yang sebenarnya. Kekosongan yang sebenarnya adalah eksistensi; eksistensi itu adalah kekosongan yang sebenarnya.

Tidak terjebak dengan ‘ada’, tidak pula terjebak dengan ‘kekosongan’, tidak terjebak dengan dualitas, tidak pula terjebak non-dualitas, tidak juga terjebak dengan konsep ‘tidak terjebak’ menembusi realita Kesunyataan sebagaimana adanya.

Di dalam Maha Vaipulya Paripurnabuddhi Nitartha Sutra (Sutra Maha Kesadaran yang Sempurna). Buddha bersabda: Mengapa kesan ‘ada’ atau ‘kosong’ itu harus dilepaskan? Sebab Svbhava atau inti-jati pada dasarnya suci bersih dan bersifat seperti angkasa. Ia demikian terang, tenang dan tanpa reaksi (bukan relatif). Ia adalah Tathagatakosa (sari Pribadi Buddha) yang bersifat tanpa lahir dan tanpa musnah, juga tanpa pengertian, namun ia tetap berfungsi seperti Dharma-dhatu, bulat, realistis, dan lapang. Luasnya hingga sepuluh penjuru tanpa batas.

Di dalam Sutra Shurangama, Hyang Buddha bersabda: pikiran sejati yang suci dan sempurna, disebabkan oleh khayalan terlahirlah wujud dan kekosongan.

舍利子 (Se Li Ce) panggilan kepada Shariputra, agar lebih memperhatikan, lebih memfokuskan pikiran, untuk memahami.

是诸法空相 (Se Cu Fa Khung Siang) Semua dharma adalah perwujudan Sunya. Apa itu dharma? Adalah jejaknya hati (bayangan hati), hati bergerak memunculkan beragam masalah. Bila tidak ada objek maka tidak ada hati tidak ada pula dharma. Karena itu, dikatakan muncul karena ada sebab dan kondisi, tetapi muncul tidaklah muncul, tiada karakteristiknya sendiri, tiada realita kebendaan, tiada diperoleh, asalnya Sunya, bukan diciptakan sehingga menghasilkan Sunya. Orang dulu bilang: ‘Hati timbul dharma timbul, hati lenyap dharmapun lenyap’, jejak hati adalah ilusi, dharma mustahil adalah benar. Semua dharma adalah kata seluruh dharma hati. Orang-orang duniawi pada umumnya menggunakan hati untuk menciptakan kondisi hati, menggunakan dharma membentuk dharma. Tidak mengetahui intinya adalah Kesunyataan, mengikuti mereka terasa benar-benar ada, dengan demikian terjebak dan melekatlah, sehingga terjadi pertengkaran memperebutkannya. Huruf ‘wujud’ ini harus dipahami, nanti di bawah akan dijelaskan kebenaran berawal dari tidak timbul dan tidak lenyap.

不生不灭 (Pu Sen Pu Mie) Tidak timbul, tidak lenyap. Di dalam banyak sutra Buddhis syair ini paling sulit dipahami. Harus kita ketahui, di alam semesta ini semua hal termasuk pikiran kita dan Panca Skandha, semuanya tidak timbul dan tidak lenyap karena sebabnya semua adalah sebagai berikut:

  1. Tidak muncul sendirinya: seperti di atas sudah dijelaskan kain tidak sendirinya bisa jadi kain, maka dikatakan tiada karakteristiknya, semua harus tergantung kondisi-kondisi lain yang mendukungnya dan terpenuhi segala unsur lain baru terbentuk.
  2. Bukan mereka memunculkan: walaupun terpenuhnya segala kondisi-kondisi lain, tapi bila tidak ada yang menyatukan dan merajut maka tidak bisa jadi kain.
  3. Tidak muncul bersamaan: karena kedua hal yang di atas pun adalah berkondisi tiada realita intinya, hanya keduanya dibentuk, dipadukan saling melengkapi dan dilengkapi, sehingga dikatakan tidak muncul bersamaan.
  4. Bukan tiada sebab kemunculannya: Misalnya kain adalah paduan yang palsu ia muncul, karena ada sebab tentu ada akibat. Bila tidak ada sebab diciptakan kain maka tidak ada akibat kain yang terbentuk. Artinya tidak ada sebab di dalam dan sebab di luar maka tidak terbentuknya materi. Mesti ada pemilikan sebab, ada sebab di dalam ada sebab di luar, bila segala kondisi terpenuhi maka terbentuklah.

Semua hal tidak muncul sendirinya, walaupun sekarang mempunyai wujud dikatakan timbul/muncul tapi sesungguhnya tidak timbul. Tidak timbul tentu tidak lenyap. Walaupun sekarang kepalsuan wujud tertampak lenyap tapi tidaklah lenyap. Contoh yang lebih mudah untuk dimengerti, misalnya berupa air. Air tidak bisa membuat air; Air tidak bisa menambah air; Air tidak bisa kekurangan air; Air tidak bisa melenyapkan air. Itulah wujud air menyiratkan makna “tidak timbul dan tidak lenyap”. Penjelasan selanjutnya sebutan air bukanlah air hanya sekedar disebut air. Sebutan air adalah bahasa relatif, bukan air adalah bahasa sunyata. Hanya sekedara disebut air adalah bahasa bijaksana (tidak melekat kepada relatif dan sunyata tapi melingkupi keduanya).

Dalam pandangan relatif: Orang Indonesia melihat air dengan menyebut air, orang Jawa menyebut banyu atau tirta, orang Amerika menyebut water, orang Chinese menyebut sui, mana sebutan yang benar? Semuanya relatif benar berdasarkan pemberian nama dari orang yang tinggal diwilayah atau negara tertentu. Dalam pandangan absolut apakah air memberi nama air, banyu, tirta, water, sui? Tidak, air tidak memberi nama air, air sejatinya tidak ada nama, mutlaknya tidak bernama. Jadi nama air ‘muncul’ karena pandangan dan pikiran manusia, tetapi air sejatinya ‘tidak muncul’ ada nama. Inilah disebut muncul tapi tidak mucul, timbul tapi tidak timbul. Oleh karena itu, muncul atau timbul adalah “Pandangan kepalsuan”; Sedangkan tidak muncul atau tidak timbul adalah “Pandangan Kesunyataan”; Muncul tapi tidak mucul, timbul tapi tidak timbul adalah “Pandangan jalan tengah” (kearifan).

Contoh lain: Orang awam batinnya selalu muncul; orang gila batinnya lenyap; orang suci batinnya tidak muncul tidak lenyap. Kenapa bisa demikian? Karena batin “Orang awam” selalu bergejolak, lihat apa, dengar apa, ke cium apa, mencicip apa, ke sentuh apa, ke pikiran apa, semuanya menimbulkan sensasi, fantasi, ilusi, sehingga delusi. Lihat bagus batin menjadi naksir, lihat jelek batin menjadi kesal, lihat bukan bagus dan bukan jelek jadi jenuh membosankan. Orang awam senang melihat, mencari, membentuk dan menuntut rupa yang indah; Senang menggunakan perasaan pasang surut untuk bercinta dan menuntut untuk dicintai; Pikirannya selalu menerawang ingin memiliki dan dimiliki sesuatu; Pencerapannya atau aktivitasnya selalu membeda-bedakan segala sesuatu dan dibedakan, aku-kamu, jelek-bagus, suka-tidak suka dan lain sebagainya; Kesadarannya bersifat relatif, bisa sadar-bisa tidak sadar, kesadarannya kerdil, mempergunakan kesadaran naluri, kesadaran egois, kesadaran sensasi, kesadaran emosi, kesadaran memori, kesadaran karmanya dan lain sebagainya. Batinnya liar selalu mengembara, lemah tidak terkendali, kacau tidak tertata, kotor tidak murni, akibatnya timbul dan bergejolak tanpa henti karena semua dipengaruh dan terpengaruhi oleh berbagai hal di luar, sehingga tergantung dan digantung oleh berbagai kondisi, akibatnya susah dan derita di alami sepanjang hidupnya.

Sedangkan “Orang gila” batinnya lenyap, Panca Skandhanya rusak tidak berfungsi, tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada kesadaran, dan tidak ada rupa (rupa manusia normal). Akibatnya hidup tidak waras alias gila karena tidak ada rasa malu, suka berbicara sendiri, suka ngamuk sendiri dan akhirnya suka telanjang bulat, tidak mengenal kebersihan dan kesehatan sehingga apapun dimakan dan diminum, jorok, dekil, bau dan sakit, tidak mengenal orang, keluarga dan rumah, sehingga hidup jadi liar dan sesat.

Sedangkan “Orang Suci” batinnya tidak timbul tidak lenyap, artinya bukan seperti batin orang awam pun bukan seperti orang gila, kenapa bisa dikatakan demikian? Apa maksud tidak timbul dan tidak lenyap? Pengertiannya adalah sebagai berikut: Bila mata melihat sesuatu ia mengetahui tetapi ia tidak terjebak dan melekat, walaupun mengetahui tapi tidak menjadikan pengetahuan, setelah peristiwa berlalu seketika itu juga ia lupakan. Maksudnya: walaupun mata melihat kesan-kesan tapi tidak timbul sensasi atau perasaan, bila dibutuhkan perasaan tapi tidak timbul kecintaan atau kebencian, sehingga tiada kemelekatan yang menjadi beban atau rintangan. Sama juga dengan fungsi dan peran telinga, penciuman, mulut, tubuh dan pikiran. Mata melihat pasti mengetahui berarti tidak lenyap, sedangkan mengetahui tapi tidak terjebak melekat berarti tidak timbul, yang dikenal istilah: “Wu Nien Ol Nien, Nien Ol Wu Nien”, (Tidak mengingat tapi mengingat, mengingat tapi tidak mengingat) maksudnya adalah pikiran ‘Tidak mengingat’ kepada ‘Sang Aku dan Miliku’ sehingga batin sunyi dan tenang. Sedangkan pikiran ‘Mengingat’ kepada jiwa Buddha sehingga setiap saat mengembangkan kesadaran dan tidak bodoh. Tingkatan kondisi demikian bisa di alami tapi sulit dikatakan. Begitupula “Khan ol pu cien” (melihat tapi tidak ada pandangan) “Thing ol pu wen” (mendengar tapi tidak ada berita). Di dalam Sutra Intan dikatakan ‘Wu Cu Sen Hsin’ (Hati timbul tapi tidak melekat) Inilah yang disebut batin jalan tengah, yaitu kearifan yang dipraktikkan oleh para bijaksana.

