Pencerahan Tanpa Diri
(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira)
Perjalanan waktu terus bergulir mengikuti irama ketidakkekalan.
Manusia mengalami proses timbul lenyap mengikuti gelombang karmanya.
Segala kondisi lahir batin terwujud mengikuti gejolak pikirannya.
Periode jaman kerusuhan banyak manusia terbius materi dan kenikmatan.
Mengasah otak meraih kecerdasan cenderung untuk menindas makhluk lain.
Berlari, mengejar dan memupuk harta kekayaan dengan segala cara.
Menciptakan segala problem dan kegaduhan dalam dinamika kehidupan.
Memproduksi segala ciptaan untuk kemudahan dan melambungkan gengsi diri.
Mereguk segala kenikmatan dan menciptakan ketagihan yang tidak kenal batas.
Mencari segala kesan untuk mewarnai wujud perasaaan dan kecintaan.
Terjebak romatika suka dan tidak suka mengacaukan perjalanan kehidupannya.
Ambisi-ambisi penuh nafsu khayal terus dikejar dan diraih tanpa kenal lelah.
Manusia dungu mengabaikan moralitas merusak mentalitas mencampakkan spiritualias.
Patutkah manusia hanya berkubang nafsu dan kebodohan sampai berakhirnya kehidupan.
Sadarkah saat kematian tidak membawa segala materi melainkan hanya karmanya.
Betapa riskan dan bahayanya mengalami siklus tumimbal lahir tanpa akhir.
Bagaimanakah dan kemanakah umat manusia mengisi kehidupan secara efektif.
Berpaling dan telitilah ajaran Buddha untuk dibuktikan dan mengakhiri derita.
Hanya orang sadar terus bersemangat dan tekun mempraktikan Dharma memutuskan belenggu.
Menjadikan dirinya sebagai pelita menerangi kegelapan dunia dan menuntun yang berjodoh.
Guru Agung Sakyamuni Buddha di saat mencapai penerangan sempurna, Beliau menyadari bahwa semua makhluk pada dasarnya memiliki hakikat Tathagata, memiliki kebijaksanaan dan segala wujud dari pahala kebajikan, tetapi dikarenakan terjebak khayal dan sesat, maka tidak bisa menampakannya. Apabila praktisi dapat melenyapkan khayal dan sesat, maka semua pencerahan akan timbul, kearifan natural, kebijaksanaan tanpa guru, penembusan tanpa rintangan akan muncul sendirinya.
Buddhisme bukanlah kajian teoritis, namun ditujukan untuk pengamalan praktis.
Dalam Sutra, Buddha berkata “Ajaranku berisi tata cara berakhirnya penderitaan yang muncul dari diskriminasi di tiga dunia; dalam mengakhiri kelalaian, hasrat, tindakan dan kausalitas (perihal akibat); dan dalam kesadaran bahwa dunia objektif adalah manifestasi dari pikiran, persis seperti sebuah visi”.
Dalam Buddhisme yang dimaksud Triloka (Tiga Dunia) yang membentuk pikiran sehari-hari, yaitu:
1. Dunia hasrat, keinginan, penilaian dan perhatian;
2. Dunia benda dan ide-ide, dunia bentuk dan teori;
3. Dunia nir-wujud, yaitu dunia yang biasa disebut dunia “tidak ada apa-apa’ dan “tidak di mana-mana”;
Pribadi berarti ingatan, penilaian, prasangka, pendapat ide, buah pikiran dan reaksi-reaksi yang saling silang di sekeliling satu ide inti dan secara keseluruhan membentuk apa yang kita sebut “Aku” sebagian besar manusia menghabiskan waktunya untuk mengembangkan, melindungi dan memperluas kepribadian. Kepribadianlah yang paling penting bagi kita. Masyarakat mendorong upaya ini dengan adanya perasaan butuh terhadap kepribadian, sementara upaya-upaya untuk melangkah melampaui kepribadian dipandang masyarakat sebagai tindakan yang aneh, karena diluar kebiasaan.
Sebagai praktisi yang baik, janganlah terjerumus ke dalam doktrin karma, karena karma bukanlah fatalisme (kepercayaan bahwa nasib mengusai segala-galanya), bukan pula suatu doktrin tentang ‘kodrat’ (sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya). Kenyataan Karma masa lampau mempengaruhi kondisi sekarang, tetapi tidak menguasainya, karena karma dulu sudah lewat seperti juga sekarang terus berubah. Kekuatan karma bersemayam di hati, hati timbul karma muncul, hati sunya karma tidak nyata. Tiada hati tiada kondisi, tiada pikiran tiada masalah, tiada keinginan tiada penderitaan, tiada Sang Aku tiada tumimbal lahir. Hyang Buddha berkata pandangan dualistik tentang diri dan dunia melahirkan penderitaan.
