Memuji Berkah Bhiksu
Suatu berkah yang sangat besar jika seseorang menjadi seorang Bhiksu. Tak terhitung berkah bagi
mereka yang mengizinkan anak laki-laki, anak perempuan, pembantu laki-laki atau pembantu perempuan
untuk menjalankan hidup dalam biara, atau dia sendiri menjadi seorang bhiksu.
Berkah menjadi seorang Bhiksu atau mengizinkan orang lain menjadi Bhiksu, melebihi berkah dari kebajikan bermurah hati, memiliki 10 kehidupan makmur, atau dia yang terlahir selama ribuan kali di antara enam alam para dewa. Seseorang mungkin bertanya mengapa bisa begini. Ini karena kebajikan bermurah hati akan habis jua suatu saat nanti, tetapi berkah menjadi seorang Bhiksu melewati batas waktu dan tidak pernah berakhir. Sekali lagi, melalui kebajikan dari menjaga sila, seseorang bisa menjadi orang bijaksana yang memiliki lima kekuatan supranatural, dan berbahagia di alam dewa Brahma dan diberkahi dengan kekayaan yang luar biasa. Tetapi berkah yang diperoleh bagi yang menjadi seorang Bhiksu di dalam ajaran Yang Tercerahkan melewati gambaran, dan berkah dari kesenangan Nirvana tidak bisa dirusak. Jika seseorang membuat stupa dengan tujuh jenis permata yang sangat tinggi hingga mencapai 33 surga para Dewa, berkah yang diperoleh tidak akan menyamai menjadi seorang Bhiksu.
Seseorang mungkin akan bertanya mengapa demikian. Ini karena ketidaktahuan, menutup manusia bisa merusak stupa dengan tujuh jenis pemata, tetapi tidak seorang pun yang dapat menghancurkan berkah menjadi seorang Bhiksu. Jika seseorang menginginkan berkah Dharma, dia harus menyadari bahwa tidak ada jalan lain selain menjadi seorang Bhiksu dalam ajaran Buddha. Tidak ada Dharma yang lebih tinggi dari itu. Ini seperti seorang tabib bijaksana yang menyembuhkan 100 orang buta dan mengembalikan penglihatan mereka kembali, atau ketika seseorang mencegah orang kejam mencongkel mata dari 100 orang. Meskipun kebajikan dari dua hal tersebut tidak terhitung lagi, berkah mereka yang membiarkan seseorang menjadi seorang bhiksu atau dirinya sendiri menjadi Bhiksu jauh lebih besar.
Seseorang mungkin bertanya mengapa demikian. Ini karena Dharma seorang Bhiksu menghancurkan alam Mara (Iblis) dan menyebabkan garis silsilah Buddha meningkat. Hal itu menghancurkan ketidakbajikan, ajaran salah dan melahirkan Dharma yang bajik. Itu menghancurkan ketidakmurnian dan melahirkan kebijaksanaan sempurna. Buddha telah mengajarkan berkah menjadi seorang Bhiksu lebih tinggi dari Gunung Meru, lebih dalam dari dasar laut, dan lebih luas dari cakrawala.
Benar-benar kesalahan berat bagi yang menghalangi atau merintangi seseorang untuk menjadi seorang bhiksu. Hal itu seperti seseorang yang masuk dalam rumah yang gelap yang mana dia tidak bisa melihat apapun, dan terjatuh dalam jurang neraka yang sangat dalam dan curam. Hasil dari karma buruk ini seperti semua air sungai kering karena mengalir ke laut. Karma buruk ini terakumulasi dalam makhluk itu. Hal itu seperti lautan api yang besar yang terjadi di akhir kalpa, ketika Gunung Meru berubah menjadi lidah-lidah api. Semua manusia akan dimakan oleh lidah-lidah api neraka.
Demikan berkah yang sangat besar dari seseorang yang mengizinkan yang lainnya menjadi seorang bhiksu atau dirinya sendiri menjadi bhiksu. Dia yang menjadi seorang bhiksu menjadi bersih karena air dari sutra-sutra membersihkan kekotoran batin, mengurangi penderitaan dari lingkaran samsara secara total, dan menjadi penyebab kebahagian Nirvana. Melalui disiplin, dia melatih dalam sila yang murni. Melalui mata yang jernih akan Dharma, dia melihat perbuatan bajik dan tidak bajik di alam semesta, dan melalui pemikirannya dia menempuh Delapan Jalan Utama dan tiba di kota Nirvana. Dia yang mengizinkan orang yang lebih tua atau lebih muda menjadi bhiksu atau dia sendiri menjadi Bhiksu- berkahnya sangat besar.
Pada suatu ketika Buddha berdiam di Hutan Burung Kalandaka di Kota Rajagrha. Pada saat itu terdapat perumah tangga yang bernama Makhluk Mulia yang sudah berumur 100 tahun. Karena mendengar bahwa berkah menjadi seorang Bhiksu tak terhingga, dia menanyakan dirinya sendiri, mengapa tidak menjadi seorang Bhiksu di dalam ajaran Buddha. Ketika dia mengatakan kepada istri, anak-anak, pembantu pembantunya bahwa dia hendak menjadi seorang Bhiksu, mereka turut bergembira. “Ya,” jawaban mereka, “Sudah waktunya engkau ikut Persamuan. Lakukanlah dengan segera”. Perumah tangga tua itu pergi menuju Hutan Bambu di mana Buddha sedang menetap dan berkata kepada Bhiksu-Bhiksu: “Dimanakah dia, yang memberikan berkah kepada dewa-dewa dan manusia, Sang Maha Pengasih, Sang Pemenang, dia yang telah menembus batas eksistensi fenomena?”