Renungkanlah kata-kata bijaksana ini: Walaupun terlahir di bumi, berpijak di bumi, makan hasil bumi, tumbuh dan berkembang di bumi, tetapi janganlah ternoda di bumi dan tidak merusak bumi! Inilah sikap dan perilaku para bijaksana.

不垢不净 (Pu Kou Pu Cing), 不增不减 (Pu Cen Pu Cien) artinya tidak kotor tidak bersih, tidak bertambah tidak pula berkurang. Karena tidak timbul tidak lenyap, oleh karena itu kotor-bersih, panjang-pendek, benar-salah, baik-buruk, datang-pergi, semua hal yang berpasangan terjadi disebabkan perbedaan yang berkondisi. Kesemuaan ini bersifat maya dan ilusi yang tidak di peroleh. Apapun wujud dari eksistensi sesungguhnya adalah wujud kesunyataan. Disebabkan semua urusan dunia tidak ada satupun yang terbentuk bukan tidak berpasangan. Derita dan kegalauan juga terbentuk karena pengaruh wujud berpasangan. Semestinya kita menyadari hakikat semua bisa terjadi karena ada sebab dan kondisi, tidak ada karakteristiknya sendiri, tiada realita nyata, tidak didapat, dasarnya timbul tapi tidak timbul. Hanya saja sementara ada khayalan wujud, bagaimana bisa terjebak menjadi realita nyata? Janganlah terjebak ada maupun tidak ada. Selaras dengan semua dharma- melepaskan semua dharma; Digunakan-dilepaskan; Hati bagaikan seluas angkasa raya yang melingkupi semua alam, leluasa tidak melekat. Ini adalah semua dharma yang berwujud Sunya adalah wajah yang sebenarnya. Demikian juga tiada hati dalam menggunakan hati, adalah sumber asalnya. Tetapi para makhluk sudah lama tidak mengetahui dan menyadari. Bila tidak mengetahui kebenaran ini adalah makhluk di-enam alam tumimbal lahir; Bila mengetahui setengah kebenaran ini adalah praktisi Sravaka atau Pratyeka; Bila sudah mengetahui tapi belum tuntas adalah praktisi Bodhisattva, kiranya semua masih ada rintangan yang sesuai tahapan kebijaksanaan dan jenjang kesuciannya.

是故 (Se Ku) bermakna menekankan, karena itu.

空中无色,无受想行识,无眼耳鼻舌身意,无色声香味触法,无眼界,乃至无意识界(Khung Cung Wu Se, Wu Sou Siang Sing Se, Wu Yen Ol Pi Se Sen Yi, Wu Se Sen Siang Wei Chu Fa, Wu yen Cie Nai Ce Wu Yi Se Cie) Di dalam kekosongan, tiada rupa, perasaan, pengertian, perwujudan, kesadaran; Tiada mata, telinga, hidung, lidah, jasmani, rohani; Tiada penglihatan, pendengaran, pembauan, cita-rasa, sentuhan, dharma; tiada alam pandangan sampai tiada alam kesadaran.

Bila sudah mengetahui Hakikat Kesunyataan, apakah di dalam Kesunyataan ada realita nyata yang bisa diperoleh? Tulisan ‘tiada’ dapat dijelaskan 2 makna, yaitu: 1. Tidak ada, dasarnya memang tidak ada; 2. Tidak real (nyata), walau sekarang ada wujud khayal, akhirnya kembali tiada. Segala sesuatu yang tidak real dianggap ada dan nyata menimbulkan pandangan dharma dan menambahkan banyak kegalauan. Oleh sebab itu, Panca-Skandha (rupa, perasaan, pikiran, pencerapan, kesadaran); 6 organ indera (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran); 6 objek indera (penglihatan, pendengaran, pembauan, cita-rasa, sentuhan, dan Dharma); di tambah 6 organ kesadaran (kesadaran mata, kesadaran telinga, kesadaran hidung, kesadaran lidah, kesadaran tubuh, kesadaran pikiran) seluruhnya disebut 18 Dhatu, kesemuaan ini tidak didapat, disebabkan kemunculan yang berkondisi, tiada karakteristiknya sendiri, tiada realita nyata, tidak didapat. Kiranya orang awam merasakan adanya tubuh khayal ini, disebabkan dirinya memiliki hati khayal yang menciptakan dan menggunakan, yang diharapkan tidak bisa lenyap musnah. Para Buddha dan Bodhisattva mengajarkan kebenaran ini untuk menolong semua makhluk, menolong dunia yang menderita tidak terbatas. Di anjurkan yang berjodoh kembangkanlah Prajna, mengatasi kelahiran dan kematian, keluar dari Triloka Dhatu. Hanya saja makhluk suci sudah memahami realitas Sunyata sehingga tiada terjebak Dharma. Para makhluk diliputi kebodohan mengikuti dan memunculkan pikiran jungkir-balik. Inilah rintangan besar yang diciptakan oleh makhluk itu sendiri. Oleh sebab itu, makhluk-makhluk di neraka banyak kegalauan karena penuh dengan keserakahan, kebencian dan kebodohan; Setan kelaparan galau karena banyak keserakahan; Binatang galau karena banyak kebodohan; Mara (raja iblis) galau karena banyak kedengkian. Sedangkan manusia galau karena memiliki setengah bagian dari keserakahan, kebencian dan kebodohan, Para dewa galau karena sedikit keserakahan. Tiga racun keserakahan, kebencian dan kebodohan muncul karena peran 18 Dhatu. Hanya satu huruf ‘Sunya’ dapat menetralisirkan kegalauan dan kesusahan, bila sudah lenyap seketika itu juga disebut Bodhicitta. Maka dari itu, dikatakan kegalauan dan Bodhicitta dasarnya tidaklah berbeda, bila tidak memahami Kesunyataan maka ia melekat timbullah kegalauan; Apabila sudah memahami Kesunyataan sehingga ia tidak melekat dan tidak galau itulah Bodhicitta. Kegalauan dan Bodhicitta berasal dari hati, bila sudah mencapai taraf pencerahan ‘ketiadaan hati’ dimanakah dimensi kegalauan dan Bodhicitta berada?

Pikiran sebagai ‘Kedemikianan’ (Tathata) mengartikan bahwa dunia orang banyak dalam segala aspek inklusifnya yang umum bersifat ’kesatuan’ (manunggal). Pikiran tersebut merupakan dari tatanan yang menjaga segala sesuatu beraturan. Pikiran pada dasarnya bukanlah subjek bagi kelahiran dan kematian. Semua objek yang tidak terbatas variasinya menjadi terbedakan hanya karena cara berpikir kita yang salah. Jika terbebas dari subjek dan objek, dunia dengan keanekaragamannya pun hilang. Oleh karena itu, segala sesuatu (kemunculan yang bervariasi di dalam benak kita) pada prinsipnya adalah di luar ranah pengertian nalar, di luar jangkauan kata-kata, atau di luar kemampuan pemahaman; Karena hakikat kesemuan hal adalah sama, tidak menanggung transformasi dan bukan objek bagi kehancuran. Kesemuan itu adalah manifestasi dari Pikiran Tunggal dan kar enanya dinamakan kedemikian (Tathata).*

无无明,亦无无明尽,乃至无老死,亦无老死尽 (Wu Wu Ming, Yi Wu Wu Ming Cing, Nai Ce Wu Lau Se, Yi Wu Lau Se Cing) Tiada kegelapan rohani atau akhir kegelapan rohani, tiada usia tua dan kematian juga akhir dari usia tua dan kematian.

Ketiadaan kegelapan batin (rohani) atau ketiadaan akhir kegelapan batin (rohani) ini ditujukan untuk menyadarkan praktisi Pratyeka Buddha. Hukum 12 mata rantai yang dikenal Hukum Pratitya Samutpada adalah praktiknya para siswa calon Pratyeka-Buddha. Seorang praktisi memilih jalan menjadi Pratyeka-Buddha umumnya tidak menerima ajaran Buddhadharma, hanya mengembangkan kesadaran yang berkaitan aktivitas mental. Mereka tidak memahami bahwa hakikat semua dharma adalah sunya. Tidak memahami bahwa segala kondisi yang terbentuk adalah tidaklah realita, belum memahami hakikat kesunyataan hakiki, sehingga menyebabkan pandangan dharmanya bersifat terbatas, akibatnya tidak menerima keleluasaan absolut.

Dijelaskan hukum 12 mata rantai sebab musabab (Pratitya Samutpada) yang saling bergantungan:

  1. Karena pandangan keliru timbullah kegelapan batin (ketidaktahuan).
  2. Adanya kegelapan batin maka tindakannya keliru.
  3. Adanya tindakan keliru berkembanglah kesadaran yang keliru.
  4. Adanya kesadaran keliru terbentuklah nama dan rupa (kelahiran yang memiliki jasmani).
  5. Adanya jasmani memiliki indera-indera.
  6. Adanya indera-indera menangkap kesan-kesan (sensasi).
  7. Adanya kesan-kesan timbullah berbagai perasaan (suka-tidak suka).
  8. Adanya perasaan berkembang menjadi cinta (kesukaan yang serius dan harus terbalas).
  9. Adanya kecintaan timbullah kemelekatan (terbelenggu).
  10. Adanya kemelekatan terciptalah karma baru.
  11. Adanya kekuatan karma kembali dilahirkan (tumimbal lahir).
  12. Adanya kelahiran maka mengalami kembali usia tua, sakit dan mati.