Ajaran ’Kebenaran Tinggi’ berusaha melampaui kepribadian dan memandang kepribadian sebagai ilusi. Ajaran Zen dikenal dengan sifat yang anti-intelektual, menolak spekulasi dan teori-teori (sikap anti intelektual lahir dari kekecewaan umum terhadap kegagalan agama-agama tradisional dalam menyikapi berbagai masalah. Banyak orang yang saat ini percaya bahwa pemikiran-pemikiran religius telah terkurung dalam semboyan-semboyan tanpa makna dan dogma-dogma yang kaku tidak efektif).
Ajaran agama bagaikan pelita menerangi kegelapan, para pembina spiritual hanya dapat menyadarkan dan membimbing umatnya, kenyataannya tidak ada seorang pun yang mampu mencerahkan mu, kecuali dirimu sendiri. Seorang pelajar bila tidak mampu menerjemahkan apa yang dipelajari ke dalam tindakan, adalah manusia yang terperangkap dalam dua arus, yaitu: pengetahuan dan pelajaran, ketidaktenangan dan penderitaan. Sesungguhnya kebenaran hakiki bersifat manunggal tidaklah mendua, sehingga seorang praktisi efektif kiranya tidak diwajibkan mengusai sutra atau tidak (dualitas), tetapi hanya mengembangkan insight yang benar dan cerdas.
Dari konsentrasi, meditasi dan kontemplasi (bersatu dengan), seseorang akan mendapatkan ketenangan batin, kefokusan pikiran, dan bisa mengetahui apa yang tidak disadari. (Kontemplasi pernafasan, misalnya, berarti bersatu dengan pernapasan, disini bukan berarti latihan pernapasan, bukan pula pengamatan, visualisasi atau ’melihat’ pernapasan. Kontemplasi lebih fleksibel dari konsentrasi; inilah yang disebut ‘wu-wei’ atau berbuat tidak berbuat (doing of no-doing).
Orang seharusnya tidak mencari apa yang Buddha ajarkan pada wilayah fakta, wilayah ontology (ilmu filasafat) atau epistemology (cabang ilmu filsafat tentang dasar/batas pengetahuan), atau bahkan pada wilayah etika atau teologi. Sesungguhnya ajaran Buddha bagaikan rakit, maksudnya adalah ajarannya mesti di arahkan pada praktik.
Ajaran-ajaran Buddha dapat dikatakan berubah setiap waktu, sesuai dengan keadaan yang melatarinya. Ajarannya bisa idealis, realis, pesimistik, optimistik atau berorientasi akhirat. Namun label-label ini tidak bisa sepenuhnya mewakili apa sesungguhnya yang di ajarkan Buddha, sesungguhnya ajaran utamanya adalah keterlepasan (soterion/soteriologi), orang harus menerima ajaran Buddha sebagai jalan melepaskan ‘diri’, termasuk melepaskan diri dari ‘belajar’ dan ‘mengajar’.
Sembahyang dapat dilihat sebagai usaha berhubungan dengan Yang Tunggal Transenden yang ada’ di luar sana’, sementara meditasi adalah usaha berhubungan dengan Yang Tunggal ‘di dalam sini’.
Banyak orang menganggap ‘Tuhan’ dan ‘diri’ adalah dua jalan utama yang harus ditempuh manusia dalam mencari kedamaian dan keterlepasan dari penderitaan. Kalau dipandang kesatuan (Tuhan) sebagai objektif, sebagai suatu ‘di luar sana’ yang menjadi realitas tertinggi, maka subjektifnya yaitu ‘diri’, hanya akan menjadi bayangan (menuruti kehendakNya). Sebaliknya bila kesatuan dipandang ada ‘di dalam sini’ subjektif, maka apa yang objektif hanyalah ilusi dan dunia hanyalah sebatas mimpi, dan dalam hal ini diri adalah realitas tertinggi. Buddhisme tidak dilandasi pada ‘Yang Tunggal Subjektif’ maupun ‘Yang Tunggal Objektif’, tidak pula gabungan keduanya dan bukan pada penolakan pentingnya ‘Yang Tunggal.’ Saat Joshu menjawab pertanyaan bhiksu dengan ‘mu’ atau ’tidak’, dia sebenarnya sedang mengatakan tidak pada ‘Yang Tunggal Transenden’ (diluar kesanggupan manusia/luar biasa/utama), baik sebagai objek maupun sebagai subjek. Keyakinan akan ‘Yang Tunggal Objektif’ atau ‘Yang Tunggal Subjektif’ yang menyebabkan penderitaan.
Jalan Buddha bukanlah jalan afirmasi (peneguhan/penetapan) maupun jalan negasi (peniadaan), bukan pula terjebak kata-kata maupun pengingkaran.