Para bhiksu menjawab: “Buddha telah pergi menuju tempat lain demi memberkahi semua orang”.
Perumah tangga: “Oh, bhiksu-bhiksu, siapakah di antara murid-murid Buddha yang paling bijaksana?”
Para bhiksu menjawab: “Bhikkhu Sariputra”. Perumah tangga meminta bantuan kepada pelayannya, pergi menuju tempat Sariputra, berdiri di samping pelayannya, menunduk, dan berkata: “Yang Mulia, saya mohon kepada Mu untuk mentahbiskan saya dalam Persamuan. “Bhikkhu Sariputra berpikir:” Pasti orang tua ini tidak mampu belajar atau meditasi, atau melakukan perkerjaan sebagai seorang Sangha”. Dia berkata: “Perumah tangga Anda tidak bisa menjadi Bhiksu pada usiamu sekarang. Pulanglah ke rumahmu.” Orang tua itu kemudian menghampiri Yang Mulia Mahakasyapa, Upali, dan yang lainnya, dan memohon mereka untuk mentahbiskan dia. Mereka menanyakan kepadanya apakah dia telah meminta pentahbisan dari Bhiksu lain, dan ketika dia mengatakan bahwa dia telah meminta Sariputra dan ditolak mereka mengatakan: “Sariputra adalah yang terunggul dalam hal kebijaksanaan. Karena Beliau melarangmu untuk menjadi seorang Bhiksu bagaimana kita bisa mentahbiskan kamu.
Bagaikan seorang dokter yang merawat orang sakit, jika dia tidak dapat menyembuhkannya, bagaimana seorang dokter yang kurang pengalaman dapat menyembuhkannya? Orang tersebut pasti meninggal. Jika Sariputra yang memiliki pikiran bijaksana telah menolakmu bagaimana Bhiksu lain dapat menahbiskanmu. Dengan putus asa perumah tangga tua tersebut meninggalkan Hutan Bambu duduk di depan gerbang menangis dengan keras dan berteriak: “Sejak hari kelahiranku saya tidak melakukan karma buruk yang besar. Mengapa saya tidak diizinkan menjadi seorang Bhiksu? Upali dan orang berkasta rendah telah menjadi Bhiksu, pemulung dan bahkan Angulimala yang telah membunuh makhluk hidup tak terhitung, dan bahkan yang brutal yang seperti Asiputra yang telah mengambil sila bhiksu. Karma buruk apakah yang telah saya lakukan sehingga saya tidak dapat menjadi seorang bhiksu?”
Ketika dia mengatakan hal ini, Buddha dengan tubuhNya yang bercahaya disertai dengan tanda-tanda tujuh permata indah, menampakkan dirinya di depan perumah tangga tersebut dan bertanya: “Perumah tangga, apakah yang menyebabkan penderitaan Anda?”
Mendengar suara Buddha, semanis melodi Brahma, perumah tangga tiba-tiba merasa bahagia dan dipenuhi oleh rasa kekaguman. Kebahagiaan yang dirasakan seperti seorang anak yang bertemu dengan orang tuanya. Dia beranjali dan bersujud, dia memuja Buddha dan mengatakan:
“Guru, orang berkasta rendah, orang brutal, pembohong dan pemfitnah, dan orang-orang dengan silsilah kejahatan telah diterima dalam persamuan. Karma buruk apa yang telah saya lakukan yang mencegah saya menjadi seorang Bhiksu? Karena saya tua, keluargaku dirumah lelah dan mengusirku. Saya tidak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Jika saya tidak menjadi seorang Bhiksu, saya tidak memiliki tempat untuk pergi dan akan mati disini”.
Buddha berkata: “Siapa yang melarangmu untuk menjadi seorang Bhiksu?” Perumah tangga menjawab: “Dia yang memutar Roda Hukum, dia adalah Tuan dari hukum, dia yang terunggul dalam kebijaksanaan di antara murid-muridmu, dia yang mengarahkan semua makhluk hidup di dunia, “Sariputra yang menolak untuk mentahbiskan saya”.
Seperti seorang ayah yang berbicara kepada anaknya, Guru yang penuh welas asih berbicara dengan kata-kata yang membuat tenang dan penuh cinta kepada perumah tangga: “Jangan biarkan pikiranmu resah perumah tangga. Saya sendiri akan mentahbiskanmu”.
Sariputra, selama kalpa yang tak terhingga mendesak dirinya dalam ketegangan. Tidak juga dia, selama ratusan kalpa berbuat kebajikan. Sariputra tidak, di kehidupan yang lalu, membiarkan kepalanya, mata, tulang, sumsum, daging, darah, kulit, kaki, tangan, telinga dan hidung dipotong dan mempersembahkannya secara cuma-cuma. Sariputra tidak pernah memberikan tubuhnya kepada harimau, tidak pernah membakar dirinya dalam lubang api, tubuhnya tidak pernah tertusuk oleh seribu jarum besi, tubuhnya tidak pernah dibakar oleh seratus obor.