Di dalam Maha Vaipulya Paripurnabuddhi Nitartha Sutra (Sutra Maha Kesadaran yang Sempurna). Hyang Buddha bertanya kepada Manjusri Bodhisattva: Apakah Avidya (kegelapan batin) itu? Berasal dari mana? Sang Buddha meneruskan sabdanya: Sesungguhnya, setiap makhluk-hidup sejak dahulu kala berpandangan keliru, karena mereka selalu memandang segala sesuatu dengan pikiran terbalik, dan sikapnya seperti orang ’sesat-lalu’ yang sulit sekali mengikuti jalan yang benar, bahkan jurusan timur dianggap barat, arah utara ditunjukkan keselatan. Karena mereka di jalan sesat, maka tubuh yang dimiliki para makhluk yang sebenarnya terdiri dari empat unsur besar (Catur Mahabhuta, yaitu tanah, air, api dan udara) disalahartikan. Mereka menganggap unsur-unsur tersebut adalah ‘aku’. demkian pula ke-6 obyek indera (Sad-Ayatna, yaitu: bentuk, suara, bebauan, rasa, sentuhan dan gagasan/bentuk-bentuk pikiran) selalu dijadikan kesan-kesan di dalam pikirannya. Padahal! Saat unsur-unsur tersebut buyar atau ayatana-ayatana (landasan indera) sudah lenyap, ‘Aku’ berada di mana? Kesan-kesan atau benda-benda yang dianggap obyek itu berada dimana? Pandangan keliru ini tidak berbeda dengan seorang pasien yang sedang menderita penyakit mata. Ia selalu merasa bahwa ia dapat menyaksikan beberapa jenis bunga di angkasa atau dapat melihat dua bulan di langit bila ia memegang kelopak matanya. Apakah di angkasa terdapat bunga atau dua bulan? Tidak bukan? Ini hanya fatamorgana saja. Karena ia telah melihat kekeliruan dan makin lama makin bersikeras pada pandangannya, maka ia sama-sekali tidak dapat mengerti keadaan angkasa, bahkan bunga tersebut dari jenis apa dan berasal dari mana, tak dapat dijelaskan olehnya. Karena itu, patutlah selama berjuta-juta kalpa para makhluk terus-menerus diputar oleh roda lahir-mati (Samsaracakra). Itulah yang menyulitkannya untuk mendapat kesempatan agar dirinya terbebas dari alam sengsara. Ini dinamakan Avidya (Avijja, kegelapan batin).

Mengakhiri sebab-akibat tumimbal lahir.

Bila pandangan tidak keliru maka ketidaktahuan berakhir

Bila ketidaktahuan berakhir, aktivitas di akhiri

Bila aktivitas di akhiri, kesadaran di akhiri

Bila kesadaran di akhiri, nama dan wujud di akhiri

Bila nama dan wujud di akhiri, enam pintu masuk di akhiri

Bila pintu masuk di akhiri, perasaan di akhiri,

Bila perasaan di akhiri, kecintaan di akhiri

Bila kecintaan di akhiri, kemelekatan di akhiri

Bila kemelekatan di akhiri, kepemilikan di akhiri

Bila kepemilikan di akhiri, maka karma di akhiri

Bila karma diak hiri maka tiada kelahiran, usia tua dan mati di akhiri

Dengan pikiran, ketiga alam (Triloka Dhatu) di mengerti, demikian Dua-belas mata rantai sebab-akibat (Pratitya Samutpada). Bahkan kelahiran dan kematian disebabkan oleh pikiran. Jika pikiran ditenangkan (dibebaskan dari segala nafsu keinginan) tidak ada lagi kelahiran dan kematian (Avatamsaka Sutra)*

Kegelapan batin bukanlah realita ada hanya bagaikan sebuah mimpi. Di saat mimpi, semua dirasakan ada tetapi disaat sadar, semua tidak nyata dan tidak didapat. Tetapi sangat disayangkan, banyak makhluk tidak mampu melenyapkan kegelapan batin, bahkan ada yang tidak mau melenyapkan, karena mereka sudah terbius dengan mimpi panjang, sudah terbiasa dengan khayalan yang membuat susah dan derita berkepanjangan, sehingga menciptakan terus lingkaran tumimbal-lahir dan membentuk berbagai ikatan dan pertalian hubungan yang tidak berkesudahan. Semua di sebabkan 3 faktor yang saling berkaitan, yaitu: bodoh, karma dan derita. Singkatnya dinyatakan demikian: Adanya ‘Sang Aku’, maka ada corak kepribadian, ada corak keusiaan, ada corak kehidupan, ada corak kepemilikan, sehingga terjadi banyak galau menciptakan karma yang tidak terbatas. Bila tidak ada ‘Sang Aku’, dimanakah semua itu? Bila tidak adanya ‘Sang Aku’ dan ‘Milik ku’, maka segala kebodohan, kelahiran dan kematian pun tidak ada. Bila belum cerah pandangan dan pikirannya maka semua dirasakan ada, bila sudah cerah maka semuanya tidak realita dan tidak didapat.

Master Zen Yung Zhia mengatakan: “Di dalam mimpi jelas-jelas adanya enam alam tumimbal lahir. Sesudah sadar (cerah) hanyalah kekosongan yang kosong tiada maha chillicosmos”.

 

Bila hati khayal (hati yang timbul-lenyap) bolehlah memohon usia panjang; Bila hati benar (hati yang tidak timbul-lenyap), bagaimanakah memohon usia panjang? Kebodohan dari hati yang timbul (bergejolak) salah, kebijaksanaan dari hati yang murni dan tenang menampakkan realita. Bila hati tidak timbul (sunya) bagaimana ada salah dan benar? Sutra Hati mengatakan: Tiada kebodohan dan tiada akhir kebodohan, tiada usia tua dan kematian, memang benar adanya, karena hati sunya maka semua kondisi juga Sunya (kekosongan).

Jikalau pikiran terganggu, maka berbagai hal (persoalan) timbul; Jikalau pikiran ditenangkan (bebas dari segala khayal dan nafsu), berbagai persoalan pun lenyap. Meskipun diliputi kotoran (khayal dan nafsu), pada hakikatnya pikir an itu abadi, jernih, murni dan bukan merupakan subjek bagi perubahan. (Mahayana Sraddhotpada Sastra)*

无苦集灭道 (Wu Khu Ci Mieh Tau) tiada derita, tiada asal mula derita, tiada akhir derita, tiada jalan pembebasan derita. Inilah praktiknya para siswa Sravaka yang mengandalkan ajaran Empat Kesunyataan Mulia (Aryasatya), yaitu: Dukkha-aryasatya (penderitaan atau tidak memuaskan), Dukkha-samudya-aryasatya (sebab timbulnya dukkha), Dukkha-nirodha-aryasatya (berhentinya dukkha) dan Dukkha-nirodhagamini-pratipada-aryasatya (jalan yang harus di tempuh untuk mengakhiri dukkha). Sekaligus melaksanakan Praktik 37 Bodhipaksika Dharma (37 macam Dharma yang bertalian dengan Penerangan). Mereka tidak memahami bahwa hakikat semua Dharma adalah sunya. Tidak memahami bahwa segala kondisi yang terbentuk adalah tidaklah realita, belum memahami hakikat kesunyataan hakiki, sehingga menyebabkan pandangan dharmanya bersifat terbatas, akibatnya tidak menerima keleluasaan absolut.

Pada umumnya umat awam memiliki pengertian Dukkha adalah duka, sedang mengertian Buddhadharma semua aktivitas hati (Panca-Skandha) yang berupa suka maupun duka termasuk dukkha.

Dukkha-aryasatya (penderitaan atau tidak memuaskan)

Untuk memberikan penjelasan dukkha maka dijelaskan sebagai berikut:

Delapan Derita yang di alami sekarang, yaitu:

 

Penderitaan fisik :

  • lahir,
  • sakit,
  • tua dan

Penderitaan mental:

  • berpisah dengan yang dicintai,
  • berkumpul dengan yang dibenci,
  • keinginan yang tidak tercapai,
  • aktivitas Panca Skandha yang melelahkan dan menyusahkan.

Penderitaan dasar:

  • rakus,
  • marah,
  • kebodohan,
  • sombong, ragu,
  • pandangan yang keliru.

Penderitaan tambahan (ada 20)

10 penderitaan kecil:

  • gangguan pikiran,
  • kebencian,
  • kejengkelan,
  • menutupi kesalahan,
  • berbohong, penolakan,
  • kecongkakan,
  • berhati dengki,
  • perasaan iri (cemburu),
  • kikir (pelit)

2 penderitaan sedang:

  • tiada malu,
  • tiada takut akibat.

8 penderitaan besar:

  • ketidakpercayaan,
  • kelambanan,
  • kelalaian,
  • suka ngantuk,
  • kurang perhatian (gelisah),
  • hilangnya kesadaran (tiada kehati-hatian),
  • pengetahuan yang tidak tepat,
  • kebingungan (kurang akan kekuatan samadhi)

Tidak kenal cukup adalah derita, tidak bisa tentram adalah derita, hati tidak ada tempat berlabuh juga derita. Kelak derita setelah mati, berputar kembali di enam alam tumimbal lahir, mengalami kelahiran selanjutnya yang sesuai jenis karmanya. Derita yang menakutkan adalah terjatuh di tiga alam celaka, yaitu alam neraka, setan kelaparan dan binatang, mengalami siksaan dan penderitaan yang luas dan lama.

