Ruang Tanya-Jawab
(Di asuh oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira)
Pertanyaan: Amithofo, Suhu, Apa Perbedaan Membaca, Memanjatkan & Melafalkan Sutra, juga bagaimana memutar hati dan melatih diri dengan baik? Dari umat (NN).
Jawabannya: Membaca sutra untuk diketahui makna yang tersirat dan tujuan utama sutra tersebut. Sedang memanjatkan sutra untuk menyatukan pikiran, ucapan dan perbuatan seperti pikiran menvisualisasi, mulut mengucapkan dan tangan bermudra untuk mendapatkan satu tindakan yang tidak pecah dan buyar (bagaikan meditasi dalam perilaku). Tetapi melafalkan sutra adalah untuk melepaskan, dengan melafalkan sutra, mantra atau Nien Fo melepaskan semua pemikiran, angan-angan, ilusi dan sebagainya, artinya untuk mensucikan pikiran, melepas ada yang melafalkan dan dilafalkan, kedua-duanya sunya, bukan sunya bukan pula sunya tidak sunya, yang menghasilkan kebenaran sunya sesungguhnya. Kamu jangan pesimistik melihat mantra diterjemahkan ke dalam bahasa mandarin, walaupun aksennya, tidak enak dilafalkan, berbeda, atau tidak dipahami, tapi intinya tidak berbeda, karena perbedaan dan kebutuhan disebabkan pengaruh faktor budaya dan kondisi. Ingat pandangan dan hasrat cari tahu, mau tahu bila menjadi “pengetahuan” maka akan menjadi sumber avidya (kegelapan batin). Bagaimana mungkin hati belum murni dan terang mau mengetahui Dharma? Seandainya belajar tahupun pasti akan ternoda oleh pandangan ego, corak dan nafsu, atau mengarah terjebak dan melekat kepada pandangan dualitas yang ilusif tersebut. Untuk itu, belajarlah mengembangkan tekad : 1. tekad mau menyeberangkan. 2. tekad melenyapkan kebodohan, 3. tekad belajar Dharma 4. tekad pencapaian. Belajarlah satu Dharma dulu, jangan belajar banyak Dharma dulu sebelum kebodohan dilenyapkan, apa jadinya bila batin masih kotor tapi tahu Dharma? Bagaikan gelas kotor di isi dengan air bersih apakah bisa diminum? tentu tidak bisa bukan! Perlu diketahui, keberadaan mantra bukan untuk diketahui, perbedaan mantra jangan memunculkan pikiran diskriminasi, corak dan beragam mantra untuk menyembuhkan berbagai penyakit, bagaikan melihat kaca cermin bukan hanya tertuju kepada melihat cermin belaka saja, melainkan lihat pantulan kaca cermin, yaitu: bagaimana rupa dan kondisi diri kita sendiri. Bila jelek diperbaiki, bila bagus ditingkatan. Tetapi jelek dan bagus juga ilusi tidak real, karena adanya “Sang Aku dan Diri” yang masih khayal. Bila Sang Aku, Milikkku sudah dilepaskan itulah realita kesucian tanpa diri.
Banyak orang yang memahami makna mantra, dilafalkan secara benar sesuai mantra Sansekerta tapi jarang sekali orang bisa meraih kegaiban dan tidak bermanfaat, kenapa? walaupun mantra sudah dipahami dan dilafalkan dengan baik, bila tidak terfokus (pecah), tidak berkesinambungan dan kacau (pikiran banyak memunculkan pemikiran lain) maka mantra yang dilafalkan tesebut tidak gaib. Sebaliknya bila ia tidak tahu maknanya, dilafalkan secara salah tetapi ia bisa fokus, berkesinambungan dan tidak kacau maka mantra yang tidak dipahami itu atau salah dilafalkannya itu malah gaib dan bermanfaat. Karena apa? Kebenaran dan kegaiban datang dari sumber hati yang tidak bergerak! Tentu mantra itu akan lebih baik, gaib dan bermanfaat bila dipahami, dilafalkan, penuh konsentrasi dan berkesinambungan tidak kacau pada akhirnya melepaskan kondisi dualitas (yang melafalkan dan yang dilafalkan). Seperti Hyang Buddha bersabda di Sutra Intan: Dharma pun harus dilepaskan apalagi yang bukan Dharma. Artinya keberadaan dan tujuan semua Dharma hanya untuk menyadarkan, meluruskan dan mensucikan pikiran bukan menambah kekotoran pikiran (seperti pemahaman subyektif atau obyektif, memilah dan memilih yang diskriminasi, terjebak dan melekat dengan corak dan beragamnya Dharma itu sendiri).