Sariputra tidak pernah memberikan tanahnya, kotanya, istri-istrinya, anak laki-lakinya, pembantu wanita dan laki-laki, gajah, kereta, atau tujuh permata berharganya.
Sariputra tidak pernah, selama kalpa pertama yang tak terhingga, menghormati seratus ribu koti Buddha. Dia tidak juga selama pertengahan kalpa yang tak terhingga menghormati 99.000 Buddha. Tidak juga, selama akhir kalpa yang tak terhingga, dia menghormati 100.000 Buddha, menjadi seorang Bhiksu dan sempurna dalam Sila dan Paramita. Sariputra bukanlah orang yang giat mengajarkan Dharma. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa seseorang boleh menjadi seorang bhiksu dan yang lain tidak? Saya sendiri memiliki kekuasaan untuk memberkahi seseorang dengan Dharma dan memuji Enam Kesempurnaan. Saya sendiri telah memakai perisai kesabaran. Saya sendiri duduk dalam posisi Vajrasana pada Pohon Penerangan. Saya sendiri mengatasi Mara dan memperoleh kebahagiaan dari seorang Buddha yang sempurna. Tidak ada yang sama sepertiku. Oleh karena itu, ikuti saya dan saya akan mentahbiskan engkau”.
Demikianlah Bhagava menenangkan perumah tangga dengan berbagai cara, dan bermudita cita, dia mengikuti Buddha ke biara. Kemudian Buddha berbicara kepada Maha Maudgalyayana: “kamu akan mentahbiskan perumah tangga ini. Ini adalah karmamu. Kamu yang mentahbiskan dia menjadi seorang bhiksu. Mengapa demikian? Ini karena jika seorang telah dihubungkan oleh yang lain dengan karma, yang lain harus melatih dia dalam disiplin. Jika seseorang dihubungkan dengan Buddha melalui karma, yang lain tidak boleh melatih dia dalam disiplin. Jika seseorang dihubungkan dengan Sariputra dengan karma, baik Maudgalyayana maupun Kasyapa, ataupun Asanga, maupun yang lainnya tidak bisa melatih Sariputra dalam disiplin. Seseorang dilatih dalam Dharma oleh orang yang memiliki hubungan karma”.
Ketika Buddha telah berkata demikian, Maudgalyayana berpikir sendiri: “Perumah tangga ini terlalu tua untuk belajar, berlatih meditasi, atau melakukan pekerjaan Sangha tetapi betapa beraninya saya tidak mematuhi perintah Buddha, raja dari Dharma?
Melakukan hal itu adalah kesalahan. “Oleh karena itu dia mentahbiskan perumah tangga itu dan menahbiskannya menjadi Bhiksu.
Hal ini terjadi karena dikelahiran pria ini sebelumnya, melalui kekuatan kebajikan, dia telah tertangkap oleh kait Dharma seperti halnya seekor ikan, tertangkap dengan kait besi yang akan dikeluarkan dari air.
Sekarang, mengumpulkan tabungan kebajikan, orang tua itu malam dan siang hari memaksa dirinya membaca, belajar, membaca dengan teliti dan tekun Sutra, Vinaya dan Abhidharma, dan mencoba memahaminya, karena dia sudah tua dia tidak dapat menghormati guru-guru, bersujud, mendahului tamu yang tiba, menyambut kedatangan pengunjung, berbicara dengan jelas. Bhikkhu-bhiksu yang lebih muda, yang telah ditahbiskan sebelum dia malahan lebih pintar, menghina dia terus menerus karena mereka berpikir dia bangga dengan apa yang dia baca dan pelajari dan dia tidak menghormati Bhiksu tua itu.
Bhiksu tua itu berpikir: “ketika saya tinggal di rumahku sendiri, istri dan anak-anakku menghina saya. Ketika saya menjadi seorang Bhiksu, Biksu-bhiksu muda ini menghina saya. Karma buruk apa yang telah saya lakukan sehingga penderitaan ini harus terjadi? Saya lebih baik mati daripada hidup seperti ini”. Pergi ke tepi sungai besar yang mengalir dekat pinggiran hutan, dia melepaskan jubah Bhiksunya dan menggantungnya di atas cabang sebuah pohon. Bersujud dan menangis, dia berkata janji sebagai berikut: “Saya tidak meninggalkan Buddha, Dharma, ataupun Sangha. Saya membuang tubuh ini. Dengan kebajikan dari murah hati, menjaga Sila, usaha, dan mempelajari Teks Dharma, setelah saya terpisahkan dari tubuh ini, biarkan saya lahir dalam silsilah orang-orang yang memiliki kepemilikan sempurna dan kebanggaan, dan yang menyebabkan orang-orangnya dihormati, orang-orang yang tidak menghalangi siapapun juga untuk mengikuti Dharma Sempurna. Semoga aku bertemu dengan Tiga Permata, menjadi seorang Bhiksu, membuat diri saya dalam Dharma, dan menemukan seorang guru bijakasana yang akan mengajarkan saya jalan mencapai Penerangan Sempurna.” Membuat ketetapan hati yang tegas, dia segera menjatuhkan dirinya dalam pusaran air.