Dukkha-samudya-aryasatya (sebab timbulnya dukkha)

Semua penderitaan berasal dari kebodohan (kegelapan batin) karena disebabkan terjebak pandangan dan pikiran kepada ‘Sang Aku’ dan ‘Milikku’, “Mengkondisikan hati dan menuntut kondisi”, terjebak dan melekat kepada ragam sensasi, fantasi, ilusi dan delusi, sehingga kacau, galau, menciptakan banyak karma buruk sehingga susah dan derita. Penyebab utama derita adalah pikiran jungkir balik, disebabkan pandangan dan pikiran salah, yaitu:

  1. Berpandangan dan berpikir tubuh ini kuat dan bersih.
  2. Berpandangan dan berpikir segala perasaan adalah menyenangkan.
  3. Berpandangan dan berpikir aktivitas hati adalah kekal.
  4. Berpandangan dan berpikir semua dharma (meteri dan kondisi) adalah milikku.

Pandangan dan pikiran jungkir balik inilah yang menciptakan kesusahan dan penderitaan panjang bagi umat manusia. Umumnya mereka tidak tahu bahwa: semua yang terbentuk maupun tercipta bersifat sementara, rapuh dan tidak diperoleh untuk waktu yang lama, karena adanya sebab maka timbullah kondisi, karena berakhirnya sebab maka lenyaplah kondisi. Timbul atau lenyapnya kondisi itupun bersifat khayal dan tidak didapat, kenyataannya tidak timbul pun tidak lenyap, demikianlah realita sesungguhnya.

Dukkha-nirodha-aryasatya (Berhentinya dukkha)

Bila ingin melenyapkan Dukkha (penderitaan), alangkah baiknya mengembang kan pemahaman bahwa Dukkha itu sesungguhnya tidak ada, hanya pikiran khayal saja yang membentuk dan merasakannya. Bila dapat melepaskan pikiran khayal maka lenyaplah derita. Marilah kita renungkan gatha pencerahan ini:

“Semua karma buruk tercipta oleh aktivitas hati, semua kondisi muncul oleh khayalan, semua hal terbentuk karena kemelekatan, semua penderitaan karena kebodohan, semua kondisi akan lenyap bila tiada Sang Aku”.

“Semua aktivitas adalah Dukkha, adalah dharma timbul dan lenyap, timbul dan lenyap bila sudah lenyap, kelenyapan yang sunyi adalah kebahagiaan hakiki”.

“Pikiran tanpa pemikiran ia akan tenang; Pemikiran tanpa melekat kepada buah pemikiran ia akan leluasa, pemikiran tanpa terjebak pemikiran ia akan terang; Pikiran yang membentuk pemikiran terpusat dapat menembusi ruang dan waktu”.

Menembusi hakikat Panca Skandha adalah Sunya dapat menyeberangi samudera susah dan derita.

Dukkha-nirodhagamini-pratipada-aryasatya

(jalan yang harus di tempuh untuk mengakhiri dukkha)

Umumnya praktisi di jalan Sravaka melaksanakan 37 Jalan Bodhi untuk meraih kesucian Arahat, yaitu:

Empat rumah tinggal dalam kesadaran (Smrtyupasthana 4)

  1. Merenungkan jasmani sebagai tidak murni.
  2. Merenung perasaan sebagai penderitaan.
  3. Merenung hati sebagai tidak kekal.
  4. Merenung dharma sebagai tidak memiliki inti (Anatta-tanpa-inti/tanpa-diri).

Empat jenis ketekunan yang benar dan mantap (Samyakpradhana 4)

  1. Kebaikan yang belum dilakukan segera dilakukan.
  2. Kebaikan yang sudah dilakukan dikembangkan.
  3. Kejahatan yang belum dilakukan jangan dilakukan.
  4. Kejahatan yang sudah dilakukan segera dilenyapkan.

Empat dasar konsentrasi (Riddhipada 4)

  1. Konsentrasi keinginan yang baik.
  2. Konsentrasi kegiatan (semangat).
  3. Konsentrasi pikiran.
  4. Konsentrasi kemauan.

Lima akar kebajikan (Indriya 5)

  1. Kegiatan (semangat).

Lima jenis memiliki kekuatan (Bala 5)

  1. Kekuatan dari keyakinan.
  2. Kekuatan dari kegiatan (semangat).
  3. Kekuatan dari kesadaran.
  4. Kekuatan dari ketenangan.
  5. Kekuatan dari kebijaksanaan.

Tujuh bagian dalam penerangan (Bodhianga 7)

  1. Memilih suatu Dharma.
  2. Samadhi (ketenangan).

Jalan utama beruas Delapan (Marga 8)

  1. Pandangan benar.
  2. Pikiran benar.
  3. Ucapan benar.
  4. Perbuatan benar.
  5. Penghidupan benar.
  6. Berusaha benar.
  7. Perhatian benar.
  8. Samadhi benar.

(Di dalam tulisan ini, 37 jalan yang harus ditempuh untuk mengakhiri dukkha tidak diuraikan satu-persatu, kelak di lain waktu akan dijelaskan secara terperinci).

 

Wujud derita itu sesungguhnya adalah khayalan, begitupula sebab derita, akhir derita, jalan membebaskan derita, semua adalah hasil dari ilusi manusia awam yang ‘mengkondisikan hati dan menuntut kondisi’, sehingga jadi susah dan derita. Derita sesungguhnya ada dimana? Tidak berada di dalam hati, tidak juga di luar hati, juga tidak berada di antara di dalam maupun di luar hati. Kenapa bisa mengalami derita? Karena pandangan dan pikirannya salah! Apa yang disebut pandangan benar dan pikiran benar? “Tidak melihat sesuatu Dharma adalah pandangan benar, tidak ada sesuatu yang dapat dimiliki adalah pikiran benar”. Pertanyaannya pandangan khayal dan pikiran khayal ada dimana? Dibentuk oleh hati, terjebak oleh hati, dan melekat di dalam hati, sehingga timbullah kegelapan batin, karena ada kegelapan batin, maka ada perilaku keliru, adanya perilaku keliru maka adanya karma, adanya karma maka adanya derita. Cobalah renungkan dimanakah bersemayamnya Sang Aku? dan Milikku? Semua dicetuskan oleh hati, dipengaruhi hati, terjerat oleh hati, dan derita oleh hati. Sedangkan di dalam Sutra Intan, Hyang Buddha bersabda: Hati masa lalu tidak didapat (hati sudah berlalu sehingga tidak di dapat), hati sekarang tidak didapat (karena hati terus berubah sehingga tidak didapat), hati yang akan datang pun tidak didapat (hati yang akan datang belumlah dibentuk sehingga tidak didapat). Kenapa hati berdimensi tiga waktu dan tidak bisa didapat? Karena hati manusia awam selalu bergejolak yang dikatagorikan tiga waktu: dulu, sekarang dan akan datang, juga hati mempunyai 4 corak, yaitu: 1. Timbul, 2. Melekat, 3. Berubah, 4. Lenyap. Fenomena timbul dan lenyap silih berganti membuat hati jadi kacau, galau, lelah dan nelangsa. Bagaimana menghilangkan duka dan derita ini? Jawabannya: Ada aku ada karma, ada karma ada derita; Kebalikannya: Tiada aku tiada karma, tiada karma tiada derita. Ingat juga nasehat ini: Tiada hati tiada kondisi; Tiada pemikiran tiada masalah; Tiada keinginan tiada derita. Artinya sunyakan hati Anda maka semua derita lenyaplah sudah. Bila kita ingin memahami lebih dalam sebenarnya “Segala sesuatu muncul sebabnya Sunya pun akibatnya juga sunya, dari kekosongan kembali kekosongan itulah wujud kekosongan”.

Setelah memahami kebenaran ini, maka Sutra Hati mengatakan: Tiada dukkha, tiada sebab dukkha dan seterusnya……, realita memang demikian.

无智亦无得 (Wu Ce Yi Wu Te) Tiada kebijaksanaan, juga tiada pencapaian.

Sungai nafsu keinginan yang besar menenggelamkan semua makhluk di tiga alam (Triloka Dhatu). Seorang Bodhisattva dapat menyeberang ke pantai sana dengan mempraktikkan Enam Paramita (Nirvana Sutra)*

Ini adalah rintangan para Bodhisattva tahapan belajar, umumnya Bodhisattva terjebak dan melekat kepada Dharma dan praktik Sad-Paramita (Dana, Sila, Ksanti, Virya, Samdhi, Prajna) yang luas, mereka berpikir ada realitas kebijaksanaan yang diperoleh, semua makhluk dapat diseberangkan, dan tingkatan ke-Buddhaan bisa diraih. Bila punya pemikiran demikian, maka masih terjebak pandangan dan pikiran yang halus terhadap subjek melaksanakan Sad-Paramita dan objek menolong semua makhluk. Ada yang dipahami, ada yang dipraktikkan, ada yang ditolong dan ada yang diraih, inilah bentuk kebodohan dan kemelekatan yang halus yang masih bersisa, sehingga tidak benar-benar mencapai akhir dari kesucian total Nirvana. Sesungguhnya realitasnya tidak demikian? Mengapa bisa begitu? Karena hakikat hati sejati semua makhluk sudah memiliki kebijaksanaan unggul dan kesempurnaan kebajikan Tathagata, hanya saja karena hati khayal, pikiran jungkir-balik dan kemelekatannya sehingga tidak menampakkannya. Bila semua itu dilepaskan tidak terjebak dan melekat, maka semua kebijaksanaan, kebijaksanaan alamiah, kebijaksaaan tanpa guru, kebijaksanaan tanpa rintangan muncul dengan sendirinya.