Maksud memutar hati adalah dari khayal menjadi sadar; dari sesat menjadi benar; dari kotor menjadi murni. Orang yang banyak bicara dan memahami Dharma belumlah disebut ‘orang bijak’ hanya kaum intelektual, memahami, mengendalikan dan mensunyakan diri sendiri (hati & pikiran) barulah ia bisa cerah, memahami realitas kebenaran tanpa melekat atau menolong makhluk lain tanpa pamrih barulah disebut kaum bijak. Tujuan praktik Dharma adalah: kembangkan hati, kendalikan hati, pahami hati, sunyakan hati, dan sempurnakan hati, pahala kebajikan dari praktik ini kelak akan mencapai kesempurnaan tanpa diri. Demikianlah jawaban singkat suhu semoga di ambil sarinya dan bermanfaat. Amithofo, suhu.
Pertanyaan: Amitofo Suhu.Saya mau bertanya. Bagimana supaya kita itu tidak jatuh ke dalam lubang berkali-kali? Jadi setiap melakukan kesalahan pasti terulang lagi seperti itu. Jadi bagaimana caranya supaya kita tidak melakukan kesalahan itu lagi, padahal saya juga sudah tidak niat melakukannya lagi. Bagaimana juga supaya kita itu tidak mengingat masa lalu lagi yang buruk ? Saya sering teringat dengan masa lalu saya dan ujung-ujungnya saya kesal sendiri, kenapa sampai hal itu bisa terjadi, jadi dalam diri saya selalu ada penyesalan.
Terimakasih Suhu. Umat NP.
Jawaban: Coba kamu renungkan, ada sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda, gerobaknya jalan terus mengembara kemana saja mengikuti kuda liarnya, untuk mengendalikannya apakah kamu memukul gerobaknya atau mengendalikan kudanya? tentu kudanya bukan? Pikiran adalah pelopor dari semua perilaku, sehingga kamu harus kendalikan pikiran kamu! Memori kuat yang bernuansa kenikmatan, ketagihan atau kebencian kadang-kadang begitu mencengkeram sulit dikendalikan oleh manusia awam. Jadi kamu jangan hanya cuma punya keinginan tidak mau terulang lagi saja tanpa upaya mengendalikan keinginan kuat tersebut. Pikiran jelek harus dikalahkan dengan pikiran baik, nafsu harus dilemahkan dengan tekad dan disiplin, khayalan harus dilenyapkan dengan kesadaran, kesesatan harus diubah menjadi kebenaran, kekotoran harus kikis dengan kemurnian. Barang siapa yang mampu mengendalikan pikirannya atau mampu mengalahkan gejolak hatinya ia adalah ‘Pendekar Ulung.’ Kerena selama ini umat manusia senantiasa dikacaukan oleh aktivitas batinnya dan dijungkir-balikan oleh kondisi karmanya. Hanya ‘Pendekar Ulung’ saja yang mampu mengatasi dan melampauinya. Sadarilah! ada hati ada kondisi, tiada hati tiada kondisi; ada pemikiran ada masalah, tiada pemikiran tiada masalah; ada keinginan ada derita, tiada keinginan tiada derita. Untuk meredakan atau melenyapkan memori, kesalahan atau keinginan yang berulang kali muncul maka lakukan usaha bernamaskara dan Nien-Fo kepada Buddha atau Bodhisattva berdasarkan pilihan dan jodoh kamu secara rutin, tulus dan berkesinambungan. Ingat sekali muncul pikiran yang tidak dikehendaki langsung kamu rubah dan alihkan menjadi ingat dan memikirkan kepada Buddha atau Bodhisattva. Bila ini dilakukan terus menerus maka lambat laun pikiran kamu terkendali dan perilaku kamu sesuai harapan kamu. Renungkan! realitanya hati masa lalu tidak didapat, hati sekarang tidak diperoleh, hati akan datang belumlah tiba, jadi kamu mau pergunakan hati apa dan mau dapatkan hati yang bagaimana? Ternyata semua gejolak hati adalah khayal dan semu, oleh karena itu sunyakan (kosongkan) hati kamu dengan lakukan pujian kepada Buddha/Bodhisattva. Tekad harus lebih kuat daripada kondisi karma kamu, baru bisa merubah dan memperbaikinya segala hal. Semoga dipahami, dilaksanakan dan berhasil, Amithofo, suhu.