Pada saat itu terjadi, seketika Maudgalyayana yang sedang melihat dengan mata dewanya tentang apa yang sedang dilakukan murid tuanya. Melihat pria tua ini menjatuhkan dirinya sendiri dalam sungai, dia muncul dengan kekuatan spiritualnya pada tepi air dan berkata: “anakku dalam Dharma, mengapa engkau membunuh dirimu sendiri dalam air.” Orang tua itu malu. Dia berpikir: “sekarang apa yang harus saya katakan? Jika saya membohongi guruku saya akan terlahir menjadi seorang yang bisu dungu di semua kehidupan selanjutnya. Jika saya berbohong, guru dengan kekuatan spiritualnya akan mengetahui hal itu. Dia yang bijaksana di bumi, seorang jujur dan tanpa arahan – dia akan dihormati oleh semua dewa. Dia yang tidak bijaksana dan licik tidak akan pernah menjadi guru bagi yang lain, dan tidak akan ada orang yang menghormati. Dia yang berkarakter baik tetapi tidak memiliki pengetahuan hanya bisa menguntungkan dirinya sendiri, dia tidak akan menguntungkan orang lain. Jika seseorang tidak tahu dan bodoh seperti halnya licik, semua yang melihat dirinya bahwa dia adalah penghianat dan seorang pembohong dan meskipun ketika dia berkata benar tidak akan ada yang mempercayainya. Adalah suatu kesalahan mencoba membohongi guru. Saya akan memberitahu dia kebenaran”.
Dia berkata: “Oh guru, istri dan anakku telah lelah dengan saya dan tidak menginginkan saya lagi. Saya menjadi seorang Bhiksu dan pergi ke biara, tetapi yang lain menyiksa saya. Karena saya sedih, saya memutuskan untuk mati dan menjatuhkan diri saya ke dalam air”.
Mendengar kata-kata ini, Maudgalyayana berpikir: “Karena tidak kelahiran maupun kematian membuat takut pria ini, tidak ada gunanya bagi dia untuk menjadi seorang Bhiksu”. Maudgalyayana kemudian berkata kepadanya: “Murid, peganglah erat-erat ujung jubahku”.
Seperti sekam yang tertiup angin, seperti seorang pesulap memegang bulu kuda, seperti seekor elang yang mencengkram seekor burung, seperti seorang manusia membuka dan menutup tangan, mereka terbang ke atas angkasa dan terbang melalui udara sampai mereka tiba di tepi laut. Di pantai mereka melihat mayat seorang wanita cantik yang baru saja meninggal. Seekor ular merayap masuk ke dalam mulutnya dan keluar melalui hidungnya, masuk melalui matanya dan keluar melalui telinganya. Ketika Maudgalyayana menunjukkan hal ini pada muridnya, muridnya bertanya siapa wanita cantik itu. Sang guru menjawab: “Ketika waktunya tiba, saya akan memberitahu engkau”.
Lalu, mereka datang kepada seorang wanita merawat sebuah teko tembaga besar. Awalnya dia menuangkan air ke dalamnya kemudian menyalakan api di bawahnya. Ketika air itu mulai mendidih, dia melepaskan pakaiannya dan melompat ke dalamnya. Rambutnya rontok, dagingnya matang, dan seiring dengan semakin mendidihnya air, tulangnya terpisah dari daging dan tersebar oleh angin. Tulang kemudian berubah menjadi seorang pria yang mencoba untuk memakan daging dari teko. Berdiri di samping Bhiksu dan melihat. Bhiksu tua itu merasakan ketakutan.
Ketika dia bertanya orang yang memakan daging itu, sang guru menjawab: “Ketika waktunya tiba, saya akan memberitahu engkau”. Lalu, mereka datang ke sebuah pohon yang sangat besar dengan cabang dan dedaunan yang sangat padat sehingga sebuah jarum tidak dapat masuk di antara dedaunan. Ribuan serangga menggerogoti pohon itu dan membuat kebisingan seperti suara neraka. Mendengar ini bhiksu tua itu bertanya apa suara yang tersembunyi itu. Sang guru kembali menjawab: “Ketika waktunya tiba, saya akan memberitahu engkau”.
Lalu, mereka datang kepada seorang manusia yang dikelilingi oleh banyak hantu kelaparan dengan tubuh manusia dan kepala binatang yang memanah laki-laki itu dengan panah api yang tubuhnya terbakar. Bhiksu tua itu bertanya siapakah pria itu dan bertanya dia bisa melepaskan diri dari siksaan yang tak tertahankan. Sang guru memberitahukan dia: “Ketika waktunya tiba, saya akan memberitahu engkau”.
Lalu, mereka pergi ke sebuah negeri yang jauh di mana mereka melihat sebuah gunung yang tinggi diliputi oleh pedang-pedang tajam yang terhunus. Seorang pria mencoba turun dari puncak gunung tapi terus menerus terjatuh ke tanah dan tertusuk pedang sehingga dia tidak memiliki waktu istirahat. Ketika Bhiksu tua itu bertanya siapakah pria itu dan apa penyebab penderitaannya itu, sang guru kembali berkata: “Ketika waktunya tiba, saya akan memberitahu engkau”.