Tiada kegalauan maka tiada perlu kebijaksanaan. Bila masih terjebak dan melekat kepada pikiran bijaksana maka kebijaksanannya masih terbatas dan dikotori oleh ego pribadi. Sesungguhnya pengertian kebijaksanaan adalah terang dan jelas dalam menghadapi semua hal untuk menyelesaikan masalah tanpa merasa ada ego pribadi yang bijaksana.

Tiada pencapaian, karena sesungguhnya semua makhluk memiliki jiwa Buddha, murni tidak ternoda, maka tidak perlu lagi mencapai jenjang ke-Buddhaan, asalkan kegelapan dan kekotoran batin sudah lenyap, maka kemurnian jiwa Buddha akan muncul sendirinya.

Dulu siswa utama Hyang Buddha pendengaran nomor satu Ananda pernah bertanya ‘Bagaimanakah yang disebut bentuk kegalauan dan karakteristik makhluk-makhluk yang terjatuh ke neraka? Hyang Buddha bersabda: “Sang Aku” melaksanakan praktik Sad Paramita adalah sebab terjadinya kegalauan dan sebab terjatuh ke neraka, misalnya: ‘Saya’ dapat melaksanakan berdana, karena melihat orang lain tidak bersedia melaksanakan berdana timbullah kejengkelan, inilah terjadi kegalauan dan sebab terjatuh ke neraka. Bila ‘Saya’ dapat mempraktikkan sila dan sebagainya, melihat orang lain tidak mampu mempraktikkan sila dan sebagainya, hati merasa jengkel, ini adalah menimbulkan kegalauan dan sebab terjatuh ke neraka. Di dalam Sutra Amitabha Buddha disabdakan: inilah pandangan yang keruh dan kegalauan yang keruh. Dinamakan praktik Dharma yang tercemar sehingga jadi sembrono. Begitupula ada kebijaksanaan atau tidak ada kebijaksanaan, semuanya adalah aktivitas hati yang ilusi karena membedakan menjadi dualitas. Semuanya berkarakterstik Sunya bagaimana ada Dharma yang didapat? Shakyamuni saat diramalkan oleh Buddha Dipankara kelak mencapai Annutara Samyaksambodhi. Saat itu Shakyamuni tidak merasakan surprise dan melekat, karena mengetahui karakteristik pencapaiannya adalah Sunya (kekosongan), realitanya tidak ada sesuatu Dharma yang diperoleh, hanya saja dinamakan pencapaian Bodhi saja.

Pengertian singkat dari ‘Wu Ce’(tiada kebijaksanaan) singkatan Wu Wo Ce Hui, yaitu “Ketiadaan Sang Aku/Egoistik itulah kebijaksanaan”; Sedangkan ‘Wu Te’ ( tiada yang dicapai) singkatan Wu Hsin Te Tau, yaitu “Ketiadaan hati itulah mencapai kesucian”.

Oleh karena itu, Bodhisattva mempraktikkan segala kebajikan mesti sampai saat mencapai tingkatan ‘Ketiadaan Sang Aku dan Milikku’, baru segala rintangan menjadi murni sampai tuntas.

Di dalam Sutra Maha Prajna Paramita, di jelaskan: Bodhisattva dan Mahasattva saat membina diri dengan Prajna Paramita, terhadap semua Dharma bukan melekat ‘ada’; bukan melekat ‘bukan ada’; bukan melekat ‘ada dan buka ada’; bukan melekat “bukan ada dan bukan ‘bukan ada’, bukan melekat kepada ‘tidak melekat’”, karena karakteristik kesejatian semua Dharma tidak didapat, kenapa demikian? Karena ketiadaan karakteristik kesejatian semua Dharma itulah menjadi karakterisktik sejatinya.

以无所得故 (Yi Wu Shuo Te Ku) Dengan tiada suatu yang di capai.

Ini adalah penjelasan inti yang singkat tiada sesuatu yang dicapai, karena menyadari Panca Skandha, 18 Dhatu, 12 mata rantai yang berkaitan, 4 Kesunyutaan mulia, Sad Paramita, dipahami dengan bijaksana semua adalah intinya Sunya (kekosongan), bagaimanapun dimohon toh kenyataan tidak bisa didapat. Bila sudah memahami ‘kedemikiannya realitas sunya’ maka kebijaksanaan Prajna secara alamiah tumbuh berkembang, dan lagi tidak menerima keterikatan Dharma lagi.

Fungsi dan manfaat dari Prajna Paramita Sutra adalah pencabutan mengenai kemelekatan terhadap kepemilikan, artinya, pikiran tidak mempunyai kemelekatan terhadap perolehan dan tiada kemelekatan pada verifikasi dari pembuahan (kesucian). Semua harus di uji untuk mencapai buah kesucian, tapi tidak merasa di uji dan bila lulus tidak melekat pada hasil ujian tersebut. Inilah pencapaian asli mengenai Nirwana yang sesungguhnya (terakhir/penghabisan). Itulah sebabnya tiada pencapaian adalah tujuan dan maksud dari sutra ini.

菩提萨埵 (Pu Thi Sa Tho) Bodhisattva.

Gelar Bodhisattva umumnya disingkat di dalam kebanyakan Sutra Mahayana menjadi Pu Sha. Sebutan Bodhisattva di dalam Sutra Hati ini adalah sudah mencapai tingkatan ke-Buddhaan, namun kembali lagi menjadi Bodhisattva yang telah memahami hati menampakan hakikat ke-Budhaan. Adapun gelar Bodhisattva kadang di sebut Mahasattva, penjelasanan arti Bodhisattva adalah Makhluk Bodhi yang mempunyai keheningan pikiran, semangat dan keberanian memikul amanah dari Tathagata untuk mengajar dan membantu menyeberangkan semua makhluk sampai tuntas.

依般若波罗蜜多故 (Yi Po Ye Po Lo Mi Tuo Ku) Berlandasakan kepercayaan penuh kepada Prajna Paramita.

Bodhisattva disebabkan mengandalkan karakteristik jati dirinya yang memiliki Prajna Vajra (Kebijaksanaan Intan), sehingga mempunyai kemampuan menyeberang mencapai pantai pembebasan. Seharusnya kita memahami bahwa melatih diri jangan khayal mencari keuntungan, apalagi mencari nama, karena nama dan keuntungan adalah racun paling berbisa di antara proses kelahiran dan kematian. Bila hati yang mengejar nama dan keuntungan tidak dilepaskan maka selamanya tidak ada waktu dan kesempatan untuk keluar dari Samsara (samudera derita). Oleh karena itu, sebab melatih diri harus benar, jikalau tidak kedalam dirinya sendiri melatih, jujur mempraktikan ‘Samadhi Keheningan’ dan tidak melihat realitas sejatinya segala sesuatu, maka sulit mencapai pembebasan mutlak. Juga jangan mencari dan memohon kegaiban dan perihal aneh-aneh mencari ilmu kemahiran yang menakjubkan, atau jangan belajar ilmu sesat mempengaruhi orang dan memiliki kekebalan tubuh tanpa kematian. Bodhisattva seharusnya tidak boleh menjauhi Prajna, apalagi umat awam. Bila menjauhi Prajna atau mencampakan Prajna keluar bagaimana ada Dharma lagi yang benar? Praktik Prajna adalah kewajiban dasar mencapai ke-Buddhaan. Bila saja berpedoman dengan Dharma Prajna mempraktikkan dan melangk ah pasti seorang memiliki Prajna, dalam kehidupan ini bisa meraih keberhasilan di jalan ke-Buddhaan.

心无挂碍 (Hsin Wu Ka Ai) Hati tanpa rintangan.

Hati tanpa rintangan, karena ‘diri’ sudah sunya, Dharmapun telah sunya, memperoleh keheningan yang sunyi, ketentraman yang menyeluruh sehingga memperoleh hati keleluasaan yang luas, menampakkan semua hal di dunia atau di luar dunia sangat luas bagaikan angkasa raya tiada batasnya. Tiada lagi rintangan apapun di alam semesta beserta isinya. Hati sudah tidak ada bagaimana hambatan bisa merintangi? Bagaimana pula susah dan derita bisa menghinggapi?

无挂碍故,无有恐怖,远离颠倒梦想(Wu Kua Ai Ku, Wu Yu Khung Pu,Yen Li Tien Tau Meng Siang) Karena tiada rintangan batin, maka tiada lagi ketakutan, kebingungan dan khayalan.

Hati sudah murni, sunya tiada lagi pandangan khayal, siang hari tidak lagi berpikiran wujud, malam hari tidak lagi bermimpi, bagaikan memiliki seribu mata dan seribu tangan menerangi segenap penjuru. Apa yang disebut dengan pikiran jungkir balik? Karena ada rasa kekhawatiran dan ketakutan. Di awali adanya hati yang rusak maka muncullah buah entitas ‘Sang Aku’, menyebabkan terperosok ke dalam arus tumimbal lahir yang mengalami proses kelahiran dan kematian. Jikalau mampu mensunyakan hati dan dharma sama juga sudah mencapai tingkatan ke-Budhaan. Dualitas bentuk kelahiran dan kematain (1. lahir dan mati berbentuk pikiran, 2. Lahir dan mati berbentuk kelangsungan hidup dan proses kematian tubuh). Bodhisattva datang lagi ke dunia disebabkan memiliki maha tekad dan maha welas asih, bukan karena pengaruh kekuatan karma. Oleh karena itu, tidak lagi gentar, pikiran jungkir balik dan bermimpi khayal, semua sudah jauh dilepaskan, mencapai tingkatan timbul dan lenyap sudah lenyap, sehingga hatinya damai dan sunyi senyap.