Pikiran-pikiran intelek memiliki keterbatasan ketika menempuh jalan spiritual, tapi akan cukup berguna kalau pikiran tersebut bila dimanfaatkan dalam usaha kita. Pikiran intelek adalah kecerdasan yang melekat sedangkan kearifan Prajna adalah kecerdasan intuitif yang tidak melekat.
Untuk menyadarkan pikiran ini, maka harus membangkitkan pengetahuan Primordial (paling dasar), pengetahuan non-reflektif (tidak secara refleks); pengetahuan yang datang dengan serta merta dan menghujamkan kepastian.
Ratnagunasamcayagatha:
Maka demikianlah Bodhisattva; Saat di berhasil menyelesaikan kewajiban Dharmanya;
Tidak akan berhenti pada keheningan penuh karunia; Dalam Prajnalah dia kemudian harus berdiam.
In praise of Zazen, Huikun berkata: “Diri sejati adalah nir-diri, diri kita sendiri adalah nir-diri” (Ajaran Buddha tersimpul dalam sebuah kata yakni anatman).
Sutra Intan Berkata: “Bangkitkanlah pikiran tanpa mengikatnya pada apapun”. Bodhisattva yang sesungguhnya bukanlah Bodhisattva yang menekankan gagasan identitas ego, pribadi, sesuatu atau individu yang independen melainkan interdependen (gabungan atau keterkaitan)”. Setiap Bodhisattva hendaknya mendisiplinkan pikiran mereka.
Para Bijak berkata: usaha tangan ini banyak menghasilkan karya, tetapi tangan ini tidak memiliki buah hasil karya. Begitu pula gejolak pikiran ini banyak menciptakan ide dan rencana, tetapi pikiran yang sesungguhnya tidak bisa memiliki ide dan rencana. Kalau pikiran terjebak pemikiran maka disebut khayal, begitupula pikiran bila melekat kepada ide dan rencana, maka pikiran itu sudah delusi sehingga tidak ada pikiran lain bisa muncul.
Sutra Avatamsaka mengatakan “orang seharusnya tidak terikat dengan dualitas, karena persoalannya bukanlah satu maupun dua”.
Sutra Vimalakirti mengatakan “pikiran tidaklah di luar dan tidak pula di dalam dan tidak pula di antara keduanya. Pikiran adalah intuisi kita.
Prajna Paramita dikatakan: Bodhisattva yang tidak berpegang pada apapun; Namun berdiam dalam kearifan Prajna (kearifan tanpa corak dan tidak melekat); Terbebaskan dari aliran yang menipu; Kecemasan yang lahir dari arusnya, dan mencapai nirwana paling jernih.
Bodhisattva melihat kehampaan dari lima Skandha. (Lima Skandha: Tubuh jasmani, emosi, akal, keinginan dan kesadaran). Melihat kekosongan lima Skandha berarti melihat hakikat diri yang bersifat khayal, akar dan penyebab segala bentuk keegoisan. Lima Skandha tidak ada yang bisa dipertahankan, segalanya tidak tetap dan kekal.
Prajna Paramita berarti “Sampai ke tepian seberang menggunakan Prajna” atau melangkah melampaui pengetahuan tentang suatu menuju pengetahuan murni (Pengetahuan tanpa muatan). Prajnaparamita mengatakan “Apa yang tidak punya bentuk adalah dari segala bentuk”.
Prajnaparamita Hridaya Inti kearifan Sempurna
Kasih Avalokitesvara Bodhisattva, dari kearifan prajna yang terdalam; Memandang kekosongan kelima Skandha. Yang terkekang oleh ikatan penderitaan; Kemudian dia tahu, di sini segala wujud hanyalah kekosongan. Kekosongan satu-satunya wujud yang ada. Hui Neng berkata “kekosongan pun sebenarnya sebuah kekosongan”. Perasaan, pikiran dan pilihan, kesadaran-diri tidak ada bedanya. Di sini Dharma hanyalah kekosongan; segalanya kehampaan total.