Lalu, mereka datang ke gunung tulang yang besar, sangat tinggi sehingga itu menghalangi cahaya matahari dan membuat laut gelap sebuah gunung dengan tinggi 700 yojana. Maudgalyayana berjalan bolak-balik di salah satu puncak gunung, Bhiksu tua itu mengikutinya berpikir: “Segera saya akan kehilangan arah dan menjadi terpisah dari guruku. Jika dia satu-satunya yang akan memberitahukan apa yang akan kami lihat!” Berpikir ini, dia berkata: “guru saya memohon kepadamu, jelaskan pada saya apa yang telah kita lihat”.
Sang guru berkata: “Sekarang waktu telah tiba. Saya aka memberitahumu. Engkau ingin mengetahui siapa wanita itu. Dia adalah istri dari seorang saudagar di kota Rajagrha. Wanita ini cantik dan menarik dan suaminya mencintainya, dan ketika suaminya pergi ke laut ingin mencari permata berharga dengan 500 saudagar lainnya, dia membawa istri bersamanya. Ketika mereka berlayar dan ada di laut, wanita itu meletakkan cermin di tumpuan segitiga dan melihat dirinya terus menerus. Melihat dirinya begitu manis dan menarik, dia menjadi sangat melekat pada tubuhnya sendiri. Perahu itu menabrak seekor monster laut yang besar dan terbalik, dan semuanya tenggelam. Suatu hal alami jika seorang tenggelam, tubuhnya akan segera dibawa ke tepi. Yang engkau lihat adalah tubuh wanita yang telah tenggelam. Ketika orang meninggal, mereka akan terlahir sesuai kemelekatan mereka”.
Bhikkhu tua itu bertanya: “Jika demikian, lalu mengapa, meskipun tidak ada yang ingin jatuh dalam neraka, banyak yang mengalaminya?” Sang guru berkata: “Orang-orang yang mencuri kekayaan dari Tiga Permata, yang mencuri kekayaan orang tuanya, yang mengambil nyawa makhluk hidup, yang melakukan karma buruk, jatuh dalam kobaran api neraka ketika mereka meninggal. Orang seperti itu pertama akan menderita kedinginan dan kemudian panas api. Sebab itu mereka memasuki api neraka yang mengerikan. “Siapapun yang mencuri lampu yang dinyalakan untuk menghormati Buddha, atau nilai sebuah lampu, atau lampu milik Sangha, atau kekayaan Sangha, atau membuat rintangan kepada kumpulan Sangha, atau menghalangi ajaran Dharma, atau selama musim dingin mencuri mantel yang lain, atau karena dia memiliki kekuasaan mengambil mantel pelayan atau orang lain dalam cuaca yang dingin atau menyiram air kepada siapapun juga, akan terlahir di neraka es karena kejahatan yang telah dilakukan. Orang semacam itu awalnya akan menderita panas, dan kemudian kedinginan terus menerus dalam waktu yang lama, dan karena alasan ini terlahir di neraka dingin. Seperti bunga Lili air utpala biru, lili air kumuda, teratai kamala, dan teratai putih pundarika terbuka dan jatuh terbalik, hal ini seperti dalam neraka. Penderitaan di neraka dingin seperti gandum ketika terpanggang dan jatuh dan bertebaran: kepala dan tulang seseorang terpecah menjadi 100.000 keping.
“Siapapun yang dikarenakan kekikirannya dan keserakahannya mengambil makanan yang lainnya atau tidak memberikan makanan kepada orang lain ketika mereka memerlukannya, akan memperoleh penyakit menjijikan dan tidak bisa makan. Istri dan anaknya akan menyiapkan berbagai makanan dan mencoba menggodanya, berkata: ‘Ini manis, ini pedas, ini pahit, ini mudah untuk dicerna,’ tetapi hal ini akan membuat pria itu marah karena dia tidak bisa membiarkan makanan dalam penglihatannya. Ketika dia meninggal, dia akan terlahir di antara hantu kelaparan. “Siapapun yang tidak memuja Tiga Permata atau menghina Sangha, seperti seseorang yang dalam hidupnya akan terkena penyakit menjijikan dan dia tidak bisa berbaring. Ketika seseorang yang merawat orang sakit seperti ini, mengetahui bahwa dia akan segera meninggal, memberitahu dia: ‘Sekarang engkau harus mendengarkan Dharma, menjaga Sila, memiliki gambar Buddha yang dibawa, mengundang para Bhiksu dan berdoa dengan tulus dan berbuat kebajikan, pria itu akan tidak bahagia, tidak senang, dan marah. Dia akan berpikir: ‘Saya harap saya pergi ke sebuah tempat di mana saya tidak pernah mendengar Tiga Permata atau kebajikan berharga.’ Ketika orang seperti itu meninggal, dia akan memperoleh kelahiran di antara binatang.
“Manusia yang berusaha demi kebajikan, yang memiliki dasar untuk para dewa dan manusia, tidak akan menderita ketika sakit datang. Pada waktu kematian pikirannya tidak akan terganggu. Dia akan damai.
Ketika orang yang merawatnya, atau keluarganya, melihat dia akan meninggal dan bertanya: ‘Apakah engkau berharap mendengarkan Dharma Sempurna? Apakah engkau berharap merenungkan gambar Buddha? Apakah engkau ingin mendengar para bhiksu melafalkan Sutra atau sebaliknya? Apakah engkau ingin menjaga sila dan membuat sebuah sumpah? Apakah engkau ingin membuat persembahan kepada Buddha dan Sangha?’ Pria itu akan berkata: ‘Bagaimana saya tidak menginginkan hal ini?