Bila batin tanpa rintangan bebas dari subyek dan obyek (aku dan dharma) dan tidak terjebak dan melekat kepada konsep (pandangan ) pikiran yang bebas dari rintangan, maka tiada lagi ketakutan dan khayalan ilusi telah berakhir.

“Tiga rintangan dilenyapkan maka tiga kebajikan sempurna”. Pada saat itu tiga rintangan milik-mu, yaitu rintangan karmic, rintangan pembalasan jasa dan rintangan derita bila sudah lenyap maka memperoleh tiga kebajikan yang sempurna, yaitu: Kebajikan Pembebasan; Kebajikan Mengenai Prajna; dan Kebajikan Mengenai Tubuh Dharma. Ketiga kebajikan sepenuh disempurnakan maka ketiganya akan menyatu.

究竟涅槃 (Ciu Cing Nie Phan) akhirnya Nirvana.

Nirvana dalam pengertian bahasa mandarin adalah Yen Man Ci Cing (kesempurnaan dari kesunyian dan ketenangan). Dua Yana (Jalan Sravaka dan Pratyeka Buddha) adalah Nirvana yang bersisa bukan akhir. Kesempurnaan Nirvana adalah tingkatan ke-Buddhaan yang dinamakan Nirvana tidak bersisa lagi sampai kondisi Nirvana pun tidak diperoleh. Oleh karena itulah menjadi Buddha, itupun tidak ada pandangan Dharma mencapai ke-Buddhaan.

Kehidupan Buddhis merupakan ‘perang terbuka’ terhadap keterikatan, kemelekatan dan perbudakan dalam segala hal. Tujuan utama seorang ‘Praktisi Buddhis’ adalah Moksha (pembebasan), bebas dari ketidaktahuan, bebas dari ikatan, dan bebas dari karma. Kebebasan sesungguhnya merupakan salah satu dari empat karakteristik Nir vana, yaitu: keabadian, kebahagiaan, kebebasan (penguasaan atas diri sendiri), dan kesucian.*

Di dalam Mahayana Nirvana Sutra (bagian VI) disabdakan: “Sungguh tidak benar, tidak tepat menyatakan masuknya Tathagata ke Nirvana seperti api yang padam ketika bahan bakarnya habis, namun, sungguh benar, menyatakan bahwa Tathagata masuk kedalam hakikat Dharma itu sendiri”. “Jika tidak ada lagi minyak, cahaya pun padam, tetapi hanya berarti padamnya nafsu-nafsu jahat; Mengenai tempat minyaknya sendiri tetap ada. Begitupula, Tathagata telah memadamkan semua nafsu keinginan yang buruk, tetapi Dharmakaya (tubuh absolut) tetap ada selamanya”.*

Abhidharma Ta Ce Tu Luen, dikatakan:

Di dalam Nirwana tiada ciri nirwana,

Kesunyataan Nirwana adalah kebenaran Sunyata.

Di dalam Suvarnaprabhasa memberikan banyak alasan mengapa kita harus membahas Nirvana, antara lain:

  1. Semua nafsu jahat timbul dari keserakahan, tetapi Tathagata bebas dari keserakahan, ini disebut Nirvana.
  2. Karena mereka bebas dari keserakahan, mereka tidak terikat pada suatu apapun. Karena mereka tidak terikat, mereka tidak masuk ke dalam keberadaan maupun keluar dari keberadaan, ini disebut Nirvana.
  3. Karena mereka tidak masuk ke dalam keberadaan maupun keluar dari keberadaan. Mereka berasal dari Dharmakaya yang ada selamanya, ini disebut Nirvana.
  4. Apa yang terbebas dari kelahiran dan kematian tidak bisa dideskripsikan, ini disebut Nirvana.
  5. Tidak ada ego sebagai subjek ataupun dunia objek. Semua yang kita lihat tentang diri kita disebabkan oleh kondisi-kondisi yang terus-menerus berubah, dan apa yang tidak berubah disebut Nirvana.
  6. Semua nafsu jahat disebabkan oleh kesalahan dan tidak memiliki hubungan dengan Hakikat Dharma, yang merupakan tuan yang tidak masuk ke dalam keberadaan maupun keluar dari keberadaan. Ini dikenali oleh Buddha dan disebut Nirvana.
  7. Kedemikianan sendiri adalah nyata dan segala sesuatu yang lain tidak. Maksudnya Kedemikianan adalah Realitas, yaitu Tathagata dan disebut Nirvana.
  8. Dalam realitas tidak ada subjek kesalahan untuk argumentasi, dan ini dimengerti oleh Tathagata sendiri dan disebut Nirvana.
  9. Apa yang tidak dilahirkan adalah nyata, apa yang dilahirkan adalah tidak nyata, dan orang yang dungu tenggelam dalam samudera kelahiran dan kematian, sedangkan Tathagata di luar itu, disebut Nirvana.
  10. Apa yang tidak nyata timbul dari pengondisian, sedangkan Realitas di luar jangkauannya, dan Dharmakaya Tathagata adalah Realitas tersebut, yang disebut Nirvana.

Apa yang membedakan konsepsi Hinayana dan Mahayana tentang Nirvana? Adalah fakta bahwa Mahayana mengenali eksistensi suatu realitas yang ada dengan sendirinya, yang murni tanpa kotoran, yang hanya dapat dipahami oleh intelegensi Buddha yang transendental. Hinayana tidak memiliki Nirvana yang dipahami secara metafisik seperti itu, karena hanya tertarik pada pencampakan nafsu-nafsu jahat yang timbul dari entitas ego individual, dan tidak melakukan penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut untuk sampai pada pengalaman-pengalaman tersebut yang boleh jadi bersifat filosofis. Hinayana telah berhenti dengan negasi, sedangkan Mahayana ingin mendapatkan sesuatu yang positif, dengan cara itu sendiri kehidupan Buddhis menjadi betul-betul tepat.

Sesungguhnya ide mengungkapan Nirvana disebabkan ada pasangan dari kelahiran-kematian. Bila dasarnya tiada kelahiran-kematian, untuk apa pula sebutan Nirvana itu?, hanyalah argumen dan ungkapan yang berlebihan saja. Tetapi sutra dibabarkan di dunia Saha sehingga tidak terlepas kebenaran duniawi, jadi perlu nama dan ungkapan, sebagai media informasi. Pencapaian Nirvana adalah buah dari kebajikan dan kesucian Bodhisattva.

Samsara adalah Nirvana

Jika pencerahan sempurna, seorang Bodhisattva bebas dari keterikatan terhadap segala sesuatu, tetapi tidak berusaha untuk dibebaskan dari segala sesuatu. Dia tidak membenci Samsara maupun mencintai Nirvana. Jika pencerahan sempurna menyinari, Dia tidak terikat maupun terbebaskan. Makhluk-makhluk menurut sifatnya adalah Buddha, jadi Samsara dan Nirvana itu seperti mimpi kemarin. Karena ia seperti mimpi kemarin, tidak ada kelahiran, tidak ada kematian, tidak ada kedatangan, dan tidak ada kepergian. (Purnabuddha-sutra-Prasannartha-sutra ).*

三世诸佛 (San Se Cu Fo) Tiga masa para Buddha.

Pengertian tiga masa adalah dulu, sekarang dan akan datang, termasuk seluruh para Buddha di alam semesta ini. Jangan ditanya sudah jadi atau belum jadi, hakikat dasar semuanya adalah sama. Ketahuilah Bahwa Guru Agung Shakyamuni dan Amitabha di Surga barat adalah ‘buah’ kesempurnaan Buddha, sedangkan semua makhluk tanpa kecuali adalah ‘bibit’ yang belum atau sedang tumbuh berkembang mencapai Buddha. Karakteristik ke- Buddhaan semua makhluk pada dasarnya sama, sehingga jangan sombong diri juga jangan rendah diri.

Tubuh Buddha meliputi alam semesta dan memanifestasikan diri-Nya dihadapan semua makhluk menurut prinsip sebab-akibat; Tidak ada tempat dimana Ia tidak ditemukan, tetapi Ia tidak beranjak dari kursi pencerahan (Avatamsaka Sutra)*

Buddha berkata kepada Kassapa: “Tubuh Tathagata itu permanen dan tidak pernah rusak; Ia adalah tubuh Vajra yang disempurnakan oleh kebajikan Dharma sejati yang dilindungi-Nya (Nirvana Sutra).*

依般若波罗蜜多故,得阿耨多罗三藐三菩提 (Yi Po Ye Po Lo Mi Tuo Ku, Te Ah Niau Tho Lo San Miau San Pu Thi) Berlandaskan kepercayaan penuh pada Prajna Paramita mencapai Anuttara-Samyaksambodhi.

Semua Buddha ditiga periode waktu mencapai kesempurnaannya melalui penggunaan dari maha kebijaksanaan Prajna yang dalam dan sangat ampuh, untuk mencapai penerangan asli dan sederajat mengenai keabadian yang paling tinggi (penerangan sempurna). Keheningan sempurna terakhir ini dinamakan Nirwana.

Pengertian memperoleh Annutara Samyaksambodhi adalah memperoleh tanpa memperoleh, karena telah menyempurnakan segala kebajikan dan kebijaksanaan dengan ketiadaan hati. Kesempurnaan bukan kesempurnaan mencapai kesempurnaan. Wajah asli dari spiritual jati diri adalah: tiada wujud aku, tiada wujud kepribadian, tiada wujud semua makhluk, tiada wujud keusiaan. Demikian natural tanpa bergerak, memiliki kegunaan yang luas dan menakjubkan. Di dalam Sutra Intan disabdakan Dharma ini bukan realita bukan pula khayalan, agar praktisi jangan terjebak realita, jangan pula terjebak khayalan. Itulah Prajna tanpa kemelekatan yang menakjubkan kegunaannya. Bila hati sudah merealisasikan ketiadaan diri, mengandalkan Dharma untuk apa lagi? Bila Dharmapun dilepaskan untuk apa diperbincangkan “tiada realita maupun tiada khayal lagi?” Oleh kar ena itu, Nirvana dan kelahiran-kematian bagaikan kembang ilusi.