Tidak ada yang lahir atau mati; Tidak ada yang ternoda atau suci; Tidak ada yang cemerlang atau kabur. Di dalam kekosongan tak ada bentuk, tak ada perasaan, pikiran atau pilihan, tidak pula kesadaran. Tidak ada mata, telinga hidung, lidah tubuh dan pikiran; Tidak ada warna, suara, aroma, sentuhan atau yang bisa diolah pikiran; Atau yang bisa disadari, tidak ada kelalaian maupun akhir kebodohan, tidak ada pula segala yang lahir dari kelalaian, tidak ada kesombongan, tidak ada kematian, tidak juga akhir darinya. Tidak ada derita, tidak ada penyebab penderitaan, tidak pula akhir sengsara, tidak juga jalan mulia lepas dari derita. Tidak ada kearifan yang hendak dicapai, pencapaian juga adalah kekosongan. Ketahuilah, Bodhisattva tidak berpegang pada apa pun, namun berdiam pada kearifan Prajna dibebaskan dari arus penuh tipu-daya. Menyingkirkan takut yang terbawa arus, dan mencapai Nirwana terjernih. Setiap Buddha masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, lewat keyakinan pada kearifan Prajna, mampu mencapai pencerahan sempurna. Ketahui jugalah Dharani terbesar, mantra yang cahayanya tiada banding, mantra tertinggi dan mantra segala mantra yang pasti, Prajnaparamita, yang kata demi katanya menghapuskan segala penderitaan. Inilah kearifan puncak, benar tiada punya cacat ragu, mengetahui dan menyatakan kebenarannya: Gate, Gate, Paragate, Parasamgate Bodhi Svaha.
Buddhisme adalah ajaran yang berlandaskan pada kearifan dan kasih sayang, kasih sayang dikembangkan melalui kearifan, kearifan dikembangkan dengan melihat segala sesuatu sebagai kehampaan. Janganlah pernah mengira anda telah mencintai orang lain sebagaimana anda mencintai diri sendiri. Kalau anda belum menganggap orang lain adalah kesatuan dengan diri anda, maka anda tidak akan bisa mencintai mereka secara utuh.
Francis Crick berkata: “Suka-duka anda, kenangan dan ambisi anda, perasaan anda tentang indentitas pribadi dan kehendak bebas anda, semuanya itu tidak lebih dari sekedar tingkah polah” berjuta-juta sel otak yang ada di kepala anda”.
Tahapan Dalam Belajar Buddha Dharma
1. Membuka hati dan pikiran akan ajaran Hyang Buddha
2. Memahami akan penjelasan Hyang Buddha
3. menembusi hakikat pencerahan Hyang Buddha
4. Meraih kebijaksanaan dan kesempurnaan Hyang Buddha.
Banyak para siswa dan umat Buddha melatih diri tidaklah efektif, senang melakukan kebajikan tetapi masih melekat wujud dan kondisi, walaupun karma baiknya berlimpah tapi kegalauannya tidak bisa surut, karena terjebak dan melekat kepada ’Ego Sang Aku, Kepribadian, Bentuk-bentuk Kehidupan, dan Keusiaan”. Bila siswa dan umat Buddha tidak menghayati dan mengamalkan Sutra Intan dalam mempraktikkan Buddhadharma, maka muncul penyakit spiritualitas dan penderitaan khayal terus berlangsung dan sulit di lenyapkan secara tuntas. Aktivitas kedermawanan yaitu tolong menolong yang masih melibatkan ego dan pamrih hanya akan berakhir pada kehancuran. Contohnya ‘saya’ harus menolong ‘anda’; “saya” adalah langkah pertama yang harus di jalani, waktu melangkah kedua maka langkah pertama harus di lepaskan baru jalankan “harus menolong”, dilanjutkan langkah ketiga maka langka satu dan dua harus dilepaskan, yaitu: menuju “anda”, setelah dilaksanakan maka langkah satu, dua dan tiga semua dilepaskan menuju pelepasan (memurnikan kembali semua ide, konsep dan perilaku) Melahirkan pikiran yang tidak terikat dengan apapun juga adalah salah satu anjuran Buddha yang paling terkenal
Dharma yang berkondisi bagaikan impian, demikian banyak makhluk suci bersabda, pikiran khayal sesungguhnya sunyi, hakikat segala kondisi adalah sunya, bila pikiran sudah sunyi dan sunya, maka timbul gaib, cerah dan tidak bodoh.
Mengembalikan kemurnian hanya dengan Non-dualistik; Tetapi banyak ragam metode menuju jalan kesana; Bila tidak mau mengembalikan kesejatian diri; Maka tiada tempat yang tepat untuk pergi berlindung.
Sutra Avatamsaka berasabda: Ingin mengetahui semua dharma, berasal dari hati dan kesejatian diri. Sempurnanya tubuh kebijaksanan dan pencerahan semua berasal darinya.
Berpikir mengenai wujud adalah debu; Kesadaran berlandaskan perasaan adalah kekotoran. Bila keduanya sudah ditanggalkan akan memiliki ‘Mata Dharma’; Saat itu juga diperoleh kebijaksanaan dan pencerahan tanpa diri; Dikembangkan dapat meraih kesempurnaan kesadaran.
Orang jahat cenderung suka merusak nasib; orang bodoh selalu dipermainkan nasib; orang lemah hanya bisa menerima nasib; orang bijaksana mampu memperbaiki nasib; orang suci sudah keluar dari lingkaran nasib.
Daftar Perpustakaan: Zen & The Sutras, Albert Low, Penerbit Saujana.