Sungguh saya ingin melakukan semua hal ini.’ “Dan mereka akan memberitahu orang sakit ini: ‘Dengan memuja gambar Buddha, engkau akan menerima berkah dari Buddha. Dengan menghormati Dharma dan membuat persembahan dengan barang milikmu, dimanapun engkau dilahirkan kembali engkau akan diberkahi dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dengan menyadari kebenaran alami Realitas dalam pikiranmu, engkau akan mengerti. Dengan menghormati Sangha dan membuat persembahan dari barang milikmu, dimanapun engkau terlahir engkau akan diberkahi dengan permata berharga dan kekayaan’. Mendengar hal ini, pria itu bermudita cita dan berkeyakinan dan akan membuat sumpah: ‘Di semua kehidupan yang akan datang semoga saya bertemu dengan Tiga Permata dan mendengar Dharma. Mendengar hal itu, semoga saya mengerti’. Ketika orang seperti itu meninggal, dia akan memperoleh kelahiran sebagai manusia.
“Siapapun yang berharap terlahir diantara para dewa harus melakukan kebajikan yang besar, harus merasa senang pada saat memberi, menjaga Sila, dan mendengarkan Dharma. Ketika orang seperti itu meninggal dan setelah melakukan 10 kebajikan, dia akan terbaring dengan tenang dan akan melihat Tubuh Buddha, istana-istana para dewa, anak perempuan dewa, dan akan mendengar suara para dewa yang indah. Penampilannya saat meninggal akan baik dan tangannya di depan, akan terlahir di kelahiran yang lebih tinggi, di alam dewa. “Oh, Bhiksu, istri dari saudagar itu memperoleh kelahiran buruk karena dia melekat pada tubuhnya sendiri. Dia terlahir di neraka besar di mana terdapat penderitaan yang tak berakhir”.
Bhikkhu tua itu bertanya: “Siapa wanita yang memakan dagingnya sendiri?” Sang guru menjawab: “Di kota Sravasti terdapat seorang murid awam wanita yang memiliki seorang pembantu perempuan. Wanita ini mengundang seorang Bhiksu yang mengambil sumpah dan memelihara dia di luar bangunan selama tiga bulan musim panas, dan membuat persembahan tiap hari kepadanya dengan berbagai macam makanan yang lezat dan harum, yang dia persiapkan. Ini dia sampaikan kepadanya oleh pelayan wanita pada waktu makan siang. Gadis itu, ketika dia datang ke tempat di mana tidak ada yang bisa melihatnya, memakan makanan yang terbaik dan memberikan sisanya untuk Bhiksu itu. Ketika wanita itu memperhatikan pelayannya yang semakin gemuk dan penampilannya membaik, dia bertanya kepada pelayannya apakah dia memakan persembahan makanan yang dibuat untuk Bhiksu itu. Gadis itu menjawab: ‘Bagaimana mungkin bagi saya yang sangat taat melakukannya, mengambil makanan guru? Guru memberikan apa yang tersisa setelah dia selesai makan, Jika saya bersalah memakan makanan guru, biarlah saya memakan tubuh saya sendiri di inkarnasi saya selanjutnya.’ Inilah alasan wanita itu sekarang memakan dagingnya sendiri. Setelah mengalami penderitaan yang tak terkatakan ini, dia akan terlahir di neraka di mana dia akan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan”.
Bhiksu tua itu kemudian bertanya: “Guru, apa suara berisik tersembunyi yang dibuat serangga ketika mereka mengerogoti pohon itu?” Sang guru berkata: “Suatu ketika ada seorang Bhiksu yang bernama Paladi, seorang yang mengurus permasalahan Sangha. Bhikkhu ini mengambil kekayaan pasanuan untuk dirinya sendiri, bunga, buah, makanan dan minuman, dan memberikannya kepada orang-orang di sebuah rumah di kota. Untuk itu, dia terlahir dengan reputasi buruk, harus mengalami penderitaan yang mengerikan, dan karena karma buruknya dia terlahir di neraka. Serangga yang menggerogoti pohon itu adalah orang yang memakan makanan yang diberikan Bhiksu itu. Mereka terlahir menjadi serangga”.
Bhiksu tua itu kemudian bertanya: “Siapakah pria yang dikelilingi dan dipanah oleh orang lain?” Sang guru berkata: “Pria itu sebelumnya adalah seorang pemburu. Karena dia membunuh banyak binatang, dia sekarang dipanah dari semua sisi dan menjalani penderitaan yang tak terkatakan. Ketika dia meninggal dia akan terlahir di neraka dan lebih menderita lagi. Bagaimana dia dapat menemukan Jalan Menuju Kebebasan?”
Bhiksu tua itu bertanya: “Guru, siapakah pria yang mencoba untuk menuruni gunung dan jatuh di mata pedang, bangun dan terjatuh lagi?” Sang guru berkata: “Suatu ketika ada seorang menteri yang berkuasa. Karena dia membunuh banyak orang, dia sekarang jatuh di mata pedang. Ketika dia mati, dia akan terlahir di neraka besar dan melewati penderitaan yang tak terkatakan”.