Sifat (sejati) Pikiran pada semua makhluk adalah murni dan tidak dapat ternoda oleh nafsu keinginan, ia seperti langit yang tidak tercemar (Mahasnnipata Sutra).*

Ketika Pikiran terpisahkan dari kotoran-kotoran batin, saya menyatakan sebagai Buddha (Lankavatara Sutra).*

Sepertinya Sutra Hati memuat beberapa kalimat lain yang tampaknya saling bertentangan? Sebelumnya, sutra ini berujar bahwa “tidak ada yang namanya kebijaksanaan atau pencapaian”, lalu dengan segera saja berikutnya sutra itu berujar, “oleh karena inilah para Buddha mencapai Annutara Samyaksambodhi”. Kalau tidak ada pencapaian, bagaimana bisa para Buddha mencapai kebijaksanaan? Karena Sutra Hati ini dibabarkan dan ditujukan bagi kepentingan makhluk awam yang belum tercerahkan. Pada pamungkasnya, memang tidak ada kebijaksanaan dan tidak ada pencapaian. Tetapi karena kemelekatan orang biasa yang belum bisa menangkap arti kebenaran yang mendalam, sehingga Hyang Buddha perlu menyebut tentang “ kebijaksanaan” dan “pencapaian”. Meski sebenarnya Annutara Samyaksambodhi, kebijaksanaan sempurna yang tertinggi itu memang: “tanpa-kebijaksanaan, tanpa-pencapaian”.

故知般若波罗蜜多 (Ku Ce Po Ye Po Lo Mi Tuo Ku) diketahui bahwa Prajna Paramita. Kebawah ini memasuki wilayah tiada khayal, menjelaskan huruf ‘Ce: mengetahui’ yang bermakna menakjubkan penggunaannya. Huruf ‘mengetahui’ adalah kesadaran penembusan, yang menyiratkan makna Pencerahan, itupun hanya sebagai ungkapan belaka saja. Kata ‘mengetahui’ juga adalah dharma yang berkarakteristik sunya. Hanya digunakan sesaat saja untuk keterangan dharma. Kebenaran mengetahui adalah ‘mengetahui tanpa mengetahui’, atau sebaliknya ‘tidak mengetahui justru sudah mengetahui’ sama dengan ‘timbul tapi tidak timbul’, ‘lenyap tapi tidak lenyap’. Bila tidak memahami konsep ‘tidak timbul’ maka tidak mampu memahami konsep kebenaran Sunya. Kita sebelumnya sudah membahas mengenai ‘Sunya’ adalah ‘inti dari Prajna’, sedangkan ‘mengetahui’ adalah ‘kegunaan Prajna’. Untuk itu, pahala unggul dari Prajna, sulit diungkapkan, dan sulit digambarkan dengan penalaran umum, hanya dengan melepaskan kata-kata, corak dan tiada kondisi hati, mempraktikkan perenungan yang mendalamlah Prajna bisa ditembusi dan dipujikan. Saat itu rasa panas dingin diketahui sebagaimana adanya.

是大神咒,是大明咒,是无上咒,是无等等咒,能除一切苦,真实不虚 Sudah jelas merupakan maha mantra spritual, maha mantra cemerlang, mantra teragung, mantra tiada bandingan yang dapat melenyapkan semua penderitaan; adalah sungguh-sungguh benar.

Mantra mempunyai 4 pengertian:

  1. Semua mantra adalah nama dari para raja dewa, raja hantu seperti pisaca dan khumbhanda.
  2. Suatu mantra adalah seperti kata sandi serdadu.
  3. Suatu mantra adalah semacam bahasa rahasia, orang lain tidak mengetahui.
  4. Terdapat arti lain. Mantra adalah stempel atau cap pikiran dari semua Buddha.

Mantra maha spiritual adalah tidak dapat dipahami / dibayangkan / digambarkan. Kata mandarin diterjemahkan kekuatan fisik (Shen-thung/gaib), penetrasi spiritual (penembusan).

Mantra besar yang cemerlang, menerangi 1000 X 1000 X 1000 (satu milyar) sistem bumi, Trichiliocosm itu adalah dunia bagian luar. Sutra ini adalah kecemerlangan besar, cahayanya sangat berharga yang telah merealisasikan ke-Buddhaan, jadi mantra besar cemerlang dapat menerangi dan melenyapkan semua kegelapan.

Mantra yang teragung, mantra ini dikatakan adalah yang tertinggi sebab tiada sesuatu yang lebih tinggi dan sebab mantra agung ini mencapai pembuahan ke-Buddhaan.

Mantra yang tiada bandingnya, mantra ini tiada suatu dapat menjadi persamaannya (tiada banding), artinya mantra ini mencapai penerangan yang sangat terakhir dan paling akhir, puncak gunung yang tertinggi, puncak terakhir.

Enam baris kata berhubungan dengan mantra ini adalah fraseologi berbentuk pujian saja, karena mantra adalah rahasia yang bermakna ‘kedemikianan’. Sunya tidak cenderung sunya, bereksistensi tidak cenderung bereksistensi. Hanya berkarakter kesunyian tidak melekat, mampu mengembangkan kegunaan luas yang gaib.

Patriach ke-enam Guru Zen Hui Neng berabda: “Dimana karakteristik jati diri tidak timbul dan lenyap, dasarnya tidak bergerak; dimana karakteristik jati diri dapat memunculkan segala Dharma”.

Kebenaran nyata dari mantra ini tidak khayal yang dapat melenyapkan semua penderitaan. Coba pikirkan orang-orang duniawi, tidak ada satupun yang tidak galau dan tidak derita? Bagaimana pula seseorang bisa meninggalkan Buddhadharma? Juga bagaimana bisa mengatakan Buddhadharma adalah Tahayul? Kenyataannya mantra Prajna bisa dibuktikan dapat melenyapkan semua penderitaan manusia bila dipahami dan dipraktikannya dengan ketulusan. Menembusi pemahaman hati adalah dikatagorikan memiliki ‘kegaiban besar’, tetapi bila hati tidak sunya maka tidak ada penembusan, bila tidak ada penembusan maka tidak dipahami, bila tidak dipahami berarti segala kebijaksanaan tertutup oleh kebodohan batin. Kesempatan ini adalah membicarakan hati sampai kearah kebenaran sunyata, otomatis banyak mendapatkan kekuatan. Bukan derita dilenyapkan melainkan sesungguhnya semua derita tidak real, karena dasarnya tiada derita.

 

Lima rumah tempat tinggal ini harus diakhiri:

  1. Penderitaan yang disebabkan oleh suka pandangan (juga diketahui sebagai penderitaan dari menyukai pandangan).
  2. Penderitaan yang disebabkan oleh suka keinginan (juga diketahui sebagai penderitaan dari menyukai keinginan).
  3. Penderitaan yang disebabkan oleh suka akan wujud (juga diketahui sebagai penderitaan dari menyukai wujud).
  4. Penderitaan yang disebabkan oleh suka akan tiada wujud (juga diketahui sebagai penderitaan dari tiada wujud).
  5. Penderitaan yang disebabkan oleh ketidaktahuan (juga diketahui sebagai penderitaan dari ketidaktahuan).

Dua Jenis kematian lenyap selama-lamanya:

  1. Terdapat kelahiran dan kematian dari segmen terbatas.
  2. Kelahiran dan kematian dari fluktuasi.

Sebagai bagian esoterik, mantra itu tidak dapat dipikirkan. Meminjam mantra ini, menerangi pikiran. Mantra itu adalah pikiran, untuk menerangi dan melihat sifat dasar semua makhluk.

故说般若波罗蜜多咒,即 说咒曰:揭谛揭谛,波罗揭谛,波罗僧揭谛,菩提萨婆诃。Dari sebab itu, mantra Prajna Paramita di ucapkan. Mengulanginya seperti ini: Gate, Gate Paragate, Parasamgate Bodhi Svaha.

Mantra Sansekerta yang di anonim dengan bahasa Mandarin sesungguhnya tidak bisa diterjemahkan, karena mengingat kesakralannya dan mengandung kekuatan magis. Apabila diterjemahkan dan diartikan maka kegaiban mantra itu menjadi pudar dan kurang berarti. Apabila umat awam melihatnya dan mengetahuinya arti dan makna mantra tersebut maka dikhawatirkan mudah meremehkan dan menciptakan pandangan salah sehingga tidak hormat, hati ragu atau kacau kembali. Tetapi Sutra Hati ini dibabarkan dan dijelaskan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk keselamatan semua makhluk, tanpa melupakan kesusahan dan penderitaan mereka, kita senantiasa membabarkan dan memberikan penjelasan Sutra Hati ini secara lengkap agar mudah dimengerti. Oleh karena itu, kiranya perlu makna mantra ini dijelaskan arti yang sesungguhnya, yaitu: Gate Gate adalah menyeberanglah-menyeberanglah. Paragate adalah menyeberanglah ke pantai keselamatan; Parasamgate adalah bersama-samalah menyeberang ke pantai keselamatan; Bodhi adalah keatas mencapai ke-Buddhaan, ke bawah menolong semua makhluk; Svaha adalah tercapailah.