Kemudian bhiksu itu berkata: “Guru, apakah gunung tulang yang besar itu?” Maudgalyayana menjawab: “Oh, Bhiksu, jika engkau ingin benar-benar mengetahuinya, itu adalah tubuhmu di kelahiran sebelumnya. “Bulu kuduk Bhiksu itu berdiri ketakutan. Dia berkata: “Guru, jantungku hampir meledak karena kegelisahan. Jelaskan kepadaku, saya mohon kepadamu”.
Sang guru berkata: “Oh, Bhiksu, lingkaran kelahiran dan kematian adalah tanpa batas dan tanpa akhir. Ketika perbuatan baik dan buruk menghilang, mereka tidaklah dihancurkan. Apapun perbuatan yang telah dilakukan menghasilkan sesuatu. Dengarlah baik-baik, bhiksu. Di masa lampau terdapat seorang raja di Jambudvipa yang terkenal dengan sebutan sang sempurna dalam Hukum. Raja ini murah hati, menjaga Sila, taat dan welas asih, memiliki karakter yang baik, tidak pernah mengambil nyawa makhluk hidup, dianugrahi dengan tanda-tanda kekuasaan, dan memerintah sesuai dengan Dharma suci.
“Ketika sang raja berusia 20 tahun, suatu kejadian terjadi pada saat dia sedang menikmati waktu senggang dan bermain catur. Seorang pegawai membawa seseorang yang telah melanggar hukum dan bertanya bagaimana dia harus dihukum. Sang Raja, tertarik dalam permainan catur dan tidak memperhatikan, berkata: ‘Hukumlah dia sesuai dengan hukum!’ Kemudian pegawai itu mengeksekusi pria itu. Ketika Sang Raja telah menyelesaikan permainan caturnya dia memberitahu pegawainya: ‘Bawa pria tadi, saya ingin mendengar apa yang akan dia katakan’. Pegawai itu menjawab: ‘Tapi Yang Mulia, kami telah mengeksekusi dia karena dia telah melanggar peraturan’.
“Ketika Sang Raja mendengar hal ini dia jatuh ke tanah tidak sadarkan diri. Menterinya memercikan air dingin, dan ketika dia sadar dia menangis dan berkata: ‘Saya melepaskan istana, bawahanku, gajahku, kuda-kuda, tujuh benda berharga, dan semua yang tersisa. Mereka tidak menguntungkan saya sekarang. Engkau, pegawai, telah melakukan perbuatan karena saya yang akan mengarahkan kehidupanku selanjutnya di neraka. Sebelum saya turun tahta, semua urusan kerajaaan berjalan baik. Ketika, dalam jangka waktu pendek, saya meninggal, itu akan kembali berjalan sebagaimana mestinya lagi. Karena menyebabkan kematian seorang makhluk hidup, maka saya adalah seorang raja yang lalim dan tidak benar, di kehidupan yang akan datang, apakah saya bisa bertahta lagi?’ Setelah melepaskan tahta, Sang Raja beristirahat di tempat yang terpencil di pegunungan. “Ketika dia meninggal, Sang Raja terlahir di lautan besar sebagai raksasa laut yang memiliki panjang 700 yojana. (Hal yang harus diketahui bahwa seorang raja dan pegawai-pegawainya, jika bersalah membunuh, nafsu, kemarahan, dan melukai makhluk hidup, biasanya terlahir sebagai monster laut). Pada suatu ketika, banyak cacing yang melekatkan diri mereka di tubuh raksasa laut itu dan melukai dia. Dia menggosokkan tubuhnya ke gunung kristal dan menghancurkan mereka, dan laut menjadi merah karena darah mereka menyebar seluas 500 depa. Karena perbuatan jahat ini, dia akan terlahir di neraka besar.
“Pada kejadian lain, ketika raksasa laut tertidur selam 100 tahun, dia bangun lapar dan haus. Dia membuka mulutnya dan air laut mulai mengalir seperti mengalirnya sungai dan laut. Pada saat itu 500 saudagar pergi dalam mencari permata berharga. Ketika raksasa laut itu membuka mulut, perahu mereka mulai masuk ke dalam mulut raksasa. Berteriak: ‘Astaga, kita semua akan mati,’ masing-masing mulai berdoa dengan caranya masing-masing. Beberapa memanggil Buddha, dan Sangha, beberapa memanggil para dewa bumi, gunung, dan laut beberap memanggil ayah dan ibu, istri dan anak-anak, kakak dan keluarga, dan semuanya berteriak: ‘Astaga, kita akan mati! Kita tidak bisa melihat Jambudvipa tercinta lagi’.
“Pada saat mereka memasuki mulut raksasa itu, mereka memanggil Buddha dengan sambil berteriak, dengan satu nada dan dengan penuh kepercayaan. Teriakan mereka terdengar, dan celah mulut yang besar pun terbuka. Air tidak bergerak dan saudagar-saudagar itu terbebaskan dari kematian. raksasa laut itu mati karena kelaparan dan terlahir kembali di kota Rajagrha sebagai seekor serangga, Tubuhnya dibasahi oleh ombak laut, dan terpanggang oleh matahari dan dibasahi oleh hujan, dagingnya terpisah dan tulangnya sekarang menjadi gunung.
“Bhikkhu tua, engkau seharusnya tahu bahwa engkau adalah Sang Raja dan karena engkau mengizinkan seorang pria dibunuh, engkau terlahir sebagai raksasa laut di lautan. Sekarang ketika kamu memperoleh kelahiran seorang manusia engkau harus menggunakannya dengan baik, karena jika engkau tidak melakukannya, ketika engkau meninggal engkau akan jatuh dalam neraka dan terselamatkan adalah hal yang sangat sulit”.
Ketika Bhikkhu tua itu mendengar apa yang gurunya beritahukan kepadanya dan dia melihat tubuh dia sebelumnya, ketakutan besar akan lingkaran samsara menyelimuti dia. Berusaha kuat, merenung dengan rajin apa yang telah dijelaskan kepadanya dengan pikiran terfokus, dan mengamati tengkorak dia sebelumnya, dia mengerti kebenaran dari hukum ketidakkekalan. Dia membuang karma buruknya dalam lingkaran samsara, menghentikan seluruh kekotoran batin, dan menjadi seorang Arahat.
Maha Maudgalyayana bermudita cita dan berkata: “Anak dalam Dharma, engkau telah melakukan dengan batinmu sendiri apa yang seharusnya engkau lakukan. Hingga sekarang engkau tergantung kekuatanku. Sekarang gunakanlah kekuatanmu sendiri dan ikutilah saya”.
Kemudian Maudgalyayana terbang ke cakrawala, Bhiksu tua itu mengikutinya seperti seorang yang belum berpengalaman mengikuti ibunya terbang, mereka sampai ke mana Buddha berada. Bhiksu yang lebih muda tidak tahu bahwa Bhikkhu tua itu telah menjadi seorang Arahat dan seperti sebelumnya, melihat dia dengan hina, tetapi dia duduk dengan hormat dan tidak terganggu. Buddha, mengetahui hal itu dan untuk mencegah Bhiksu-bhiksu yang lebih muda dari menghina dan memuji yang telah dicapainya, memanggil dia berada di sampingnya dan berkata: “Apakah engkau pernah ke tepi pantai, Bhiksu tua itu?”
Bhiksu tua itu menjawab: “Ya, Bhagava, saya pernah pergi ke tepi pantai”. Buddha berkata: “Beritahu saya apa yang engkau lihat disana”. Ketika Bhiksu tua itu menceritakan apa yang telah dia lihat, Buddha berkata: “Hal ini baik, Bhiksu tua, ini baik. Semua yang telah engkau lihat adalah benar, Engkau sekarang telah membuang semua penderitaan dari lingkaran samsara dan telah menjadi obyek pemujaan para dewa dan manusia. Oh bhiksu, engkau telah melakukan secara sempurna apa yang seharusnya dilakukan.”
Ketika Bhiksu-bhiksu yang lebih muda mendengar hal ini, mereka diliputi penyesalan yang dalam dan berkata dengan menyesal: “Tidak mengetahui bahwa Yang Mulia telah diberkahi dengan kebijaksanaan dan pengetahuan, kami, tanpa alasan menghina dia. Balasan akan datang kepada kami untuk hal itu. “Mereka pergi ke Bhiksu tua itu, dengan tak berdaya berkata: “Oh, Yang Mulia, Yang Suci yang penuh welas asih. Engkau, Yang Mulia, yang juga penuh welas asih. Kami menyesal atas kesalahan kami yang telah menghina dirimu”.
Bhikkhu itu berkata: “Penghinaanmu tidak melukaiku. Kalian dimaafkan.” Melihat penyesalan yang sungguh-sungguh dari Bhiksu-bhiksu yang lebih muda, dia mengajarkan mereka Dharma Sempurna. Para Bhiksu, bergantung pada Dharma meninggalkan lingkaran samsara, menghentikan keinginan mereka berkat kemauan yang besar menjadi seorang Arahat.
Ketenaran Bhiksu tua itu tersebar di seluruh kota Rahagrha, dalam ketakjuban, berseru: “Ah, apa yang bisa dilakukan jika seorang tua, seperti dia, bisa menjadi seorang Bhiksu dalam ajaran Buddha, memperoleh buah menjadi arahat, dan mengajarkan Dharma Sempurna?” Dan pikiran penuh kesetiaan dan keyakinan muncul di batin orang-orang di Rajagrha. Beberapa mengizinkan anak laki-laki dan anak perempuan mereka untuk mengikuti Persamuan, beberapa mengizinkan pelayan pria dan wanitanya. Beberapa menjadi bhiksu.
Semua orang bermudita dan percaya dan berkata: “Berkah dari menjadi seorang Bhiksu melebihi waktu dan tidak memiliki batas. Sejak berusia 100 tahun Bhiksu tua itu memperoleh berkah tak berbatas waktu, mengapa yang muda dan kuat menjadi seorang Bhiksu dan memperoleh Kebahagian Sejati? Biarkanlah mereka menjadi Bhiksu dan berupaya diri mereka sendiri dalam Dharma”.
Sumber referensi: Sutra of the Wise and the Foolish , atau Ocean of Narratives; Penerbit: Library of Tibetan Works & Archieves; Alih Bahasa Mongolia ke Inggris: Stanley Frye; Alih Bahasa Inggris ke Indonesia: Heni.