Hyang Buddha membabarkan Maha Tripitaka dengan dua belas bagiannya, intisarinya menjelaskan ‘Hati’, sehingga Sutra Hati menjadi sentral yang sangat penting untuk dipelajari, dihayati, dan diamalkan. Umat awam mempunyai 7 jenis hati, tapi tidak banyak orang yang tahu. Jenis Hati dimulai dari satu sampai ke-enam, enam jenis hati adalah alam kelahiran yang setiap harinya silih berganti kondisi hatinya dan tidak pernah berhenti aktivitas kebodohannya, yaitu: hati dewa (hati melekat), hati manusia (hati Pamrih), hati asura (hati dengki), hati binatang (hati bodoh), hati setan kelapan (hati serakah), dan hati neraka (hati benci). Dikarenakan semuanya tidak mampu menjadi pemilik hati melainkan menjadi budaknya hati mengikuti kondisi dan menyerah kepada keadaan. Makhluk-makhluk tingkatan rendah tidak mengetahui peran dan fungsi hati; Makhluk-makhluk tingkatan menengah baru menyadari perbedaan-perbedaan hati antara baik-buruk dan pengaruhnya. Makhluk-makhluk tingkatan atas kebanyakan mengarah kepada mengendalikan hati dan mengembangkan potensi hati. Sedangkan Hati yang ke-tujuh adalah Hati Sunya, ini adalah Hati Annutara (tiada tara) adalah hati tanpa melekat, adalah pemilik hati, adalah hati murni, adalah hati yang leluasa. Hati ini hanya bisa diketahui apabila telah mencapai pencerahan atau kesucian. Hati semua makhluk kemana saja menciptakan kondisi, tidak mampu mengarahkan hatinya ke Prajna, karena tidak mengetahui adanya hati ke-tujuh. Hati Sunya ini adalah hati yang sudah keluar dari jeratan duniawi, bila memahami Hati Sunya ini maka pencapaian Buddha tidak lama lagi. Semua makhluk yang masih bodoh yang mempergunakan ke-enam hati ini bagaikan berada di samudera derita, sedangkan hati ke-tujuh yaitu hati Sunya adalah sudah sampai ke pantai keselamatan yang batinnya sudah tiada rintangan lagi. Tetapi bila bukan memulai dari ke-enam hati ini berlatih maka sulit keluar dari dunia. Oleh karena itu, Dharma duniawi adalah medan yang sangat baik untuk melatih diri, mengendalikan diri, menguji diri, mengembangkan potensi diri dan melampaui diri. Dikenal dengan istilah “pinjam kepalsuan untuk berlatih kebenaran”. “Boleh mengerjakan urusan duniawi, tapi hati jangan ternoda oleh duniawi” “Boleh berenang di dunia tetapi jangan tenggelam oleh dunia”.

8 Hakikat Sari Dharma

Jalan Buddha bukanlah jalan afirmasi (peneguhan/penetapan) maupun jalan negasi (peniadaan), bukan pula terjebak kata-kata maupun pengingkaran. Inti sari Dharma yang dibicarakan oleh Hyang Buddha mempunyai 8 hakikat, yaitu:

Tiada kemunculan dan tiada kelenyapan.

Tiada ketetapan dan tiada penghapusan.

Tiada kesatuan dan tiada perbedaan.

Tiada datang dan tiada pergi.

Abstraknya Kedalaman Ajaran Buddha

Ajaran-ajaran Buddha dapat dikatakan berubah setiap waktu, sesuai dengan keadaan yang melatarinya. Ajarannya bisa idealis, realis, pesimistik, optimistik, eskapisme (menghindar dari kenyataan), atau berorientasi surga-akhirat. Namun label-label ini tidak bisa sepenuhnya mewakili apa sesungguhnya yang di ajarkan Buddha, sesungguhnya ajaran utamanya adalah ‘Khan Pho Fang Sia’ (buyarkan pandangan khayal, lepaskan segala kemelekatan), istilah ini dikenal: keterlepasan (soterion/soteriologi), orang harus menerima ajaran Buddha sebagai jalan melepaskan diri, ‘Aku dan Milik-ku’ termasuk melepaskan ‘diri’ dari belajar dan mengajar.

Banyak tingkatan dalam memahami ajaran Prajna, tahapan Prajna di mulai dari:

  1. Tingkatan kebenaran: Cen Ce pengetahuan benar; Cen Cien pandangan benar; Cen Nien konsentrasi benar; Cen Cie kesadaran benar; dan Cen Sou perasaan benar.
  2. Tingkatan kedemikianan ke dalam: Ru Se Ce kedemikianan pengetahuannya; Ru Se Cien kedemikianan pandangannya; Ru Se Nien kedemikianan konsentrasinya; Ru Se Cie kedemikianan kesadarannya; dan Ru Se Sou kedemikianan perasaaannya.
  3. Tingkatan kedemikianan ke luar: Ce Ru mengetahui kedemikianan; Cien Ru memandang kedemikianan; Nien Ru konsentrasi kedemikianan; Cie Ru kesadaran kedemikianan; Sou Ru perasaan kedemikianan.
  4. Tingkatan kesunyataan: Ce Pu Khe Te-Pi Cing Khung: pengetahuan tidak diperoleh-akhirnya sunya; Cien Pu Khe Te-Pi Cing Khung: pandangan tidak diperoleh-intinya sunya; Nien Pu Khe Te-Pi Cing Khung: konsentrasi tidak diperoleh-intinya sunya; Cie Pu Khe Te-Pi Cing Khung: kesadaran tidak diperoleh-intinya sunya; Sou Pu Khe Te-Pi Cing Khung: perasaan tidak diperoleh-intinya sunya.
  5. Tingkatan tanpa tingkatan:……………………………….(tiada tulisan dan kata-kata) (kebenaran sejati tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tidak bisa digambarkan dengan corak, tidak bisa dijamah oleh pemikiran relatif dan tidak bisa ditembusi dengan pandangan intelektual). Hanya dengan mempraktikkan Sila, Samadhi dan Prajna secara utuh segala sesuatunya dapat diketahui sedemikian adanya dan memahami kedemikianan segala sesuatunya karena sudah menembusi ruang dan waktu.

Tiada suara mengungkapkan kesejatian suara; Tiada pembicaraan memahami realita pembicaraan; Satu keheningan mengatasi semua gejolak; Tiada pamrih melampaui kepamrihan; Tiada timbul lenyap membuyarkan khayalam timbul lenyap; Seketika menembusi karakteristik sunyata, kebenaran segala sesuatunya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Banyak Master Zen mengatakan: membicarakan wujud satu materi bukanlah praktik sentral yang sejati. Dharma tidak bisa diperbincangkan melainkan harus dipahami oleh penembusan; Kebenaran Buddhadharma adalah ajaran yang bersumber dari karakteristik kesadaran, walaupun tahap awal memang dibutuhkan metode ajaran sebagai pembimbing tetapi selanjutnya menuju kepada karakteristik kesadaran. Bila sudah menembusi karakteristik kesadaran maka tidak ada lagi fenomena dualistik, melainkan non-dualistik, sebabnya karena:

Buddha memiliki maha kebijaksanaan non-dualistik.

Buddha sudah memperoleh maha pembebasan non-dualistik.

Buddha mempunyai maha keleluasaan non-dualistik.

Buddha mempunyai batin keseimbangan besar non-dualistik.

Buddha mengembangkan maha welas asih non-dualistik.

Inilah kesempurnaan praktik kebajikan dan keterlepasan yang sekaligus dilakukan para Buddha, sempurna kebajikan sempurna juga kesuciannya, sempurna segalanya tanpa fenomena dan noumena lagi.

Penutup

Setelah menjelaskan intisari singkat dari Sutra Hati, sungguh peran dan fungsi Panca Skandha begitu vital dalam segala aktivitas. Bila hati tidak di pahami dan disalah-gunakan maka gelap dan kotorlah kondisi batin Anda, tetapi bila hati di pahami dan dipergunakan dengan benar maka teranglah dan menakjubkan pemberdayaan batin Anda. Dikarenakan Sutra Hati mengajarkan metode yang paling tepat dan ampuh untuk melenyapkan semua pandangan dan pikiran khayal, seketika itu juga dapat melepaskan pikiran jungkil-balik, beban pikiran, dan penyakit mentalitas penyebab susah dan derita. Kenyataan Sutra Hati ini isinya singkat, gamblang, padat, luas maknanya dan sangat bermanfaat. Oleh karena itu, bangkitkan semangat dan tekad untuk belajar menyadari, menghayati, menembusi dan melampaui. Fokus dan praktikkanlah ajaran Sutra Hati ini secara realita dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Tentu kelak akan memperoleh manfaat yang luar biasa, yaitu: ketenangan, kemurnian, pencerahan dan pembebasan mutlak.

Demikianlah penjelasan singkat dari Prajna Paramita Hrdaya Sutra di buat, semoga di pahami dan bermanfaat. Bila masih sulit juga di pahami atau dipraktikkannya tapi janganlah putus asa dan pantang menyerah. Lakukan pertobatan dan pengulangan pembacaan terus-menerus, lihatlah penjelasannya, dan beriktiarlah. Bila saja belum memahami dan tidak mau mempraktikkan Sutra Hati ini berarti membiarkan diri Anda terus terbenam di samudera khayalan dan derita, karena sumber kehidupan ada dibatin Anda, fenomena bahagia atau derita semua bermuara di batin Anda, pembebasan atau penjara tumimbal lahir semua berpangkal dari peran hati Anda. Melihat hal demikian, maka mutlak Anda harus memahami Sutra Hati dan Menampakkan Hakikat ke-Buddhaan Anda, selamat berjuang, semoga berhasil, svaha.

Sumber Referensi:

Sutra-Sutra Mahayana dan Theravada, serta informasi dari berbagai sumber lainnya.

*) Kutipan dari buku Agama Buddha Mahayana, Beatrice lane Suzuki, Penerbit Karaniya.